Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehGlenna Yuwono Telah diubah "5 tahun yang lalu
1
Membangun Asa Demokrasi Alternatif di Desa
IRE YOGYAKARTA Membangun Asa Demokrasi Alternatif di Desa
2
Tesis besar Demokrasi di tingkat Nasional
Demokrasi Indonesia memburuk karena menguatnya patronase (Klinken: 2009) Demokrasi mengalami “stagnasi” karena kuatnya elit yang anti-demokrasi (Mietzner: 2012) Pembajakan elite partokratik terhadap lembaga-lembaga dan prosedur demokrasi (Demos: 2005) Elemen penting plutokrasi neo orde baru adalah kaum oligark yang tidak ikut lenyap (Winters: 2014) demokrasi perwakilan tidak akan menghapuskan jurang antara representasi dan presentasi politik (Marx: 1859) Demokrasi sudah aman dan mengalami kemajuan yang berarti (Diamond: 2009) Desa telah berubah secara drastis menyusul bangkitnya demokrasi dan otonomi di Indonesia. Dulu desa adalah obyek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi dan instruksi dari atas. Sekarang desa menjadi arena demokrasi, otonomi, partisipasi dan kontrol bagi warga masyarakat (Antlov: 2002) Representasi dari rakyat memerlukan suatu saluran perantara melalui lembaga-lembaga tertentu (Törnquist)
3
Pertanyaan Mengganggu
Di tengah apatisme yang tinggi atas kegagalan Demokrasi Nasional dengan pendekatan prosedural, apakah mungkin mengembangkan model demokrasi alternatif di tingkat Desa? Apa peluang dan tantangannya? Prasyarat apa saja yang dibutuhkan untuk itu?
4
Konteks Peluang pasca UU Desa
Peluang pelembagaan demokrasi lokal. Demokrasi deliberatif warna yang kuat dalam UU Desa melalui arena Musyawarah Desa Kewenangan Desa yang besar memberikan peluang untuk memanfaatkan aset lokal dalam menghadapi tantangan Desa (kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, dan lain-lain) Kapasitas keuangan Desa yang lebih besar Munculnya gerakan-gerakan warga aktif yang menginisiasi lahirnya inovasi-inovasi di tingkat lokal, contoh yang paling kuat adalah inisasitif mendirikan BUM Desa Warna baru dalam mendorong mainstreaming Desa inklusi UU Desa memaksa Desa untuk menjalankan model kepemimpinan inklusif dengan memaksa Kepala Desa untuk mendengarkan suara rakyat melalui arena musyawarah Desa, membagun akuntabilitas sosial
5
CATATAN ATAS PEMBELAJARAN PELEMBAGAAN DEMOKRASI DARI DESA
6
1. Menguatnya institusi demokrasi (rules and regulation) di tingkat lokal
Penataan Pemerintahan Desa melalui berbagai kebijakan lokal dalam rangka perbaikan pelayanan Publik Desa Panggungharjo, Desa Cangkudu Transparansi dan akuntabilitas Desa Panggungharjo Pelembagaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan keputusan publik, termasuk kelompok marjinal di Desa upaya menuju equal justice Desa Sidorejo, Desa Umbulharjo, Desa Panggungharjo, Desa Nglanggeran, Desa Punjulharjo, Desa Mekarjaya Sayangnya tidak tampak penguatan institusi demokrasi terkait dengan representasi formal (BPD), namun representasi informal bekerja sebagai “jembatan” antara civil society dengan Pemerintah Desa
7
2. Patronase Elite Vs Inisiatif Warga
Tesis tentang patronase elite Desa sangat kuat sehingga dinilai melemahkan inisiatif warga. Legitimasi elite di Desa dibangun dengan pendektaan uang, kultural dan kapasitas individual. Kecenderungan melawan patronase elite mulai dilakukan dengan cara-cara: Melahirkan pemimpin lokal yang dinilai memiliki perspektif keberpihakan pada kelompok marjinal (Desa Mekarjaya, Desa Punjulharjo) Memperkuat kelompok civil society, melalui penguatan kelembagaan dan kapasitas (Desa Ringinrejo, Desa Sidorejo) Melahirkan aktor alternatif sebagai penyeimbang Inisiatif warga yang kuat mampu mendorong terciptanya model kepemimpinan yang terbuka (Desa Nglanggeran, Desa Punjulharjo, Desa Sidorejo) model kepemimpinan normatif/konservatif-involutif menjalankan nalar prosedural UU Desa, dengan memfasilitasi inisiatif warga untuk melahirkan inovasi (sidorejo, nglanggeran, umbulharjo, punjulharjo) Kepemimpinan oligarki cenderung menggunakan cara-cara intimidatif dalam proses pengambilan keputusan, pada desa parokial, ciri ini sangat jelas terlihat. (Desa Ngadisari, Desa Gulon) Model kepemimpinan oligarki terbukti mampu mensejahterakan rakyat, namun membunuh daya kritis masyarakat sehingga rentan dibajak oleh elite untuk kepentingan ekonomi politik (Desa Ngadisari, Desa Gulon) Model kepemimpinan inovatif, mendorong perubahan melalui akuntabilitas sosial dan inklusi sosial, membuka ruang partisipasi
8
3. Lahirnya aktor-aktor demokrasi dari Kalangan Civil Society
Gerakan civil society lebih banyak dipicu isu pengelolaan Aset Desa untuk Kesejahteraan rakyat (Desa Ringinrejo, Desa Nglanggeran, Desa Punjulharjo, Desa Umbulharjo, Desa Panggungharjo) Gerakan civil society yang kuat mampu mempengaruhi kebijakan pemimpin lokal (Desa Nglanggeran, Desa Mekarjaya) Aktor penggerak demokrasi muncul dari kalangan elite lokal pada Desa yang cenderung bersifat paternalistik dan patriaki (Desa Punjulharjo)
9
4. Representasi Formal masih pada level simbolik
Representasi formal gagal dalam menjalankan perannya karena persoalan kapasitas, kelembagaan dan kesejahteraan (terjadi hampir di seluruh Desa riset, kecuali Umbulharjo) Representasi non formal hadir di Desa, namun tidak mampu membangun komunikasi politik yang baik (Desa Ringinrejo) Peluang memperkuat fungsi representasi dalam UU Desa belum mampu diterjemahkan dengan baik dalam kebijakan Daerah dan Desa Rendahnya representasi perempuan di dalam keanggotaan BPD (Kasus Sleman hanya 2% anggota BPD perempuan)
10
5. Arena Demokrasi yang terbuka menjadi peluang mendorong inklusi sosial di Desa
Demokrasi deliberatif melalui musyawarah Desa yang menjadi mainstreaming di dalam UU Desa telah dimanfaatkan dengan baik oleh aktor-aktor demokrasi, tidak sebatas pada kewajiban administrasi perencanaan pembangunan, namun sudah merambah pada isu strategis di Desa (Desa Nglanggeran, Desa Panggungharjo, Desa Punjulharjo, Desa Sidorejo) Sayangnya, masih minim keterlibatan kelompok marjinal dalam proses musyawarah Desa
11
6. Demokrasi lokal terbukti berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan perbaikan pelayanan publik Kebijakan melahirkan BUM Desa atau pengembangan ekonomi lokal, melalui musyawarah Desa, berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (Desa Punjulharjo, Panggungharjo, Cangkudu, Mekarjaya) Kebijakan publik yang lahir dari kewenangan dan kapasitas fiskal yang besar, berkontribusi memecahkan persoalan-persoalan sosial, seperti: kemiskinan dan migrasi di Desa
12
7. Terdapat kerentanan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Aset Desa
Diskresi dalam pengelolaan aset berpotensi menimbulkan konflik di tingkat lokal maupun pihak dari luar Desa (Desa Nglanggeran, Desa Umbulharjo) Desa Ngadisari memberikan pelajaran berharga dalam pelembagaan perlindungan aset lahan melalui Perdes
13
Prasyarat Pelembagaan Demokrasi Lokal di Desa
14
Kepemimpinan Dibutuhkan pemimpin lokal yang responsif menangkap isu publik dan melahirkan kebijakan yang inklusif Memiliki kapasitas politik dan teknokrasi yang memadai Membuka ruang partisipasi, transparansi dan mendorong akuntabilitas sosial Mampu menggerakkan dan meningkatkan kapasitas birokrasi dalam rangka melayani publik
15
Representasi Representasi formal mensyaratkan kapasitas politik dan teknokrasi Memiliki mandat yang kuat sebagai perwakilan berbasis wilayah, sektor dan gender Memiliki kelembagaan yang kuat dalam rangka menjalankan peran dan fungsi Mampu mengartikulasikan suara publik dalam proses pembentukan kebijakan publik
16
Inisiatif Warga Lahirnya aktor alternatif yang mampu mengelola isu publik menjadi gerakan sosial Isu publik yang dikelola berbasis kebutuhan dan aset lokal, yang mampu menjawab tantangan Desa Tersedia arena atau ruang artikulasi
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.