Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehNouna Ling Telah diubah "9 tahun yang lalu
1
Maulfi Syaiful Rizal FIB UB
2
Secara idealistis, Karakteristik NBJ dipisahkan menjadi:
3
NRJ merupakan nilai yang yang berkenaan dengan keterikatan manusia Jawa kepada kemungkinan ultim (batas-akhir), yaitu berjumpa dan atau bersatu dengan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Saryono, 2010:100). Intisari NRJ ada dua konsep utama, yaitu: 1. Nilai keselamatan manusia yang meliputi nilai ketauhidan, keimanan, dan ketakwaan manusia Jawa. 2. Nilai kesempurnaan manusia yang meliputi nilai keutamaan, kewaskitaan, dan kepasrahan manusia jawa.
4
Konsep mamayu [angayu] jagad puniki angreksa kang parahita, yang kemudian berkembang menjadi mamayu [mangayu] hayuning bawana, memayu hayuningrat, memayu hayuning bebrayan agung (menjaga/melindungi keselamatan atau kesejahteraan dunia seisinya — bukan sekadar menghiasi keindahan dunia sebagaimana pemahaman umum) mengimplikasikan bahwa keselamatan manusia harus dibersamai dan dipersyarati oleh keselamatan dunia (Kamajaya, 1995:94-96).
5
Contoh: a) Slametan kematian, sebagai contoh, pada umumnya dimaksudkan untuk mengirim doa (kirim donga) bagi orang Jawa yang sudah meninggal agar selamat (slamet) di alam sesudah mati. b) Slametan kelahiran, sebagai contoh lain, pada dasarnya dimaksudkan untuk menunjukkan rasa syukur (tasyakuran) atas keselamatan ibu dan bayi yang baru lahir. c) Slametan pindah rumah dimaksudkan oleh yang pindah rumah untuk memperoleh keselamatan (supaya [ben] slamet).
6
Nilai ketauhidan manusia Jawa merupakan intisari keimanan sekaligus bentuk kesadaran manusia Jawa akan keesaan Tuhan. Dalam NRJ hal ini terlihat, misalnya, dalam konsep ungkapan (yang sekaligus menjadi ajaran) bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa; Pengeran iku siji, ana ing ngendi papan, langgeng, sing nganakake jagad iki saisine; Sang Hyang Tunggal, Yang Widhi, Sang Hyang Wenang (Manon), Gusti kang Mahakuwaos, Sukma Sejati, dan Sukma Kawekas [berbeda nama bersatu substansi karena tidak ada Tuhan yang dua, Allah itu satu, ada di manapun, langgeng, yang menciptakan dunia seisinya, Tuhan Yang Mahaesa, Tuhan Yang Mahakehendak, Tuhan Yang Mahakuasa, Sukma Sejati, dan Sukma Ultim]
7
Nilai keimanan manusia Jawa — sebagai bentuk utuh kesadaran ketuhanan — termanifestasi dan teraktualisasi pada keharusan manusia Jawa untuk secara diam-diam selalu sadar, ingat, percaya, patuh, dan cermat (eneng- eling, pracaya, mituhu) terhadap Tuhan. Contoh nilai keimanan terdapat ajaran di bawah ini: “Gusti iku dumunung ana jeneng sira pribadi, dene patemon sira kalawan Gusti lamun sira tansah eling” (Tuhan itu berada dalam dirimu sendiri, dan pertemuan dengan Tuhan akan terjadi bilamana engkau selalu ingat).
8
Nilai ketakwaan manusia Jawa merupakan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam seluruh hidup dan kehidupan manusia (omnipresent) antara lain termanifestasi dan terartikulasi pada keharusan manusia Jawa untuk berbudi luhur. Hal ini terungkap, misalnya, pada pelbagai ajaran kebatinan Jawa, tasawuf Islam-Jawa, dan ungkapan- ungkapan masyarakat Jawa.
9
Nilai kesempurnaan mendukung atau menyangga nilai keselamatan. Dikatakan demikian karena bagi manusia Jawa, manusia yang memiliki kualitas sempurna atau kesempurnaan secara relatif menjadi manusia selamat. Dalam budaya Jawa, nilai kesempurnaan manusia termanifestasikan atau terartikulasikan ke dalam nilai keutamaan, keutuhan, kewaskitaan, dan ketanpapamrihan hidup dan kehidupan manusia Jawa.
10
Nilai keutamaan manusia Jawa (kotamaning urip) yang berkenaan dengan kesanggupan dan kemampuan manusia Jawa untuk tidak (pernah sekalipun) merugikan dan menyusahkan, tetapi justru menguntungkan dan menyenangkan manusia lain sangat penting dalam BJ. Hal ini bisa dilihat dalam Serat Tripama dikemukakan tentang perlunya manusia Jawa meneladani manusia utama bernama Patih Suwanda, Kumbakarno, dan Adipati Karna agar mencapai keutamaan hidup dan menjadi manusia utama.
11
Nilai keutuhan manusia Jawa ini berkenaan dengan keadaan sempurna sebagaimana adanya atau sebagaimana mulanya. Hal ini berhubungan dengan ketidakberubahan, ketidakrusakan, ketidakcacatan, ketidakkurangan, kebulatan, ketetapan, kelengkapan, dan keaslian sesuatu dalam hidup dan kehidupan.
12
Nilai kewaskitaan manusia Jawa di sini bersangkutan dengan ketajaman dan kedalaman penglihatan batin, pembauan, pendengaran, dan percakapan terhadap segala sesuatu atau segala fenomena (alam garis, alam lumah, lan alam jirim — menurut Serat Jatimurti), bahkan noumena (alam kajaten lan alam pramana — menurut Serat Jatimurti) (bandingkan Trimurti, 1985:43). Untuk mencapai derajat kewaskitaan dan manusia waskita ini, manusia Jawa perlu tanggap ing sasmita (kemampuan menangkap dan memahami segenap perlambang) dan menguasai sasmitaning urip (perlambang hidup).
13
Nilai ketanpapamrihan atau kepasrahan manusia Jawa bersangkutan dengan kemampuan dan ketangguhan diri- pribadi untuk tidak tergoda dan tidak terjerumus kedalam maksud-maksud, kepentingan-kepentingan, dan keinginan-keinginan pribadi demi kemanfaatan dan keuntungan diri sendiri baik duniawi maupun ukhrawi.
14
Nilai filosofis Jawa (NFJ) bertumpu pada rasa (rasa sejati) yang dipercayai di dalamnya sudah terkandung akal budi. intisari NFJ terpusat pada nilai kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan.
15
Nilai Kemapanan Manusia Jawa Sebagai intisari NFJ, nilai kemapanan manusia Jawa berkenaan dengan kemantapan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya, ukurannya, hak-kewa-jibannya, kehadirannya, usahanya, dan sejenisnya di alam semesta dalam arti seluas-luasnya. Dalam BJ, kemapanan dicirikan atau ditandai oleh adanya kepastian, keteraturan, dan keajekan. Dikatakan demikian karena segala sesuatu yang sudah pasti, teratur, dan ajek berarti mapan; demikian juga segala sesuatu yang mapan selalu dipersepsi pasti, teratur, dan ajek. Dalam NBJ, hal ini terungkap antara lain dalam konsep pinesthi, pepesthen, ajeg, lumintu, dan mapan.
16
Nilai kepastian manusia Jawa di sini bersangkutan dengan ketetapan, kejelasan, dan ketertentuan segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia Jawa. Menurut pandangan BJ, segala sesuatu baik unsur-unsur alam semesta maupun unsur-unsur manusia yang pribadi, sosial, dan spiritual sudah memiliki kepastian yang tetap dan jelas sebagaimana tampak pada konsep atau adagium tetep, pepesthen, pinasthi, wis pestine, wis dadi pepesten, dan wis dadi kersane Gusti Kang Maha Kuwasa.
17
Nilai keajegan manusia Jawa, yaitu kelangsungan, kemalaran, dan atau keterus-menerusan (kontinuitas) secara tetap, beraturan, berkelanjutan, dan berpola segala sesuatu yang berkenaan dengan unsur alam semesta dan manusia Jawa.
18
Nilai Keselarasan Manusia Jawa Nilai keselarasan manusia Jawa berkenaan dengan keterpaduan, keserasian dan keseimbangan segala sesuatu yang berhubungan dengan unsur alam semesta dan manusia Jawa. Orang Jawa percaya bahwa segala sesuatu baik berupa unsur alam semesta maupun unsur manusia beserta segenap hubungannya secara alamiah dalam keadaan laras, imbang, dan babag; jadi, keselarasan merupakan fitrah.
19
Nilai Kebersamaan Manusia Jawa Nilai kebersamaan manusia Jawa di sini berkenaan kekomunalan, keterpaduan, keseiringan, kebarengan, keseiasekataan, kesekalianan, dan ketidakberlainanan segala sesuatu baik unsur jagat besar maupun jagat kecil di alam semesta dalam arti seluas-luasnya. Hal ini tercermin dalam ucapan dan tindakan seperti ini, misalnya urip sing guyub, mangan ora mangan kumpul, alon-alon waton kelakon, sayuk saeko proyo tancut tali wondo, dan akeh anak akeh rejeki.
20
Nilai etis Jawa (NEJ) harus dipahami dan dimengerti dalam kaitannya dengan etiket dan moralitas. Etiket dan moralitas Jawa ini terangkum terutama dalam konsep wis (n)Jawa, gak (n)Jawa atau durung (n)Jawa; jadi, konsep wis (n)Jawa, (n)Jawa, atau durung (n)Jawa merupakan superordinat etiket dan moralitas Jawa. Etiket lebih berbicara tentang kesopansantunan, ketidaksopansantunan, sedangkan moralitas lebih berbicara tentang kebaikan-keburukan. Koordinat NEJ adalah nilai kebijaksanaan dan kekasihsayangan sebagai manusia.
21
Nilai Kebijaksanaan Manusia Jawa Nilai kebijaksanaan manusia Jawa di sini berkenaan dengan kearifan, kebajikan, kecermatan, kecakapan, kecendekiaan, dan kepandaian budi manusia Jawa dalam hidup dan kehidupannya. Nilai ketepatjanjian atau kesungguhhatian manusia Jawa di sini berkenaan dengan kekonsekuenan, kejituan, atau kemengenaan, dan keterlaksanaan janji yang telah dinyatakan oleh setiap manusia Jawa dalam hidup dan kehidupannya.
22
Nilai keadilan atau ketidakpilihkasihan manusia Jawa berkenaan dengan keberimbangan, keproporsionalan (kesesuaian proporsi), kesepatutan, kewajaran, ketidaksewenang-wenangan, ketidakberat-sebelahan, dan ketidakmemihakan segenap ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku (ilat, ulat, ulah) manusia Jawa. Nilai kemengertian manusia Jawa di sini berkenaan dengan kemampuan orang Jawa dalam menangkap, memahami, menyelami, dan merasakan perasaan, pikiran, dan hati orang lain. Konsep kunci sekaligus superordinat kemengertian ini adalah pangerten (menjadi mengerti).
23
Nilai kelapangdadaan atau kelapanghatian manusia Jawa di sini berkenaan dengan keikhlasan, kerelaan, kesabaran, kesyukuran, kesediaan, keberasalegaan, dan keberasa- senangan hati, pikiran, dan perasaan dalam menghadapi, menerima, dan menyelesaikan segala kejadian, peristiwa, dan kenyataan hidup dan kehidupan. Nilai kerendahhatian manusia Jawa di sini berkenaan dengan kesewajaran, keproporsionalan, ketundukan, kekhidmatan, ketakziman, ketidaksombongan, ketidakangkuhan, ketidakcongkakan, dan ketidakminderan manusia Jawa dalam hidup dan kehidupan.
24
Nilai Kekasihsayangan manusia Jawa Nilai kekasihsayangan manusia Jawa di sini berkenaan dengan kefilantropisan, kealtruistisan, dan kehumanistisan ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia Jawa dalam hidup dan kehidupan. Superordinat kekasihsayang-an ini termanifestasi dalam konsep asih ing sesami dan welas asih.
25
NTJ adalah nilai yang berkenaan dengan keindahan dan keelokan dalam pandangan manusia Jawa atau menurut rasa manusia Jawa. Koordinat normatif NTJ adalah nilai keterpesonaan dan nilai keterhanyutan yang tidak tepermanai dan tanpa pamrih yang disebabkan oleh adanya stilisasi dan idealisasi sesuatu yang disebut seni.
26
Nilai Keterpesonaan Manusia Jawa Nilai keterpesonaan manusia Jawa di sini berkenaan ketertarikan, keterpikatan, dan bahkan keterpanaan rasa manusia Jawa pada waktu berhubungan dan bertemu dengan sesuatu yang distilisasi dan diidealisasi yang disebut kesenian Jawa sehingga dirinya mengalami keadaan luluh atau lebur ke dalam keindahan dan keelokan.
27
Nilai Keterhanyutan Manusia Jawa Nilai keterhanyutan manusia Jawa di sini berkenaan dengan kemengaliran, keterbawaan, dan atau kelaratan rasa manusia Jawa pada waktu berjumpa atau bersatu dengan objek estetis sehingga rasa itu terangkat, lebur, dan atau luluh ke dalam situasi dan keadaan penuh keindahan dan keelokan yang sublim, spiritual, dan atau transenden. Dalam NBJ, nilai keterhanyutan tersebut terartikulasi dan termanifestasi terutama dalam konsep lengeng, lengleng, kalangon, kalangwan, jalal, jamal, kamil, kamal, enges, dan nges.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.