Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Penggunaan antibiotic yang bijak dan resistensi antibiotik KELOMPOK 8 KELAS A.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Penggunaan antibiotic yang bijak dan resistensi antibiotik KELOMPOK 8 KELAS A."— Transcript presentasi:

1 Penggunaan antibiotic yang bijak dan resistensi antibiotik KELOMPOK 8 KELAS A

2 Prinsip-prinsip umum dalam terapi antibiotik  Antibiotik merupakan obat terapeutik yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Pertimbangan penting saat meresepkan antibiotik diantaranya yaitu:  - adanya diagnosis infeksi yang akurat;  - memahami perbedaan antara terapi empiris dan definitif; -  - mengidentifikasi peluang untuk beralih ke spektrum sempit,  - antibiotik oral hemat biaya untuk durasi penggunaan yang singkat;  - memahami karakteristik obat yang khas (seperti farmakodinamik dan khasiat di tempat infeksi);  - memahami karakteristik host yang mempengaruhi aktivitas antibiotik; dan  - mengenali efek buruk dari agen antibiotik pada host.  - Penting juga untuk memahami pentingnya penatalaksanaan antibiotik, untuk mengetahui kapan harus berkonsultasi dengan spesialis penyakit menular untuk mendapatkan panduan, dan untuk dapat mengidentifikasi kondisi yang tidak memerlukan antibiotik. (Leekha, et al., 2011)

3 MEMILIH DAN MENENTUKAN REGIMEN ANTIBIOTIK  Diagnosa Penyakit yang Akurat Diagnosis penyakit dicapai dengan menentukan lokasi infeksi, menentukan host (misalnya immunocompromised, diabetes, usia lanjut), dan menetapkan diagnosis secara mikrobiologis. Sangat penting untuk mengisolasi patogen spesifik pada banyak infeksi serius yang mengancam jiwa, terutama untuk situasi yang cenderung memerlukan terapi jangka panjang (misalnya endokarditis, dan meningitis). Meskipun diagnosis mikrobiologis ideal, seringkali etiologi mikrobiologis "kemungkinan besar" dapat disimpulkan dari presentasi klinis (berdasarkan pengalaman). Sebagai contoh, selulitis paling sering diasumsikan disebabkan oleh streptococci atau staphylococci, dan perawatan dengan antibiotik dapat diberikan tanpa adanya bukti positif. Demikian pula, pneumonia yang pada masyarakat yang tidak menjalani rawat inap juga dapat ditangani secara empiris dengan antibiotik macrolide atau fluoroquinolone - tanpa melakukan pengujian diagnostik spesifik. (Leekha, et al., 2011)

4 Waktu penggunaan terapi antibiotik  Waktu terapi awal harus dipandu oleh urgensi situasi. Pada pasien yang sakit kritis, seperti pada syok septik, pasien neutropenik demam, dan pasien dengan meningitis bakteri, terapi empiris harus dimulai segera atau bersamaan dengan pengumpulan spesimen diagnostik (Leekha, et al., 2011)

5 Terapi Antibiotik Empiris vs. Definitif  - terapi empiris = terapi menggunakan antibakteri pada saat mikroba belum diketahui secara pasti jenis dan kepekaannya, pemberiannya berdasarkan teori atau pengalaman sebelumnya  - terapi definitive = terapi menggunakan antibakteri dimana mikroba sudah diketahui secara pasti atau sudah diketahui identitasnya Karena hasil mikrobiologi tidak tersedia selama 24 sampai 72 jam, terapi awal untuk infeksi seringkali empiris dan dipandu oleh presentasi klinis= antibiotic spectrum luas atau kombinasi antibiotic). Setelah hasil mikrobiologi telah membantu untuk mengidentifikasi data kerentanan patogen dan / atau antimikroba tersedia, setiap upaya harus dilakukan untuk mempersempit spektrum antibiotik. Ini adalah komponen terapi antibiotik yang sangat penting karena dapat mengurangi biaya dan toksisitas dan mencegah munculnya resistensi antimikroba di masyarakat. Agen antimikroba dengan spektrum yang lebih sempit harus diarahkan pada patogen yang paling mungkin untuk durasi terapi untuk infeksi seperti pneumonia atau selulitis (Leekha, et al., 2011)

6 Interpretasi Hasil Pengujian Kerentanan Antimikroba  Bila mikroorganisme patogen telah diidentifikasi dalam sampel, langkah selanjutnya yang dilakukan di kebanyakan laboratorium mikrobiologi adalah uji kepekaan antimikroba (antimicrobial susceptibility testing,AST). Uji kepekaan antimikroba mengukur kemampuan organisme spesifik untuk tumbuh dengan adanya obat tertentu secara in vitro dan dilakukan dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan,  Data dilaporkan dalam bentuk konsentrasi hambat minimum (MIC), yang merupakan konsentrasi antibiotik terendah yang menghambat pertumbuhan mikronorganisme (Leekha, et al., 2011)

7 Bactericidal vs Bacteriostatic Therapy  Obat-obatan bakteri, yang menyebabkan kematian dan terganggunya sel bakteri, mencakup obat-obatan yang terutama bekerja pada dinding sel (misalnya b-lactam), membran sel (misalnya daptomycin), atau DNA bakteri (misalnya fluoroquinolones). Bakteriostatik menghambat replikasi bakteri tanpa membunuh organisme. Sebagian besar obat bakteriostatik, termasuk sulfonamida, tetrasiklin, dan makrolida, bertindak dengan menghambat sintesis protein. (Leekha, et al., 2011)

8 Penggunaan Kombinasi Antimikroba  Saat Agen antibiotik Menunjukkan Aktivitas Sinergis Terhadap Mikroorganisme pathogen  saat Pasien berada dalam kondisi Kritis (Terapi Empiris) sebelum pengujian Mikrobiologis dan / atau Kerentanan Antimikroba Dapat Ditentukan.  Pada pengobatan infeksi polimikrobial  Mencegah Munculnya Resistensi (Leekha, et al., 2011)

9 Faktor Host yang Harus Dipertimbangkan dalam Pemilihan Agen Antibiotik  Fungsi Ginjal dan Hepatik  Usia.  Variasi genetik  Kehamilan dan Laktasi  Sejarah Alergi atau Intoleransi  Sejarah penggunaan antibiotik (Leekha, et al., 2011)

10 Oral vs Intravenous Therapy  Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi parah sering diobati dengan terapi antimikroba intravena dikarenakan tingkat keparahan infeksi.  Namun, pasien dengan infeksi ringan sampai sedang yang memerlukan rawat inap karena alasan lain (misalnya, dehidrasi, pengendalian nyeri, aritmia jantung) dan memiliki fungsi gastrointestinal normal adalah kandidat untuk perawatan dengan agen antimikroba oral yang diserap dengan baik (misalnya, pengobatan pielonefritis dan pneumonia yang didapat dengan fluoroquinolones oral).  Selanjutnya, pasien yang awalnya diobati dengan terapi parenteral dapat dengan aman beralih ke antibiotik oral saat mereka menjadi stabil secara klinis. Bila menggunakan terapi oral untuk infeksi invasif (seperti pneumonia, pielonefritis, atau abses), direkomendasikan untuk memilih agen yang memiliki tingkat penyerapan dan ketersediaan hayati yang sangat baik. Contoh antibiotik dengan bioavailabilitas yang sangat baik adalah fluoroquinolones, linezolid, trimethoprim- sulfamethoxazole, dan metronidazole. (Leekha, et al., 2011)

11 Pharmacodynamic Characteristics  Seiring dengan faktor inang, sifat farmakodinamik agen antimikroba juga penting dalam menetapkan rejimen dosis. Secara khusus, ini berkaitan dengan konsep penghambatan bergantung waktu dan konsentrasi. Obat yang menunjukkan aktivitas bergantung waktu (blactams dan vancomycin) memiliki efek bakterisid yang relatif lambat; Oleh karena itu, konsentrasi obat dalam serum melebihi MIC selama durasi interval pemberian dosis, baik melalui infus kontinyu atau dosis lazimnya.  Sebaliknya, obat-obatan yang menunjukkan efek bakterisid bergantung konsentrasi (aminoglikosida, fluoroquinolon, metronidazol, dan daptomisin) dapat meningkatkan aktivitas bakterisidnya saat konsentrasi serum meningkat. (Leekha, et al., 2011)

12 Efikasi pada lokasi infeksi  Selain memiliki aktivitas antimikroba in vitro dan mencapai kadar serum yang adekuat, khasiat agen antimikroba bergantung pada kapasitasnya untuk mencapai konsentrasi MIC atau lebih besar dari MIC di tempat infeksi.  Agen di kelas yang sama bisa berbeda satu sama lain; misalnya, moksifloksasin tidak mencapai konsentrasi urin yang signifikan karena ekskresi ginjalnya yang rendah dan karena itu tidak sesuai untuk pengobatan ISK; Sebaliknya, baik levofloxacin dan ciprofloxacin adalah pilihan yang sangat baik untuk ISK yang disebabkan oleh bakteri yang rentan. Kehadiran benda asing di tempat infeksi juga mempengaruhi aktivitas antimikroba (Leekha, et al., 2011)

13 Use of Therapeutic Drug Monitoring  beberapa agen antibiotik tertentu memerlukan pemantauan kadarnya dalam serum karena memiliki indeks terapi yang sempit. Hal ini dikarenakan toksisitas pada tingkat tinggi (misalnya aminoglikosida) atau kegagalan terapeutik pada tingkat obat rendah (misalnya vankomisin) tetapi biasanya diatasi dengan kombinasi (misalnya vorikonazol). Dalam beberapa kasus, penggunaan metode TDM dapat mendukung hasil klinis akhir. (Leekha, et al., 2011)

14 PERTIMBANGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK  Duration of Antimicrobial therapy  Penilaian Respon terhadap Pengobatan  Adverse Effects (Leekha, et al., 2011)

15 Penggunaan Agen Antimikroba dalam Terapi Prophylactic  Presurgical Antimicrobial Prophylaxis  Terapi Profilaksis Antimikroba pada Pasien dengan imunitas rendah  Terapi Profilaksis Antimikroba untuk Mencegah Penularan Patogen  Cedera Trauma Dengan Probabilitas Tinggi Komplikasi Infeksi (Leekha, et al., 2011)

16 PENGGUNAAN AGEN ANTIMIKROBIAL YANG MENGUNTUNGKAN  Pertimbangan Biaya dalam Seleksi Antibiotik  Mencegah Munculnya Resistensi Antibiotik  Mencegah Penyalahgunaan Antibiotik yang umum terjadi -Pengobatan Antimikroba Empiris Berkepanjangan Tanpa Bukti Infeksi yang Jelas -Pengobatan Kultur Positif Klinis Tanpa adanya Penyakit -Terapi Prophylactic yang Berkepanjangan. -Penggunaan agen antimikroba tertentu secara berlebihan. (Leekha, et al., 2011)

17 Resistensi Antibiotik  Aspek Genetik Resistensi Antibiotik Mekanisme terjadinya resistensi antibiotik dapat diterangkan dari aspek genetika dan biokimiawi. Aspek genetika resistensi antibiotik meliputi berbagai perubahan pada genom dan regulasi gen pada bakteri yang berakibat pada resistensi antibiotik. Berbeda dengan aspek genetika, tinjauan dari sisi biokimia lebih dapat menerangkan mekanisme terjadinya resistensi dari sisi fenotipik bakteri. Meskipun demikian harus selalu diingat bahwa antara aspek genetika dan fenotipik sangat berkaitan erat. Terjadinya perubahan pada fenotip adalah akibat dari perubahan genotip. Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi secara intrinsik yang merupakan karakteristik asli bakteri tersebut, sebagai contoh E. coli resisten terhadap vancomycin

18 Mutasi Spontan  Sifat resisten terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh mutasi pada genom bakteri. Mutasi pada kromosom bakteri ini diakibatkan oleh karena terjadinya kesalahan pada saat replikasi DNA atau kegagalan proses perbaikan DNA (DNA repair).Mutasi jenis ini biasa disebut sebagai mutasi spontan yang dapat terjadi secara random pada saat pertumbuhan bakteri. Mutasi ini sering pula disebut dengan growth dependent mutation (Dzidic et al., 2008;Giedraitienë et al., 2011).  Sebagai contoh mekanisme ini adalah terjadinya mutasi pada He icobacter pylori yang bertanggung jawab pada terjadinya resistensi terhadap clarithromycin,metronidazole, amoxicillin, ciprofloxacin dan rifampin (Wang et al., 2001).

19 Hypermutation  Model “hypermutable state” menyatakan bahwa selama terjadi selective pressure berkepanjangan yang non letal, sebagian kecil bakteri akan berubah menjadi mudah mengalami mutasi (hypermutation state) yang bersifat sementara. Keadaan ini menyebabkan suatu baktari mampu mengalami mutasi 50-10.000 kali lebih sering dibandingan aslinya (Giedraitienë et al., 2011). Pada penyakit kronis seperti cycstic fibrosis, Pseudomonas aeruginosa sering menjadi penyebab infeksi yang sulit dieradikasi. Pemakaian antibiotik dalam jangka waktu lama menjadi tidak dapat terhindarkan. Dalam keadaan ini P. aeruginosa dapat mengalami mekanisme hypermutable. Selama proses infeksi, bakteri ini mengalami perubahan genotip dan fenotip untuk beradaptasi dengan lingkungan paru cystic fibrosis. P. aeruginosa akan meningkatkan diversitas populasi selnya untuk agar dapat bertahan.

20 Mutagenesis Adaptif  Proses mutasi sebagian besar terjadi pada sel yang sedang membelah, oleh karena terjadinya kesalahan pada proses replikasi DNA. Namun demikian, mutasi dapat terjadi pula pada sel yang tidak sedang membelah atau membelah dengan lambat. Mutasi ini disebut dengan mutasi adaptif, yang ditunjang oleh adanya pemberian antibiotik non letal sebagai selective pressure (Dzidic et al., 2008).

21 Aspek Biokimiawi Resistensi Antibiotik Perubahan fenotipik pada bakteri dapat berakibat pada resistensi bakteri terhadap antibiotik. Secara garis besar, terdapat beberapa mekanisme yang mendasari resistensi antibiotik, yaitu:  inaktivasi antibiotik,  modifikasi target molekul,  sistem pompa aktif dari dalam keluar sel (efflux pump),  perubahan outer membrane sel.

22  Leekha, S., Terrell, C. L. & Edson, R. S., 2011. General Principles of Antimicrobial Therapy. Baltimore, s.n., pp. 156-167.


Download ppt "Penggunaan antibiotic yang bijak dan resistensi antibiotik KELOMPOK 8 KELAS A."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google