Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehBambang Hartanto Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
Landasan Pendidikan Kelompok 1 : Amani Fadhilah ( ) Reka Putra Pandega (150) Anysa (150) Tiara Arfah (150) Octaviani Lanberta ( )
2
MANUSIA DAN PENDIDIKAN
3
A. Hakikat Manusia Aliran Bagaimanakah asal-usul alam semesta
1. Manusia adalah Makhluk Tuhan YME Bagaimanakah asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri ???? Menurut J.D Butler, 1968 Aliran Evolusionesime Kreasionisme
4
Menurut Evolusionisme Manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia-sebagaimana halnya alam semesta-ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta
5
Menurut Kreasionisme Asal-usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME.
6
4 argumen penolakan secara filosofis :
Argumen Ontologis Argumen Kosmologis Argumen Teleologis Argumen Moral
7
Argumen ontologis Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan
Argumen ontologis Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas (kenyataan) lebbih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
8
Argumen Kosmologis Manusia bermoral, ia dapat membedakkan perbuatan yang baik dan yang jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan tujuan moralitas itu adalah Tuhan.
9
Argumen Teleologis Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab
Argumen Teleologis Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta termasuk manusia adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya. Sebab pertama adalahh sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “khalik”.
10
Argumen Moral Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh; mata untuk melihat, kaki untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sendirinya melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
11
2. Manusia sebagai Kesatuan Badani-Rohani
Julien de La Mettrie dan Feuerbach Plato Rene Descartes E.F. Schumacher
12
Julien de La Mettrie dan Feuerbach Bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani (tubuh/fisiknya). Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan/spiritual dipandang hanya sebagai resonansi dari berfungsinya badan/organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Bulter, 1968).
13
Plato Bahwa esensi manusia bersifta kejiwaan/spiritual/rohaniah
Plato Bahwa esensi manusia bersifta kejiwaan/spiritual/rohaniah. Menurut plato jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D. Bulter, 1968).
14
Rene Descartes Pandangan ini secara tegas bersifat dualistik
Rene Descartes Pandangan ini secara tegas bersifat dualistik. Esensi manusia terdiri atas 2 substansi, yaitu badan dan jiwa. Maka dalam gagasannya ia berpendapat bahwa antara keduanya tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957). Namun dalam pikiran commonsense-nya bahwa setiap peristiwa kejiwaan selalu pararel dengan peristiwa badaniah, atau sebaliknya. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D. Bulter, 1968).
15
E.F. Schumacher Semua pandangan tesebut dibantah oleh pandangan bahwa manusia adalah kesatuan dari yang bersifat badani dan rohani yang secara prinsipal berbeda daripada benda, tumbuhan, hewan, maupun Tuhan. Sejalan dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan: “meski manusia merupakan perpaduan 2 unsur yang berbeda, ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral”.
16
3. Individualitas/personalitas
Manusia memiliki perbedaaan dengan yang lainnya sehingga setiap individu bersifat unik. Setiap manusia memiliki subjektivitas (ke-diri-sendirian), maka hakikatnya pribadi. Adapun pribadi/subjek, setiap manusia bebas mengambil tindakan atas pilihan serta tanggung jawab sendiri (otonom) untuk menandaskan keberadaannya di dalam lingkungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa manusia dalah individu/pribadi, artinya menusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik dan merupakan subjek yang otonom.
17
4. Sosialitas Manusia tidak mungkin hidup sendirian. Manusia harus hidup bersama dengan sesamanya (bermasyarakat), setiap individu menepati kedudukan (status) tertentu, mempunyai dunia dan tujuannya masing-masing. Sehubungan dengan ini aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987). Ernst menyatakan: “manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya kecuali melalui perantara pergaulan sosial”. Adapun Theo Hujibers mengemukakan: “dunia hidupku dipengaruhi oleh orang kain sedemikian rupa, sehingga demikian mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu”.
18
Karena setiap manusia adalah pribadi/individu, dan karena terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya, maka idealnya situasi hubungan antaranya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek yang oleh Martin Buber disebut hubungan I-Thou/ Aku Engkau (Maurice S. Friedman, 1954). Selain itu, hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
19
5. Keberbudayaan Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1985). Ada 3 jenis wujud kebudayaan, yaitu: sebagai kompleks dari ide-ide, ilmu pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb; sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. sebagai benda-benda hasil karya manusia Manusia menggunakan kebudayaan dalam ranga memenuhi berbagai kebutuhannya atau untuk berbagai tujuannya. Bahkan manusia baru menjadi manusia karena dan bersama dengan kebudayaannya.
20
Didalam kebudayaan dan dengan kebudayaan itu manusia menemukan dan mewujudkan diri. Ernst menegaskan: “Manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor didalam dirinya, misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya, kebudayaannya”. (C.A. Van Peursen, 1988). Itu menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkannya maka kebudayaan dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Kebudayaan tidak besifat statis, melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada diri manusia membuat adanya perubahan dan pembaruan kebudayaan. Hal ini didukung oleh pengaruh kebudayaan luar.
21
6. Moralitas Manusia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat. Menurut Immanuel Kant pada manusai terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorial imperative). Sebagai subjek yang otonom manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan/perbuatan yang harusnya dipilih. Kebebasan untuk bertindak itu selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia memliliki kebebasan memilih untuk bertindak, maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya.
22
7. Keberagaman Merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama. Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui Utusan-utusan-Nya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar manusia beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Dalam keberagamaan ini hidup manusia akan bermakna dan manusia akan menemukan asal-usulnya, dasar hidupnya, tata cara hidupnya, dan menjadi jelas pula ke mana arah tujuan hidupnya.
23
8. Historisitas Artinya bahwa keberadaan manusia pada saat ini terpaut kepada masa lalunya,. Historisitas memiliki fungsi dalam eksistensi manusia. Karl Jaspers menyatakan: “Manusia harus tahu siapa dia tadinya, untuk menjadi sadar kemungkinan menjadi apa dia nantinya. Masa lampaunya yang historis adalah faktor dasar yang tidak dapat dihindarkan bagi masa depannya”. (Fuad Hasan, 1973). Tujuan hidup manusia mencakup 3 dimensi, yaitu: Dimensi ruang (di sini – disana, dunia – akhirat) Dimensi waktu (masa sekarang-masa datang) Dimensi nilai (baik-tidak baik) Tujuan hidup manusia tiada lain adalah untuk mencapai keselamatan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat, atau untuk mendapatkan ridho Tuhan YME.
24
9. Komunikasi/Interakasi
Komunikasi/interaksi ini dilakukannya baik secara vertikal, yaitu dengan Tuhan-Nya; secara horizontal yaitu dengan alam dan sesama manusia serta budayanya; dan bahkan dengan “dirinya sendiri”. Demikianlah interaksi/komunikasi tersebut bersifat multi dimensi.
25
10. Dinamika N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika arah horisontal maupun arah transendental. Dinamika itu adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan. Karena manusia subjek, ia dapat mengontrol dinamikanya, namun karena manusia dibekali nafsu sebagai insan sosial mamka dinamika itu tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya. Terkadang muncul dorongan dan pengaruh negatif. Sehubungan dengan itu, idealnya manusia harus secara sengaja dan secara prinsipal menguasai dirinya agar dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan arah yang seharusnya.
26
11. Eksistensi Manusia adalah untuk Menjadi Manusia
Eksistensi manusia bersifat dinamis. Bereksistensi artinya merencanakan, berbuat dan menjadi. Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia. Tegasnya ia harus menjadi manusia ideal. Idealitas ini bersumber dari Tuhan melalui ajaran agama yang diturunkan-Nya, dan dari sesamaa dan budayanya, bahkan dari diri manusia itu sendiri. Adapun manusia ideal yang dimaksud adalah manusia yang mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.
27
Prinsip Historisitas Prinsip Idealitas
B. Prinsip-Prinsip Antropologis Keharusan Pendidikan: Manusia sebagai Makhluk yang perlu Didik dan Mendidik Diri Prinsip Historisitas Prinsip Idealitas Prinsip Posibilitas/aktualitas
28
Prinsip Historitas Manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai manusia.
29
Prinsip Idealitas Manusia mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal
Prinsip Idealitas Manusia mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal. Sosok manusia ideal merupakan gambaran manusia yang dicita-citakannya aau yang seharusnya. Sebab itu, sosok manusia ideal tersebut belum terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk mewujudkannya.
30
Prinsip Posibilitas/Aktualitas
Perkebambangan manusia bersifat terbuka. Manusia memang telah dibekali berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia. Namun setelah kelahirannya, bahwa berbagai potensi tesebut mungkin terwujud, mungkin kurang terwujud, atau mungkin pula tidak terwujud. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya. Contoh: Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan fenomena perilaku orang-orang yang berperilaku sesuai dengan nilai dan norma budaya masyarakatnya. Sebaliknya, ada fenomena orang-orang yang berperilaku kurang/tidak sesuai dengan perilaku manusia yang seharunya, baik menurut nilai dan norma agama maupun budayanya.
31
Perkembangan manusia bersifat terbuka atau serba mungkin, dan hal ini didukung bukti. Inilah prinsip posibilitas/prinsip aktualitas. Dapat dipahami bahwa berbagai kemampuan yang seharusnya dilakukan manusia tidak di bawa sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh setelah kelahirannya dalam perkembangan menuju kedewasaannya. Tapi mungkin saja diperoleh manusia melalui upaya bantuan dari pihak lain. Mungkin dalam bentuk pengasuhan, pengajaran, latihan, bimbingan, dan berbagai bentuk kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan. Manusia juga harus belajar atau harus mendidik diri. Mengapa manusia harus belajar??? Sebab, dalam eksistensi yang harus meng-ada-kan/mnejadikan diri itu hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Tetapi apabila seseorang tersebut tidak mau mendidik diri, maka upaya bantuan tersebut tidak akan memberikan kontribusi bagi kemungkinan seseorang tadi untuk menjadi manusia.
32
Menurut Immanuel Kant, manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik dan mendidik diri. “Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”. Berdasarkan uraian tersebut disimpulka bahwa manusia adalah makhluk yang perlu dididik dan mendidik diri. Terdapat tiga prinsip antropologis yang menjadi asumsi perlunya manusia mendapatkan pendidikan dan perlu mendidik diri, yaitu: Prinsip historisitas. Prinsip idelaitas. Prinsip posibilitas/aktualitas.
33
C. Prinsip-Prinsip Kemungkinan Pendidikan: Manusia sebagai Makhluk Dapat Dididik
Prinsip Potensialitas Prinsip Dinamika Prinsip Individualitas Prinsip Sosialitas Prinsip Moralitas
34
Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia ideal. Antara lain adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral/berakhlak muliar, cerdas, berperasaan, berkemauan, mampu berkarya, dst. Manusia memiliki potensi, yaitu: Potensi untuk berima dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Potensi untuk mampu berbuat baik. Potensi cipta, rasa, karsa. Potensi karya.
35
Prinsip Dinamika Manusia (peserta didik) itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi ideal. Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Manusia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari apa yang telah ada atau yang dicapainya. Manusia berupaya untuk mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka interaksi/komunikasinya secara horisontal maupun vertikal. Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
36
Prinsip Individualitas Praktek pendidikan merupakan upaya pendidik memfasilitasi manusia yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya sendiri (menjadi seseorang/pribadi). Manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki ke-diri-sendirian (subyektivitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya sendiri. Sebab itu individualitas mengimpilikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
37
Prinsip Sosialitas Pendidikan hakikatnya berlangsung dalam interaksi/komunikasi antar sesama manusia. Melalui interaksi/komunikasi pengaruh pendidikan disampaikan oleh pendidik dan diterima oleh peserta didik. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Akan terjadi hubungan timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu sosialitas mengimpilikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
38
Prinsip Moralitas Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu. Pendidikan juga bertujuan agar manusia berakhlak mulia; agar manusia berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari agama, masyarakat dan budayanya. Manusia mampu membedakan yang baik dan jahat. Atas dasar itu, jelas bahwa manusia akan dapat dididik. Dengan mengacu pada asumsi bahwa manusia akan dapat dididik diharapkan manusia menjadi sabar dan tabah melaksanakan pendidikan,
39
D. Pendidikan Sebagai Humanisasi
Definisi Pendidikan, keharusan manusia , sebagimana dinyatakan Karl Japers bahwa: “to be a man is to become a man” / ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Adapun manusia akan dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Impilikasinya maka pendidikan tiada lain adalah humanisasi (upaya memanusiakan manusia). Sasaran Pendidikan hakikatnya adalah manusia sebagai kesatuan yang terintegrasi. Jika tidak demikian, pendidikan tidak akan dapat membantu kita demi mewujudkan (mengembangkan) manusia seutuhnya
40
Sebagai Humanisasi, pendidikan mengandung pengertian yang sangat luas
Sebagai Humanisasi, pendidikan mengandung pengertian yang sangat luas. Karena itu, pendidikan hendaknya tidak direduksi menjadi sebatas pengajaran saja. Pendidikan jangan direduksi menjadi sebatas latihan saja. Pendidikan jangan pula direduksi hanya menjadi sebatas sosialisasi saja. Sebagai humanisasi pendidikan seharusnta meliputi berbagai bentuk kegiatan dalam upaya mengembangkan berbagai potensi manusia dalam konteks dimensi keberagamaan, moralitas, individualitas, sosialitas, dan keberbudayaan secara menyeluruh dan terintergrasi. Pendidikan adalah bagi siapapun, berlangsung dimanapun, melalui berbagai bentuk kegiatan, dan kapanpun. Pentingnya pendidikan bukan hanya pada masa kanak-kanak saja.
41
Prinsip sosialitas mengimplikasi bahwa pendidik mempunyai kemungkinan untuk dapat mempengaruhi peserta didik. tetapi, humanisasi bukanlan pembentukkan peserta didik atas dasar kehendak sepihak dari pendidik. Alasanya, karena peserta didik hakikatnya adalah subjek yang otonom. Sekuat apapun upaya yang dilakukan pendidik, apabila dilakukan dengan melanggar prinsio individualitas dari peserta didik, maka upaya itu tidak akan berhasil. Implikasinya peranan pendidik bukanlah membentuk peserta didik, melainkan membantu atau memfasilitasi peserta didik untuk mewujudkan dirinya dengan mengacu kepada semboyan ingarso sung tulodo (memberikan teladan), ing madya mangun karso (membangkitkan semangat), dan tut wuri handayani (membimbing).
42
Sifat pendidik yang normatif dan dimensi moralitas mengimplikasikan bahwa pendidikan hanyalah bagi manusia, tidak ada pendidikan bagi hewan. Karena manusia memiliki potensi untuk mampu berbuat baik, dan dibekali kata hati. Sementara hewan, tidak memiliki kemampuan untuk membedakkan baik/tidak baiknay suatu perbuatan, tingkah laku hewan tidak dapat dinilai baik ataupun jahat. Sebab itu, istilah dan makna pendidikan tidak berlaku untuk hewa.
43
Tujuan dan fungsi pendidikan, pendidikan diupayakan berawal dari manusia apa adanya (aktualitas) dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada padanya (potensialitas), dan diarahkan menuju terwujudnya manusia yang seharusnya/ dicita-citakan. Sosok manusia yang dicita-citakan atau yang menjadi tujuan pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; dll. Pendidikan harus berfungsi untuk mewujudkan (mengembangkan) berbagai potensi yang ada pada manusia dalam konteks dimensi keberagamaan, moralitas, individualitas, sosialitas, dan keberbudayaan secara menyeluruh dan terintegrasi.
44
Terimakasih ya
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.