Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Percepatan Eliminasi Tuberkulosis

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Percepatan Eliminasi Tuberkulosis"— Transcript presentasi:

1 Pengantar Diskusi Binwil Unit Utama Kemenkes dengan Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota

2 Percepatan Eliminasi Tuberkulosis

3 Missing Cases

4 Lebih dari Separuh Pasien TBC yang Ditangani Tidak Terlaporkan
Insidens TBC (WHO, 2017) kasus TBC sudah diobati di fasilitas layanan kesehatan (Hasil Sementara Inventory study 2017) Penemuan dan pelacakan kontak Skrining di tempat khusus Pelacakan pasien mangkir Pengendalian faktor risiko Promosi kesehatan Belum Terjangkau dan Belum Terdeteksi kasus TBC belum terjangkau dan terdeteksi (unreacheable and undetected) : 28,4% Belum Terlaporkan Penerapan PPM berbasis kab/kota Wajib Lapor dan Penguatan surveilans Manajemen Layanan TB yang terintegrasi (HIV, DM, gizi, rokok, penyakit paru, dll) Sinkronisasi dengan BPJS (data dan sistem rujuk balik) 64,6% belum dilaporkan kasus TBC sudah diobati namun belum dilaporkan (Under reported) : 36,2% 35,4% sudah dilaporkan di SITT kasus TBC sudah dilaporkan ke SITT (35,4%). Dari jumlah tsb, adalah TBC RO (penemuan 44%) Hasil sementara inventory study menunjukkan bahwa dari 1,020,000 kasus TBC, 730,000 kasus TBC sudah diobati di fasyankes, namun hanya 360,565 yang sudah dilaporkan ke SITT. Berarti ada 369,435 kasus yang belum terlaporkan (under reported) dan 290,000 kasus yang belum terjangkau dan terdeteksi (unreacheable dan undetected). Penemuan kasus seharusnya 71,6%, tetapi baru 35,4% yang terlaporkan (36,2% under reporting). Dari kasus yang dilaporkan , diperkirakan ada adalah kasus TBC Resistan Obat dan baru 4848 kasus yang terlaporkan. Berdasarkan hasil inventory tersebut upaya yang akan dilakukan adalah : Untuk kasus yang tidak terjangkau dan tidak terdeteksi Terintegrasi PIS-PK Penemuan dan pelacakan kontak Skrining di tempat khusus Pelacakan pasien mangkir Pengendalian faktor risiko Promosi kesehatan Untuk yang belum terlaporkan (under reporting) Penerapan PPM berbasis kab/kota Wajib lapor dan penguatan surveilans Penguatan surveilans. Manajemen Layanan TBC yang terintegrasi (HIV, DM, gizi, rokok, penyakit paru, dll) Sistem rujuk balik Sinkronisasi dengan BPJS (data sdan sistem rujuk balik) Penggerakan Koalisi Profesi

5 Peta Case Detection Rate TBC per Provinsi Tahun 2017
Hanya dua provinsi yang memiliki CDR lebih dari 70% (DKI Jakarta dan Sulawesi Utara)

6 Peta Case Detection Rate TBC per Kabupaten/Kota Tahun 2017
Dari 514 kabupaten/kota didapatkan bahwa: Ada 336 Kab/Kota memiliki CDR <40% Ada 128 Kab/Kota memiliki CDR >=40 sampai <70% Ada 18 Kab/Kota memiliki CDR >=70% sampai <90% Ada 28 Kab/Kota memiliki CDR >=90% Berdasarkan peta cakupan penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR), dibagi menjadi 4 kategori capaian : 1. Warna merah  Kab/Kota memiliki CDR <40% terdapat 336 kab/kota 2. Warna kuning  Kab/Kota memiliki CDR >=40 sampai <70 % terdapat 128 kab/kota 3. Warna hijau  Kab/Kota memiliki CDR >=70% sampai <90% terdapat 18 kab/kota 4. Warna biru  Kab/Kota memiliki CDR >=90% terdapat 28 kab/kota Target Capaian cakupan penemuan kasus TB tahun 2017 adalah 40%, akan tetapi untuk menurunkan angka insidensi TB secara epidemiologis diperlukan cakupan penemuan kasus minimal 70%, dan diharapkan setiap tahun peningkatan cakupan meningkat guna mencapai eliminasi TB tahun 2030.

7 Compliance : Kepatuhan Minum Obat

8 Peta Success Rate TBC per Kabupaten/Kota Tahun 2017
Dari 514 kabupaten/kota didapatkan bahwa: Ada 164 Kab/Kota memiliki SR <85% Ada 103 Kab/Kota memiliki SR >=85% sampai <90% Ada 247 Kab/Kota memiliki SR>=90% Compliance dalam program penanggulangan TB dilihat dari capaian angka keberhasilan pengobatan. Berdasarkan data yang masuk ke dalam Sistem Informasi TB Terpadu didapatkan hasil bahwa: Dari 514 Kab/Kota, Ada 164 Kab/Kota memiliki SR <85% Ada 103 Kab/Kota memiliki SR >=85% sampai <90% Ada 247 Kab/Kota memiliki SR>=90% Untuk menurunkan insidens dan memutuskan rantai penularan TBC maka diperlukan angka keberhasilan pengobatan yang tinggi yaitu minimal 90%, sehingga eliminasi dapat tercapai.

9 Penanggulangan MDR TBC

10 Penemuan Kasus MDR TBC Tahun 2009 – 2017
Walaupun penemuan kasus TBC MDR meningkat tiap tahunnya tetapi masih rendah dibandingkan dengan jumlah kasus yang diperkirakan 37% pasien belum memulai pengobatan: Under reporting Meninggal Menolak diobati Pelayanan MDR TBC di 360 RS dan Balkes Penerapan pengobatan MDR TBC jangka pendek (9 bulan) dan penggunaan obat baru Desentralisasi layanan sampai ke tingkat puskesmas Dukungan psikososial (pendampingan pasien dan pemeberian enabler) Penanganan efek samping melalui rujukan berjenjang Tahun 2017 15 % dari estimasi insiden TBC RR/MDR (4848 dari 32,000 kasus) 44 % dari estimasi kasus TBC RR/MDR dari yang semua kasus TBC yang dilaporkan (4848 dari 11,000 kasus) Walaupun penemuan kasus TB MDR meningkat tiap tahunnya tetapi masih rendah dibandingkan dengan jumlah kasus yang diperkirakan Tahun 2017 15 % dari estimasi insiden TB RR/MDR (4848 dari 32,000 kasus) 44 % dari estimasi kasus TB RR/MDR dari yang semua kasus TB yang dilaporkan (4848 dari 11,000 kasus) Dari 4848 yang memulai pengobatan 3043 atau 63% yang enrollment. 37% pasien belum memulai pengobatan: Under reporting Meninggal Menolak diobati TBC : TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resistan Obat (RO) TBC RO terdiri dari TBC: (1) Monoresistance, (2) Polyresistance, (3) Multi Drug Resistance (MDR), (4) Extensively Drug Resistance (XDR), (5) TB Resistan Rifampisin (TB RR) Insiden TBC: kasus per tahun ( diantaranya TBC RO) Tahun 2017 dari 11,000 kasus TBC RO : Yang ditemukan kasus Yang diobati kasus Yang belum ditemukan 6152 kasus Layanan Pengobatan TBC RO ada 105 Rumah Sakit/ Balkesmas di 33 Provinsi Pengobatan TBC RO jangka pendek 9-11 bulan Pengobatan TBC RO individual 24 – 30 bulan Langkah penanggulangan TBC RO : Semua Kasus TBC SO diobati sesuai standar sampai sembuh Semua kasus TBC RO ditemukan dan diobati sampai sembuh Penerapan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) secara komprehensif dan bermutu di fasyankaes Peningkatan cakupan, kapasitas dan kualitas layanan TBC RO

11 Pencegahan dan intervensi stunting

12 Pencegahan dan intervensi stunting
Pokok Bahasan Diskusi Kelompok Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Stunting Intervensi spesifik Gizi, Kesga, Kesling dan Promkes Intervensi sensitif Proses Diskusi: 1. Peserta diskusi mengidentifikasi penyebab masalah stunting di daerah masing-masing 2. Identifikasi kegiatan spesifik penanggulangan stunting puskesmas, kabupaten/kota dan Provinsi melalui entri point PIS-PK 3. Integrasi Kegiatan Sensitif Gizi Lintas Sektor melalui entri point Germas Hidup Sehat.

13 PETA PREVALENSI STUNTING (TB/U) BALITA USIA 0-59 BULAN, PER PROVINSI
(PEMANTAUAN STATUS GIZI 2017) KEP. BABEL (7 Kab/Kota) R (0); M (6) T (1); ST (0) KALSEL (13 Kab/Kota) R (1); M (2) T (7); ST (3) KALTIM (10 Kab/Kota) R (0); M (1) T (9); ST (0) GORONTALO (6 Kab/Kota) R (0); M (2) T (4); ST (0) KEP. RIAU (7 Kab/Kota) R (3); M (3) T (1); ST (0) KALTENG (14 Kab/Kota) R (0); M (1) T (8); ST (5) SUMATERA UTARA (33 Kab/Kota) R (1); M (14) T (13); ST (5) SULBAR(6 Kab/Kota) R (0); M (0) T (4); ST (2) KALTARA (5 Kab/Kota) R (0); M (1) T (3); ST (1) KALBAR (14 Kab/Kota) R (0); M (1) T (9); ST (4) SULUT 15( Kab/Kota) R (1); M (6) T (7); ST (1) ACEH (23 Kab/Kota) R (0); M (5) T (14) ; ST (4) RIAU (12 Kab/Kota) R (0); M (7) T (5); ST (0) SULTENG (13 Kab/Kota) R (0); M (0) T (12); ST (1) MALUKU UTARA (10 Kab/Kota) R (3); M (5) T (2); ST (0) SUMBAR (19 Kab/Kota) R (0); M (10) T (8) ; ST (1) PAPUA BARAT (13 Kab/Kota) R (0); M (3) T (9); ST 1() JAMBI (11 Kab/Kota) R (1); M (8) T (2); ST (0) JATENG (35 Kab/Kota) R (0); M (21) T (14); ST (0) PAPUA (29 Kab/Kota) R (1); M (9) T (14); ST (5) SUMSEL (17 Kab/Kota) R (5); M (10) T (2); ST (0) SULSEL (24 Kab/Kota) R (0); M (2) T (15); ST (7) SULTRA (1 Kab/Kota) R (0); M (3) T (9); ST (5) BENGKULU (10 Kab/Kota) R (0); M (5) T (5); ST (0) MALUKU 11( Kab/Kota) R (0); M (3) T (7); ST (1) NTT (22 Kab/Kota) R (0); M (3) T (8); ST (11) LAMPUNG (15 Kab/Kota) R (0); M (6) T (9); ST (0) Masalah kesehatan masyarakat (WHO 2010) terbagi menjadi: Rendah (R), prev <20% Medium (M), prev berada diantara 20-29% Tinggi (T), prev berada diantara 30-39% Sangat Tinggi (ST), prev ≥40% Peta prevalensi stunting (TB/U) Balita usia 0-59 bulan di 34 Provinsi, terbagi dalam 4 katagori menurut WHO yaitu: Rendah (R), prev <20% Medium (M), prev berada diantara 20-29% Tinggi (T), prev berada diantara 30-39% Sangat Tinggi (ST), prev ≥40% Dari keempat katagori diatas yang menjadi perhatian adalah katagori tinggi dan sangat tinggi yang berarti perlu intervensi spesifik dan sensitif secara total coverage (perlindungan total) BANTEN (8 Kab/Kota) R (0); M (4) T (4); ST (0) DKI JAKARTA (6 Kab/Kota) R (1); M (5) T (0); ST (0) JABAR(27 Kab/Kota) R (2); M (16) T (8); ST (1) DIY (5 Kab/Kota) R (1); M (4) T (0); ST (0) JATIM (38 Kab/Kota) R (6); M (21) T (9); ST (2) BALI ( 9Kab/Kota) R (4); M (5) T (0); ST (0) NTB (10 Kab/Kota) R (0); M (0) T (9); ST (1)

14 1. Praktek pengasuhan yang tidak baik
Stunting disebabkan oleh Faktor Multi Dimensi Intervensi paling menentukan pada Hari Pertama Kehidupan (HPK) 1. Praktek pengasuhan yang tidak baik Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima MP-ASI Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care, Post Natal dan pembelajaran dini yang berkualitas 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD* 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi Kurangnya akses ke makanan begizi** 1 dari 3 ibu hamil anemia Makanan bergizi mahal *PAUD = Pendidikan Anak Usia Dini **Komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal dari di Singapura. Sumber: RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS berbagai tahun 4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi 1 dari 5 rumah tangga masih BAB diruang terbuka 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih STUNTING disebabkan oleh faktor multidimensi dan membutuhkan intervensi yang paling menentukan pada 1000 HPK antara lain: 1. Praktek pengasuhan yang tidak baik Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima MP-ASI Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care, Post Natal dan pembelajaran dini yang berkualitas 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD* 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi Kurangnya akses ke makanan begizi** 1 dari 3 ibu hamil anemia Makanan bergizi mahal 4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi 1 dari 5 rumah tangga masih BAB diruang terbuka 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih Sumber: Kemenkes dan Bank Dunia (2017)

15 KERANGKA RENCANA AKSI DAERAH PENANGGULANGAN STUNTING
Kelas Ibu Hamil Penyelenggaraan PAUD Kelas Parenting Pelatihan Guru dan Tenaga Kependidikan Bina Keluarga Baduta Bina Keluarga Remaja KIE Gizi Kementan, BPOM, Kemen KKP Pemanfaatan pekarangan/ KRPL Desa Mandiri Pangan • Optimalisasi Reproduksi Hewan • Desa Pangan Aman • Pemasaran Hasil Kelautan & Perikanan KEMENKES, Kemendikbud, BKKBN, Kemen PPPA, Kemendes RENCANA AKSI DAERAH MULTI SEKTOR PENANGGULANGAN STUNTING Pendidikan Kesehatan dan Gizi Penguatan Surveilans Kesehatan, Gizi, & Pangan Pelayanan kesehatan dasar, Pemberian Suplementasi Gizi Penyediaan Air bersih dan Sanitasi Peningkatan Akses Pangan 1 5 2 Sosialisasi, orientasi dan advokasi surveilans kesehatan, gizi, dan pangan Pemantauan pertumbuhan di Posyandu KEMENKES Kementan KEMENKES, Kemen PU PR Penyediaan sarana & prasarana STBM sanitarian kit, kit kesling, cetakan jamban) • Pembangunan SPAM di kawasan MBR • Pembangunan IPAL kawasan, IPLT, TPA/TPS, sarana SANIMAS, drainase Pemeriksaan Kehamilan, persalinan nakes Imunisasi dasar lengkap Tablet Tambah Darah bagi Ibu Hamil & Remaja Putri • Vitamin A bagi Ibu Nifas, Anak 6-11 bln, dan Anak bln • PMT bagi Balita Kurus & Bumil KEK • Pemberian Obat Cacing bagi Balita, obat diare (zink) 4 3 KEMENKES Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Stunting terdiri atas 5 Kegiatan yaitu: 1. Pendidikan Kesehatan dan Gizi melalui Kelas Ibu Hamil Penyelenggaraan PAUD Kelas Parenting Pelatihan Guru dan Tenaga Kependidikan Bina Keluarga Baduta Bina Keluarga Remaja KIE Gizi 2. Penguatan Surveilans Kesehatan, Gizi, & Pangan melalui : Sosialisasi, orientasi dan advokasi surveilans kesehatan, gizi, dan pangan Pemantauan pertumbuhan di Posyandu (termasuk Pemantauan Status Gizi) 3. Pelayanan kesehatan dasar, Pemberian Suplementasi Gizi Pemeriksaan Kehamilan, persalinan nakes Imunisasi dasar lengkapTablet Tambah Darah bagi Ibu Hamil & Remaja Putri • Vitamin A bagi Ibu Nifas, Anak bln, dan Anak bln • PMT bagi Balita Kurus & Bumil KEK • Pemberian Obat Cacing bagi Balita, obat diare (zink) 4. Penyediaan Air bersih dan Sanitasi Penyediaan sarana & prasarana STBM sanitarian kit, kit kesling, cetakan jamban) • Pembangunan SPAM di kawasan MBR • Pembangunan IPAL kawasan, IPLT, TPA/TPS, sarana SANIMAS, drainase 5. Peningkatan Akses Pangan Pemanfaatan pekarangan/ KRPL Desa Mandiri Pangan • Optimalisasi Reproduksi Hewan • Desa Pangan Aman • Pemasaran Hasil Kelautan & Perikanan

16 Mekanisme Diskusi Kelompok
Penyelamatan 1000 HPK Rencana Aksi Daerah Puskesmas Kab/Kota Provinsi ? Identifikasi Kegiatan Spesifik Gizi, Kesga, Kesling, Kesjaor, Promkes PILIHAN DAERAH: Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil: Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat. Mengatasi kekurangan iodium. Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil. Melindungi ibu hamil dari Malaria. IIbu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan: Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI jolong/colostrum). Mendorong pemberian ASI Eksklusif. Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan: Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI. Menyediakan obat cacing. Menyediakan suplementasi zink. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan. Memberikan perlindungan terhadap malaria. Memberikan imunisasi lengkap. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare. Identifikasi Faktor Penyebab GIZI: Pemantauan Pertumbuhan PMBA (IMD, ASI E, MP-ASI) TTD Bumil PMT Bumil dan balita Pemberian Kapsul Vit.A Promosi garam beriodum KESGA: ANC (K4) Pel. Neonatal (KN1) Kelas Ibu Hamil KESLING: STBM Jamban Sehat KESJAOR: GP2SP PROMKES: PHBS Germas PPM ? Masalah Stunting ? Kegiatan Pra 1000 HPK Remaja : TTD Rematri, Konseling kesehatan Pranikah, Program Gizi Anak Sekolah (Progras), Transformasi UKS GERMAS HIDUP SEHAT Konsumsi sayur, buah dan ikan Sanitasi dan Air Bersih PMT balita & Bumil Berbasis pangan Lokal Pendampingan Posyandu ---- Diskusi kelompok dimulai dari membahas masalah stunting di daerah Binwil masing-masing sesuai peta prevalensi stunting, yang dilanjutkan identifikasi faktor penyebab stunting sesuai karakteristik daerah masing-masing. Setelah identifikasi faktor penyebab, selanjutnya dibahas intervensi spesifik dan sensitif yang akan dituangkan dalam bentuk Rencana Aksi Daerah di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas. Kabupaten/Kota yang memiliki prevalensi stunting katagori tinggi dan sangat tinggi diminta untuk melaksanakan semua kegiatan yang tercantum dalam intervensi spesifik dan sensitif dengan menyesuaikan dengan sumber daya yang ada di daerah, sehingga akan berdampak pada penurunan stunting. Untuk kabupaten/Kota yang memiliki prevalensi stunting sedang dan rendah tetap mempertahankan upaya yang telah dilakukan dalam intervensi stunting serta melakukan inovasi kegiatan lain dalam rangka penanggulangan stunting.

17 PENCEGAHAN DAN PENANGANAN STUNTING
INTERVENSI SPESIFIK INTERVENSI SENSITIF I. Intervensi Ibu Hamil: Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat. Mengatasi kekurangan iodium. Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil. Melindungi ibu hamil dari Malaria. II. Intervensi Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan: Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI jolong/colostrum). Mendorong pemberian ASI Eksklusif. III. Intervensi Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan: Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI. Menyediakan obat cacing. Menyediakan suplementasi zink. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan. Memberikan perlindungan terhadap malaria. Memberikan imunisasi lengkap. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB). Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal). Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada Remaja. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi. Berdasarkan bukti ilmiah, penanganan stunting terdiri dari 2 intervensi yaitu intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik merupakan intervensi yang dilakukan oleh sektor kesehatan, sedangkan intervensi sensitif adalah intervensi yang dilakukan oleh lintas sektor. Kegiatan pencegahan stunting dilakukan sejak remaja puteri dan ibu hamil, sedangkan kegiatan intervensi dilakukan sejak bayi dilahirkan sampai berusia 24 bulan khususnya bayi dengan panjang lahir < 48 cm dan berat badan kurang dari 2500 gram (BBLR).

18 PENINGKATAN CAKUPAN DAN MUTU IMUNISASI

19 LATAR BELAKANG

20 EVALUASI CAPAIAN INDIKATOR PROGRAM IMUNISASI
TAHUN No Indikator 2015 2016 2017 2018 2019 Target # % 1 % Kab/Kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap (RPJMN) 75 66 88 80 80,4 100,5 85 85,4 90 95 2 % anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap (Renstra) 91 86,9 95,5 91,5 91,6 100,1 92 92,04 100 92,5 93 3 % anak usia bulan mendapat imunisasiDPT-HB-Hib lanjutan (Renstra) 35 37,1 106 40 51 127,5 45 56,6 125,5 55 70 Seperti yang tertuang di dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan, imunisasi memiliki 3 indikator dalam mengevaluasi kinerja program. Ke 3 indikator tersebut adalah: % Kab/Kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap ….tertuang di dalam RPJMN % anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap …tertuang di dalam Renstra % anak usia bulan mendapat imunisasiDPT-HB-Hib lanjutan …tertuang di dalam Renstra Pada tahun 2015 hanya indikator % anak usia bulan mendapat imunisasiDPT-HB-Hib lanjutan yang dapat mencapai target, sedangkan kedua indikator lainnya tidak dapat mencapai target. Di tahun 2016 sampai 2017, semua indikator dapat mencapai target. Hal ini menunjukkan secara nasional program imunisasi sudah cukup baik pencapaiannya. Namun untuk meyakinkan apakah suatu daerah berisiko atau tidak terhadap terjadinya kasus PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi), maka kita harus mengetahui capaian imunisasi di level yang lebih rendah yaitu kab/kota, kecamatan bahkan desa.

21 Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) vs Kejadian KLB PD3I
Indonesia, 2015 Nasional 86,5% 2016 Nasional 91,6% 2017 Nasional 92% <80% 80% - <91% ≥91% 1 KLB PD3I Keterangan: Tidak Lapor Kelengkapan dan Ketepatan Laporan? Walaupun secara nasional kita sudah dapat mencapai cakupan yang cukup tingggi, jika kita breakdown cakupan imunisasi per kabupaten/kota, maka kita akan menemukan bahwa terdapat disparitas cakupan imunisasi yang cukup signifikan antar. Jika dicermati maka daerah dengan cakupan yang rendah terjadi di daerah yang sama dari tahun ke tahun, namun yang lebih disayangkan ada juga daerah yang cakupannya menurun dari tahun sebelumnya , sehingga semua ini berisiko tinggi untuk terjadi KLB PD3I. Namun ternyata bukan hanya cakupan imunisasi saja yang mempengaruhi ada tidaknya kasus/KLB PD3I. Kita lihat pada peta ini, ada daerah yang cakupan imunisasinya cukup baik setiap tahun, tetapi juga tetap memiliki kasus/KLB PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas imunisasi di daerah tersebut harus dianalisa lebih lanjut, baik kualitas laporan (apakah cakupan imunisasi yang dilaporkan tersebut sudah cukup valid) maupun kualitas layanan imunisasinya, apakah vaksin masih poten ketika diberikan, bagaimana tempat penyimpanan dan cara pendistribusian vaksin, dsb….yang semua hal ini tentu sangat tergantung pada kompetensi petugas di lapangan. Atau mungkin faktor tingkat kepadatan penduduk yang mempengaruhi hal ini. Selain itu, ada juga daerah yang cakupan imunisasinya rendah dari tahun ke tahun, namun tidak ada atau sedikit sekali dijumpai kasus/ KLB PD3I. Pada keadaan ini kita harus mengetahui kinerja dari surveilans PD3I di daerah tersebut yang diukur dengan kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans. Kepadatan Penduduk?

22 Kerangka Konsep PEMETAAN DAERAH Risiko Tinggi Risiko Sedang
1. Cakupan Imunisasi (IDL, Campak Baduta, BIAS Td Kelas II) 2. Surveilans PD3I (KLB PD3I, Kelengkapan dan Ketepatan Laporan) 3. Kepadatan penduduk Risiko Tinggi Risiko Sedang Risiko Rendah RAD MONEV Berdasarkan hal-hal tersebut, maka disusunlah kerangka konsep untuk dapat meningkatkan cakupan dan mutu imunisasi, yaitu: Pertama dengan menentukan kriteria suatu daerah berdasarkan tingkat risikonya (tinggi=merah, sedang=kuning ataupun rendah=merah) melalui pemetaan daerah berdasarkan variabel cakupan imunisasi (dasar, baduta dan anak sekolah), surveilans PD3I (kasus/KLB PD3I dan ketepatan kelengkapan laporan surveilans) dan kepadatan penduduk. Selanjutnya, masing-masing daerah akan menyusun kegiatan-kegiatan kunci imunisasi dan surveilans yang diharapkan dapat menurunkan tingkat risiko daerah mereka. Seluruh rangkaian kegiatan ini akan tertuang di dalam Rencana Aksi Daerah (RAD). Untuk mengetahui apakah kegiatan-kegiatan kunci ini dilaksakan di lapangan sesuai dengan standar atau rencana yang ditetapkan, maka disusunlah tools monitoring evaluasi (monev) yang spesifik untuk setiap daerah berdasarkan kriteria.

23 Tools Pemetaan Daerah Berisiko
Rencana Aksi Daerah Kerangka konsep ini kemudian dituangkan dalan sebuah tools Rencana Aksi Daerah sebagaimana kita lihat pada slide berikut ini. Untuk dapat memetakan suatu daerah kita klik pada Pemetaan Risiko wilayah, pada bagian tools. Nah pada tools ini setiap kab/kota diminta untuk memasukkan datanya masing-masing (lebih baik jika ada data perpuskesmas), namun jika tidak ada maka cukup memasukkan data kab/kota. Data yang dimasukkan hanya data yang dilatarbelakangi putih saja, yaitu data jumlah pemduduk, luas wilayah, cakupan IDL, cakupan campak Baduta, Cakupan BIAS Td anak kelas 2 SD, kasus KLB PD3I, kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans. Masing-masing data diisi untuk tahun 2015 – Untuk bagian yang berlatar belakang abu-abu (skor) jangan diisi, karena akan terisi secara otomatis. Sesudah data terisi penuh, maka setiap Kab/ Kota akan teridentifikasi secara otomatis masuk kedalam daerah risiko tinggi (merah) atau risiko sedang (kuning) atau risiko rendah (hijau) Sesudah tau tingkat risiko masing-masing, maka setiap kab/kota diminta untuk menyusun Rencana aksi daerah (RAD) dengan memilih kegiatan kunci yang akan dilakukan setiap daerah sesuai dengan kriterianya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengklik di tulisan risiko (pilih sesuai dengan tingkat risiko setiap Kab/Kota) yang ada di sebelah kanan atas tools. Menu kegiatan ini adalah pilihan dan sudah dibuat untuk setiap level (Puskesmas, Kab/Kota, Provinsi dan Pusat). Menu ini dapat dipilih sesuai dengan analisa situasi di Kab/Kota masing-masing. Menu kegiatan di puskesmas juga dipilih sesuai dengan pemetaan setiap puskesmas di masing-masing Kab/Kota (hal ini dapat di tindaklanjuti sekembalinya ke daerah dengan meminta data dari setiap puskesmas). Untuk setiap kegiatan yang dipilih ada langkah-langkah yang harus diikuti. Langkah-langkah ini dapat dicopy dengan mengklik tulisan Langkah-langkah kegiatan imunisasi pada bagian kiri bawah tools untuk setiap kegiatan imunisasi dan mengklik tulisan Langkah-langkah kegiatan surveilans pada bagian kanan bawah tools untuk setiap kegiatan surveilans. Sesudah menyusun RAD, setiap kab/kota diminta membuat tools monev yang disesuaikan dengan menu kegiatan di dalam RAD. Hal ini dapat dilakukan dengan mengklik tools monev sesuai tingkat risiko setiap Kab/Kota yang ada pada bagian tengah tools ini. Tools monev dibuat untuk setiap tingkat pelaksana pemantauan (Kab/kota, Provinsi dan Pusat).


Download ppt "Percepatan Eliminasi Tuberkulosis"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google