Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
Metode Penelitian dan Penulisan Hukum
2
Pengertian Penelitian Hukum
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
3
Syarat Penelitian Hukum
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan (yang berisi system dan ilmunya) dan metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut.
4
Metode Kajian Hukum Menurut Satjipto Rahardjo
Apabila kita memilih untuk melihat hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu, maka pilihan tersebut akan membawa kita kepada metode yang bersifat idealis. Metode ini akan senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang harus mewujudkan nilai-nilai tertentu.
5
Metode Kajian Hukum Menurut Satjipto Rahardjo
Apabila kita memilih untuk melihat hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka perhatiannya akan terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yaitu yang bisa kita bicarakan sebagai subyek tersendiri, terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut.
6
Metode Kajian Hukum Menurut Satjipto Rahardjo
Apabila kita memilih memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat, maka pilihannya akan jatuh pada penggunaan metode sosiologis. Metode ini mengaitkan hukum kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan kongkret dalam masyarakat.
7
Macam-macam penelitian hukum
Penelitian hukum normatif (doktrinal) Penelitian hukum empirik (non doktrinal)
8
Doktrinal/Normatif Penelitian hukum doktrinal bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari di atau dari preskripsi-preskripsi hukum yang tertulis di kitab-kitab undang-undang berikut ajaran atau doktrin yang mendasarinya.
9
Non Doktrinal/Sosiologis
Penelitian hukum non doktrinal bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari di atau dari fakta-fakta sosial yang bermakna hukum sebagaimana yang tersimak dalam kehidupan sehari-hari atau pula fakta-fakta tersebut sebagaimana telah terinterpretasi dan menjadi bagian dari dunia makna yang hidup di lingkungan suatu masyarakat.
10
Spesifikasi Penelitian Hukum Normatif/ Doktrinal
Meliputi: Penelitian inventarisasi hukum Penelitian penemuan azas-azas hukum Penelitian penemuan hukum in concreto Penelitian terhadap sistematika hukum Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum Penelitian sejarah hukum Penelitian perbandingan hukum Penelitian konsistensi hukum
11
Penelitian inventarisasi hukum
MENGUMPULKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGKLASIFIKASIKAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG RELEVAN MENGANANALISIS PENELITIAN
12
Penelitian penemuan azas-azas hukum
Penelitian penemuan azas-azas hukum dilakukan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer: bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, hukum adat, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari jaman penjajahan yang masih berlaku (KUHP, KUH perdata, KUHD) Bahan hukum sekunder: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, buku yang ditulis ahli hukum.
13
Penelitian terhadap azas-azas hukum
Penelitian penemuan azas-azas hukum merupakan penelitian filosofis, oleh karena asas-asas hukum merupakan unsur ideal dari hukum. Azas-azas hukum dapat dibedakan antara asas hukum konstitutif dengan asas hukum regulatif. Azas-azas hukum konstitutif merupakan azas-azas hukum yang harus ada bagi kehidupan suatu sistem hukum. Azas-azas hukum regulatif perlu bagi berprosesnya sistem hukum tersebut.
14
Penelitian terhadap sistematika hukum
Penelitian terhadap sistematika hukum adalah khusus terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Kerangka acuan yang dipergunakan adalah: 1. pengertian dasar dalam sistem hukum yaitu masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, obyek hukum. 2. dikaitkan dengan ciri-ciri perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka dapat diteliti bahwa pembentukan UU harus mengikuti tata cara yang ditentukan UU No. 12 Tahun 2011.
15
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal atau mempunyai keserasian secara horizontal . Serasi secara vertikal: keserasian peraturan perundang-undangan berbeda derajat yang mengatur bidang kehidupan tertentu. Serasi secara horizontal: keserasian peraturan perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.
16
Penelitian Penemuan Hukum in concreto
Kaidah yang bersifat abstrak dikonkritkan melalui analisis terhadap suatu obyek permasalahan tertentu sehingga dapat diambil suatu penyelesaian masalah yang dapat diterapkan dalam kenyataannya.
17
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum
Langkah-langkah penelitian taraf sinkronisasi vertikal: Inventarisasi perundang-undangan yang mengatur bidang kehidupan yang dipilih peneliti (spesifikasi inventarisasi perundang-undangan; Perundang-undangan disusun menurut hierarki perundang-undangan; Disusun secara kronologis, yakni menurut saat dikeluarkannya perundang-undangan tersebut. Menelaah fungsi masing-masing perundang-undangan berdasarkan tingkatannya.
18
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara horizontal dapat dilakukan dengan membuat inventarisasi yang sejajar, yaitu menempatkan perundang-undangan yang sederajat pada posisi yang sejajar, kemudian mengadakan identifikasi terhadap taraf sinkronisasinya rendah, sedang atau tinggi.
19
Penelitian sejarah hukum
Penelitian sejarah hukum dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan hukum, yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah perundang-undangan. Penelitian sejarah hukum meliputi penelitian terhadap sejarah lembaga-lembaga hukum dan penelitian terhadap sejarah penyusunan perundang-undangan.
20
Penelitian sejarah hukum
Sejarah lembaga-lembaga tertentu dapat ditelaah dengan bahan hukum maupun bahan non hukum. jika yang diteliti adalah bahan hukum primer, maka sejarah suatu lembaga tertentu dapat ditelaah dengan cara meneliti perundang-undangan yang mengatur lembaga tersebut sejak semula ada. Penelitian sejarah penyusunan perundang-undangan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan prosedur penyusunan perundang-undangan dalam pelbagai kurun waktu.
21
Penelitian perbandingan hukum
Metode perbandingan hukum mungkin diterapkan dengan memakai unsur-unsur sistem hukum sebagai titik tolak perbandingan. Sistem hukum mencakup tiga unsur pokok, yakni: Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah atau perilaku teratur Budaya hukum yang mencakup perangkat nilai-nilai yang dianut.
22
Penelitian perbandingan hukum
Perbandingan dapat dilakukan terhadap masing-masing unsur ataupun secara kumulatif terhadap semuanya. Metode perbandingan hukum dapat dilakukan dengan penelitian terhadap pelbagai sub sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat tertentu, atau secara lintas sektoral terhadap sistem-sistem hukum pelbagai masyarakat yang berbeda.
23
Penelitian Konsistensi Hukum
Penelitian terhadap bahan hukum yang mengkaji kesesuaian dalam penerapan norma atau azas. Misalnya analisis penerapan pasal oleh hakim terhadap keputusan pengadilan pada kasus pencurian. Jika hakim memberi keputusan bahwa terdakwa mencuri karena telah memenuhi semua unsur untuk dikatakan sebagai pencurian sebagaimana terdapat dalam pasal 362 KUHP, maka sudah terwujud konsistensi hukum.
24
PENDEKATAN PENELITIAN NORMATIF
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan Konsep (conceptual approach) Pendekatan Analitis (analytical approach) Pendekatan Perbandingan (comparative approach) Pendekatan Historis (historical approach) Pendekatan Filsafat (philosophical approach) Pendekatan Kasus (case approach)
25
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Suatu penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Lebih akurat bila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang cocok, guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang dihadapi.
26
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis; All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada kekurangan hukum; Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
27
Pendekatan Konsep (conceptual approach)
Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstrkasikan darihal-hal yang particular.
28
Pendekatan Analitis (analytical approach)
Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Analisis teersebut dilakukan dengan dua pemeriksaan: Sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan; Menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.
29
Pendekatan Perbandingan (comparative approach)
Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain.
30
Pendekatan Perbandingan (comparative approach)
Perbandingan hukum memiliki dimensi empiris yang dapat digunakan sebagai ilmu bantu (hulp wetenschap) untuk keperluan analisis dan eksplanasi terhadap hukum. Penelitian perbandingan harus memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmu empiris.
31
Pendekatan Historis (historical approach)
Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga, atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu.
32
Pendekatan Historis (historical approach)
Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan suatu kesatuan yang berhubungan erat, sambung-menyambung dan tidak putus sehingga dikatakan bahwa kita dapat memahami hukum pada masa kini dengan mempelajari sejarah. Mengingat tata hukum yang berlaku sekarang mengandung anasir-anasir dari tata hukum yang silam dan membentuk tunas-tunas tentang tata hukum pada masa yang akan datang.
33
Pendekatan Filsafat (philosophical approach)
Penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam. Penjelajahan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai), epistemologis (ajaran tentang pengetahuan), teleologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara mendalam, sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan manusia.
34
Pendekatan Filsafat (philosophical approach)
Seyogyanya dibantu beberapa pendekatan yang tepat, yaitu fundamental research (menurut Ziegler). Fundamental research adalah suatu penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang melibatkan penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi, serta implikasi sosial, dan politik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.
35
Pendekatan Kasus (case approach)
pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.
36
Pendekatan Kasus (case approach)
Jelas kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.
37
INTERPRETASI Menurut Soedikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.
38
Beberapa metode interpretasi dalam ilmu hukum antara lain:
Interpretasi Gramatikal (Menurut Bahasa) Interpretasi Teleologis Interpretasi Historis Interpretasi Komparatif Interpretasi Futuris Interpretasi Restriktif dan Ekstensif Interpretasi Interdisipliner Interpretasi Multidisipliner
39
Interpretasi Gramatikal (Menurut Bahasa)
Interpretasi gramatikal merupakan upaya untuk mencoba memahami suatu teks aturan perundang-undangan ataupun suatu teks perjanjian berdasarkan bahasa dan susunan kata-kata yang digunakan. Interpretasi gramatikal juga sering disebut sebagai interpretasi tekstual atau interpretasi formal.
40
Interpretasi Gramatikal (Menurut Bahasa)
Biasanya interpretasi gramatikal dilakukan oleh hakim bersamaan dengan interpretasi logis (logical interpretation) yaitu memaknai berbagai aturan hukum yang ada melalui penalaran hukum untuk diterapkan terhadap teks yang kabur atau kurang jelas (applaying the obscure text the multiple resources of judicial reasoning).
41
Contoh Interpretasi Gramatikal
Istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam Pasal 432 KUHP. Kasus posisi: sebuah paket diserahkan kepada Dinas Perkeretaapian (PJKA), sedangkan yang berhubungan dengan pengiriman tidak ada yang lain kecuali dinas tersebut. Maka kata diserahkan tercakup dalam istilah “dipercayakan” dalam Pasal 432 KUHP
42
Interpretasi Teleologis
Interpretasi teleologis merupakan metode yang digunakan apabila pemaknaan suatu aturan hukum ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat. Interpretasi teleologis juga sering disebut sebagai interpretasi sosiologis, interpretasi kontekstual atau interpretasi formal.
43
Interpretasi Teleologis
Pada interpretasi teleologis, ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Peraturan yang lama dibuat aktual.
44
Contoh Interpretasi Teleologis
Apakah penyadapan dan penggunaan tenaga (aliran )listrik untuk kepentingan sendiri yang dilakukan orang lain termasuk pencurian menurut Pasal 362 KUHP? Pada waktu KUHP dibuat, belum tergambarkan adanya kemungkinan pencurian aliran listrik. Apakah tenaga listrik merupakan barang yang dapat diambil menurut rumusan Pasal 362 KUHP?
45
Contoh Interpretasi Teleologis
Dengan interpretasi teleologis ditafsirkan bahwa tenaga listrik bersifat mandiri dan mempunyai nilai tertentu, karena untuk memperoleh aliran listrik diperlukan biaya dan aliran itu dapat diberikan oleh orang lain dengan ganti rugi, dan bahwa Pasal 362 KUHP bertujuan melindungi harta kekayaan orang lain. Maka penyadapan dan penggunaan tenaga (aliran )listrik untuk kepentingan sendiri yang dilakukan orang lain termasuk pencurian menurut Pasal 362 KUHP.
46
Interpretasi Historis
Ada dua macam interpretasi historis: Interpretasi menurut sejarah lahirnya undang-undang yang disebut juga interpretasi subjektif karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk undang-undang. Interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum sehingga metode ini disebut juga metode interpretasi menurut sejarah hukum.
47
Interpretasi Historis
Interpretasi menurut sejarah undang-undang mengambil sumbernya dari surat menyurat dan pembicaraan di DPR. Undang-undang tidak terjadi begitu saja, karena undang-undang merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur suatu hal tertentu.
48
Contoh Interpretasi Historis
Interpretasi menurut sejarah undang-undang terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita Indonesia. Interpretasi menurut sejarah hukum terhadap BW, maka tidak cukup hanya meneliti sejarah terbentuknya BW, tetapi masih mundur ke belakang sampai pada hukum Romawi.
49
Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan membandingkan dua sistem hukum atau lebih digunakan untuk mencari kejelasan mengenai makna suatu pengaturan atau ketentuan perundang-undangan. Metode interpretasi komparatif digunakan oleh hakim pada saat menghadapi kasus-kasus yang menggunakan dasar hukum positif yang lahir dari perjanjian-perjanjian internasional.
50
Interpretasi Futuris Dengan berpedoman pada suatu naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada di tangannya, seorang hakim melakukan penafsiran berdasarkan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum karena masih dalam tahap legislasi, belum diundangkan serta ada kemungkinan mengalami perubahan. Ia memiliki keyakinan bahwa naskah RUU tersebut pasti akan segera diundangkan sehingga ia melakukan antisipasi dengan melakukan penafsiran futuris tersebut.
51
Interpretasi Restriktif dan Ekstensif
Interpretasi restriktif merupakan metode interpretasi yang sifatnya membatasi makna suatu aturan. Sedangkan interpretasi ekstensif merupakan metode penafsiran yang dilakukan sampai melampaui batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal atau interpretasi tekstual.
52
Contoh Interpretasi Restriktif
Menurut interpretasi gramatikal “tetangga” menurut Pasal 666 BW dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa dari pekarangan sebelahnya. Jika tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa, ini merupakan interpretasi restriktif.
53
Contoh Interpretasi Ekstensif
Penafsiran kata “menjual” dalam Pasal 1576 BW. Sudah sejak tahun 1906 kata “menjual” dalam Pasal 1576 BW oleh HR ditafsirkan luas yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual beli saja, tetapi juga peralihan atau pengasingan.
54
Interpretasi Interdisipliner
Metode penafsiran interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila ia melakukan analisis terhadap kasus yang ternyata substansinya menyangkut berbagai disiplin atau bidang kekhususan dalam lingkup ilmu hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi atau hukum internasional. Hakim tersebut akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang bidang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.
55
Interpretasi Multidisipliner
Untuk membuat keputusan yang seadil-adilnya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan, hakim membutuhkan verifikasi dari berbagai ilmu terkait. Dalam melakukan interpretasi multidisipliner, hakim mendatangkan para ahli atau pakar dalam disiplin ilmu terkait untuk memintakan keterangan mereka sebagai saksi ahli di bawah sumpah.
56
PENALARAN HUKUM Studi tentang penalaran hukum pada dasarnya mempelajari pertanggungjawaban ilmiah dari segi ilmu hukum terhadap proses pembuatan suatu keputusan hukum (judicial decision making) yang meliputi argumentasi dan alasan-alasan logis sebagai alasan pembenaran (justifications) terhadap keputusan hukum yang dibuat.
57
PENALARAN HUKUM Penalaran hukum menjadi batu uji kritis dari segi ilmu hukum untuk mengkaji semua kegiatan yuridis dan produk yang dihasilkan para pengemban hukum. Beberapa kegiatan ilmiah yang termasuk dalam penalaran hukum antara lain logika hukum, argumentasi hukum (argumentasi yuridis), dan discourse hukum.
58
LOGIKA HUKUM Bentuk klasik penalaran hukum sebenarnya mengikuti prinsip-prinsip logika yang disebut silogisme. Secara sederhana penalaran hukum dalam bentuk silogisme dapat digambarkan sebagai berikut: Jika A = B Jika B = C Maka A = C Baris pertama disebut premis mayor (major premise), sementara baris kedua disebut premis minor (minor premise), sedangkan baris ketiga disebut kesimpulan (conclusion).
59
LOGIKA HUKUM Jika diterapkan dalam hukum, maka penalaran dalam bentuk silogisme dapat berbentuk: Peraturan hukum mengancam pembunuhan berencana dengan pidana mati Martin telah melakukan pembunuhan berencana Karena perbuatannya itu, Martin diancam pidana mati.
60
LOGIKA HUKUM Logika yag digunakan dalam ilmu hukum: 1. logika induktif
2. logika deduktif 3.logika abduktif 4. logika analogy 5.. logika a contrario 6. logika a fortiori
61
LOGIKA HUKUM 1. logika induktif Logika induktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum, dilakukan dengan merumuskan fakta, mencari hubungan sebab dan akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang telah diputus, kemudian membandingkan kasus factual yang dihadapi. Pada dasarnya abstraksi adalah berpikir secara induksi, karena dari hal-hal yang konkret ditarik sebuah kesimpulan umum.
62
LOGIKA HUKUM 2. logika deduktif Logika deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual, yakni penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi. konkretisasi adalah proses deduksi, karena hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan yang khusus.
63
LOGIKA HUKUM 3.logika abduksi Penalaran hukum yang mengandung unsur induksi dan unsur deduksi secara bersamaan, oleh Van Peursen dinamakan penalaran abduksi. Abduksi merupakan suatu penerapan gejala-gejala dalam urutan logis yang belum tertutup, dan melalui deduksi atau induksi, maka bentuk logisnya menjadi tertutup.
64
LOGIKA HUKUM 4.logika a contrario Terhadap peristiwa yang belum ada aturan hukumnya, maka dilakukan penalaran atau penafsiran a contrario dan analogy. Penalaran a contrario disebut juga penalaran atau penafsiran a pari yang dimaksudkan untuk menemukan hukum terhadap suatu peristiwa berdasarkan hukum yang ada dengan cara mengambil posisi terbalik dari ketentuan hukum yang ada.
65
LOGIKA HUKUM 5. logika analogy Penalaran hukum secara analogy dilakukan dengan melihat apakah ada persamaan unsure-unsur antara peristiwa hukum yang pernah terjadi yang telah jelas aturannya dengan peristiwa lain yang belum ada hukumnya. Jika ternyata ditemukan ada persamaan unsurnya, maka hukum yang berlaku untuk peristiwa yang pernah terjadi dapat diterapkan untuk peristiwa hukum baru yang belum ada aturan hukumnya.
66
LOGIKA HUKUM 6. Logika a fortiori A fortiori adalah jenis penalaran mengacu pada penerimaan suatu kebenaran atau suatu argument lebih lanjut, nyata-nyata lebih jelas berdasarkan suatu kebenaran yang sudah diterima orang. Argument mengacu pada keharusan menerima sesuatu atas dasar evidensi yang kuat dan baik. Contoh: seorang pemakai narkoba yang tertangkap tangan dengan barang bukti 0.5 gr sabu-sabu dihukum 3 tahun penjara. Seorang Bandar narkoba yang tertangkap dengan barang bukti 1 kg sabu-sabu, a fortiori hukumannya pasti lebih besar dari hukuman yang dijatuhkan pada sang pemakai.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.