Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
Cerpen Kunci Istana Firdaus
Baca Terimakasih Selanjutnya >
2
Kembali Selanjutnya > < Kembali Kunci Istana Firdaus
@hadiyahmarowati Menara itu berdiri kokoh di perbatasan negri. Lambang keangkuhan para penyihir. Kala malam tiba, lampu-lampu kristal menerangi menara. Tapi gemerlap lampu kristal tak mengurangi kegelapan di hati penghuninya. Kayla, gadis penyihir penghuni menara. Desau angin menitipkan risau di hatinya. Kerlip pelita nun jauh di sana menyulut rasa penasarannya. Ya, kerlip pelita di pemukiman kaum Firdaus. Seberkas cahaya yang menerangi sudut hatinya nan hitam sekelam jubahnya. “Buka matamu, kaum Firdaus bukan musuhmu. Mereka bukan pemberontak melainkan pejuang. Mereka berjuang demi kemerdekaan negri Firdaus.” Desau angin seakan mengulang perkataan bocah Sabrian. Kayla merapikan jubah hitamnya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra. Kedua telapak tangannya meraba bola kristal. Bola kristal berpendar sesaat. Lalu meredup dan padam. Seakan menolak mantra Kayla. “Bola kristal, untuk kali ini berikan kebenaran tentang masalaluku,” bisik Kayla. Bola kristal bercahaya. Sepasang mata coklat menatapnya. Mata itu mirip dengan matanya. Mata itu milik balita yang memandangi puting beliung. “Kayla! Lari!” pekik seorang bocah lelaki yang menyeret tangan Kayla. Bocah itu mengenggam tangan Kayla kuat-kuat. Keduanya berlari menerobos gumpalan awan kelabu yang bergulung-gulung. Kayla merasa gumpalan awan itu serupa lorong waktu. Kayla dan bocah itu berubah menjadi sosok dewasa. Kayla tak mengenali pemuda yang berlari bersamanya. Dia belum pernah bertemu pemuda itu. Tapi dia merasa akrab dengan pemuda itu. Seakan ada ikatan antara keduanya. Ikatan nan erat serupa ikatan darah. “Kayla, teruslah berlari. Jangan menoleh ke belakang!” kata bocah lelaki itu. Selanjutnya >
3
Kembali Selanjutnya >
“Kayla, anakku..” suara seorang wanita membuat Kayla menoleh. Seketika pusaran angin menghisap tubuh Kayla. Daus mengenggam jemari Kayla erat-erat. Tapi Daus tak berdaya melawan kuatnya pusaran angin. Gengaman tangan keduanya terlepas. Kayla terbawa pusaran angin kemudian dihempaskan ke dalam menara. *** “Kayla!” teriak Daus. Keringat membasahi tubuhnya. Daus menyibakan selimut dan bergegas bangkit dari ranjang. Diambilnya baju zirah dan pedang yang tergantung di dinding. Rachel yang semula duduk di samping ranjang bergegas bangkit. Ia mencegat Daus di depan pintu. “Minggir! Aku harus menemui Kayla sekarang,” kata Daus. “Tidak Daus, kau takkan ke mana-mana,” cegah Rachel. “Rachel benar Nak, belum saatnya kamu menemui penyihir itu,” kata Panglima Husein. “Bila tujuanmu menemui Kayla untuk mencari jawaban atas kilasan masalalumu, maka aku punya jawabannya. Aku tahu tentang keterkaitan dirimu dengan Kayla dan kaitan dengan sejarah negri Firdaus selengkapnya,” lanjut Panglima Husein. “Apa maksud Ayah?” tanya Rachel. “Kalian kumpulkan seluruh pasukan di aula. Akan kuceritakan sejarah negri Firdaus sekaligus meluruskan niat penyerangan kita ke Danau Bening!” perintah Panglima Husein. “Baik, Panglima!” jawab Daus dan Rachel serempak. Keduanya bergegas mengumpulkan pasukan di aula. Butiran seputih kapas beterbangan di sekitar Kayla. Dingin terasa ketika butiran itu menyentuh wajahnya. Salju turun di dalam menara. Kayla tahu si Penebar Salju. Mark, sang penyihir dari negri Usaberg. Dialah si Penebar Salju itu. Pemuda berwajah dingin sedingin darata Usaberg yang diselimuti salju. Pemuda yang dijodohkan untuknya. Salju turun makin deras. Butiran salju menyentuh lantai menjelma benih kristal. Benih kristal bertunas daun es lalu berbunga kristal es. Helaian kuntum bunga sebening kaca bermekaran. Wangi bunga semerbak memenuhi seisi ruangan Selanjutnya >
4
Kembali Selanjutnya >
Kayla memetik sekuntum chamomile es. Dihirupnya wangi bunga itu. “Indah sekali... menghanyutkan. Dan membuatku ingin mengakui sesuatu.” kata Kayla lirih. Ia memejamkan matanya sejenak. Lalu mendelik dan berteriak. “Aku...takkan tertipu sihir murahanmu, Mark!” suara lantang Kayla memecahkan kuntum bunga es menjadi berkeping-keping. Kepingan es berhamburan seketika menjelma percikan api. Api memercik serupa nyala kembang api. Percikan api terhimpun sedemikian rupa dan melesat menumbuk gulungan tirai di jendela. Tirai terbakar sesaat. Lalu padam dan berubah wujud seorang pemuda berambut pirang. “Wow, rupanya tak mudah menaklukan keangkuhanmu, Kayla.” kata Mark sembari mengibaskan jubahnya yang tersulut api. “Dasar amatir!” ejek Kayla. “Ehm! Berhenti main-main nasib Danau Bening lebih penting daripada roman picisan kalian,” kata Rael yang muncul tiba-tiba. Lelaki 50an tahun itu berdiri di dekat jendela. Tampangnya sinis dan tampak sanggar dalam balutan jubah hitam yang dikenakannya. “Tentu saja Tuanku Rael benar. Maafkan saya yang telah lancang mengunjungi putri Tuanku tanpa izin,” kata Mark. “Kunjungan telah berakhir, Nak! Sekarang lanjutkan tugas kalian menjaga keamanan Danau Bening!” tegas Rael. “Baik, Tuanku Rael!” sahut Kayla. Ia beranjak menuju meja dan fokus dengan bola kristalnya. Mengabaikan Mark dan Rael yang masih berdiri di dekat jendela. Selanjutnya >
5
Kembali Selanjutnya >
“Akhiri permainan konyol kalian. Ini bisa mempermudah usahamu.” Rael menyodorkan sebotol cairan merah muda kepada Mark. Rael membentangkan kedua lengannya. Sepasang sayap kalong muncul dan berkepak. Rael terbang menuju istana di tengah danau. Mark meremas botol cairan itu hingga menjadi serpihan pasir dalam genggaman. “Aku tak butuh ramuan sihir untuk taklukan Kayla.” gumam Mark sambil membuang serpihan pasir di udara. Angin menerbangkan serpihan pasir itu ke padang gurun nan luas. *** Daus dan Rachel mengumpulkan seluruh pasukan di aula. Panglima Husein berdiri di podium memulai ceritanya tentang sejarah Negri Firdaus dan Danau Bening. “Selamat malam, saudara-saudaraku! Besok malam adalah puncak perjuangan kita mengambil kembali rumah kita, Negri Firdaus. Sebelum itu, kita harus meluruskan niat berperang kita. Kita berperang demi kemerdekaan bukan balas dendam,” kata Panglima Husein mengawali ceritanya. Kemudian beliau menuturkan kisah masalalu Negri Firdaus. Alkisah di suatu gurun terjadi badai pasir yang memporak-porandakan pemukiman negri Pasir. Azis, sang pemimpin negri Pasir mengungsikan penduduknya ke suatu daerah yang bernama Danau Bening. “Selamat datang di tanah kami, Tuanku,” kata Sinatriya. “Dulu tanah kami disebut Danau Bening, negri penyihir nan subur. Tapi karena ketamakan kami, tanah kami binasa oleh sihir kami. Tanah kami menjadi kering kerontang. Sedangkan pergi ke benua hitam.” “Lalu tulang belulang itu, apa yang terjadi dengan mereka?” Azis menunjuk kerangka manusia yang berserakan di mana-mana. Selanjutnya >
6
Kembali Selanjutnya >
“Mereka adalah tumbal tolak bala.” Sinatriya tertunduk. “Biadab.” “Ya, karena tak tahan dengan kebiadaban kaumku, kami melarikan diri ke Negri Pasir.” “Sebaiknya kita singgah di sini malam ini. Esok,kita lanjutkan perjalanan ke Negri Sabrian,” usul Panglima Husein. “Kita akan menetap di sini. Penduduk Sabrian takkan menerima sebagian saudara kita yang terkena wabah penyakit.Sedangkan kita tak mungkin meninggalkan saudara kita di sini,” kata Azis. “Perbekalan kita menipis Tuanku, sedangkan di sini tak ada sumber pangan. Kita akan mati bila menetap di sini,” kilah Panglima Husein. “Hidup, mati, rezeki dan jodoh adalah takdir. Tapi kita harus berusaha bertahan hidup. Sekarang kita bersihkan tempat ini agar layak dihuni. Kumpulkan dan kubur tulang belulang itu secara layak!” perintah Azis. “Besok, sebagian dari kalian para lelaki sehat ikut bersamaku ke Negri Sabrian. Sebagian lainnya tetap di sini bersama Panglima Husein menjaga wanita, anak-anak dan orang sakit,” lanjut Azis. “Baiklah Tuanku, kami mematuhi titah Tuanku Azis,” kata Panglima Husein. Azis dan penduduk Negri Pasir bahu-membahu membangun Danau Bening menjadi tempat yang layak huni. Setelah kerja keras diiringi doa, Danau Bening berangsur menjadi negri yang subur dan makmur. Kemudian berganti nama menjadi Negri Firdaus. Dengan Azis sebagai raja dan Panglima Husein sebagai perdana mentri. Sedangkan Sinatriya memilih menjadi rakyat biasa yang hidup sederhana di tepi negri. Selanjutnya >
7
Kembali Selanjutnya >
Istri Azis wafat setelah melahirkan putranya. Lalu Azis menitipkan putranya kepada keluargaSinatriya. Putra Azis diberi nama Firdaus dan dibesarkan oleh keluarga Sinatriya. Di saat bersamaan keluarga Sinatriya punya seorang anak yang sebaya dengan Firdaus. Anak itu bernama Kayla. Keluarga Sinatriya membesarkan keduanya penuh kasih sayang. Sekian tahun kemudian, para Penyihir kembali dari benua hitam. Awalnya mereka minta izin tinggal di dekat pekuburan. Diam-diam para penyihir menyusun kekuatan untuk menyerang negri Firdaus. Suatu malam, para penyihir memporak-porandakan negri Firdaus dengan angin sihir. Angin puting beliung juga membangkitan tulang belulang di pekuburan dan menyerang penduduk. Pemimpin penyihir bernama Rael berhasil merebut istana setelah membantai Azis dan seisi istana. Beruntung Panglima Husein berhasil diselamatkan beserta istrinya yang sedang hamil. Saat di pengungsian istri Panglima Husein melahirkan seorang putri yang diberi nama Rachel. *** Malam tampak semakin kelam di Negri Danau Bening. Gumpalan awan hitam berarak di langit. . Awan bergulung-gulung dengan ekor awan yang bersiap menyentuh bumi. Awan akan menjelma pusaran angin bila ekor awan menyentuh tanah. Daus dan pasukannya berhasil menyusup ke negri Danau Bening. Dengan penuh kewaspadaan mereka bergerak menuju menara. Aneh, suasana kota sangat lenggang. Tiada prajurit jaga yang bersiaga menghadang mereka. Langkah mereka terhenti di pelataran menara. Segerombolan anak-anak menghadang. Para bocah itu menatap hampa dengan sebilah belati dalam gengaman. “Waspada! Anak-anak itu dalam pengaruh sihir,” kata Daus. Para bocah menyerang membabibuta. Daus dan pasukannya menghalau serangan dengan hati-hati. Sebisa mungkin mereka menangkis serangan tanpa melukai anak-anak itu. “Masuklah ke menara, Daus! Biar kami yang hadapi anak-anak ini,” kata Rachel sambil membekuk seorang bocah. Daus berlari masuk ke menara. Menaiki puluhan anak tangga. Menemui Kayla di puncak menara. Selanjutnya >
8
Kembali Selanjutnya >
“Apa kabar saudaraku? Senang berjumpa denganmu setelah terpisah sekian lama,” sapa Kayla. “Aku datang untuk mengambil kunci istana Firdaus, Kayla,” sahut Daus. “Ambillah! Tebas leherku dan ambil kuncinya,” Kayla berlutut sambil menyibakan tudung kepalanya. Tampak kunci berbentuk lilitan tangkai bunga dengan sekuntum rosella sebagai liontin. “Aku siap Daus. Tebaslah kepalaku dengan pedangmu!” Kayla menatap Daus sambil tersenyum. “Lakukanlah dan jangan ragu-ragu.” Kayla menyibakan rambut di lehernya. Kayla memejamkan mata. Dia pasrah bila hari ini hidupnya berakhir. Daus gemetaran. Pedangnya terasa teramat berat. Dia tak sanggup menebas leher Kayla. “Lakukanlah...!” Kayla memasang senyum termanis. “Tidak Kayla, aku tak bisa.” Daus menjatuhkan pedangnya ke lantai. “Daus, lakukanlah demi kaum Firdaus. Lumuri pedangmu dengan darahku agar bisa membuka gerbang istana Firdaus.” Kayla menatap mata Daus yang berkaca-kaca. “Tidak Kayla, aku tak bisa menyakitimu. Kau satu-satunya keluargaku.” “Bila kau tak sanggup biar kulakukan sendiri.” Kayla merapal mantra. Pedang Daus bergerak-gerak, melayang di udara dan siap menebas leher Kayla. “Tidak...!” Daus memegangi gagang pedang. Dia menahan sekuat tenaga agar pedang itu tak menyentuh Kayla. “Kumohon Daus, relakan aku berkorban demi negri Firdaus.” “Jangan Kayla...kau tak perlu lakukan itu...” Bibir Daus bergetar. Daus tak mampu lagi menahan pedangnya. Pedang itu terlepas dari tangannya. Lalu, pedang itu melesat menuju leher Kayla. *** Selanjutnya >
9
Kembali Selanjutnya >
Ekor awan menyentuh tanah menjelma pusaran angin. Pusaran angin menerjang dan meluluhlantakan yang dilintasinya. Seorang bocah terhempas oleh hembusan angin. Rachel bergegas menolong. Sekuat tenaga ia menghadang hembusan angin sambil mengendong bocah itu. Tiba-tiba bocah itu menikam Rachel dengan belati. Bocah itu melepaskan diri dari gendongan Rachel. Lalu bersembunyi di balik pilar. Rachel tak berdaya saat puting beliung menghempaskannya tanpa ampun. *** Mark menangkap sesosok tubuh yang terhempas puting beliung. Sejenak ingatannya kembali pada peristiwa badai salju belasan tahun lalu. Saat itu, dalam perjalanan pulang dari Danau Bening menuju Usaberg rombongan Mark dihadang badai salju. Mark tak berdaya ketika badai salju menghempaskan Ibunya. Sehari kemudian, jasad Ibunya ditemukan membeku di bawah longsoran bukit salju. Mark menurunkan orang yang digendongnya. Sekilas wajah orang itu mirip mendiang Ibu Mark. Mark melepas jubah hitamnya. Lalu ia menyelimuti sesosok tubuh yang tergeletak di tanah dengan jubahnya. Kini ia hanya memakai mantel bulu beruang kutub. Usai selimuti orang itu dengan jubahnya, Mark bergegas pergi. Mark tak sudi berlama-lama terkena dejavu. Mark bergegas terbang menghampiri menara dan bersiap menghadang pusaran angin. Sebutir es ia letakkan di telapak tangan kiri sambil merapal mantra. Butiran es berangsur menjelma bola salju besar. Sekuat tenaga Mark melempar bola salju ke arah pusaran angin. Alhasil pusaran angin berbelok menjauhi menara. “Takkan kubiarkan siapapun atau apapun melukaimu, Kayla. Tak terkecuali dirimu sendiri,” kata Mark ketika sebuah kilasan hadir di penglihatannya. Selanjutnya >
10
Kembali Selanjutnya > Mark melesat masuk ke menara.
“Traang..!” Mark menangkis pedang yang nyaris menyentuh leher Kayla. Pedang itu terpelanting dan jatuh ke lantai. “Ambil pedangmu dan hadapi aku!” tantang Mark. Daus meladeni tantangan Mark. Keduanya bertarung sengit. Mark menyerang Daus bertubi-tubi. Daus berusaha menangkis walau seringkali tubuhnya terkena sabetan pedang Mark. Daus tampak kewalahan melawan Mark. Darah mengalir dari luka sayatan di tubuhnya. Kecemasan mengepung Kayla. Dia tak bisa membiarkan Mark melukai Daus. Kayla menyerang Mark dengan bola api. Mark berhasil menangkis serangan Kayla. Kemudian membalas dengan belenggu sihir. “Jadilah penonton yang baik, Kayla,” kata Mark. Tak mudah bagi Kayla melepaskan diri dari belenggu sihir. Tubuhnya serasa membeku dalam bongkahan es. Sekuat tenaga Kayla berusaha melepaskan diri dari balok es. “Pyar!” balok es pecah berkeping-keping. Kayla meraih sabit bergagang tongkat panjang di dinding. Lalu ia menebaskannya ke arah Mark. Mark tak sempat menghindar. Waktu seakan terhenti. Darah melumuri sabit. *** Selanjutnya >
11
Kembali Selanjutnya >
Sabit besar terlepas dari tangan Kayla. Mark roboh bersimbah darah. Kayla mendekat lalu meletakkan kepala Mark di pangkuannya. “Jangan tangisi aku Kayla.” Jemari Mark menghapus airmata di pipi Kayla, kemudian bergerak turun menyentuh kunci di leher Kayla. Mark merapal mantra. Kuku kelingkingnya meruncing dan menusuk leher Kayla. Asap dingin mengepul di leher Kayla. Cairan merah mengalir sesaat lalu membeku seketika. Kunci di leher Kayla terlepas. “Dulu, Ibuku yang membelenggumu dengan kunci sihir. Kini, saatnya kubebaskan kau dari segala belenggu.” Mark beralih memandang Daus. “Daus, bawa kemari pedangmu,” pinta Mark Mark melumuri pedang Daus dengan darah Kayla yang mengalir dari kelingkingnya. Sesaat kemudian darah itu membeku melapisi pedang Daus. “Gunakan pedang ini untuk memutar kunci berlawanan arah jarum jam.” Mark serahkan pedang dan kunci pada Daus. Kunci itu berbentuk lilitan tangkai bunga yang melingkar berhias sekuntum rosela. “Di bawah menara ini ada ruang bawah tanah tempat para wanita dikurung. Lindungi anak-anak dan para wanita itu di sana. Dan ruangan itu terhubung dengan lorong bawah tanah menuju istana. Bawa pasukanmu melintasinya. Bergegaslah, sebelum ekdisis Rael berakhir,” kata Kayla. “Ekdisis?” tanya Daus. “Rael dan pengikutnya penganut sihir Grasstroperus atau sihir belalang. Dia akan mengalami ekdisis tiap peningkatan ilmunya. Saat ekdisis adalah kondisi terlemah Rael,” jelas Kayla Daus bergegas meninggalkan Kayla dan menuruni menara. *** Selanjutnya >
12
Kembali Selanjutnya > < Kembali
Kayla melepas jubah hitamnya. Jubah itu dibiarkan jatuh di atas jasad Mark yang terbakar. Api segera melahap jubahnya. Kayla berdiri mematung menatap jasad Mark yang meleleh bagai lilin. Dia tak beranjak ketika lidah api menjilati ujung kain gaun putih yang dikenakannya. Kayla mengenggam jemarinya di dada. Dia merapal mantra agar tubuhnya kebas dilahap api . Dia sudah mantap menjemput kematiannya dalam kobaran api. Tiba-tiba lelehan jasad Mark mengalir dan merambati tubuh Kayla. Tergiang di telinga Kayla perkataan Mark, “Aku takkan membiarkan siapapun atau apapun melukaimu Kayla, tak terkecuali dirimu sendiri.” Seketika dingin menusuk jantung Kayla, seketika tubuhnya membeku. *** “Di mana Rachel?” tanya Daus. Kecemasan tergambar di wajahnya saat tak mendapati Rachel tak ada di antara rombongan. “Sabar Daus, mari lanjutkan perjuangan kita agar pengorbanan Rachel tak sia-sia,” jawab pemuda bersorban bernama Gibran. Daus menghela napas. Dia berusaha mengendalikan diri agar tak terbawa emosi. Daus membawa pasukannya ke ruang bawah tanah. Sebagian ikut bersamanya menuju istana. Sebagian berjaga di ruang bawah tanah. Daus memasukkan kunci, lalu menancapkan pedangnya pada kuntum rosela. Daus memutar kunci berlawanan arah jarum jam. Pintu gerbang istana Firdaus terbuka. Daus dan pasukannya masuk dengan penuh kewaspadaan. Mereka menemukan pasukan penyihir yang mengalami ekdisis berkumpul di sebuah ruangan. Sebagian penyihir yang telah ber-ekdisis membantu penyihir lain keluar dari eksuvia. Selanjutnya >
13
Kembali Selanjutnya >
Pasukan Daus bergegas menyegel ruangan itu dan menyiapkan perapian besar di depan pintu. Pasukan pemanah bersiap dengan panah api. Ketika pintu dijebol penyihir, panah api ditembakan. Para penyihir itu musnah dalam kobaran api. Daus menebaskan pedangnya pada tubuh Rael yang duduk di singgasana. Daus terkejut ketika mendapati tubuh itu hanyalah ekduvia Rael. “Awas!” teriak Altar sambil mendorong seorang prajurit menghindari cairan yang disemburkan Rael. Naas, kaki Altar terkena cairan itu dan melepuh seketika. Gibran melepas sorban dan merobeknya menjadi beberapa bagian. “Tahan, saudaraku.” Gibran menyeka cairan itu beserta lepuhan kulit Altar yang ikut terkelupas dengan robekan sorban. Altar merintih kesakitan. Dengan cekatan Gibran membalut luka di kaki Altar. Rael melayang-layang di udara sambil menyerang Daus. Daus menangkis dan balik menyerang sambil mencari titik kelemahan Rael. Daus menemukan titik kelemahan Rael. Daus menduga Rael terburu-buru keluar dari ekduvia sebelum proses ekdisis sempurna. Sehingga Rael tak menyadari telapak kaki kirinya buntung dan masih tertinggal di eksuvia. Daus menebas kaki kanan Rael. Telapak kaki kanan Rael putus. Rael terjatuh dengan darah merah kehijauan mengalir di kakinya. Darah di kaki Rael menjelma selaput telapak kaki. Susah payah Rael berusaha bangkit. Daus tahu bahwa Rael butuh satu lompatan kuat untuk terbang. Sedangkan tanpa telapak kaki Rael tak punya pijakan kuat untuk melompat sehingga kehilangan kemampuan terbangnya. Selanjutnya >
14
Kembali Selanjutnya >
Rael geram menahan kesakitan. Meskipun seorang penyihir sakti Rael harus mengalami fase tuneral yang melemahkannya. Fase tuneral adalah masa pemulihan diri pasca ekdisis, di mana organ tubuh masih lunak dan labil. Daus menusuk dada Rael dengan pedangnya. Rael terbelalak ketika pedang Daus menembus jantungnya. Disusul sebuah panah api menancap di punggung Rael. Bidikan panah Gibran tepat sasaran dan membakar tubuh Rael seketika. Rael menjerit kesakitan dalam kobaran api. Puting beliung menerjang istana meluluhlantakan yang dilintasinya. *** Kicauan burung menyapa pagi. Menyambut datangnya sang surya di ufuk timur. Daus menatap reruntuhan istana sisa amukan angin semalam. Bekuan darah di pedang Daus mencair. Menetes dari runcing pedang. Dan menguap sesaat usai sentuh rerumputan. Daus hening cipta sejenak. Kenang pengorbanan Mark, Kayla dan Rachel demi kemerdekaan Negri Firdaus. “Lapor Panglima, kami menemukan jasad beku di reruntuhan puncak menara.” laporan prajurit “Mark penyihir Usaberg?” tanya Daus sambil melangkah cepat “Bukan, jasad seorang gadis.” Selanjutnya >
15
Kembali Kembali ke Awal > < Kembali
Daus menemukan tubuh Kayla yang membeku dalam balok es. Sinar surya menerpa balok es. Es menyublim bebaskan Kayla dari kebekuan. Perlahan Kayla membuka mata. Daus hampir memeluknya tapi Rachel memeluk Daus lebih dulu sebelum Daus menyentuh Kayla. “Daus, aku sempat takut tak bisa bertemu denganmu lagi,” kata Rachel “Senang bisa bertemu lagi denganmu Kayla,” kata Gibran. “Kau...bocah Sabrian yang waktu itu...” Kayla coba mengingat. “Ya, aku bocah Sabrian yang dulu kau lempar ke padang pasir dengan sihirmu. Beruntung kaum Firdaus menyelamatkanku dan aku bisa ikut berjuang bersama mereka,” jawab Gibran Kayla menatap jubah yang dipakai Rachel lekat-lekat. Dia mengenali jubah itu adalah jubah Mark. “Rachel, dari mana kamu mendapatkan jubah itu?” tanya Kayla “Jubah ini milik orang yang menyelamatkanku,” jawab Rachel “Bolehkah, aku melihatnya?” pinta Kayla Rachel menyerahkankan jubah itu pada Kayla. Dugaan Kayla benar, jubah itu memang milik Mark. Jubah rajutan yang diberikannya kepada Mark sebagai imbalan kemenangan Mark dalam adu sihir dengannya. Jubah yang ia rajut dengan tangannya sendiri tanpa bantuan sihir. Kayla memeluk jubah itu erat-erat. Terngiang di telinganya perkataan terakhir Mark , “Aku takkan biarkan apapun menyakitimu Kayla, tak terkecuali dirimu sendiri.” “Selamat jalan Mark. Terimakasih atas segala pengorbananmu,” ucap Kayla sembari menitikkan airmata. **TAMAT** Kembali ke Awal >
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.