Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehIrma Yono Telah diubah "10 tahun yang lalu
1
KEAMANAN DAN KESELAMATAN TRANSPORTASI LAUT
DIDASARKAN KEPADA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL Sub Topik KESELAMATAN PELAUT PERIKANAN DAN NELAYAN TERKAIT DOKUMEN IDENTITAS PELAUT Oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut DEPARTEMEN PERHUBUNGAN JAKARTA, 7 OKTOBER 2009 Mengingat TOR (Term of Reference) dari pertemuan ini juga difokuskan kepada implementasi Permenhub No. KM. 30 Tahun 2008 tentang “Dokumen Identitas Pelaut” terhadap pelaut perikanan termasuk nelayan, maka presentasi berikut ini difokuskan kepada keselamatan jiwa pelaut perikanan dan nelayan.
2
Sistematika PENDAHULUAN POSISI INDONESIA
KETERKAITAN ANTAR INSTRUMEN INTERNASIONAL KM. 30 TAHUN 2008 TENTANG “DOKUMEN IDENTITAS PELAUT” PENUTUP Presentasi ini akan diawali dengan berbagai organisasi internasional yang terkait dengan usaha perikanan dan instrumen internasional yang diterbitkannya, dengan harapan dapat membantu memetakan keadaan dan mengidentifikasi kemungkinan adanya tumpang tindih antar Departemen/Instansi, dan diakhiri dengan dasar pemikiran perlindungan terhadap awak kapal sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang “Pelayaran”, dalam kaitannya dengan perlindungan pelaut terhadap diskriminasi (karena pelaut dianggap memiliki potensi untuk melakukan aksi teror) pada UU No. 1 Tahun 2008 tentang “Pengesahan Konvensi ILO No. 185 Tahun 2003” (sebagai Revisi Konvensi ILO No. 108 Tahun 1958 tentang “Dokumen Identitas Pelaut (Seafarers Identity Dokumen)” sehingga Pemerintah harus menerbitkan Permenhub No. KM. 30 Tahun 2008 tentang “Dokumen Identitas Pelaut” beserta implikasinya.
3
UN ILO/IMO/FAO FAO 1. PENDAHULUAN FISHERY STANDARDS
Usaha perikanan melibatkan banyak organisasi internasional sehingga diatur dengan banyak instrumen internasional. UN ILO/IMO/FAO FAO Code of Conduct for Responsible Fishing 1995 & Compliance Agreement 1993 UNCLOS & UNIA 1995 Voluntary Guidelines, Dalam skema ini dapat dilihat standar internasional yang mengatur usaha perikanan. Namun selain UNCLOS, yang telah diratifikasi oleh RI adalah ILO Convention No.185 tentang SID (Seafarers Identity Document), sedangkan instrumen lain belum diratifikasi namun kita mengklaim telah mengadopsinya. Persoalan yang fundamental antara lain Focal Point Indonesia untuk organisasi tersebut, misalnya: UN = Deplu; FAO = Departemen Pertanian (karena ikan adalah jenis makanan / food); ILO = Depnakertrans; IMO = Ditjen Hubla (sehingga hal-hal yang menyangkut keamanan dan keselamatan ditangani oleh Dirjen Hubla). Saran : Karena DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) bertanggung-jawab terhadap IUU Fishing (Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing) dan peralatan tangkap pada kapal penangkap ikan selain mother ship (kapal pengumpul) dan factory ship (kapal pengolah ikan) yang berfungsi sebagai kapal kargo (kapal niaga), maka dalam pertemuan internasional tentang usaha perikanan khususnya Join Working Group ILO/IMO/FAO delegasi RI berasal dari berbagai instansi namun selalu menghadirkan tenaga ahli dari DKP. Jika hal tersebut telah dilakukan, maka DKP disarankan lebih agresif dalam memotori pembuatan Naskah Akademik dari berbagai instrumen internasional yang menguntungkan jika diratifikasi oleh RI. Code of Safety of Fishing Vessel ILO C-185, 2003 (Revised), ILO C-188,and ILO R-199 The STCW-F 1995, Torremolinos SFV 77/93 and Protocol 1993, London Convention 72 Protocol 96
4
2. POSISI INDONESIA Keselamatan awak kapal, kapal dan lingkungan
Kompetensi awak kapal Alat tangkap FOKUS UU NO. 17 / 2008 TERKAIT AWAK KAPAL Dari berbagai instrumen internasional yang khusus mengatur perikanan, yang diratifikasi RI hanya Conservation & management of straddling & high migratory fish stocks sebagai amanat dari UNCLOS Pasal 118. Sedangkan instrumen lain masih dalam tingkat wacana untuk diratifikasi. DKP telah melaksanakan beberapa pertemuan dengan stake holders untuk meratifikasi Konvensi Internasional STCW 1995 (standar kompetensi pelaut perikanan) dan Konvensi ILO No. 188 dan Rekomendasi ILO No. 199 (standar kesejahteraan awak kapal perikanan), namun pada umumnya peserta pertemuan “menciptakan hantu lalu takut kepada hantu yang diciptakan (padahal hantunya belum tentu ada)”. Untuk mengatasi keadaan ini UU No. 17 Tahun 2008 – Bab XIV (SDM) menentukan standar pendidikan SDM berdasarkan peraturan nasional dan internasional, dan dalam Bab IX (Kelaiklautan Kapal) menentukan “kesejahteraan awak kapal sebagai bagian dari kelaiklautan kapal”. Hal ini menunjukkan bahwa jika awak kapal tidak diperlakukan secara layak, maka Syahbandar dapat melakukan detention dengan cara tidak menerbitkan SIB (Surat Izin Berlayar). Kita bersama dengan DPR RI telah menempatkan perlindungan sosial awak kapal termasuk pelaut perikanan pada tempat yang terhormat. Conservation & management by FV on the high seas Kesejahteraan awak kapal Conservation & management of straddling & high migratory fish stocks
5
3. KETERKAITAN ANTAR INSTRUMEN INTERNASIONAL
UNCLOS Article 91 (Certificate of Nationality), Article 116 (Hak dan kewajiban penangkapan ikan di laut lepas), Article 118 (Kerjasama antar negara dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati di laut lepas). STCW-F 1995 mengatur training & certification awak kapal penangkap ikan dengan panjang > 24 m atau bermesin > 750 kW, namun mengharuskan pencatatan pengalaman berlayar untuk kapal di atas 12 m (GT 60). FAO/ILO/IMCO Voluntary Guidelines for the Design, Construction and Equipment of Small Fishing Vessels – Chapter 7 & 8 : khususnya panjang kapal = 12 m sd <17 m dan 17 m sd < 24 m; ILO C.188 Work in Fishing Sector – Article 9 dan 10 (Training) serta Article 13 & 14 (Minimum Safe Manning ); Torremolinos SFV and Protocol Consolidated Regulation VIII/3 dan VIII/4 (Drill & Training), dan skema panjang kapal = > 24 m sd < 45 m (Training), > 45 m (Radio Com), 24 m sd 60 m dan > 60 m (Fire Safety), 24 m sd < 75 m dan > 75 m (SCRB). UU No. 17 Tahun 2008 tentang “Pelayaran” telah mengantisipasi jika pada suatu saat nanti Indonesia meratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006, Konvensi STCW-F 1995, dan Konvensi ILO 188 yang mengharuskan adanya Perjanjian Kerja Laut (PKL) bagi pelaut perikanan, maka penyijilan (sign on pada Buku Pelaut, dan memasukkan pelaut ke dalam Buku Sijil / Crew List sebagai awak kapal) merupakan hal yang wajib dilakukan. KUHD Buku II mengatur tentang PKL dan Penyijilan namun memberi kebebasan kepada kapal motor berukuran kurang dari GT 35 dan kapal tradisional kurang dari GT 105. Namun STCW-F 1995 mengharuskan pencatatan masa berlayar pada kapal perikanan dengan panjang di atas 12 m atau di atas GT 60 (ekstra-polasi panjang kapal menjadi gross tonnage berdasarkan Annex Konvensi ILO No. 188). Dengan demikian, Permenhub No. KM 30 Tahun 2008 hanya menyaratkan penyijilan kepada awak kapal pada kapal perikanan dengan ukuran lebih panjang dari 12 meter atau lebih besar dari GT 60 agar nelayan yang menangkap ikan secara tradisional tidak terbebani dengan konsep yang futuristik.
6
4. KM. 30 TAHUN 2008 TENTANG “DOKUMEN IDENTITAS PELAUT”
Ketentuan UU No.17 Tahun 2008 tentang “Pelayaran” : UU No. 17 Tahun 2008 tentang “Pelayaran” pasal 117 (2) : Kelaiklautan kapal antara lain terpenuhinya persyaratan “pengawakan kapal” dan “kesejahteraan awak kapal”. UU No. 17 Tahun 2008 pasal 145 : Setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan. UU No. 17 Tahun 2008 pasal 151 (1) : Setiap awak kapal berhak mendapatkan kesejahteraan; pasal 151 (2) : Kesejahteraan kerja dinyatakan dalam perjanjian kerja. Perlu dipahami bahwa istilah “pelaut” ditemukan dalam UU No. 17 Tahun 2008 – Bab XIV tentang SDM. Namun ketika pelaut telah menanda-tangani PKL, dia dapat disijil (sign on) pada Buku Pelautnya. Setelah pelaut disijil di atas kapal (dimasukkan dalam Crew List), maka sejak saat itu dia disebut sebagai “awak kapal”. UU, PP dan Permenhub berusaha untuk melindungi awak kapal termasuk awak kapal perikanan jika terjadi contract dispute (sengketa hubungan industrial), karena yang bisa melindungi pelaut (setelah tidak lagi menjadi awak kapal) di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Hubungan Industrial hanyalah PKLnya. Dengan demikian kami berharap hadirin di pertemuan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk perlindungan sosial kepada pelaut perikanan yang bekerja pada kapal perikanan di bawah GT 60 yang kesepakatan kerjanya berdasarkan “kekeluargaan/kekerabatan” dengan pola penggajian “bagi hasil” agar dapat dijadikan kebijakan publik yang adil bagi setiap anggota masyarakat.
7
Pertimbangan KM 30 Tahun 2008 :
Selain memperhatikan UU No. 17 Tahun 2008 tentang “Pelayaran”, KUHD Buku II, dan UU No. 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan Konvesi ILO No. 185 tentang Dokumen Identitas Pelaut, juga ditujukan untuk melindungi keselamatan, hak dan kesejahteraan awak kapal / nelayan. Namun apakah yang terjadi? : Peraturan perundang-undangan ini dianggap menjadi beban masyarakat. Peraturan diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai instansi yang menegakkan hukum di laut sehingga DEPHUB dianggap tidak/kurang berkoordinasi dengan instansi terkait (DKP). Artinya, peraturan (instrumen kebijakan publik) yang baik, belum tentu diterima dengan baik oleh masyarakat. Perbedaan interpretasi bisa disebabkan oleh kurang efektifnya sosialiasi. Pertemuan ini diharapkan dapat membantu proses sosialisasi sehingga dapat mengajak stake holder untuk berpartisipasi dalam evaluasi validitas dan reliabilitas kebijakan publik, khususnya Permenhub No. KM 30 Tahun 2008 tentang “Dokumen Identitas Pelaut”. Perlu dipahami bahwa Konvensi ILO No. 108 Tahun 1958 tentang “Dokumen Identitas Pelaut” menetapkan Buku Pelaut hanya untuk pelaut dan bukan untuk TKI agar mereka tidak dihukum cambuk di Malaysia karena memakai Buku Pelaut untuk memperoleh bebas fiskal. Cara terpendek seseorang untuk jadi pelaut yang dibuktikan dengan dimilikinya seafarers code adalah dengan mengikuti Basic Safety Training agar seafarers code tersebut dapat dijadikan dasar pemberian Buku Pelaut kepada orang tersebut.
8
4. KM 30 TAHUN 2008 Padahal : Peraturan telah mempertimbangkan keadaan nelayan / pelaut perikanan (click Lampiran ) Konvensi ILO No. 188 menuntut adanya Perjanjian Kerja Laut (PKL), jam istirahat minimum 10 jam / hari namun 77 jam / minggu, dan gaji awak kapal perikanan dibayar tiap bulan atau pembayaran teratur lainnya (other regular payment) sungguh pun di Indonesia masih berdasarkan bagi hasil dan berazas kekeluargaan. Ada sekitar 6000 pelaut perikanan Indonesia yang bekerja di Japan Tuna Federation dan ribuan lainnya pada perusahaan Korea Selatan, Taiwan, Spanyol, dll yang perlu perlindungan. Kurikulum dan silabus Basic Safety Training terdiri dari : Personal survival technique, agar awak kapal dapat bertahan hidup di air selama mungkin; Basic fire fighting, agar awak kapal dapat mencegah terjadinya kebakaran; Elementary first aid, agar awak kapal dapat melakukan P3K saat terjadi kecelakaan kerja; Personal safety and social responsibility, agar awak kapal mengetahui keselamatan kerja dan dapat bersosialisasi di kapal. BST identikal dengan kewajiban memakai helm kepada pengemudi sepeda motor karena untuk menyelamatkan jiwanya. Sebagaimana diketahui bahwa angka kematian nelayan di Cilacap adalah 119 orang / orang / tahun. Angka kematian nelayan kita di atas angka kematian dunia (80 orang / orang / tahun). Dengan demikian BST diharapkan dapat menurunkan angka kematian karena kita tidak ingin profesi pelaut sebagai widow maker (penghasil janda). Hal ini juga sebagai salah satu upaya menghindari “pupur sa’uise benjut” dalam skema Roadmap to Zero Accident.
9
Hal yang perlu dipertimbangkan :
5. PENUTUP Indonesia merupakan anggota IMO Council – Kategori C dan berada dalam IMO White List untuk implementasi STCW 1978 as amended. Artinya, Indonesia harus ikut menegakkan instrumen internasional guna mencapai Goal of IMO. Hal yang perlu dipertimbangkan : Apakah instrumen internasional yang mengatur perikanan akan diratifikasi / disahkan atau tidak? Mengingat kondisi masyarakat nelayan kita, apakah need analysis dan risk assessment untuk ratifikasi telah dimulai (bahan Naskah Akademik)? Dirjen Hubla menerbitkan Surat Edaran tentang “Dispensasi Buku Pelaut dan Penyijilan bagi Pelaut Kapal Perikanan” yang berlaku sampai 31 Desember sehingga mulai 1 Januari 2010 semua pihak perlu memikirkan keselamatan dan perlindungan kesejahteraan pelaut perikanan dan nelayan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dispensasi juga diberikan kepada awak Kapal Layar Motor (KLM) yang merupakan armada PELRA (Pelayaran Rakyat). Saat ini Badan Diklat Perhubungan menyusun kurikulum dan silabus program BST 3 hari untuk perikanan dan 5 hari untuk pelaut KLM. Sampai dengan periode Oktober 2009 di Biwi Maritime Training Centre, Bali, telah diterbitkan sertifikat BST untuk perikanan dengan masa diklat 3 hari sebanyak 481 sertifikat, dan sertifikasi untuk sekitar 1000 orang pelaut perikanan (nelayan) sedang dalam proses.
10
Terima kasih atas perhatiannya
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.