Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

UPAYA REVITALISASI BUDAYA NYONGKOLAN SASAK “DENGAN PENGUATAN AWIG-AWIG” * OLEH : HL.SYAPRUDDIN.** * Makalah disampaikan pada Loka Karya ttg Awig-Awig.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "UPAYA REVITALISASI BUDAYA NYONGKOLAN SASAK “DENGAN PENGUATAN AWIG-AWIG” * OLEH : HL.SYAPRUDDIN.** * Makalah disampaikan pada Loka Karya ttg Awig-Awig."— Transcript presentasi:

1 UPAYA REVITALISASI BUDAYA NYONGKOLAN SASAK “DENGAN PENGUATAN AWIG-AWIG” * OLEH : HL.SYAPRUDDIN.** * Makalah disampaikan pada Loka Karya ttg Awig-Awig Nyongkolan , 23 April 2014,Polda NTB – Mataram ** Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram. I PENDAHULUAN Nyongkolan atau nyongkol/ nyombe /nyondol adalah sebuah prosesi dan atraksi yang merupakan bagian dari “penyempurnaan” upacara perkawinan menurut hukum adat sasak yang dirangkaikan dengan upacara “Sorong Serah Aji Krama”. Sorong Serah Aji Krama merupakan upacara pernyataan /peresmian/pengesahan atas pelaksanaan sebuah perkawinan menurut adat sasak. Sorong serah tersebut dilaksanakan dalam sebuah sidang krama yang bermaksud menegakkan dan menjadikan sebuah perkawinan menjadi bermartabat. Dikatakan sebagai prosesi, karena nyongkolan merupakan bagian kegiatan akhir, yang baru dapat dilaksanakan apabila semua kegiatan yang merupakan bagian dari proses awal (yang berkaitan dengan ketentuan/perintah menurut agama dan adat), telah selesai dilaksanakan, untuk ditunjukkan sebagai publikasi kepada lingkungan yang lebih luas dan mempererat hubungan silaturrahim antara dua kerabat / komunitas yang telah disatukan. Dinyatakan sebagai atraksi, karena nyongkolan adalah sebuah tampilan tata laku tertentu yang menunjukkan makna bahwa segala hal-hal yang berkait dengan urusan perkawinan tersebut telah purna ditunaikan. Dalam tulisan ini ingin disajikan sebuah pemikiran tentang bagaimana seharusnya sebuah atraksi budaya (dalam hal ini nyongkolan sebagai prosesi) yang semula diikat/dibingkai dengan tata aturan tertentu yang terkadang berhubungan dengan ritual-ritual yang diyakini, sedapat mungkin direkonstruksi dan direvitalisasi.

2 Nyongkolan memang tidak termasuk bagian dari upacara pengesahan perkawinan menurut adat apalagi menurut agama, tetapi tetap mempunyai arti penting untuk menunjukkan bahwa. serangkaian kewajiban yg berkaitan dengan perkawinan itu (prosesi,tahapan-tahapan yg dilalui), telah selesai dilaksanakan, sehingga tidak salah jika diartikan sebagai sebuah simbul yang syarat makna1 . Sebagai sebuah simbul, tentu didalamnya terkandung unsur-unsur dan atau ciri-ciri yg menunjukkan karakteristik tertentu. Karakteristik inilah yang membuat sebuah simbul jadi bermakna, yang pada ahirnya menunjukkan “jati diri tertentu” bagi si pendukung simbul itu. Kegiatan nyongkolan yang cukup semarak dewasa ini,menurut sebagian kalangan telah banyak mengalami penyimpangan,sehingga dihawatirkan akan banyak kehilangan makna yang pada gilirannya tidak mampu menunjukkan sebuah jati diri, sedangkan jati diri adalah sebuah kata kunci dan sekaligus sebagai tujuan akhir yang harus dipertahankan. Berdasarkan uraian ini, maka cukup alasan untuk mengangkat sebuah thema penting untuk didiskusikan, yaitu “Upaya Revitalisasi Budaya Nyongkolan Sasak “. Upaya revitalisasi tersebut, tentu memerlukan berbagai langkah penting, yg berupa pemikiran dan pembahasan dari berbagai sudut pandang. Polda NTB sebagai lembaga penyelenggara mengambil inisiatip untuk memperkuat basis penataan dengan mendata dan menyuratkan2 awig-awig tentang nyongkolan. Dengan demikian, tulisan singkat yang saya tawarkan dan sajikan dalam diskusi ini, diberi judul “Upaya Revitalisasi Budaya Nyongkolan Sasak dengan “penguatan awig – awig”

3 II PERMASALAHAN Suatu hal yang tak dapat dipungkiri tentang ihwal nyongkolan adalah, keberadaannya sebagai sebuah tradisi yang hidup dan bahkan berkembang di tengah-tengah masyarakat sasak (terutama di Lombok) yang umumnya dilakoni oleh sebagian besar kalangan muda / remaja yg merupakan asset bangsa (khususnya asset komunitas “sasakadi” – “sa’sa’ dan adi”3) sebagai generasi penerus masa depan. Dibalik gairah yang semarak dalam tampilan atraksi nyongkolan itu, ternyata sarat dengan berbagai penyimpangan yang pada gilirannya tak pelak menimbulkan reaksi plus minus dari masyarakat (kalangan eksternal dan internal komunitas sasak). Tanggapan positif diberikan, karena atraksi nyongkolan adalah bagian dari asset budaya lokal yang patut dilestarikan, sedangkan tanggapan negatif diberikan karena prilaku yang ditampilkan dalam atraksi nyongkolan itu sering kali berkecendrungan mengabaikan nilai-nilai kearifan yang sejatinya harus ditunjukkan dan dipertahankan. Menilik fakta dan realita tersebut, nyandang patut untuk diangkat 2 (dua) permasyalahan penting untuk dibahas dalam tulisan ini : Apa dan bagaimana prinsip hukum adat dan nilai kearifan lokal yang harus ditegakkan dalam prosesi dan atraksi budaya nyongkolan ?. Bagaimana upaya revitalisasi yang perlu dan atau harus dilakukan ?.

4 III PEMBAHASAN Adat dan atau hukum adat (termasuk didalamnya segala prosesi dan atraksi adat) hanya dapat dipertahankan manakala dipahami dengan baik dan dipertahankan dengan tulus prinsip-prinsip pemahaman, pengamalan dan penegakannya. Untuk dapat dipahami dengan baik, seyogyanya dilandasi pada tiga hal yang sangat penting: Menjunjung tinggi ikon – ikon kemartabatan suku bangse sasak (antara lain prinsip-prinsip“lomboq bender turne gantar, jagaq lengkaq pegawean solah, solah gaweq – solah dait, sampi betali pepit- manuse betali raos, lomboq mirah sasak adi” dll), Landasan pemahaman keberlakuan adat dan atau hukum adat (prinsip-prinsip “agama betakaq adat, agama beteken adat, agama betatah adat), Landasan penegakan hukum adat (menjunjung tinggi prinsip kesepakatan / musyawarah mufakat secara mutlak, “ungkapan : yen sampun puput / punggel tali jinah, tan onang wacane/bebaos malih)4. Tiga landasan pemahaman dan pengamalan adat dan atau hukum adat tersebut, penulis jadikan sebagai landasan berfikir dalam pembahasan tentang nyongkolan yang merupakan bagian ahir dari upacara yang dilaksanakan dakam gawe adat merariq. Begawe merariq adalah wahana untuk mempublikasi pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahannya.Publikasi yang lebih luas, terlihat pada acara arak-arakan yang disebut nyongkol5.

5 Suku bangsa sasak adalah sebuah komunitas yg merupakan penduduk mayoritas di pulau Lombok yang sebagian besar masih mempertahankan dan melaksanakan perkawinan menurut cara-cara adat (adat sasak). Dari sudut pandang adat, perkawinan itu bertujuan sangat luhur, karena menyatunya dua insan dgn perkawinan pada hakekatnya telah mempererat dan menyambung hubungan dua komunitas dan atau kerabat dari kedua mempelai. Tujuan penyatuan itu terlihat pada ungkapan-ungkapan simbolik yg tercermin dalam penamaan/penyebutan yg dihubungkan dgn lingkup hubungan intra dan antar kekerabatan. Perkawinan dlm intern kadang waris disebut “betempuh pisaq”, perkawinan antara pria dan wanita yg mempunyai hubungan kadang jari disebut “sambung uwat benang” dan perkawinan antara pihak laki dan wanita yg tidak ada hubungan pekadangan (kekerabatan) disebut “pegaluh gumi”6. Dari istilah yg digunakan tersebut menunjukkan bahwa orang sasak memandang perkawinan itu mengandung makna dan tujuan yang sangat sakral, harus direstui dan disyukuri oleh manusia dan diredhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

6 Untuk mendapat redho dari Allah SWT / Tuhan YME, maka perkawinan itu harus dilaksanakan sesuai dengan syariat Agama (Agama mensyariatkan Nikah – ijab qabul dan adat “sasak” menentukan keharusan “Nuntut/bait Wali”). Untuk mendapat restu dan disyukuri oleh manusia (terutama keluarga dan kerabat), adat sasak menentukan keharusan menjalankan cara-cara tertentu dengan proses yang berpuncak pada upacara “sorong serah ajikrama”. Setelah perkawinan diresmikan secara adat (dgn upacara sorong serah), maka seketika pula dilakukan publikasi secara luas dan acara temu keakraban, yang dijalankan dengan prosesi nyongkolan dan bales tapaq/bales onos nae yang dilakukan oleh dan atau berangkat dari alamat keluarga / kerabat pihak laki-laki menuju alamat keluarga / kerabat pihak perempuan. Dengan demikian, maka nyongkolan tersebut harus memenuhi 4 (empat) unsur/prinsif/tujuan, yaitu sebagai sebuah “prosesi, atraksi, publikasi, dan harmonisasi”. Prosesi berasal dari kata “proses”7 yang berarti antara lain serangkaian kegiatan yg saling terkait atau berinteraksi, urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau didesain, mungkin menggunakan waktu, ruang, atau sumber daya lainnya8. Ketika kata proses mendapat imbuhan “I”, dan menjadi prosesi mengandung arti “ pawai khidmat (perarakan)9. Dengan demikian maka nyongkolan sebagai sebuah prosesi, merupakan bagian ahir dari upacara adat perkawinan sasak, oleh karena itu semua upacara adat yang merupakan bagian prosesi awal (akad nikah / ijab qabul sampai dengan sorong serah),harus dilaksanakan lebih dahulu sebagai prasyarat untuk dapat dilaksanakannya nyongkolan tersebut secara khidmat dan bermakna.

7 Atraksi berarti “sesuatu yang menarik perhatian, daya tarik, pertunjukan, tontonan”10 ,sehingga dengan demikian nyongkolan sebagai atraksi haruslah dilakukan secara teratur dan tertata sesuai dengan pakem yang berlaku menurut adat dan tradisi suku bangsa sasak. Dalam atraksi nyongkolan, hendaknya ditunjukkan dalam bentuk pawai/arak-arakan yang khidmat karena memenuhi prinsif kepatutan (patut busane, patut wirage, patut wirase, patut wacane). Publikasi berarti “pengumuman”11 , dengan demikian nyongkolan sebagai publikasi harus diartikan sebagai wahana mempublikasi atau mengumumkan bahwa kedua mempelai telah terikat dalam suatu jalinan perkawinan dan telah melangsungkan pernikahan12. Dengan kata lain, kedua mempelai yang diarak tersebut telah diikat dalam perkawinan yang syah baik menurut hukum agama maupun hukum adat. Karena publikasi ini bertujuan sangat luhur, maka arak-arakan atau pawai nyongkol tersebut haruslah dilaksanakan secara khidmat, teratur dan tertip sehingga menyenangkan semua orang, dan janganlah sekali-kali mengecewakan, meskipun sedikit orang. Harmonisasi berarti “pengharmonisan”, “upaya mencari keselarasan”13 . Sedangkan istilah keselarasan biasanya dikaitkan dengan istilah pengendalian diri14 yang mengandung arti “suatu keinginan dan kemampuan untuk mencapai kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang pada hak dan kewajiban sebagai individu dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Serasi berarti kesesuaian atau kesamaan untuk menghasilkan keterpaduan yang utuh. Seimbang adalah jumlah yg sama besar antara hak dan kewajiban sedangkan selaras adalah suatu hubungan baik yang dapat menciptakan ketentraman lahir dan bathin. Nyongkolan harus dilaksanakan secara benar dan patut agar dapat tercipta hubungan yang harmonis dalam tiga dimensi kehidupan, yaitu hubungan antara manusia dengan Allah Tuhan YME, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta ( hubungan yang harmonis antara micro dan macro cosmos ).

8 Jika dipahami dan disepakati bahwa nyongkolan yg dilaksanakan secara benar menurut “tata aturan adat / awig-awig” memberikan banyak manfaat dan kemaslahatan, maka sangat perlu dilakukan pelurusan (rekonstruksi) dan upaya pelestarian. Upaya pelurusan dapat dilakukan dengan “penertiban”, “pendampingan dan pembinaan” serta “regulasi”. Penertiban berarti proses, cara, perbuatan menertibkan. Jadi dilakukan langkah konkrit untuk membenahi, membereskan, menata, mengatur untuk terciptanya harmoni, kesopanan, keteraturan dan disiplin 15. Dengan demikian upaya yang dilakukan lebih bersifat represif. Pendampingan dan pembinaan, memerlukan kumpulan kerja dan kepakaran untuk merancang, membina dan memastikan kerja pembinaan berjalan lancar 16. kegiatan pendampingan dapat berupa pencerahan secara langsung atau menemukan serta menginventarisasi norma / tata aturan lokal yang hidup, berlaku atau pernah berlaku. Regulasi berarti mengendalikan prilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan17 (mengusulkan dan memperjuangkan perda tentang nyongkolan dll).

9 IV SIMPULAN Pelaksanaan budaya nyongkolan harus dapat diarahkan / diujudkan sebagai sebuah atraksi dan prosesi yang teratur, tertib dan berkarakter khas, dalam arti mampu menggambarkan perwujudan jati diri suku bangsa sasak sebagai subyek pendukung budaya. Revitalisasi terhadap budaya nyongkolan perlu dilakukan secara terpadu, yaitu penyuratan awig-awig, penertiban dalam menggunakan pasilitas umum serta kepedulian pemerintah daerah untuk melakukan regulasi berupa perda khusus tentang nyongkolan.

10 Bahan Acuan 1). Titip, I Made,DR, Teologi dan Simbul-Simbul, Paramita Surabaya, 2003, hal.63. 2).Istilah penyuratan awig-awig, 3).Zuhdi, M.Harfin dkk, Lombok Mirah Sasak Adi (Sejarah Sosial, Islam,Budaya,Politik dan Ekonomi Lombok),Imsak Press,2011,hal.4. 4).Wawancara dgn HL.Mungguh, sesepuh Majlis Krama Lili Bangka Desa Darmasari, Sikur-Lotim, 20 april 2014. 5).Paguyuban Songopati Majapahit Selaparang, Gawe Adat Selaparang, 2005,hal.31. 6). Zuhdi,M.Harfin dkk,Lombok Mirah Sasak Adi,hal.109. 7).kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/prosesi-pernikahan.html 8). Kangmoes…..(I d e m). 9).Pusat Bahasa Depdiknas,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, 2007,hal.899. 10). Pusat Bahasa Depdiknas,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, 2007,hal.75. 11). Pusat Bahasa Depdiknas,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, 2007,hal.902. 12). ).Paguyuban Songopati Majapahit Selaparang, Gawe Adat Selaparang, 2005,hal 13).indahduii.blogspot.com/2011/08/mulai-memudarnya-arti-dari-sebuah.html?m=1 14). Pusat Bahasa Depdiknas,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, 2007,hal.543. 15). m.artikata.com/arti penertiban.html 16.kamuspsikososial.wordpress.com/tag/definisi-pendampingan/ 17).pyia.wordpress.com/tag/definisi-peraturan-dan-regulasi/


Download ppt "UPAYA REVITALISASI BUDAYA NYONGKOLAN SASAK “DENGAN PENGUATAN AWIG-AWIG” * OLEH : HL.SYAPRUDDIN.** * Makalah disampaikan pada Loka Karya ttg Awig-Awig."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google