Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehLiana Sucianty Budiaman Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Pengertian Filsafat Secara etimologis, 'filsafat' berasal dari bahasa Yunani phile yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dr.I.R.J Gred dalam bukunya Elementa Philosophiae merumuskan filsafat sebagai "Ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip‑prinsip yang diketahui dengan kekuatan budi kodrati dengan mencari sebab musababnya yang terdalam". Objek material filsafat adalah seluruh realitas, sedangkan objek material ilmu pengetahuan lainnya senantiasa khusus dan terbatas. Ilmu‑ilmu pengetahuan lainnya senantiasa menyelidiki bagaimana struktur objeknya, sedangkan filsafat selalu mencari sebab‑sebabnya yang terdalam, mencari hakikat realita. Jadi apabila kita berfilsafat kita selalu berusaha untuk berpikir mendasar dan mendalam, berpikir radikal, dengan mencari akar yang terdalam bukan berdasarkan agama, sebab agama berdasarkan wahyu Ilahi, melainkan dengan menggunakan kekuatan budi kodrati manusia sendiri (Gunawan Setiardjo, 1999:4). Kita perlu berpikir berdasarkan filsafat agar kita menemukan jawaban atas suatu pertanyaan secara mendasar dan menyadari bahwa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang derajatnya lebih tinggi daripada makhluk yang lainnya, kita memiliki anugerah daya cipta dan budi kodrati.
2
Mengapa Pancasila disebut Filsafat ?
Pancasila memenuhi ciri‑ciri sebagai filsafat. Di bawah ini adalah beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Pancasila adalah suatu filsafat. Pendapat Moh. Yamin. Dalam bukunya Naskah Persiapan Undang‑Undang Dasar 1945, Moh.Yamin (1962) menyebutkan: "Ajaran Pancasila tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Hakikat filsafat Friedrich Hegel (1770 ‑ 1831) ialah sintesis pikiran lahir dari antitesis pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah perpaduan pendapat yang harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula dengan ajaran Pancasila, satu sintesis negara yang lahir dari satu antitesis. Dan kemerdekaan itu kita susun menurut ajaran filsafat Pancasila yang disebutkan dengan terang dalam mukadimah konstitusi 1945 itu yang berbunyi : “Maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk republik kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila, di sini disebutkan sila yang kelima untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dunia, dan kemerdekaan”. Kalimat ini adalah kalimat sintesis. Tidakkah ini jelas dan nyata menyebutkan satu sintesis pikiran atas antitesis pendapat. Jadi, sejajar dengan tinjauan pikiran Hegel beralasanlah pendapat bahwa ajaran Pancasila itu adalah suatu sistem filsafat, sesuai dengan Neo Hegelian. Kelima sila itu tersusun dalam suatu perumusan pikiran‑pikiran filsafat yang harmonis. Pancasila sebagai hasil penggalian Bung Karno ini sesuai pula dengan pandangan hidup Neo Hegelian."
3
Pendapat Soediman Kartahadiprojo
Dalam bukunya yang berjudul Pikiran Sekitar Pancasila (1969), Soediman Kartahadiprojo mengemukakan : "Pancasila disajikan sebagai pidato untuk memenuhi permintaan memberikan dasar filsafat negara, maka disajikannya Pancasila sebagai filsafat adalah seperti halnya buah-buahan diberikan lalu dimakan dengan keyakinan bahwa dengan buah‑buahan itu, sesuatu penyakit dapat diberantas, jadi sebagai obat. Buah‑buahan tadi adalah obat pula”. Pada saat itu, maka Pancasila itu merupakan filsafat negara (staws filosofi). Karena itu dapatlah dimengerti kalau filsafat Pancasila ini dibawakan sebagai hal‑hal yang berkenaan dengan manusia, sebab negara itu adalah manusia, organisasi manusia. Banyak orang mengira. bahwa Pancasila ini adalah ciptaan Ir. Sukarno, tetapi ternyata Ir. Sukarno menolak disebut sebagai pencipta Pancasila, dan mengatakan bahwa Pancasila itu adalah isi jiwa bangsa Indonesia. Kalau filsafat itu adalah “isi jiwa (suatu) bangsa”, maka filsafat itu adalah filsafat bangsa tadi. Jadi Pancasila itu adalah filsafat bangsa Indonesia.
4
Pendapat Dr. Jarkoro Di dalam seminar Pancasila, Dr. Jarkoro (1957) berpendapat antara lain : Filsafat ada dalam lingkungan ilmu pengetahuan. Banyak pula bagian‑bagian dari filsafat (misalnya sejarah filsafat, teori‑teori tentang pengertian, alam dan sebagainya) yang tidak langsung berdekatan dengan sikap hidup. Sebagai dalil‑dalil, filsafat Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut : “Aku manusia mengakui bahwa adanya aku itu merupakan ada bersama dengan cinta kasih. Jadi adanya aku harus aku jalankan sebagai cinta kasih pula. Cinta kasih dalam kesatuanku dengan sesama manusia, jika dipandang pada umumnya disebut Perikemanusiaan. Perikemanusiaan itu harus kujalankan dalam bersama‑sama menciptakan, memiliki syarat‑syarat, alat‑alat dan perlengkapan hidup. Penjelasan perikemanusiaan dalam sektor ini disebut Keadilan Sosial. Perikemanusiaan harus kulaksanakan juga dalam bermasyarakat. Aku manusia niscaya bermasyarakat. Bermasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya. Agar supaya kesatuan karya itu betul‑betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Cara melaksanakan perikemanusiaan dalam sektor ini (ialah pembentukan karya) kita sebut Demokrasi. Cara ini harus dijalankan baik dalam masyarakat kecil (koperasi dan sebagainya) maupun dalam masyarakat besar. Demikianlah Pancasila sebagai dalil‑dalil filsafat. Dengan hanya mengakui orang masih tinggal dalam lingkungan filsafat. Pancasila baru menjadi pendirian atau sikap hidup, jika orang berkata, 'Hidupku akan merupakan pelaksanaan dari semua itu. Itulah kehendakku, itulah putusanku, itulah tekatku”.
5
Pendapat Notonagoro Dalam lokakarya pengalaman Pancasila di Yogyakarta, Notonagoro (1976) antara lain mengatakan : "Dinyatakan dalam kalimat keempat pada Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945:'Bahwa disusunlah kemerdekaaan kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kata‑kata dengan “berdasar kepada” tersebut menentukan kedudukan Pancasila dalam negara, dalam pengertian “dasar filsafat”. Dari pembicaraan oleh Badan Penyelidik Usaha‑Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan dapat disimpulkan bahwa dasar itu dimaksudkan sebagai “dasar filsafat”. Sifat filsafat dasar negara ini terwujudkan dalam rumus abstrak dari kelima sila dari Pancasila yang katakata intinya ialah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan (kesatuannya dalam dinamikanya), kerakyatan dan keadilan, terdiri atas kata‑kata pokok dengan awalan akbiran ke‑an dan per‑an. Dasar filsafat, asas kerohanian Negara Pancasila adalah citacita yang harus dijelmakan dalam kehidupan negara. Maka dasar filsafat ialah ratio dari kehidupan negara dan bangsa kita, dan asas kerohanian, sedangkan makna pengertian 'ideologi' negara adalah pertama, cita‑cita negara atau sistem kenegaraan; kedua, ilmu pengetahuan tentang cita‑cita negara."
6
Pendapat Roeslan Abdoelgani
Didalam bukunya, Resepkan dan Amalkan Pancasila, Roeslan Abdoelgani (1962) antara lain mengatakan : "Jika kita hendak menyimpulkan segala uraian di atas, maka kesimpulan itu adalah sebagai berikut : Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai collection ideologies dari seluruh bangsa Indonesia. Filsafat Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu realiteit dan suatu noodzakelijkheid bagi keutuhan persatuan Bangsa Indonesia sebagaimana pada hakikatnya setiap filsafat adalah suatu noodzakelijkheid pula. Di dalam kaiiannya dari dalam, ia masih mengandung ruang yang luas untuk berkembangnya penegasan‑penegasan lebih lanjut. Di dalam fungsinya sebagai fondasi negara, ia telah bertahan terhadap segala ujian baik yang datang dari kekuatankekuatan kontra revolusioner maupun kekuatan‑kekuatan ekstrem. Di dalam Pancasila tercapailah keseimbangan nilai rohaniah dan jasmaniah manusia Indonesia."
7
Dari pendapat‑pendapat di atas, meskipun dinyatakan dalam bentuk yang berbeda‑beda, tetapi tidak ada pertentangan antara yang satu dan yang lain. Sernua pendapat mengakui bahwa Pancasila adalah suatu filsafat. Moh. Yamin menegaskan bahwa Pancasila tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Ajaran Pancasila adalah suatu sistem filsafat sesuai dengan dialektik Neo Helegian. Soedirman Kartohadiprodjo menegaskan Pancasila sebagai filsafat Bangsa Indonesia berdasarkan atas ucapan Bung Karno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia. Drijarkoro membedakan antara filsafat dan Weltanschauung. Diterangkan pula tentang Pancasila sebagai dalil‑dalil filsafat dengan hanya mengakui orang masih tingal di dalam lingk‑ungan filsafat.
8
Notonagoro berpendapat bahwa kedudukan Pancasila dalam negara Indonesia adalah sebagai dasar negara, dalam pengertian sebagai dasar filsafat. Sifat kefilsafatan dasar negara tersebut diwujudkan dalam rumus abstrak kelima sila dari Pancasila. Roeslan Abdoelgani mengatakan bahwa Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai collectieve‑ideologies dari seluruh Bangsa Indonesia. Demikianlah pendapat beberapa ahli yang membenarkan Pancasila sebagai filsafat. Inti dari uraian tersebut adalah Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa dan tumbuh serta lahir dalam kehidupan sehari‑hari bangsa Indonesia (pengkajian yang mendalam dari dalam diri bangsa Indonesia).
9
Pengertian Sistem Pancasila adalah sebuah sistem karena sila‑sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah‑pisahkan. Esensi seluruh sila‑silanya juga merupakan suatu kesatuan. Pancasila berasal dari kepribadian Bangsa Indonesia dan unsur‑unsurnya telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sejak dahulu. Secara garis besar Pancasila adalah suatu realita yang keberadaan dan kebenarannya tidak dapat diragukan. Inti Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan harus menjadi pedoman dan tolak ukur bagi seluruh kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan Bangsa Indonesia. Pancasila adalah dasar negara, ideologi, kepribadian, jiwa, pandangan hidup Bangsa Indonesia.
10
Pengertian Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Filsafat negara kita ialah Pancasila, yang diakui dan diterima oleh Bangsa Indonesia sebagai pandangan hidup. Dengan demikian, Pancasila harus dijadikan pedoman dalam kelakuan dan pergaulan sehari‑hari. Sebagaimana telah dirumuskan oleh Presiden Soekarno, Pancasila pada hakikatnya telah hidup sejak dahulu dalam moral, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat Indonesia. "Dengan adanya kemerdekaan Indonesia, Pancasila bukanlah lahir, atau baru dijelmakan, tetapi sebenarnya Pancasila itu bangkit kembali". Sebagai pandangan hidup bangsa, maka sewajarnyalah asasasas Pancasila disampaikan kepada generasi baru melalui pengajaran dan pendidikan. Pancasila menunjukkan terjadinya proses ilmu pengetahuan, validitas dan hakikat ilmu pengetahuan (teori ilmu pengetahuan). Pancasila menjadi daya dinamis yang meresapi seluruh tindakan kita, dan kita harus merenungkan dan mencerna arti tiap‑tiap sila dengan berpedoman pada uraian tokoh‑tokoh nasional, agar kita tidak memiliki tafsiran yang bertentangan. Dengan Pancasila sebagai filsafat negara dan bangsa Indonesia, kita dapat mencapai tujuan bangsa dan negara kita.
11
Kesatuan Nilai‑nilai Pancasila sebagai Filsafat
Pancasila merupakan kesatuan, di mana sila Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai ruang lingkup seluruh Indonesia. Hendaknya Negara Indonesia adalah negara di mana warga negaranya dapat menjalankan ibadah agamanya secara leluasa. Namun segenap rakyat hendaknya menghilangkan "egoisme agama. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab tidak dapat dipisahkan dari sila‑sila yang lain, misalnya dengan sila ketiga. Agar mendapat gambaran yang jelas perhatikan ucapan Bung Karno (1945) berikut : "Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka ' tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa‑bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua, inilah filosofich principe yang nomor dua yang saya usulkan kepada tuan‑tuan yang boleh saya namakan "Internasionalisme". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain‑lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara‑saudara, prinsip I dan prinsip II, yang pertama‑tama saya usulkan kepada tuan‑tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain."
12
Dalam sila persatuan Indonesia, diakui dan disadari bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam‑macam suku yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan beraneka ragam. Perbedaan‑perbedaan yang ada bukanlah merupakan hambatan akan tetapi justru menjadi pendorong untuk bersatu. Sejarah menunjukkan bahwa waktu bangsa Indonesia bersatu mereka jaya, sebaliknya menderita karena perpecahan. Bung Kamo (1945) antara lain mengatakan : "Pendek kata bangsa Indonesia, Natie Indonesia bukanlab sekadar satu golongan orang yang hidup dengan "Iedesire d'etre ensemble" di atas daerah yang kecil, seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia adalah seluruh manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SVVT, tinggal di kesatuannya sernua pulau‑pulau Indonesia dari ujung utara Surnatera sampai ke Irian, seluruhnya."
13
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan secara eksplisit menyebut istilah kerakyatan, dan bukan demokrasi. Yang dimaksud "hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan" adalah musyawarah untuk mufakat. Kerakyatan tidak berarti sama dengan demokrasi liberal yang berprinsip pada musyawarah untuk mufakat tanpa diperkenankan melakukan pemungutan suara, sehingga dapat menimbulkan hak veto atau diktator minoritas. Musyawarah untuk mufakat adalah ciri khusus Indonesia. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menunjukkan tujuan bangsa Indonesia, yaitu mendapatkan keadilan sosial, artinya hidup dengan bahagia, tentram, dan sejahtera jasmani dan rohani. Selain harus menialankan kewajiban sebagaimana layaknya warga negara, mereka juga menerima hak untuk hidup bahagia, sejahtera, aman, dan tenteram. Dengan demikian berdasarkan azas‑azas dan kriteria filosofis serta beberapa pendapat tersebut di atas, sistem filsafat Pancasila memiliki kriteria dan sifat‑sifat universal dan memiliki ciri‑ciri khas nasional, sebagai berikut :
14
1) Sistematis, fundamental, universal, integral dan radikal mencari kebenaran yang hakiki.
2) Filsafat yang monotheis dan religius yang mempercayai adanya sumber kesemestaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. 3) Monodualisme dan monopluralisme atau integralistik yang mengutamakan ketuhanan, kesatuan dan kekeluargaan. 4) Satu kesatuan totalitas yang bulat dan utuh antar sila‑sila Pancasila. 5) Memiliki corak universal, terutama sila I dan sila II serta corak nasional Indonesia terutama sila III, IV, dan V. 6) Idealisme fungsional (dasar dan fungsi serta tujuan idiil sekaligus) 7) Harmoni idiil (asas selaras, serasi dan seimbang). 8) Memiliki ciri‑ciri dimensi idealitas, realitas dan fleksibilitas.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.