Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

HUKUM KEKELUARGAAN ADAT

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "HUKUM KEKELUARGAAN ADAT"— Transcript presentasi:

1 HUKUM KEKELUARGAAN ADAT
Presented by : Hamonangan Albariansyah, SH, MH

2 Satuan Acara Perkuliahan
Susunan masyarakat Indonesia a. Pengertian Masyarakat Hukum Adat b. Tipe-tipe Masyarakat Hukum Adat Pengaruh Faktor Sosiologis terhadap perubahan garis keturunan dalam masyarakat adat a. Pengaruh dan dampaknya b. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan III. Perubahan kearah sistem bilateral pada masyarakat Indonesia

3 I. Susunan Masyarakat Indonesia
See : Pasal 163 IS  Penggolongan Masyarakat Masyarakat Hukum Adat  kesatuan masyarakat untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu merupakan kesatuan hukum penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah & air bagi semua anggota masyarakat hukum tsb. Cara hidup kolektif / komunal berdasarkan faham bahwa tanah dan air adalah kepunyaan bersama bagi seluruh masyarakat adat untuk eksistensi bersama.

4 Ter Haar tentang Masyarakat Adat :
1. Persekutuan manusia yang teratur, 2. menetap di suatu daerah tertentu, 3. mempunyai penguasa dan 4. mempunyai kebudayaan yang berwujud atau tidak berwujud, 5. anggotanya hidup menurut kodrat alam, tak seorang pun berfikir untuk membubarkan atau melepaskan diri dari ikatan kesatuan massyarakat tsb

5 Contoh kesatuan masyarakat adat :
Desa  di Jawa Marga  di Sumatera Selatan (karena tempat kelahiran) Nagari  di Minangkabau Kuria / marga  di Tapanuli Wanua  di Sulawesi Selatan -- Stop --

6 Tipe-tipe Masyarakat Hukum
Klasifikasi masyarakat hukum adat : Masyarakat hukum Keturunan (geneologis) Masyarakat hukum teritorial (wilayah) Masyarakat hukum Territorial-geneologis (campuran) Masyarakat hukum Lainnya : Adat-Keagamaan Exp : Geneologis, anggotanya merasa terikat dan teratur, berdasarkan kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang sama dari 1 leluhur, baik karena hubungan darah(keturunan) maupun pertalian perkawinan atau pertalian adat.

7 I. Pembagian pertalian keturunan (geneologis) :
Menurut garis laki-laki (patrilineal), menghubungkan laki-laki sebagai pengikatnya alur keturunan. Contoh : Batak, Bali, Ambon. Menurut garis perempuan (matrilineal), menghubungkan perempuan sebagai pengikatnya alur keturunan.contoh : Minangkabau, Kerinci, Semendo. Menurut garis orang tua / bapak dan ibu (bilateral/ parental) garis keturunan ini dinilai dan diberi derajat yang sama. Contoh : Jawa, Bugis, Dayak Note : Keluarga “orang timur” : orangtua,keluarga bapak-keluarga ibu,kakek- nenek,dst Keluarga “orang barat” : ayah,ibu,anak-anak. Pernikahan “barat”, : bersatunya 2 insan Pernikahan “timur’ : bersatunya 2 keluarga.

8 II. Pembagian pertalian territorial
Territorial, anggotanya merasa terikat berdsarkan suatu daerah kediaman tertentu / kesamaan wilayah tempat tinggal bersama, baik dalam kegiatan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun kaitan roh leluhur sebagai pemujaan. kepentingan yang sama, pebutuhan pokok bersama yang ditandai suatu derajat hubungan sosial. 3 macam pembagian, yaitu : Persekutuan Desa (kampung,dusun) Persekutuan Daerah (nagari-sumbar, marga-sumut,negorij-minahasa & maluku) Persekutuan Wilayah (kerjasama antar klan dalam 1 daerah). Exp : sekelompok orang yang hidup bersama, pandangan hidup yang sama, cara hidup yang sama,kepercayaan yang sama,kediaman yang sama, tatanan sosial yang sama. merupakan kesatuan sosial beberapa masyarakat desa, yang masing-masing tetap pada kesatuan yang berdiri sendiri, namun masih terdapat kesamaan diantara mereka. kesatuan sosial yang dibentuk atas dasar kerjasama, & kepentingan bersama. Contoh :pembangunan sistem pengairan, penyelesaian perkara adat.

9 Dengan berlakunya UU No
Dengan berlakunya UU No.5 tahun 1979 ttg Pemerintahan Desa, maka ketiga macam masyarakat hukum teritorial tidak lagi bersifat formal, melainkan berubah menjadi “desa-desa adat” yang informal. Pasal 1 nya : “…desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI,dusun..”,’..dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan unit kerja pelaksana pemerintahan desa,..” Analisis : lain halnya dengan masyarakat yang bersifat kekerabatan (geneologis) atau yg bersifat keagamaan,tidak begitu saja dapat diselaraskan, tanpa memperhatikan sifat-sifat ikatan kesatuannya yang khusus yang bersifat geneologis dan atau keagamaan.

10 III. Masyarakat Hukum Geneologis-Teritorial (Campuran).
Kesatuan masayarakat yang tetap dan teratur, anggotanya terikat pada tempat kediaman dan hubungan keturunan baik pertalian darah maupun kekerabatan. Misal : Kampung Arab-palembang,melayu-deli,minang-riau, palembang-bugis (lrg.bugis) dst..

11 IV. Masyarakat Adat-Keyakinan
Kesatuan masyarakat adat yang dipengaruhi Adanya “persekutuan pujaan /ilah”,seperti kepercayaan, dan agama.sehingga penganut kepercayaan merupakan masyarakat adat/kepercayaan. Tujuan sesungguhnya dari masyarakat adat-keagamaan adalah untuk melestarikan adat-istiadat dan menjunjung tinggi ajaran keyakinan. Contoh : Dunia melayu-dunia islam,minang-islam

12 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN GARIS KETURUNAN DALAM MASYARAKAT ADAT
Faktor Pendidikan Faktor Perantauan Faktor Hidup Faktor Komunitas Faktor Ekonomi (teknologi,industrial) Revolusi Faktor Ideologi (Pancasila) Faktor Islam An-nisa 22-24,larang siapa saja yg tidak boleh kawin An-nisa 7,11,12,13,33,176,mengenai waris. Faktor Politis

13 II. Hukum Adat Perkawinan (HAP)
HAP adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. UU No.1 tahun 1974 ttg Perkawinan hanya mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan,pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak & kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, perwalian, ketentuan lain. Sedangkan mengenai bentuk perkawinan, acara peminangan,pelamaran, upacara perkawinan lainnya masih dalam ruang lingkup hukum adat.

14 1. Bentuk-bentuk Perkawinan
Patrilineal  Perkawinan Jujur Matrilineal  Perkawinan Semanda Bilateral/Parental  Perkawinan Bebas (mandiri) Perkawinan Jujur Perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang atau barang jujur ; - Yang dilakukan pihak calon suami kepada pihak calon istri ; - sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya ; - pindah dan masuk kedalam persekutuan hukum suaminya.

15 Setelah perkawinan, maka istri berada di bawah kekuasaan kerabat suami,
berkedudukan hukum dan menetap dengan pihak kerabat suami,begitu pula anak-anak keturunannya melanjutkan garis suaminya, harta yang dibawa istri dalam perkawinan dikuasai suami, kecuali ditentukan lain oleh pihak istri. Pembayaran jujur tidak sama dengan “mas kawin” menurut islam. uang jujur adalah kewajiban adat ketikadilakukan pelamaran dari kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagi2kan kepada tua-tua kerabat. Sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama yang harus dipenuhi pria untuk wanita. Uang jujur tidak boleh dihutang,mas kawin boleh dihutang.

16 Dalam perkawinan jujur, berlaku adat “pantang cerai”, jadi senang-susah selama hidupnya istri dibawah kekuasaan suami Jika suami wafat, maka istri harus melakukan perkawinan dengan saudara suami (leviraat,anggau(sumsel),lakoman(batak),nyikok(lampung)) Jika istri wafat, maka suami harus kawin lagi dengan saudara istri (sororat,kawin tungkat (pasemah),nuket (lampung)) Bila tidak ada saudara/saudari suami/istri, maka digantikan orang lain diluar kerabat.

17 Perkawinan Semanda Calon suami dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, justru sebaliknya berlaku pelamaran dari pihak calon istri dan kerabatnya. Setelah perkawinan, maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat istri dan berkedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku, yaitu (Hilman Hadikusuma) : a. semanda Raja-raja ; b. semanda Lepas ; c. semanda Bebas ; d. semanda Nunggu ; e. Semanda Ngangkit e. semenda Anak Dagang.

18 Semenda Raja-raja, artinya suami istri berkedudukan seimbang baik di pihak istri maupun pihak suami.
Semanda Lepas, artinya suami mengikuti kediaman istri. Semanda Bebas, artinya suami tetap pada kerabat orang tuanya,hanya sebagai “urang sumando”. Semanda Nunggu, suami istri berkediaman kerabat istri sampai adik istri (ipar) mandiri/menikah. Semanda Ngangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu suami tidak mempunyai anak perempuan. Semanda Anak Dagang atau Semanda Burung, artinya suami tidak menetap di tempat istri melainkan datang sewaktu-waktu,kemudian pergi lagi.

19 Prakteknya di daerah Rejang-Bengkulu, 2 istilah :
Semanda Beradat, dimana pihak pria membayar uang adat kepada kerabat wanita menurut martabat adatnya, Semanda Tak Beradat, Pihak pria tidak membayar uang adat dan biaya apapun, karena semua biaya perkawinan ditanggung semua pihak wanita (“temakep burung terbang” suami dianggap sebagai burung yg ditangkap,”masen utang”,suami mengabdi di tempat istri sebagai pembayar utang). Di Lampung “semanda nabuh beduk”: suami datang ketika magrib,pergi ketika subuh”, “semenda iring beli”, suami sebagai pengabdi istri karena terhitung berhutang uang adat. Sejak berlakunya UU No.1 tahun 1974, adat semacam ini tidak berlaku lagi. Pada umumnya dalam perkawinan Semenda,kekuasaan istri lebih berperan, lelaki hanya sebagai “ngijam jago”,atau pemberi bibit saja, dan kurang tanggung jawab dalam keluarga.

20 Perkawinan Bebas (mandiri)
Berlaku pada masyarakat adat sistem parental. Dimana pihak kerabat suami maupun istri tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga rumah tangga suami–istri. Sistem ini seperti tujuan UU No.1/1974, dimana kedudukan dan hak suami-istri berimbang sama. Suami adalah kepala rumah tangga, dan istri sebagai ibu rumah tangga. Setelah perkawinan, suami-istri memisah (mencar,mentas) dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing dan hidup mandiri. Orang tua hanya memberikan bekal (sangu) dengan harta pemberian atau harta warisan sebagai harta bawaan dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua masing-masing pihak memberikan nasehat,petunjuk dalam memilih jodoh. Setelah menikah, orang tua hanya mengawasi kehidupan mereka berumah tangga. Dalam perkawinan ini dapat terjadi “pantang cerai”, “kawin gantung” namun bukanlah suatu keharusan, hanya kebiasaan saja.Ditinjau dari segi hukum dan per-UU-an juga merupakan pelanggaran hukum perkawinan nasional.

21 Bentuk Perkawinan Lainnya
Perkawinan Campuran dimana terjadi perkawinan antara dua suku, adat dan agama yang dianut. Beda adat Misal : Batak  “marsileban”, pria/wanita yang bukan warga adat harus diangkat dan dimasukkan lebih dahulu ke sebagai warga adat batak dalam “dalihan na tolu” pria (hula-hula),wanita (namboru). Serupa dengan “ngakuk menulung” di Lampung. Beda Agama : Islam : pria muslim-wanita non-muslim, BOLEH pria non muslim-wanita muslim, TIDAK BOLEH Katolik : perbedaan agama antara pria-wanita BOLEH, asalkan dengan perjanjian bahwa suami/istri yang katolik harus mendidik & menjadikan anak-anaknya katolik. Nasional : salah satu calon harus mengalah. Berdasarkan UU Perkawinan,perkawinan sah bila menurut agama nya.

22 ADAT PELAMARAN Adat Pelamaran ialah :adanya pelamaran dari pihak yang satu ke pihak yang lain. UU No.1 tahun 1974 tidak mengatur mengenai pelamaran, berarti bilamana pria dan wanita sepakat melangsungkan perkawinan dapat saja memberitahukannya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 2-9 PP No.9 tahun 1975, tanpa melibatkan orang tua. Tetapi menurut adat, cara demikian dalam pandangan masyarakat tercela.

23 Dua jalur jenjang perkawinan menurut adat :
Sebagaimana Ter Haar : ”..perkawinan itu bertautan dengan urusan kerabat,urusan keluarga, urusan masyarakat, urusat martabat, dan urusan pribadi..” Dua jalur jenjang perkawinan menurut adat : Pekerjaan anak-anak / Pekerjaan Orang Tua Lampung : rasan sanak Pasemah : rasan budak Rejang : asen titik Jenjang Perkawinan Keinginan anak-anak dilanjutkan oleh orang tua (rasan mude di tuekhi)

24 Cara melamar : Penjajakan : Pihak yang akan melamar mengirim utusan-perantara kepada pihak yang akan dilamar. Pelamaran secara resmi oleh keluarga/kerabat kepada pihak wanita dengan membawa “tanda lamaran”. “tanda lamaran” biasanya terdiri dari : 1. sirih pinang (tepak sirih), 2. mas kawin, 3. mas adat (uang jujur), 4. bahan makanan matang (dodol,wajik,reginang,dll), 5. bahan pakaian dan perhiasan, Melalui juru bicara memperkenalkan kerabat dan hubungannya (kedua belah pihak). Tanda lamaran tersebut diteruskan kepada tua-tua adat keluarga/kerabat wanita.

25 Perundingan, yang dibicarakan :
1. Besarnya uang adat dan/atau mas kawin 2. Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan dan lain-lain) 3. Bentuk Perkawinan dan kedudukan suami-istri setelah perkawinan. 4. Perjanjian-perjanjian perkawinan, selain taklik- talak 5. kedudukan harta perkawinan (harta bawaan) 6. acara dan upacara adat perkawinan 7. waktu dan tempat upacara * Note : tidak semua acara & upacara tersebut akan dilaksanakan oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, tergantung pada keadaan, kemampuan para pihak dan masyarakat adat bersangkutan.

26 Acara & Upacara Perkawinan
Pada umumnya acara perkawinan adat telah meresepsi hukum perkawinan berdasarkan ketentuan agama. Islam  Ijal Kabul, bapak/wali mempelai wanita dan pempelai pria dan dua orang saksi dalam majelis. Katolik  mempelai wanita dan pria mengucapkan janji perkawinan dihadapan pendeta/pasteur di gereja. Budha  mempelai wanita dan pria mengucapkan janji perkawinan dihadapan altar vihara suci sang Budha/Bodisatwa dan bhikkunni/khikkuhu/sumanera. Hindu  mempelai pria-wanita melaksanakan upacara beakala dimuka sanggar (natar) dengan pemberkatan (mejaya-jaya) oleh Brahmana.

27 Upacara Perkawinan, menurut ketentuan dan tata cara masing-masing adat atau kesepakatan.
Ibaratnya : “..semakin besar upacara, semakin banyak makanan, semakin lama upacara, semakin tinggi pandangan dam martabat keluarga dalam perkawinan..”

28 HARTA PERKAWINAN Harta Perkawinan = Harta Bersama & Harta Bawaan.
Patrilineal : Istri tunduk dalam sistem kekerabatan suami Sehingga semua harta perkawinan dikuasai suami sebagai kepala keluarga Jadi harta bersama, harta bawaan (hadiah & waris), dan harta pusaka (peninggalan), penguasaan pengaturannya dipegang oleh suami yang dibantu istri sebagai pendamping. Jika terjadi perceraian, dan istri meninggalkan tempat kedudukan suaminya, berarti istri melanggar adat dan tidak berhak menuntut bagian dari harta bersama,harta bawaan ataupun membawa anaknya pergi.

29 Matrilineal : Karena bentuk perkawinan nya “semanda”, tanpa membayar uang “jujur”, maka terdapat pemisahan kekuasaan terhadap harta perkawinan. Harta Pusaka milik kerabat dipegang pada “Mamak Kepala Waris”.suami-istri hanya hak mengusahakan dan menikmati hasil panen terhadap bidang tanah. Harta Bersama, suami-istri bersama-sama menguasainya. Harta Bawaan, dikuasai masing-masing pihak. Parental/Bilateral : Harta Bersama, dikuasai bersama suami-istri Harta bawaan, dikuasai masing-masing pihak, kecuali dalam hal kedudukan suami-istri tidak sejajar. Misal : di Jawa”manggih kaya”, dimana suami kaya dan istri miskin. Di Pasundan “nyalindung kagelung” dimana istri kaya,suami miskin.

30 Menurut UU No.1 tahun 1974 Pasal 35 & 36,
“..Harta Bersama ialah harta benda yang diperoleh selama perkawinan..” Terhadap Harta Bersama suami-istri dapat menggunakannya atas persetujuan kedua belah pihak. Terhadap Harta Bawaan, masing-masing pihak mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hukum Adat : Kedudukan harta perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku dan jenis hartanya.

31 Hukum Adat Kekerabatan
HAK ialah hukum adat yang mengatur kedudukan pribadi sebagai anggota kerabat, orang tua=anak,anak=kerabat,perwalian anak berdasarkan pertalian darah (keturunan), pertalian perkawinan dan pertalian adat. TUGAS MANDIRI : Bagaimana hubungan hukum antara anak tiri, anak angkat, anak asuh & anak akuan dengan orang tua, kerabat menurut hukum adat…? (kumpul ketika mid)

32 HUKUM ADAT WARIS Pengertian Umum :
Aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada ahli waris dari generasi ke generasi selanjutnya. Ter Haar : Hukum Waris Adat ialah aturan hukum yang mengatur tentang cara, bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud / tidak berwujud dari generasi ke generasi.

33 Pewarisan : proses penerusan harta warisan / harta
peninggalan dari pewaris kepada ahli waris. Dengan demikian, 3 unsur hukum waris, yaitu: Adanya harta warisan / harta peninggalan Adanya pewaris yang meninggalkan hartanya Adanya ahli waris yang meneruskan kepengurusan atau yang menerima bagiannya. Ket : Harta Warisan, kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagi kepada ahli waris. Harta peninggalan, kekayaan pewaris yang tidak dibagi-bagi kepada ahli waris. Harta warisan berwujud : bangunan, perlengkapan, harta pusaka, harta perkawinan. Harta warisan tak berwujud : gelar adat, hutang, amanat (wasiat), perjanjian.

34 Prof. Hazairin : “..hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat tradisional dengan bentuk kekerabatan yg sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, maupun parental, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama..”

35 SISTEM KEWARISAN Sistem Kolektif
apabila para ahli waris mendapatkan harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi-bagi secara perseorangan. Para pewaris hanya diperbolehkan untuk memakai, megusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya. contoh : Tanah Pusaka, barang pusaka, sawah pusaka, rumah gadang. pada masa sekarang boleh ditransaksikan atas persestujaun bersama ahli waris /kerabat.

36 B. Sistem Mayorat, harta pusaka yang tidak terbagi hanya dikuasai (hak pakai,mengolah, mengambilhasil) anak tertua, dengan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya sampai mereka dapat berdiri sendiri (walaupun telah menikah). Contoh : Lampung, Papua, Semendo C. Sistem Individual, harta warisan dapat dibagi-bagi dan dimiliki secara perseorangan artinya setiap ahli waris berhak memakai, mengolah, mengambil hasil, mentransaksikan harta warisan tersebut.

37 Dalam perkembangan nya :
Kolektif (Patrilineal) Mayorat (matrilineal) Indivual (parental) Sehingga, harta pewarisan dapat dibagi-bagi sebelum pewaris wafat dan sesudah wafat. Pewaris masih hidup (lintiran,Jawa), dilakuakan dalam bentuk penunjukkan dalam bentuk hibah-wasiat, penunjukan batas tanah, jenis barang berupa pesan tertulis/tak tertulis kepada para ahli warisnya. Di Aceh,wasiat tidak boleh melebihi dari 1/3 jumlah warisan, apabila lebih 1/3 bagian yg lebih ditarik kembali ketika pewaris wafat. Pewaris dewasa dan anak kecil : Untuk ahli waris dibawah umur (kecil)  waris gantung,di kuasai orangtuanya yangg masih hidup atau saudaranya. Untuk ahli waris dewasa, dibagi dengan mempertimbangkan kebutuhannya.

38 “..Sengketa pembagian waris diusahakan jalan damai dan kekeluargaan..”
1. Kesamaan kuantitas (jumlah) antar pria dan wanita. 2. Kuantitas waris pria 2x lebih banyak dari wanita 3. Berdasarkan jenis warisannya Adat di Aceh dan Banten : Rumah diwariskan kepada perempuan Tanah diwariskan kepada anak lelaki. 4. Berdasarkan masih sayang / kerukunan keluarga “..Sengketa pembagian waris diusahakan jalan damai dan kekeluargaan..” maksud filosofinya ialah : agar perjalanan dan ketenangan arwah pewaris di alam baka terjaga dan tidak terganggu hubungan kekerabatan antar ahli waris.

39 Hukum Adat  Hukum Nasional
Tradisi dalam bidang Ekonomi : Ekonomi Perladangan  tolong-menolong: Pembukaan ladang pertanian, secara bersama-sama warga menebang pohon, menebas semak belukar, membakar rumput, membentuk tanah, membuat sistem pengairan, setelah itu tanah dibagi-bagi kepada perserta pembukaan lahan. Misalnya : Subak di Bali, Nulong di Sumbawa. Sumbangan pada warga yang hajatan, berduka, berburu di hutan,

40 Usaha Perorangan : Beri-memberi
Pakai-memakai : tukar guling (tukar barang tanpa nilai tambah) Jual-beli : panjer, jual komisi Titip-menitip : titip curah Hutang-piutang, adat tidak mengenal bunga hutang atas kelalaian, tetapi mengenal sistem tanggung-menanggung atau adanya jaminan pribadi/benda. Kerja-mengerjakan : bagi hasil

41 Hak-hak atas tanah Membuka tanah diwali dengan memberi tanda, dapat berupa dari potongan bambu, pohon ditegakkan di tanah sehingga nampak dari jauh. Apabila tanah tersebut ditanami (diusahakan), maka terjadilah hak pakai/hak mengusahakan tanah. Untuk menjadikan hak milik atas tanah tersebut, kama tanah harus terus diusahakan. Apabila tanah tersebut tidak diusahakan lagi, tapi masih terdapat “tanda”, maka yang berlaku adalah hak atas pohon (hak mengambil hasil atas apa yang telah ditanam). Apabila tanah telah menjadi belukar dan “tanda” pun tak terlihat jelas, maka hak milik atas tanah tersebut hilang, namun masih mempunyai “hak utama” untuk mengusahakannya kembali. “hak utama ‘akan kembali pada hak ulayat ( hak nagari,marga,desa) bila tanah telah menjadi hutan. Namun apabila yang ditanam diatas tanah adalah tanaman keras dan menjadi kebun, maka yang ada hanya “hak menumpang”.

42 Mid Semester, 24 November 2009 Jelaskan ciri masyarakat hukum adat menurut Ter Haar..? Jelaskan klasifikasi masyarakat hukum adat..? Jelaskan pembagian harta perkawinan dan pembagian harta waris menurut bentuk-bentuk perkawinan dalam hukum adat..? Jelaskan kedudukan anak asuh, anak tiri, anak akuan, anak angkat..dalam pembagian waris menurut bentuk-bentuk perkawinan adat,..?

43 Hukum Pelanggaran Adat
Hukum pelanggaran adat / hukum pidana adat / hukum adat delik / adatdelichten recht ialah : Aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat Sehingga perlu tindakan penyelesaian (punishment) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu/kembali normal. Peristiwa Delik Adat Penyelesaian Keseimbangan Dalam Masyarakat

44 Pengertian Pelanggaran Adat (adat delichten recht)
Van Vollenhoven : “..Perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun pada kenyataannya peristiwa tersebut hanya berupa kesalahan kecil (dimaklumi)..” Ter Haar : “..setiap gangguan dari suatu pihak terhadap keseimbangan, dimana setiap pelanggaran itu dari suatu pihak atau dari kelompok orang berwujud maupun tak berwujud, berakibat menimbulkan suatu reaksi adat sehingga keseimbangan dalam kehidupan (manusia maupun yang ghaib) harus dipulihkan kembali. Sanksi : dapat berupa hukuman yang diberikan dalam upacara adat, sehingga ada yg dikenal dengan “ hukuman pasung, arak-arakan, sesajean, ruwat desa/bersih desa, dst,..”

45 SIFAT HUKUM PELANGGARAN ADAT
Secara umum sifatnya : Tradisional magis religius Menyeluruh & menyatukan Non Pra Existente Tidak menyama-ratakan Terbuka & lentur Pelanggaran tata tertib Harus ada aduan Reaksi & Koreksi Pertanggungjawaban kesalahan (ability) Wilayah tertentu

46 a. Tradisional magis & religius
Perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan mengganggu keseimbangan masyarakat yang bersifat turun-temurun dan dikaitkan dengan dengan keyakinan dan kepercayaan, tidak saja dianggap mengganggu keseimbangan kosmis (alam, manusia, makhluk lain) melainkan juga akibat buruk dari yang ghaib. Peristiwa pelanggaran adat itu menurut alam pikiran yang tradisional yang bersifat kosmis yang menempatkan kehidupan manusia itu berkaitan dengan alam, makhluk lain, yang diagungkan (tuhan/dewa). Misalnya : anak patuh pada kehendak orang tua Adik tidak boleh mendahului kakaknya menikah Lelaki dan wanita dilarang berzina Upacara adat sebelum panen padi,..dst

47 b. Menyeluruh dan Menyatukan
Menyeluruh & menyatukan artinya tidak memisah-misah antara pelanggaran bersifat pidana (publik) ataupun perdata (privat), begitu juga tidak dibedakan apakah perbuatan kesalahan tersebut termasuk kesengajaan atau kelalaian, tidak juga membedakan antara pelaku (dader), kesemuanya disatukan sebagai suatu rangkaian peristiwa yang mengganggu keseimbangan dan keseluruhannya dijadikan satu dalam penyelesaiannya di peradilan adat. Note : Pembagian Pelaku dalam pidana, yaitu : Pelaku Utama (plichetiger,dader), Turut Melakukan (mededader) Membantu Melakukan (medeplichtiger) Penggas/penghasut (uitloker)

48 c. Non Pra-Existente Artinya, apakah ada peraturan yang telah ditetapkan dahulu ataukah belum ada aturannya, apabila akibat perbuatan itu menggangu keseimbangan masyarakat, maka pelaku perbuatan pelanggaran adat tersebut dapat di hukum. Dengan kata kali, sifat Non Pra Existente tidak seperti adagium Montesquieu yang dianut oleh hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHPidana (WvS), S , yaitu “ Nullum delicum nulla poena sine praevia lege poenali (tiada suatu delik melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari perbuatan ”). terjemaha bebas : Tiada suatu perbuatan (delik) yang dapat dihukum apabila tidak ada peraturan yang mengatur mengenai perbuatan itu.

49 d. Tidak men-sama rata-kan
Jenis dan sifat sanksi Terhadap pelaku pelanggaran adat berbeda-beda, hal ini didasarkan pada struktur statusnya dalam masyarakat adat. Contoh : Pelaku yang mempunyai kedudukan strata, pengetahuan,kesolehan, akan memperoleh sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan orang biasa. Note : Berbeda dengan sanksi mensamaratakan yang dianut dalam KUHPidana maupun KUHPerdata barat. Hukum Adat = Keadilan Proporsional Hukum Barat = Keadilan “Seimbang”

50 e. Terbuka & Lentur (fleksible/dinamis)
Hukum adat tidak menolak perubahan dan perkembangan masyarakatnya dimana aturan adat itu berlaku, asalkan tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang hidup dalam komunitas adat tersebut. Contoh : Dahulu Warna Merah pada pakaian adat Toraja hanya untuk keluarga raja-raja. Dahulu tarian adat hanya bagi kalangan bangsawan, sekarang dapat diadakan siapapun. Dalam “simbur tjahaja” yang berlaku di Sum-Sel, bila lelaki dan perempuan yang telah baligh mandi telanjang bersama tanpa memakai petalasan (main mandi) maka ia dihukum denda 12 ringgit. namun saat ini hanya berupa teguran atau dianggap gila.

51 f. Terjadinya Pelanggaran Adat
Artinya, pelanggaran adat terjadi bila tata tertib adat setempat dilanggar atau karena suatu pihak merasa dirugikan sehingga keseimbangan masyarakat terganggu. Jika pelanggaran adat terjadi, namun keseimbangan masyarakat setempat tidak terganggu, maka perbuatan tersebut tergolong pelanggaran adat yang tidak mempunyai akibat hukum, sehingga pelaku pelanggaran cukup diperingatkan agar tidak berbuat lagi.

52 g. Pelanggaran Adat = Delik Aduan
Untuk menyelesaikan tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan harus ada pengaduan, berupa pemberitahuan dan permintaan untuk diselesaikan kepada kepala adat. Tanpa adanya pengaduan, pemeriksaan tuntutan tidak dilakukan.

53 h. Reaksi dan Koreksi Ketika terjadi pelanggaran adat, pertanggungjawaban kesalahan bukan hanya dapat dikenakan kepada pribadi pelaku saja, melainkan juga keluarga dan/atau masyarakat-kepala adatnya. Contoh : Paksaan menikah bagi gadis yang telah cemar kehormatan nya. Mengadakan selamatan, qurban untuk membersihkan lingkungan/tempat tertentu dari pengaruh ghaib. Diasingkan/dibuang dari kelompok masyarakat dalam jangka waktu tertentu.

54 i. Pertanggungjawaban kesalahan
Dalam hukum barat yang menjadi pokok sanksi atas pelanggaran (delik) yaitu : Perbuatan itu terbukti kesalahannya dan dapat dihukum (strafbaarfeit) ; Pelakunya (plegher /dader) dapat mempertanggungjawabkannya. “SANKSI ATAS PERBUATAN” Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat, yang menjadi pokok sanksi ialah : bagaimana solusi akibat dari perbuatan pelanggaran adat itu, sehingga hukum adat tidak mengenal perbedaan sanksi antara kesengajaan ataupun kelalaian seperti hukum barat. Siapa yang harus bertanggung jawab atas akibat itu. “SANKSI ATAS AKIBAT”

55 “Lain Padang Lain Ilalang, Lain Lubuk Lain Ikannya”
j. Tempat Berlakunya Keberlakuan hukum pelanggaran adat terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu (tidak menyeluruh sama). “Lain Padang Lain Ilalang, Lain Lubuk Lain Ikannya” “Lain masyarakat adat lain pula delik adatnya dan lain pula cara penyelesaiannya”

56 SEKIAN, TERIMA KASIH

57

58


Download ppt "HUKUM KEKELUARGAAN ADAT"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google