Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
ARBITRASE SYARI’AH Budi Hartono 1810101002 BAB IV
KEDUDUKAN ARBITRASE SYARIAH DALAM RANAH HUKUM POSITIF DI INDONESIA Budi Hartono FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG TAHUN 2020
2
A. BADAN ARBITRASE SYARI’AH NASIONAL
Penyelesaian sengketa di Indonesia dapat ditempuh melalui jalur litigasi dan non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi bersifat formal dan membutuhkan waktu relative lama, karena mengikuti jenjang dan hierarki system pengadilan jika para pihak tidak puas atas putusan salah satu pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dianggap memakan waktu yang panjang sehingga diperlukan suatu sarana penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.
3
1. DEFINISI ARBITRASE Definisi arbitrase secara formal dapat ditelusuri dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase Pasal 1 ayat (1) arbitrase didefinisikan sebagai suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yg dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kamus Hukum ELIPS merumuskan bahwa arbitrase atau perwasitan adalah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan memakai jasa wasit atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4
Berdasarkan beberapa definisi arbitrase, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase harus mencakup hal sebagai berikut: 1. Penyelesaian sengketa dilakukan di luar system pengadilan 2. Penyelesaiannya didasarkan atas perjanjian tertulis para pihak 3. Melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang berwenang mengambil keputusan 4. Perjanjian tertulis untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang telah terjadi 5. Putusan bersifat final dan mengikat Undang-undang No. 30/1999 Tentang Arbitrase Pasal 1 angka 1 merumuskan tiga point yang memiliki kesesuaian dengan beberapa definisi di atas, yaitu: 1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian 2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis 3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum
5
2. URGENSI PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
Penyimpangan itu terjadi akibat kepatuhan terhadap hukum tidak diwujudkan disatu sisi. Dan disisi lain law enforchment tidak dijalankan dengan baik dan merata, fakta menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih. Kasus-kasus monopoli, kurang memperhatikan hak-hak konsumen, kasus memproduksi barang tidak sesuai standar adalah bagian dari bentuk-bentuk penyimpangan bisnis yang marak terjadi dan hampir menjadi suguhan informasi sehari-hari di sekitar kita.
6
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi perhatian para pelaku bisnis karena beberapa indikator, a. forum arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi bagi pihak yang bersengketa. b. cepat dan hemat biaya. c. bersifat rahasia. d. bersifat nonprseden. e. rasa aman terhadap ketidakpastian karena system hukum yang berbeda. f. kepercayaan terhadap kompetensi arbiter Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Badan Arbitrase Syariah Nasional Jakarta memiliki ciri dan karakter yang sama dengan rumusan di atas, yaitu bersifat tertutup dan rahasia, sehingga untuk mengakses berita acara persidangan dan putusan arbiter sangat tertutup.
7
3. ARBITRASE SYARI’AH Hadirnya lembaga-lembaga perekonomian Islam berimplikasi terhadap semakin intensnya kajian-kajian berbasis ekonomi Islam, sebab dapat dikatakan bahwa konsep-konsep ekonomi Islam terimplementasi lewat lembaga-lembaga keuangan itu. oleh karenanya, konsep-konsep ekonomi Islam akan terus berkembang apabilah tempat pengejewantahan akan konsep-konsep itu tetap memelihara dan memperhatikan prinsip-prinsip dan norma hukum yang menjadi landasan berpijaknya. Sebab sedikit banyak pencitraan Islam dari aspek muamalah terwakili melalui lembaga-lembaga perekonomian umat. Lembaga keuangan syariah adalah lembaga lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menanamkannya dalam bentuk aset keuangan lain yang dikelola dengan prinsip-prinsip syari’ah
8
Lembaga keuangan syariah memiliki dua penyangga utama, yaitu, pertama, instrument teknis berupa lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pengembangan system keuangan. kedua, instrument hukum, berupa perangkat hukum, baik aspek materi hukumnya (regulasi) maupun aspek culture (budaya hukum). Karakteristik hukum perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Asas hukum perbankan syariah bersumber dari hukum Islam yang didasarkan atas fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa ini diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan, peraturan Bank Indonesia, dan peraturan Menteri Keuangan yang selanjutnya menjadi sumber hukum yang mengikat bagi perbankan syariah di Indonesia. Islam memandang bahwa suatu kontrak dianggap legal dan memiliki kekuatan mengikat serta berimplikasi hukum apabila klausul-klausul yang tercantum dalam kontrak tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan.
9
4. DEFINISI ARBITRASE SYARI’AH
Secara etimologis, kata arbitrase dapat dipedanankan dengan istilah tahkim. Tahkim berarti. Pertama, Menyerahkan penyelesaian suatu masalah hukum kepada seseorang. Kedua, Mencegah kerusakan atau mendamaikan. Ketiga, Mengangkat seorang hakam. Menurut Sallam Madkur kedudukan Tahkim lebih rendah dari peradilan atau biasa disebut quasi peradilan. Menurutnya tahkim adalah menunjuk dan mengangkat seorang hakim untuk memutus perkara bagi para pihak berdasarkan hukum islam (syariat). Secara terminology, Abdul Karim Zaidan mendefinisikan tahkim sebagai pengangkatan atau penunjukan (secara suka rela) dari dua orang yang bersengketa terhadap seseorang yang dapat menyelesaikan persoalan hukum atau persengketaan diantara kedua belah pihak, atau menjadikan orang lain sebagai pihak yang menyelesaikan persoalan hukum di antara keduanya dan hasilnya menjadi putusan hukum seperti layaknya putusan qadhi atau hakim.
10
Terdapat lima unsur dalam arbitrase syariah (tahkim), yaitu: a
Terdapat lima unsur dalam arbitrase syariah (tahkim), yaitu: a. para pihak yang mengadakan perjanjian (mencantumkam klausul perjanjian arbitrase sebelum dan sesudah sengketa), b. obyek atau persoalan yang disengketakan, c. arbiter yang ditunjuk, d. syariat (hukum islam) sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa, e. perdamaian (ishlah) sebagai tujuan penyelesaian sengketa.
11
5. Eksistensi dan Kewenangan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS merupakan salah satu media penyelesaian sengketa secara non litigasi berdasarkan isi perjanjian yang disepakati para pihak. Klausul perjanjian harus menyatakan dengan jelas forum penyelesaian sengketa (choice of form) jika kelak terjadi sengketa atau pactum de compromittendo atau arbitration clause, yaitu sebagai bagian tidak terpisahkan dari kontrak utama para pihak. Perjanjian para pihak dalam suatu kegiatan bisnis inilah yang menjadi dasar penyelesaian sengketa, baik secara litigasi maupun non litigasi. Pada umumnya akad perjanjian perbankan syariah mencantumkan klausul forum penyelesaian sengketa melalui jalur badan arbitrase syariah nasional (BASYARNAS). Pencantuman klausul ini didasarkan atas fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) atas semua bentuk akad lembaga keuangan syariah termasuk akad perbankan syariah.
12
6. PROSEDUR BERACARA DI BASYARNAS
Prosedur acara yang berlaku di Basyarnas sebagai berikut: 1) Pendaftaran Surat Permohonan 2) Verifikasi surat permohonan 3) Penunjukan Arbiter 4) Mekanisme Pemeriksaan 5)Tempat Persidangan 6) Jangka waktu persidangan 7) Sifat Putusan 8) Biaya Persidangan
13
7. KEWENANGAN BASYARNAS Secara yuridis, bahwa telah terjadi konflik norma antara Pasal 49 (i) UUPA dengan Pasal 55 ayat (2) UUPS dan antara Pasal 55 ayat (1) UUPS dengan pasal 55 ayat (2) UUPS. Konflik norma yang secara substansial mengindikasikan adanya dualisme kewenangan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Forum itu menjadi kewenangan lembaga litigasi, yaitu pengadilan agama dan pengadilan negeri. Konflik norma berakibat pada ketidakpastian. Hal ini juga bertentangan dengan dengan Pasal 28 D (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
14
Susunan teori norma ini menurut A. Hamid S
Susunan teori norma ini menurut A. Hamid S. Attamimi dijabarkan dalam struktur hierarki tata hukum Indonesia, sehingga memiliki struktur sebagai berikut: 1. Norma Staatfundamentalnorm tercantum dalam Pancasila atau Pembukaan UUD Norma staatsgrundgesetz tercantum dalam Batang Tubuh UUD 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan 3. Norma formal gesetz tercantum dalam Perundang-undangan4. Norma verordnung en Autonome satzungterlihat pada peraturan pemerintah
15
8. EKSEKUSI PUTUSAN BASYARNAS
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pendaftaran putusan dan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, tidak dilimpahkan ke Pengadilan Agama. Hal ini didasarkan pada sejumlah Pasal yang disebutkan dalam UU No. 30/1999, yaitu Pasal 59, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 dan Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999, sehingga putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Namun menurut sebagian ahli bahwa semua yang berkaitan dengan penyelesaian ekonomi syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama, dan kewenangan ini bersifat absolute berdasarkan Pasal 49 UU No. 3/2006 Tentang Pengadilan Agama
16
Kehadiran undang-undang yang mengatur kewenangan eksekusi putusan BASYARNAS yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri tidak berarti bahwa kewenangan Pengadilan Agama tereduksi, sebab pada prinsipnya Pengadilan Negeri tidak lagi menguji hasil putusan BASYARNAS, namun hanya mengeksekusi putusan BASYARNAS. Alas an eksekusi putusan BASYARNAS dilimpahkan ke Pengadilan Negeri karena terkait dengan sita jaminan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan wewenang kepada Pengadilan Negeri.
17
B. MATERI-MATERI HUKUM DALAM PUTUSAN BASYARNAS
Mencermati putusan badan arbitrase syariah nasional terhadap beberapa kasus sengketa perbankan syariah dengan nasabahnya, tampaknya isi putusan pada umumnya memuat meteri-materi hukum sebagai berikut: 1. Hukum Islam 2. Hukum Ekonomi Islam 3. Hukum Perikatan Islam 4. Hukum Perdata
18
وصلى الله على نبينا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين
TERIMAKASIH والله أعلم بالصواب وصلى الله على نبينا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.