Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehMohalli Yusri Telah diubah "6 tahun yang lalu
1
Oleh : Wahyun Mawardi Disampaikan pada Seminar Nasional “Pembangunan Karakter Bangsa; Upaya memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Mamuju, 23 September 2012
2
Membangun Karakter melalui Pendidikan Beberapa waktu belakangan ini, muncul diskursus yang mendorong dikembangkannya pendidikan karakter di sekolah. Wacana pendidikan karakter kemudian menggelinding seolah menjadi “agama” baru dalam praktik pendidikan di Indonesia. Banyak kalangan yang yakin bahwa pendidikan karakter dapat menjadi solusi tepat bagi persoalan karakter bangsa. Melalui pendidikan karakter, sekolah diyakini mampu membangkitkan kembali karakter kebangsaan yang mulai memudar.
3
Membangun Karakter melalui Pendidikan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
4
Problematika Pendidikan Karakter Pembentukan karakter manusia Indonesia yang religius, cerdas, dan nasionalis, merupakan tujuan pendidikan yang ingin diraih dalam sistem pendidikan nasional. Secara teoritis, dengan bermodal tiga karakter ini seharusnya bangsa Indonesia telah mampu membangun kualitas kehidupan kebangsaan yang maju dan unggul. Namun, pada kenyataannya terdapat berbagai kelemahan karakter di tubuh bangsa Indonesia yang tidak sejalan dengan etos kemajuan dan keunggulan peradaban
5
Problematika Pendidikan Karakter Beberapa mental negatif yang banyak ditemukan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat antaranya sikap malas, meremehkan mutu, suka mencari jalan pintas, tidak percaya pada diri sendiri. Tidak berdisiplin murni, suka mengabaikan tanggung jawab, berjiwa feodal, suka pada hal-hal yang beraroma mistik, mudah meniru gaya hidup luar, gaya hidup mewah, dan lain-lain. Kendati kecenderungan mentalitas tersebut tidak bersifat menyeluruh, tetapi sudah mengarah pada karakter yang bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
6
Karakter yang muncul ke permukaan: 1. Religiusitas Formalis Religiusitas yang didapatkan dari praktik pendidikan hanya bersifat formalis belaka. Pada sebagian masyarakat, kehidupan beragama belum menggambarkan penghayatan dan penerapan nilai- nilai ajaran agama yang dianutnya. Keberagaman masyarakat masih pada persoalan simbol-simbol keagamaan dan belum pada substansi nilai-nilai ajaran agama.
7
Karakter yang muncul ke permukaan: Misalnya tidak adanya korelasi antara peningkatan pengetahuan dan praktik keagamaan dengan perbaikan sistem dan struktur sosial. Peningkatan jumlah rumah ibadah tidak menyebabkan naiknya kesejahteraan masyarakat. Tingginya kuantitas jamaah haji tidak diiringi dengan naiknya solidaritas sosial. Sebaliknya persolan-persoalan sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan anarkisme tetap marak di tengah naiknya angka kuantitatif keberagamaan masyarakat.
8
Karakter yang muncul ke permukaan: 2. Kualitas SDM Rendah PBB lewat lembaganya UNDP (United Nation Depelopmen Program) mengadakan survey terhadap 174 negara di dunia untuk mengetahui SDM, yang dijadikan ukuran yaitu; Pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Hasilnya bahwa negara-negara Asia Tenggara rendah sekali. angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas (87,9 persen), angka pendidikan tinggi (66 persen), dan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US $3.361. Indeks ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-110 dari 177 negara. Tentu saja ini indeks yang sangat rendah.
9
Karakter yang muncul ke permukaan: 3. Nasionalisme Simbolik Amin Rais (2008;2) pernah menyentil nasionalisme di Indonesia sebagai nasionalisme simbolik. Nasionalisme itu ditunjukkan hanya untuk memberikan kecintaan dan dukungan kepada aspek-aspek yang tidak substansial. Dalam konteks ini pendidikan hanya mampu melahirkan nasionalisme simbolik. Pendidikan tentang nasionalisme sebenarnya sangat mencukupi. Di masa lalu ada penataran P4, ada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang sebelumnya bernama Kewarganegaraan (PKN) yang sebelumnya bernama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).
10
Nasionalisme Simbolik.... Namun sayang, penyelenggaraan pendidikan nasionalisme ini terjebak pada pendekatan formalis sehingga tidak bisa membangun nasionalisme sejati. Sistem pendidikan dengan nasionalisme, tidak jarang digunakan untuk media indoktrinasi sebagai bentuk dukungan dan ketaatan terhadap penguasa, bukan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Kecintaan terhadap negara dipelintir oleh pendidikan sebagai kecintaan terhadap rezim yang berkuasa.
11
Nasionalisme Simbolik.... Realitas inilah yang ditampilkan oleh praktik pendidikan di era Orde Baru. Anehnya di zaman reformasi sekarang ini, aroma pemelintiran nasionalisme menjadi rezimisme tetap saja terasa. Di era Orde Baru nasionalisme diartikan sebagai mendukung rezim Soeharto. Pada zaman presiden Megawati nasionalisme diwarnai dengan penjualan buku berwarna merah dengan gambar negara garuda Pancasila dan presiden. Di masa SBY sekarang ini, nasionalisme diwujudkan dalam bentuk buku tentang SBY yang dibagikan ke sekolah-sekolah juga ada dijadikan nama majelis taklim SBY.
12
Kesimpulan 1. Dalam rangka pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan, perlu ada perubahan paradigma pendidikan dari fundamentalis- konservatif menuju paradigma kritis. Perubahan ini perlu dilakukan dalam rangka mendapatkan kembali karakter bangsa yang selama ini tertutup oleh formalisme agama, pragmatisme intelektual, dan nasionalisme simbolik. 2. Perubahan paradigma mengarah pada pencarian dan penemuan kembali (reinventing) nilai-nilai karakter bagsa, baik yang bersumber dari tradisi agama, modernisme, maupun nasionalisme. Setelah nilai-nilai itu ditemukan, dilanjutkan dengan upaya merevitalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui pendidikan
13
Thomas Lickona -seorang profesor pendidikan dari Cortland University mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas.
14
(5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda zaman tersebut sudah ada di Indonesia. Wallahu a’lam bissawab.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.