Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Cerpen Kunci Istana Firdaus

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Cerpen Kunci Istana Firdaus"— Transcript presentasi:

1 Cerpen Kunci Istana Firdaus
Baca Terimakasih Selanjutnya >

2 Kembali Selanjutnya > < Kembali Kunci Istana Firdaus
@hadiyahmarowati Menara itu berdiri kokoh di perbatasan negri. Lambang keangkuhan para penyihir. Kala malam tiba, lampu-lampu kristal menerangi menara. Tapi gemerlap lampu kristal tak mengurangi kegelapan di hati penghuninya. Kayla, gadis penyihir penghuni menara. Desau angin menitipkan risau di hatinya. Kerlip pelita nun jauh di sana menyulut rasa penasarannya. Ya, kerlip pelita di pemukiman kaum Firdaus. Seberkas cahaya yang menerangi sudut hatinya nan hitam sekelam jubahnya. “Buka matamu, kaum Firdaus bukan musuhmu. Mereka bukan pemberontak melainkan pejuang. Mereka berjuang demi kemerdekaan negri Firdaus.” Desau angin seakan mengulang perkataan bocah Sabrian. Kayla merapikan jubah hitamnya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra. Kedua telapak tangannya meraba bola kristal. Bola kristal berpendar sesaat. Lalu meredup dan padam. Seakan menolak mantra Kayla. “Bola kristal, untuk kali ini berikan kebenaran tentang masalaluku,” bisik Kayla. Bola kristal bercahaya. Sepasang mata coklat menatapnya. Mata itu mirip dengan matanya. Mata itu milik balita yang memandangi puting beliung. “Kayla! Lari!” pekik seorang bocah lelaki yang menyeret tangan Kayla. Bocah itu mengenggam tangan Kayla kuat-kuat. Keduanya berlari menerobos gumpalan awan kelabu yang bergulung-gulung. Kayla merasa gumpalan awan itu serupa lorong waktu. Kayla dan bocah itu berubah menjadi sosok dewasa. Kayla tak mengenali pemuda yang berlari bersamanya. Dia belum pernah bertemu pemuda itu. Tapi dia merasa akrab dengan pemuda itu. Seakan ada ikatan antara keduanya. Ikatan nan erat serupa ikatan darah. “Kayla, teruslah berlari. Jangan menoleh ke belakang!” kata bocah lelaki itu. Selanjutnya >

3 Kembali Selanjutnya >
“Kayla, anakku..” suara seorang wanita membuat Kayla menoleh. Seketika pusaran angin menghisap tubuh Kayla. Daus mengenggam jemari Kayla erat-erat. Tapi Daus tak berdaya melawan kuatnya pusaran angin. Gengaman tangan keduanya terlepas. Kayla terbawa pusaran angin kemudian dihempaskan ke dalam menara. *** “Kayla!” teriak Daus. Keringat membasahi tubuhnya. Daus menyibakan selimut dan bergegas bangkit dari ranjang. Diambilnya baju zirah dan pedang yang tergantung di dinding. Rachel yang semula duduk di samping ranjang bergegas bangkit. Ia mencegat Daus di depan pintu. “Minggir! Aku harus menemui Kayla sekarang,” kata Daus. “Tidak Daus, kau takkan  ke mana-mana,” cegah Rachel. “Rachel benar Nak, belum saatnya kamu menemui penyihir itu,” kata Panglima Husein. “Bila tujuanmu menemui Kayla untuk mencari jawaban atas kilasan masalalumu, maka aku punya jawabannya. Aku tahu tentang keterkaitan dirimu dengan Kayla dan kaitan dengan sejarah negri Firdaus selengkapnya,” lanjut Panglima Husein. “Apa maksud Ayah?” tanya Rachel. “Kalian kumpulkan seluruh pasukan di aula. Akan kuceritakan sejarah negri Firdaus sekaligus meluruskan niat penyerangan kita ke Danau Bening!” perintah Panglima Husein. “Baik, Panglima!” jawab Daus dan Rachel serempak. Keduanya bergegas mengumpulkan pasukan di aula.  Butiran  seputih  kapas  beterbangan  di  sekitar  Kayla.  Dingin  terasa  ketika  butiran itu menyentuh wajahnya.  Salju  turun  di  dalam  menara.  Kayla tahu  si  Penebar  Salju. Mark,  sang  penyihir  dari  negri  Usaberg.  Dialah  si  Penebar  Salju  itu.  Pemuda  berwajah dingin sedingin  darata Usaberg yang diselimuti  salju.  Pemuda  yang  dijodohkan  untuknya. Salju  turun  makin  deras.  Butiran  salju  menyentuh  lantai  menjelma benih  kristal.  Benih  kristal  bertunas  daun  es  lalu  berbunga  kristal  es.  Helaian  kuntum  bunga  sebening  kaca  bermekaran.  Wangi  bunga  semerbak  memenuhi  seisi  ruangan Selanjutnya >

4 Kembali Selanjutnya >
Kayla  memetik  sekuntum  chamomile  es. Dihirupnya  wangi  bunga  itu. “Indah  sekali... menghanyutkan.  Dan  membuatku  ingin  mengakui  sesuatu.” kata  Kayla lirih. Ia memejamkan matanya sejenak. Lalu mendelik dan berteriak. “Aku...takkan  tertipu  sihir  murahanmu,  Mark!” suara  lantang  Kayla  memecahkan  kuntum  bunga  es menjadi  berkeping-keping. Kepingan  es  berhamburan  seketika  menjelma  percikan  api.  Api  memercik  serupa  nyala  kembang  api.  Percikan  api  terhimpun  sedemikian  rupa  dan  melesat  menumbuk  gulungan  tirai  di  jendela. Tirai  terbakar  sesaat.  Lalu  padam  dan  berubah  wujud  seorang  pemuda berambut pirang. “Wow,  rupanya  tak  mudah  menaklukan  keangkuhanmu,  Kayla.”  kata  Mark  sembari  mengibaskan  jubahnya  yang  tersulut  api. “Dasar  amatir!” ejek  Kayla. “Ehm! Berhenti main-main nasib Danau Bening   lebih  penting  daripada  roman  picisan  kalian,”   kata  Rael yang  muncul  tiba-tiba. Lelaki 50an tahun itu berdiri di dekat jendela. Tampangnya sinis dan tampak sanggar dalam balutan jubah hitam yang dikenakannya. “Tentu  saja  Tuanku  Rael  benar.  Maafkan  saya  yang  telah  lancang  mengunjungi  putri  Tuanku  tanpa  izin,” kata  Mark. “Kunjungan   telah  berakhir,  Nak!  Sekarang  lanjutkan  tugas  kalian  menjaga  keamanan  Danau  Bening!” tegas Rael. “Baik,  Tuanku  Rael!”  sahut  Kayla. Ia beranjak menuju meja dan fokus dengan bola kristalnya. Mengabaikan Mark dan Rael yang masih berdiri di dekat jendela. Selanjutnya >

5 Kembali Selanjutnya >
“Akhiri  permainan  konyol  kalian.  Ini  bisa  mempermudah  usahamu.”  Rael  menyodorkan  sebotol  cairan  merah  muda  kepada  Mark. Rael  membentangkan  kedua lengannya.   Sepasang  sayap  kalong  muncul  dan  berkepak.  Rael  terbang  menuju  istana  di  tengah  danau. Mark  meremas  botol  cairan  itu  hingga  menjadi  serpihan  pasir  dalam  genggaman. “Aku  tak  butuh  ramuan  sihir  untuk  taklukan  Kayla.” gumam  Mark  sambil  membuang  serpihan  pasir  di  udara. Angin menerbangkan serpihan pasir itu ke padang gurun nan luas. *** Daus dan Rachel mengumpulkan seluruh pasukan di  aula. Panglima  Husein  berdiri  di  podium  memulai   ceritanya  tentang  sejarah  Negri  Firdaus  dan  Danau Bening. “Selamat malam, saudara-saudaraku!  Besok   malam  adalah  puncak  perjuangan  kita  mengambil  kembali   rumah  kita,  Negri  Firdaus.  Sebelum  itu,  kita  harus  meluruskan  niat  berperang  kita.  Kita  berperang  demi  kemerdekaan  bukan  balas  dendam,” kata Panglima Husein mengawali ceritanya. Kemudian beliau menuturkan kisah masalalu Negri Firdaus. Alkisah  di  suatu  gurun  terjadi  badai  pasir  yang  memporak-porandakan  pemukiman  negri  Pasir.  Azis,  sang  pemimpin  negri  Pasir  mengungsikan  penduduknya  ke  suatu  daerah  yang  bernama  Danau  Bening. “Selamat  datang  di  tanah  kami,  Tuanku,”  kata  Sinatriya. “Dulu  tanah  kami  disebut  Danau  Bening,  negri  penyihir  nan  subur.  Tapi  karena  ketamakan  kami,  tanah  kami  binasa  oleh  sihir  kami.  Tanah  kami  menjadi  kering  kerontang.  Sedangkan   pergi  ke  benua  hitam.” “Lalu  tulang  belulang  itu,  apa  yang  terjadi  dengan  mereka?”  Azis  menunjuk  kerangka  manusia  yang  berserakan  di  mana-mana. Selanjutnya >

6 Kembali Selanjutnya >
“Mereka  adalah  tumbal tolak bala.” Sinatriya tertunduk. “Biadab.” “Ya, karena tak tahan dengan kebiadaban kaumku, kami melarikan diri ke Negri Pasir.” “Sebaiknya kita singgah di sini malam ini.  Esok,kita lanjutkan perjalanan ke Negri Sabrian,” usul Panglima Husein. “Kita akan menetap di sini. Penduduk Sabrian takkan menerima sebagian saudara kita yang terkena wabah penyakit.Sedangkan kita tak mungkin meninggalkan saudara kita di sini,” kata Azis. “Perbekalan kita menipis Tuanku, sedangkan di sini tak ada sumber  pangan. Kita akan mati bila menetap di  sini,” kilah Panglima Husein. “Hidup,  mati, rezeki   dan  jodoh   adalah  takdir.  Tapi  kita  harus  berusaha  bertahan  hidup.  Sekarang  kita  bersihkan  tempat  ini  agar  layak  dihuni.  Kumpulkan  dan  kubur  tulang  belulang  itu  secara  layak!”  perintah  Azis. “Besok,  sebagian  dari  kalian  para  lelaki  sehat  ikut  bersamaku  ke  Negri  Sabrian.  Sebagian  lainnya  tetap  di  sini  bersama  Panglima  Husein  menjaga  wanita,  anak-anak  dan  orang sakit,” lanjut  Azis. “Baiklah  Tuanku,  kami  mematuhi  titah  Tuanku  Azis,”  kata  Panglima  Husein. Azis  dan  penduduk  Negri  Pasir  bahu-membahu  membangun  Danau  Bening  menjadi  tempat  yang  layak  huni.  Setelah  kerja  keras  diiringi  doa,  Danau  Bening  berangsur  menjadi  negri  yang  subur  dan  makmur.  Kemudian  berganti  nama  menjadi  Negri  Firdaus.  Dengan  Azis  sebagai  raja  dan  Panglima  Husein  sebagai  perdana  mentri.  Sedangkan  Sinatriya  memilih  menjadi  rakyat  biasa  yang hidup  sederhana  di  tepi  negri. Selanjutnya >

7 Kembali Selanjutnya >
Istri  Azis  wafat  setelah  melahirkan  putranya. Lalu  Azis  menitipkan  putranya  kepada  keluargaSinatriya.  Putra  Azis  diberi  nama  Firdaus  dan  dibesarkan  oleh  keluarga  Sinatriya. Di  saat  bersamaan  keluarga  Sinatriya  punya  seorang  anak  yang  sebaya  dengan  Firdaus.  Anak  itu  bernama  Kayla.  Keluarga  Sinatriya  membesarkan  keduanya  penuh  kasih  sayang. Sekian  tahun  kemudian,  para  Penyihir  kembali  dari  benua  hitam.  Awalnya  mereka  minta  izin tinggal  di  dekat  pekuburan.  Diam-diam  para  penyihir  menyusun  kekuatan  untuk  menyerang  negri  Firdaus. Suatu  malam,  para  penyihir  memporak-porandakan  negri  Firdaus  dengan  angin  sihir.  Angin  puting  beliung  juga  membangkitan  tulang  belulang  di  pekuburan dan menyerang  penduduk.  Pemimpin penyihir  bernama  Rael  berhasil  merebut  istana  setelah  membantai  Azis  dan  seisi  istana.  Beruntung  Panglima  Husein  berhasil  diselamatkan  beserta  istrinya  yang  sedang  hamil.  Saat  di  pengungsian  istri  Panglima  Husein  melahirkan  seorang  putri  yang  diberi  nama  Rachel. *** Malam tampak semakin kelam di  Negri Danau Bening. Gumpalan awan hitam berarak di langit. . Awan bergulung-gulung dengan ekor awan yang bersiap menyentuh bumi. Awan akan menjelma pusaran angin bila ekor awan menyentuh tanah. Daus dan pasukannya berhasil menyusup ke negri Danau Bening. Dengan penuh kewaspadaan mereka bergerak menuju menara. Aneh, suasana kota sangat lenggang. Tiada prajurit jaga yang bersiaga menghadang mereka. Langkah mereka terhenti di pelataran menara. Segerombolan anak-anak menghadang. Para bocah itu menatap hampa dengan sebilah belati dalam gengaman. “Waspada! Anak-anak itu dalam pengaruh sihir,” kata Daus. Para bocah menyerang membabibuta. Daus dan pasukannya menghalau serangan dengan hati-hati. Sebisa mungkin mereka menangkis serangan tanpa melukai anak-anak itu. “Masuklah ke menara, Daus! Biar kami yang hadapi anak-anak ini,” kata Rachel sambil membekuk seorang bocah. Daus berlari masuk ke menara. Menaiki puluhan anak tangga. Menemui Kayla di puncak menara. Selanjutnya >

8 Kembali Selanjutnya >
“Apa kabar saudaraku? Senang berjumpa denganmu setelah terpisah sekian lama,” sapa Kayla. “Aku datang untuk mengambil kunci istana Firdaus, Kayla,” sahut Daus. “Ambillah! Tebas leherku dan ambil kuncinya,” Kayla berlutut sambil menyibakan tudung kepalanya. Tampak  kunci berbentuk lilitan tangkai bunga  dengan  sekuntum  rosella  sebagai  liontin. “Aku  siap  Daus.  Tebaslah  kepalaku  dengan  pedangmu!” Kayla  menatap  Daus  sambil tersenyum. “Lakukanlah  dan  jangan  ragu-ragu.” Kayla  menyibakan  rambut  di  lehernya. Kayla  memejamkan  mata.  Dia  pasrah  bila hari  ini  hidupnya  berakhir. Daus  gemetaran.  Pedangnya  terasa  teramat  berat.  Dia  tak  sanggup  menebas  leher  Kayla. “Lakukanlah...!” Kayla  memasang  senyum  termanis. “Tidak  Kayla,  aku tak bisa.” Daus  menjatuhkan  pedangnya  ke  lantai. “Daus,  lakukanlah  demi  kaum  Firdaus.  Lumuri  pedangmu  dengan  darahku  agar  bisa  membuka  gerbang  istana  Firdaus.”  Kayla menatap  mata Daus yang berkaca-kaca. “Tidak  Kayla, aku tak bisa menyakitimu.  Kau  satu-satunya  keluargaku.” “Bila  kau  tak  sanggup  biar kulakukan  sendiri.” Kayla  merapal  mantra.  Pedang  Daus  bergerak-gerak,  melayang  di  udara  dan  siap  menebas  leher  Kayla. “Tidak...!” Daus  memegangi  gagang  pedang.  Dia  menahan  sekuat  tenaga  agar  pedang  itu  tak  menyentuh  Kayla. “Kumohon  Daus,  relakan  aku  berkorban  demi  negri  Firdaus.” “Jangan  Kayla...kau  tak  perlu  lakukan  itu...”  Bibir  Daus  bergetar. Daus  tak mampu lagi menahan pedangnya. Pedang itu terlepas dari tangannya. Lalu, pedang itu melesat menuju  leher  Kayla. *** Selanjutnya >

9 Kembali Selanjutnya >
Ekor awan menyentuh tanah menjelma pusaran angin. Pusaran angin menerjang dan meluluhlantakan yang dilintasinya. Seorang bocah terhempas oleh hembusan angin. Rachel bergegas menolong. Sekuat tenaga ia menghadang hembusan angin sambil mengendong bocah itu. Tiba-tiba bocah itu menikam Rachel dengan belati. Bocah itu melepaskan diri dari gendongan Rachel. Lalu bersembunyi di balik pilar. Rachel tak berdaya saat puting beliung menghempaskannya tanpa ampun. *** Mark menangkap sesosok tubuh yang terhempas puting beliung. Sejenak ingatannya kembali pada peristiwa badai salju belasan tahun lalu. Saat itu, dalam perjalanan pulang dari Danau Bening menuju Usaberg rombongan Mark dihadang badai salju. Mark tak berdaya ketika badai salju menghempaskan Ibunya. Sehari kemudian, jasad Ibunya ditemukan membeku di bawah longsoran bukit salju. Mark menurunkan orang yang digendongnya. Sekilas wajah orang itu mirip mendiang Ibu Mark. Mark melepas jubah hitamnya. Lalu ia menyelimuti sesosok tubuh yang tergeletak di tanah dengan jubahnya.  Kini ia hanya memakai mantel bulu beruang kutub. Usai selimuti orang itu dengan jubahnya, Mark bergegas pergi. Mark tak sudi berlama-lama terkena dejavu. Mark bergegas terbang menghampiri menara dan bersiap menghadang pusaran angin. Sebutir  es  ia letakkan di telapak tangan kiri sambil merapal mantra. Butiran es berangsur  menjelma bola  salju besar.  Sekuat  tenaga  Mark  melempar  bola  salju  ke arah  pusaran  angin.  Alhasil  pusaran  angin  berbelok  menjauhi  menara. “Takkan  kubiarkan  siapapun  atau  apapun  melukaimu, Kayla. Tak  terkecuali  dirimu  sendiri,” kata Mark  ketika  sebuah  kilasan  hadir  di penglihatannya. Selanjutnya >

10 Kembali Selanjutnya > Mark melesat masuk ke menara.
“Traang..!” Mark  menangkis  pedang  yang  nyaris  menyentuh  leher  Kayla. Pedang  itu  terpelanting  dan  jatuh  ke  lantai. “Ambil  pedangmu  dan  hadapi  aku!”  tantang  Mark. Daus  meladeni  tantangan  Mark.  Keduanya  bertarung  sengit. Mark  menyerang  Daus  bertubi-tubi.  Daus  berusaha  menangkis  walau  seringkali  tubuhnya  terkena  sabetan  pedang  Mark.  Daus  tampak  kewalahan  melawan  Mark.  Darah  mengalir  dari  luka  sayatan  di  tubuhnya.  Kecemasan  mengepung  Kayla.  Dia tak bisa membiarkan Mark  melukai  Daus. Kayla menyerang  Mark  dengan  bola  api. Mark  berhasil  menangkis  serangan  Kayla. Kemudian  membalas  dengan belenggu sihir. “Jadilah  penonton  yang  baik, Kayla,” kata  Mark. Tak  mudah  bagi Kayla melepaskan diri dari belenggu sihir. Tubuhnya  serasa  membeku  dalam bongkahan  es. Sekuat  tenaga  Kayla  berusaha  melepaskan  diri  dari  balok  es. “Pyar!” balok  es  pecah berkeping-keping. Kayla meraih sabit bergagang  tongkat  panjang di dinding.  Lalu ia menebaskannya  ke  arah  Mark. Mark  tak  sempat  menghindar.  Waktu  seakan  terhenti.  Darah  melumuri  sabit. *** Selanjutnya >

11 Kembali Selanjutnya >
Sabit besar terlepas dari tangan Kayla. Mark roboh bersimbah darah. Kayla mendekat lalu meletakkan kepala Mark di pangkuannya. “Jangan tangisi aku Kayla.” Jemari Mark menghapus airmata di pipi Kayla, kemudian bergerak turun menyentuh kunci  di  leher Kayla. Mark merapal mantra. Kuku kelingkingnya meruncing dan menusuk leher Kayla. Asap dingin mengepul di leher Kayla. Cairan merah mengalir sesaat lalu membeku seketika. Kunci di leher Kayla terlepas. “Dulu, Ibuku yang membelenggumu dengan kunci sihir. Kini, saatnya kubebaskan kau dari segala belenggu.” Mark beralih memandang Daus. “Daus, bawa kemari pedangmu,” pinta Mark Mark melumuri pedang Daus dengan darah Kayla yang mengalir dari kelingkingnya. Sesaat kemudian darah itu membeku melapisi pedang Daus. “Gunakan pedang ini untuk memutar kunci berlawanan arah jarum jam.” Mark serahkan pedang dan kunci pada Daus. Kunci itu berbentuk lilitan tangkai bunga yang melingkar berhias sekuntum rosela. “Di bawah menara ini ada ruang bawah tanah tempat para wanita dikurung. Lindungi anak-anak dan para wanita itu di sana. Dan ruangan itu terhubung dengan lorong bawah tanah menuju istana. Bawa pasukanmu melintasinya. Bergegaslah, sebelum ekdisis Rael berakhir,” kata Kayla. “Ekdisis?” tanya Daus. “Rael dan  pengikutnya penganut sihir Grasstroperus atau sihir belalang. Dia akan mengalami ekdisis tiap peningkatan ilmunya. Saat ekdisis adalah kondisi terlemah Rael,” jelas Kayla Daus bergegas meninggalkan Kayla dan menuruni menara. *** Selanjutnya >

12 Kembali Selanjutnya > < Kembali
Kayla  melepas  jubah  hitamnya.  Jubah  itu  dibiarkan  jatuh  di  atas  jasad  Mark  yang  terbakar.  Api  segera  melahap  jubahnya.  Kayla  berdiri  mematung  menatap  jasad  Mark  yang  meleleh  bagai  lilin.  Dia tak  beranjak  ketika  lidah  api  menjilati  ujung  kain  gaun putih yang dikenakannya. Kayla  mengenggam  jemarinya  di  dada.  Dia merapal  mantra  agar  tubuhnya  kebas  dilahap  api . Dia sudah  mantap  menjemput  kematiannya  dalam  kobaran  api. Tiba-tiba lelehan jasad Mark mengalir dan merambati tubuh  Kayla. Tergiang di telinga Kayla  perkataan Mark, “Aku takkan membiarkan siapapun atau apapun melukaimu Kayla, tak terkecuali dirimu sendiri.” Seketika  dingin  menusuk  jantung  Kayla, seketika tubuhnya membeku. *** “Di mana Rachel?” tanya Daus. Kecemasan tergambar di wajahnya saat tak mendapati Rachel tak ada di antara rombongan. “Sabar Daus, mari lanjutkan perjuangan kita agar pengorbanan Rachel tak sia-sia,” jawab pemuda bersorban bernama Gibran. Daus menghela napas. Dia berusaha mengendalikan diri agar tak terbawa emosi. Daus membawa pasukannya ke ruang bawah tanah. Sebagian ikut bersamanya menuju istana. Sebagian berjaga di ruang bawah tanah. Daus memasukkan kunci, lalu menancapkan pedangnya pada kuntum rosela. Daus memutar kunci berlawanan arah jarum jam. Pintu gerbang istana Firdaus terbuka. Daus dan pasukannya masuk dengan penuh kewaspadaan. Mereka menemukan pasukan penyihir yang mengalami ekdisis berkumpul di sebuah ruangan. Sebagian penyihir yang telah ber-ekdisis membantu penyihir lain keluar dari eksuvia. Selanjutnya >

13 Kembali Selanjutnya >
Pasukan Daus bergegas menyegel ruangan itu dan menyiapkan perapian besar di depan pintu. Pasukan pemanah bersiap dengan panah api. Ketika pintu dijebol penyihir, panah api ditembakan. Para penyihir itu musnah dalam kobaran api. Daus menebaskan pedangnya pada tubuh Rael yang duduk di singgasana. Daus terkejut ketika mendapati tubuh itu hanyalah ekduvia Rael. “Awas!” teriak Altar sambil mendorong seorang prajurit menghindari cairan yang disemburkan Rael. Naas, kaki Altar terkena cairan itu dan melepuh seketika. Gibran melepas sorban dan merobeknya menjadi beberapa bagian. “Tahan, saudaraku.” Gibran menyeka cairan itu beserta lepuhan kulit Altar yang ikut terkelupas dengan robekan sorban. Altar merintih kesakitan. Dengan cekatan Gibran membalut luka di kaki Altar. Rael melayang-layang di udara sambil menyerang Daus. Daus menangkis dan balik menyerang sambil mencari titik kelemahan Rael. Daus menemukan titik kelemahan Rael. Daus menduga Rael terburu-buru keluar dari ekduvia sebelum proses ekdisis sempurna. Sehingga Rael tak menyadari telapak kaki kirinya buntung dan masih tertinggal di eksuvia. Daus menebas kaki kanan Rael. Telapak kaki kanan Rael putus. Rael terjatuh dengan darah merah kehijauan mengalir di kakinya. Darah di kaki Rael menjelma selaput telapak kaki. Susah payah Rael berusaha bangkit. Daus tahu bahwa Rael butuh satu lompatan kuat untuk terbang. Sedangkan tanpa telapak kaki Rael tak punya pijakan kuat untuk melompat sehingga kehilangan kemampuan terbangnya. Selanjutnya >

14 Kembali Selanjutnya >
Rael geram menahan kesakitan. Meskipun seorang penyihir sakti Rael harus mengalami fase tuneral yang melemahkannya. Fase tuneral adalah masa pemulihan diri pasca ekdisis, di mana organ tubuh masih lunak dan labil. Daus menusuk dada Rael dengan pedangnya. Rael terbelalak ketika pedang Daus menembus jantungnya. Disusul sebuah panah api menancap di punggung Rael. Bidikan panah Gibran tepat sasaran dan membakar tubuh Rael seketika. Rael menjerit kesakitan dalam kobaran api. Puting beliung menerjang istana meluluhlantakan yang dilintasinya. *** Kicauan burung menyapa pagi. Menyambut datangnya sang surya di ufuk timur. Daus menatap reruntuhan istana sisa amukan angin semalam. Bekuan darah di pedang Daus mencair. Menetes dari runcing pedang. Dan menguap sesaat usai sentuh rerumputan. Daus hening cipta sejenak. Kenang pengorbanan Mark, Kayla dan Rachel demi kemerdekaan Negri Firdaus. “Lapor Panglima, kami menemukan jasad beku di reruntuhan puncak menara.” laporan prajurit “Mark penyihir Usaberg?” tanya Daus sambil melangkah cepat “Bukan, jasad seorang gadis.” Selanjutnya >

15 Kembali Kembali ke Awal > < Kembali
Daus menemukan tubuh Kayla yang membeku dalam balok es. Sinar surya menerpa balok es. Es menyublim bebaskan Kayla dari kebekuan. Perlahan Kayla membuka mata. Daus hampir memeluknya tapi Rachel memeluk Daus lebih dulu sebelum Daus menyentuh Kayla. “Daus, aku sempat takut tak bisa bertemu denganmu lagi,” kata Rachel “Senang bisa bertemu lagi denganmu Kayla,” kata Gibran. “Kau...bocah Sabrian yang waktu itu...” Kayla coba mengingat. “Ya, aku bocah Sabrian yang dulu kau lempar ke padang pasir dengan sihirmu. Beruntung kaum Firdaus menyelamatkanku dan aku bisa ikut berjuang bersama mereka,” jawab Gibran Kayla menatap jubah yang dipakai Rachel lekat-lekat. Dia mengenali  jubah itu adalah jubah Mark. “Rachel, dari mana kamu mendapatkan jubah itu?” tanya Kayla “Jubah ini milik orang  yang menyelamatkanku,” jawab Rachel “Bolehkah, aku melihatnya?” pinta Kayla Rachel  menyerahkankan jubah itu pada Kayla. Dugaan Kayla benar,  jubah itu memang  milik Mark.  Jubah rajutan yang diberikannya kepada  Mark  sebagai  imbalan kemenangan Mark  dalam adu sihir dengannya.  Jubah yang ia rajut dengan tangannya sendiri tanpa bantuan sihir. Kayla memeluk  jubah itu erat-erat. Terngiang  di  telinganya perkataan terakhir  Mark , “Aku takkan biarkan apapun menyakitimu Kayla, tak terkecuali  dirimu sendiri.”  “Selamat  jalan  Mark. Terimakasih atas segala pengorbananmu,” ucap  Kayla sembari menitikkan airmata. **TAMAT** Kembali ke Awal >


Download ppt "Cerpen Kunci Istana Firdaus"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google