Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

ETIKA, MORAL DAN NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK Menurut David Easton, Suatu Kebijakan… terdiri dari serangkaian Keputusan-Keputusan.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "ETIKA, MORAL DAN NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK Menurut David Easton, Suatu Kebijakan… terdiri dari serangkaian Keputusan-Keputusan."— Transcript presentasi:

1 ETIKA, MORAL DAN NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK Menurut David Easton, Suatu Kebijakan… terdiri dari serangkaian Keputusan-Keputusan dan tindakan-tindakan untuk mengalokasikan…nilai-nilai” Thomas B. Smith, implementasi kebijakan merupakan proses penerapan pola- pola/pranata/nilai-nilai baru dalam lingkungan suatu masyarakat (dalam Quade, 1984). Ia mengatakan bahwa Kebijakan pemerintah yang ditetapkan melalui suatu perundingan untuk menerapkan pola-pola interaksi atau pranata baru/Nilai-nilai atau untuk merubah pola-pola/Nilai-nilai yang telah ada pada pranata lama, pada saat kebijakan diimplementasikan, Ketegangan-ketegangan, hambatan-hambatan, dan konflik akan sering dijumpai oleh implementor, yang merupakan pengaruh dari kebijakan. Ketegangan- ketegangan dalam implementasi kebijakan bisa berupa protes-protes, bahkan sampai kepada aksi fisik, yang mensyaratkan adanya penetapan pranata baru demi tercapainya tujuan kebijakan. Sehubungan dengan itu, Smith memberikan beberapa variabel penting yang dapat dipergunakan dalam menilai proses implementasi kebijakan yaitu: (1) Idealized policy, menyangkut Nilai, Norma dan pola-pola interaksi yang dicita-citakan pada saat pendefinisian kebijakan, (2) Target Group, sebagai pihak yang menerima pola-pola interaksi baru oleh kebijakan. (3) The implementing Organization, adalah unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung-jawab terhadap implementasi kebijakan, (4) Environmental factors, yaitu lingkungan yang berpengaruh atau yang telah dipengaruhi oleh sebuah kebijakan. Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

2 Lanjutan

3 Lanjutan Salah satu hal yang krusial dalam Adminitrasi Negara adalah masalah etika, yakni bagaimana seorang public service/servant memiliki responsivitas dan akuntabilitas terhadap permasalahan-permasalahan dalam kehidupan masyarakat, disini dituntut seseorang tidak hanya menjadi implementor pasif suatu keputusan/kebijakan publik tetapi ia harus secara proaktif mereponsi segala fenomena yang ada dalam masyarakat dan harus melakukan pembelaan/advovacy/keberpihakan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut. Birokrasi berperan dalam membuat kebijakan publik/politik sebagai akibat akibat ketidak mampuan partai politik yang ada, untuk itu diperlukan dukungan yang luas dari masyarakat luas, intern birokrasi dan legislatif (Francis Rouke). Birokrasi memiliki 2 kekuataan utama, yaitu: Staying Power dan Decisision Power; ( Nicholas Henry, Guy Peters);Seorang Administrator Negara memiliki tiga peran yaitu: ◦ Sebagai birokart (bureaucrats) ◦ Sebagai Pemain/aktivis Politik (politico/public-sprited adminstrator); ◦ Sebagai profesional. Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

4

5 NILAI YANG MENJADI DASAR PEMBUAT KEBIJAKAN PUBLIK (James E. Anderson) Nilai-nilai Politik (Political Value), di mana sering terjadi keputusan dalam pembuatan kebijkan publik atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu. Nilai-nilai Organisasi (Organization Values), keputusan diambil dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut dalam organisasi baik formal maupun informal, seperti pemberian rewards maupun pemberian sanctions. Nilai-nilai Pribadi (Personal Values), sering sebvuah Keputusan dalam Penetapan Kebijkan Publik atas dasar-dasar nilai pribadi yang dianut oleh indivisu pengambil keputusan, baik untuk mempertahankan kedudukan (satus quo), Reputasi/ Gengsi, kekayaan, Nilai Kekeluargaan (sayang anak/sayang Istri) dan sebagainya. Nilai-nilai Ideal Kebijakan (Policy Value), Keputusan diambil atas penilaian dari persepsi pembuat kebijakan yang berangkat dari kepentingan publik yang secara moral memang harus dilakukan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban. Nilai-nilai ideologi (Ideological Values) Pengambilan Keputusan yang dipengaruhi oleh Nilai-nilai Ideologi nasional (Nasionalisme dan Kepentingan Nasional, Integrasi dll)

6 ETIKA, MORAL DAN NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK Konsep Etika Etika berasal dari bahasa Yunan : Ethos, yang artinya Kebiasaan atau Watak, sedangkan Moral berasal dari bahasa Latin: Mos (Jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Disamping itu ada juga istilah Norma yang berasal dari bahasa latin : Nomos : Nilai, Norma (Penyiku atau Pengukur). Moral merupakan daya dorong internal dalam hati nurani manusia untuk mengarah kepada perbuatan-perbuatan baik dalam menghindari perbuatan-per­buatan buruk. Oleh sebab itu, unsur filosofis yang menentukan rangsangan- rangsangan psikologis, tersebut banyak kaitannya dengan nilai (value) yang dianut oleh seseorang. Secara sederhana, nilai dapat dirumuskan sebagai objek dari keinginan manusia. Nilai menjadi pendorong utama bagi tindakan manusia dari pelbagai macam nilai yang memenga­ruhi kompleksitas tindakan manusia, Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules of conduct; dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihatDenhardt, 1988: 28). Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

7 Herarki Etika Hierarki Etika. Di dalam pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Dan keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara (Shafritz & Russell, 1997: 607-608). Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

8 Nilai Umum Great Idea Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase Perumusan Kebijakan Publik apakah para aktor Kebijakan telah benar- benar mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan-kepentingan yang lain. Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum (six great ideas) seperti nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat menilai apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil pelayanan publik. Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

9 ALIRAN PENDEKATAN ETIKA TERPILIH KONTEKS KEBIJAKAN PUBLIK 1. Untuk menilai etika dalam kebijakan publik digunakan beberapa aliran pendekatan antara lain hedonisme, utilitarianisme, vitalisme, sosialisme, religiusisme, dan humanisme. Aliran-aliran ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 2. Hedonisme berasal dari kata hedone yang berarti kepuasan atau kenikmatan. Sesuatu tindakan yang dikatakan baik manakala tindakan itu dapat menimbulkan kenikmatan atau kepuasan. 3. Utilitarianisme berasal dari kata utility artinya kemanfaatan, kegunaan, dan kefaedahan. Dengan demikian sesuatu tindakan dikatakan baik manakala tindakan itu memberikan manfaat, faedah, atau kegunaan. 4. Vitalisme berasal dari kata vital yang artinya kuat. Menurut aliran ini sesuatu yang baik adalah sesuatu yang kuat dan berkuasa. Manusia yang baik adalah manusia yang kuat dan kekuasaan menjadi alat untuk menaklukkan yang lemah. 5. Sosialisme berasal dari kata society yang artinya masyarakat. Sesuatu yang lazim dan dianggap baik oleh masyarakat tertentu akan menjadi ukuran kebaikan, sehingga tindakan akan dikatakan baik manakala menurut masyarakat dinilai baik. 6. Religiusme berasal dari kata religios yang artinya agama. Ukuran kebaikan disandarkan kepada kehendak Tuhan. 7. Humanisme berasal dari kata humanity artinya kemanusiaan. Sesuatu yang baik adalah sesuatu yang sesuai dengan kodrat manusia, dengan demikian tindakan akan dikatakan baik jika sesuai dengan derajat manusia. Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

10 Lanjutan Pendekatan Teleologi merupakan pendekatan yang berpangkal tolak terhadap adanya nilai kemanfaatan yang diperoleh dari konsekuensi keputusan dari tindakan administrasi yang diambil. Ukuran baik dilihat dari pencapain sasran kebijakan publik, pemenuhan pilihan-pilihan masyarakat, perwujudan kekuasaan organisasi, dan kekuasaan per orangan. Pendekatan Deontologi merupakan pendekatan yang mendudukkan etika atau moral sebagai prinsip utama (guiding principle) dalam administrasi. Pangkal tolaknya adalah penegakan moral karena kebenaran yang ada dalam dirinya tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Azasnya adalah proses administrasi harus berlandaskan pada nilai-nilai moral yang mengikat. Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

11 Lanjutan Ada 3 (tiga) pandangan yang digunakan dalam menilai etika administrasi menurut aliran deontologi ini yakni: 1)Pandangan keadilan sosial. Menurut pandangan ini Administrasi Negara harus secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial. Pandangan ini melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh Administrasi Negara modern adalah adanya ketidak seimbangan dalam kesempatan, sehingga mereka yang kaya memiliki pengetahuan dan terorganisir dengan baik, memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara, sementara yang miskin kurang memiliki pengetahuan dan kemampuan, tidak terorganisir, dan karenanya Administrasi Negara harus berpihak (membantu) mereka yang miskin ini. 2)Pandangan rezim. Menurut pandangan ini etika Administrasi Negara harus mengacu pada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Konstitusi menjadi landasan etika Administrasi Negara. 3)Pandangan tatanan moral universal. Menurut pandangan ini nilai-nilai moral yang bersifat universal harus menjadi pegangan bagi administrator publik dalam menjalankan tugasnya. Masalah yang dihadapi oleh Administrasi Negara adalah bahwa nilai-nilai moral beragam sumbernya dan kebudayaannya. Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

12 PERGESERAN PARADIGMA ETIKA PENGAMBILAN KEPUTUSAN PUBLIK Model-I – The 1940’s, mengacu pada karya Wayne A.R.Leys, Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serika tentang bagaimana menghasilkan suatu good public policy decisions. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan karena pemerintah terus berhadapan dengan berbagai masalah baru. Katanya, kebiasaan dan tradisi tersebut harus “digoyang” dengan standard etika yang ada dimana etika, katanya, harus dilihat sebagai source of doubt. Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan sudah dianggap baik atau tidak. Singkatnya, dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan dari pada hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada (Denhardt, 1988: 6) Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

13 Lanjutan Model-II,- The 1950’s, Hurst A. Anderson di tahun 1953 mengungkapkan dalam suatu pidatonya dengan judul Ethical Values in Administration (nilai-nilai etika dalam administrasi). Katanya, masalah etika sangat penting dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka yang memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut philosophy of personal and social living. Oleh Denhardt (1988) pendapat ini diklasifikasikan sebagai Model II – The 1950’s, yang berintikan bahwa: agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya menguji dan mempertanyakan standard atau asumsi-asumsi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan. Standard-standard tersebut harus merefleksian nilai-nilai dasar masyarakat, dan tidak sekedar bergantung semata pada kebiasaan dan tradisi (hal 8). Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan dan keindahan. Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

14 Lanjutan Model III – 1960’s,Tahun 1960an memunculkan suatu nuansa baru dalam etika pelayanan publik. Robert T.Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudulkan Men, Management, dan Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standard-standard yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau tidak. Disini Golembiewski melihat etika sebagai contemporary standards of right conduct yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu, Denhardt (1988) melihat pendapat ini sebagai Model III – 1960’s, yang pada dasarnya agar menjadi etis seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standard, atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standard tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata bergantung pada kebiasaan dan tradisi. Standard etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhaap standard-standard moral yang absolut (hal. 9-10). Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

15 Lanjutan Model IV – the 1970’s, Para ahli administrasi publik yang tergolong dalam masyarakat New Public Administration yang muncul di tahun 1970an, memberikan nuansa baru yaitu meminta agar administrator memperhatikan administrative responsibility. David K.Hart, salah seorang intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat impartial dan sudah waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Ia menyarankan agar social equity atau keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi publik, sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan, yang dinilai benar-benar menggambarkan paradigma keadilan. Nilai keadilan yang disarankan disini sebenarnya hanyalah merupakan sebagian dari core values yang telah disebutkan diatas, sehingga pengalaman di tahun 1970-an tersebut lebih menggambarkan penyempurnaan content atau isi dari etika itu sendiri, sebagai pelengkap dari tinjauan tentang process dan context yang telah diungkapkan dalam model-model sebelumnya. Dengan demikian, model ini disebut sebagai Model IV – the 1970’s, yang merupakan akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya dimana dikatakan bahwa agar menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standard, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan administratif. Standard-standard ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standard-standard tersebut. Isi dari standard-standard tersebut harus mererfleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap standard-standard yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan itu sendiri (Denhardt, 1988:16)

16 Lanjutan Model V – After Rohr, Setelah model keempat di atas, muncul beberapa pendapat yang secara signifikan memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika Kebijakan dan pelayanan publik. Dua tokoh penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya Ethics forBureaucrats (1978) dan Terry L. Cooper dalam The Responsible Administrator (1986). John Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan yang sangat berati yaitu bahwa dalam proses pengujian dan mempertanyakan standard dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan diperlukan “independensi”, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti Makamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu, Denhardt (1988) menyebutnya sebagai Model V – After Rohr, dimana dikatakan bahwa untuk dapat disebut etis maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Isi dari standard tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah sosial baru diungkapkan. Administrator harus memahami bahwa ia akan bertanggung jawab baik secara perorangan maupun kelompok terhadap keputusan- keputusan yang dibuat dan terhadap standard etika yang dijadikan dasar keputusan-keputusan tersebut (Denhardt, 1988: 23). Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

17 Lanjutan Model VI – After Cooper, Setelah Model V yang didasarkan pada pendapat John Rohr, enhardt (1988: 26) menggambarkan suatu model akhir yang disebut Model VI – After Cooper. Model ini menggambarkan pemikiran Cooper bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Jadi lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan begitu menentukan sehingga seringkali para administrator hanya memiliki sedikit “otonomi beretika”. Dengan kata lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator mampu mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah dibuat pada tingkatan organisasi itu. Isi dari standard tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu bila nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik dan masalah-masalah sosial baru mulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap menyesuaikan standard-standard tersebut dengan perubahan-perubahan tersebut, senantiasa merefleksikan komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan organisasinya. Administrator akan bertanggung jawab secara perorangan dan profesional, dan bertanggung jawab dalam organisasi terhadap keputusan yang dibuat dan terhadap standard etika yang digunakan dalam keputusan itu (Denhardt,1988.26). Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI

18

19 PRINSIP NEGARA HUKUM DALAM SISTEM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN 1. Supremasi Hukum ( Suprmacy of Law ) 2. Persamaan dalam hukum ( Eguality before the Law) 3. Asas Legalitas ( Due Process of Law ); 4. Pembatasan Kekasaan ; 5. Organ-organ pemerintahan yng independen; 6. Peradilan yang bebas dan tidak memihak; 7. Peradilan Tata Usaha Negara(Constitutional Court ); 8. Peradilan Tata Negara; 9. Perlindungan Hak asasi Manusia; 10. Bersifat Demokratis ( Democratische Rechtsaats ) 11. Berfungsi sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare Rechtstaat) 12. Transparansi dan Kontrol Sosial

20 ETIKA DALAM FUNGSI PEMERINTAHAN Etika Dalam Proses Kebijakan Publik ( Public Policy Etic ) Etika dalam Pelayanan Punblik ( Public Service Etic ) Etika dalam Pengaturan dan Penataan Kelembagaan Pemerintahan ( Rule and administer institutional etic ) ; Etika dalam Pembinaan dan pemberdayaan Masyarakat ( Guide and social empowering etic ); Etika dalam Kemitraan anatar pemerintahan, pemerintah dengan swasta, dan dengan masyarakat ( Partnership governmental, private and sosiety etic ) ; dsb

21 MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN SEHAT ( GOOD GOVERNANCE ) Pemerintahan yang konstitusional ( Constitutional ); Pemerintahan yang legitimasi dalam proses politik dan administrasinya ( legitimate ) Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat ( public, private and society sector ) Pemerintahan yang ditopang dengan prinsip-prinsip pemerintahan yaitu : 1. Prinsip Penegakkan Hukum, 2. Akuntabilitas, 3. Demokratis, 4. Responsif, 5. Efektif dan Efisensi, 6. Kepentingan Umum, 7. Keterbukaan, 8. Kepemimpinan Visoner dan 9. Rencana Strategis 10. Dsb Pemerintahan yang menguatkan fungsi : kebijakan publik (Public Policy ), pelayanan publik ( Public Service ), otonomi daerah ( Local Authonomy ), pembangunan (Development ), pemberdayaan masyarakat ( Social Empowering ) dan privatisasi ( Privatization )

22 CONTOH PENERAPAN NILAI: Pasal 6 UU No. 2004 (1) Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas ◦ a. pengayoman; ◦ b. kemanusian; ◦ c. kebangsaan; ◦ d. kekeluargaan; ◦ e. kenusantaraan; ◦ f. bhinneka tunggal ika; ◦ g. keadilan; ◦ h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ◦ i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau. ◦ j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

23 NILAI-NILAI PEMERINTAHAN UMUM YANG BAIK (DRAFT RUU AP) 1. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. 2. Asas keseimbangan adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau badan untuk menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan, antara: (1) kepentingan antara individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) keseimbangan antara individu dengan masyarakat; (3) antara kepentingan warga negara dan masyarakat asing; (4) antara kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara; (6) keseimbangan antara generasi yang sekarang dan kepentingan generasi (7) keseimbangan antara manusia dan ekosistemnya; (8) antara kepentingan pria dan wanita. 3. Asas kesamaan adalah asas yang mengutamakan perlakuandan keputusan yang sama dari kebijakan pemerintah untuk masalah yang serupa. 4. Asas kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas pengambilan keputusan sehingga keputusan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan tersebut diambil atau diucapkan. 5. Asas motivasi adalah asas yang mewajibkan pengambil keputusan menjelaskan secara terbuka dan cermat segala pertimbangan berdasarkan atas alasan dan fakta yang dijadikan dasar suatu keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum. 6. Asas tidak melampaui atau mencampuradukkan kewenang-an adalah asas yang mewajibkan setiap Pejabat Adminis- trasi Pemerintahan atau Badan tidak menggunakan kewe-nangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan lain yang bukan menjadi sebab mengapa kewenangan itu diberikan kepadanya. 7. Asas bertindak yang wajar adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan untuk tidak bertindak dan membuat keputusan yang diskriminatif atau yang tidak wajar. 8. Asas keadilan adalah setiap keputusan penyelenggara Administrasi Pemerintahan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

24 NILAI-NILAI KONTENPORES 1. Nilai-nilai Pengahragaan terhadap HAM 2. Nilai-Nilai Demokratisasi 3. Nilai-nilai Pelestarian Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan 4. Nilai-Nilai Kearifan Lokal 5. Nilai Perlindungan Kepada Kelompok Rentan 6. Nilai-nilai Pelestarian Budaya 7. Nilai Multikultural 8. Nilai Perdamaian 9. Nilai-nilai Sensitif Konflik dan Bencana 10. Nilai-nilai Transparansi, Akuntabilitas, Responsivitas, Profesionalitas. 11. Nilai-Nilai Kesetaran Gender dan Non Diskriminasi Materi Suplemen Kuliah Studi-studi Kebijakan, Dosen Rizali Djaelangkara, Program FISIP Untad MMXVI


Download ppt "ETIKA, MORAL DAN NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK NILAI DAN KEBIJAKAN PUBLIK Menurut David Easton, Suatu Kebijakan… terdiri dari serangkaian Keputusan-Keputusan."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google