Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehNandar Pujianto Telah diubah "9 tahun yang lalu
1
Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi
Oleh: Basani Situmorang SH Mhum
2
Dasar Hukum Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011 tentang Judicial Review Pasal 164 Ayat 3 Undang-Undang 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan.
3
Latar Belakang Putusan MK
Bahwa Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah mengatur dan mempunyai banyak dimensi serta keterkaitan. Dimana keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah bekerja, tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat.
4
Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa mendapat penetapan sebelumnya dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa adanya penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial batal demi hukum.
5
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga mengatur larangan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungankerja, alasan-alasan yang dapat digunakan pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja beserta besaran hak-hak pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja, serta proses penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja.
6
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat menjadi celah kepada pihak pengusaha untuk menghilangkan hak warga negara untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan pelakuan yang adil dan layak sehingga dianggap bertentangan dengan konstitusi.
7
Dengan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tersebut para Pemohon merasa dirugikan karena ketentuan tersebut dijadikan dasar oleh Pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja walaupun perusahaan tidak tutup dan semata karena melakukan renovasi yang dapat diperkirakan jangka waktunya.
8
Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003, bertolak belakang dengan sebuah amanat penting dari Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal tersebut dimuat dalam Pasal 151 ayat (1) dan Penjelasannya yang isinya adalah "pengusaha, pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja".
9
Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003, menjadi ancaman paling menakutkan karena memberikan peluang sebesar- besarnya kepada pengusaha untuk menghilangkan hak atas pekerjaan, imbalan dan pelakuan yang adil dalam hubungan kerja sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (2) UUD Pekerja dapat setiap saat diputuskan hubungan kerjanya walau tanpa ada kesalahan apapun atau ketika kondisi perusahaan dalam kondisi yang maju sekalipun.
10
Secara keseluruhan Pasal 164 UU 13/2003, memberikan penekanan pada klausul “ perusahaan tutup ”, karena pasal 164 ini sebenarnya mengatur alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan tutup, bukan karena alasan lainnya.
11
Pemutusan hubungan kerja tidak boleh dilakukan tanpa ada alasan yang valid. Tidak boleh seorangpun di muka bumi ini dihilangkan hak konstitutionalnya untuk bekerja dan mencari nafkah tanpa pernah melakukan kesalahan dan alasan yang tepat. Pasal 164 ayat (3) itu sendiri bertolak belakang dengan sebuah amanat penting dari UU 13/ 2003 mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal tersebut dimuat dalam pasal 151 ayat (1) dan Penjelasannya yang isinya adalah “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”;
12
Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga “mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK pekerja yang ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain "Pengusaha melakukan efisiensi, caranyadengan menutup perusahaan".
13
Selain itu Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28 Oktober 2004 yang isinya : “..... Namun apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukan upaya sebagai berikut : a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas misalnya tingkat manager dan direktur; b. Mengurangi shift
14
Membatasi/menghapuskan kerja lembur; d. Mengurangi jam kerja; e
Membatasi/menghapuskan kerja lembur; d. Mengurangi jam kerja; e. Mengurangi hari kerja; f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat”;
15
Pasal 164 ayat (3) kini menjadi ancaman paling menakutkan karena memberikan peluang sebesar-besarnya untuk menghilangkan hak atas pekerja, imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja sebagaimana amanat UU Pasal 28D ayat (2) UUD Pekerja dapat setiap saat dapat diputus hubungan kerjanya walau tanpa ada kesalahan apapun atau ketika kondisi perusahaan dalam kondisi yang maju sekalipun;
16
Pertimbangan Mahkmah Konstitusi
Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 yang menyatakan, “ Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensidengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kaliketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;
17
Kata “efisiensi” yang terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga “mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara memutuskan hubungan kerja pekerja yang ada, namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain pengusaha melakukan efisiensi dengan cara menutup perusahaan;
18
Pasal 164 Ayat 3 tidak ditemukan definisi yang jelas dan rigid ata frasa perusahaan tutup apaka perusahaan tutup yang dimaksud adalah tutup yang permanen atau tutup sementara dengan demikian siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan kepentingannya masing-masing misalnya menganggap penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan menjadikannya sebagai dasar melakukan PHK.
19
Tafsiran yang berbeda-beda tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam penerapannya, karena setiap pekerja dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti sementara. Hal demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan pekerjaan bagi pekerja/buruh di dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”;
20
PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya- upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut: (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi shift ; (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja; (e) mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
21
Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.21] tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK dengan demikian Mahkamah perlu menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 guna menegakkan keadilan dengan menentukan bahwa frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tetap konstitutional sepanjang dimaknai “ perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu ”. Dengan kata lain frasa “ perusahaan tutup ” tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “ perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
22
Amar Putusan Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”; Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) pada frasa“perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
23
Solusi PHK Efisiensi Program Golden Shake Hands (GSH)
Perusahaan dalam melaksanakan program GSH harus menempuh langkah-langkah sbb: Inventarisasi unit-unit kerja yang kan mengalami pengurangan. Dalam hal ini diprioritaskan unit kerja yang tidak menguntungkan atau kurang produktif. Tentukan berapa jumlah karyawan yang akan dikurangi dan kriteria yang akan dikurangi. Sosialisasi kepada unit kerja yang akan mengalami pengurangan karyawan dan dijelaskan hak-hak pekerja yang mengambil program GSH. Menyiapkan formulir program GSH yang akan diisi oleh karyawan. Perusahaan memberikan Surat Edaran yang menjelaskan bahwa karyawan yang akan mengambil program GSH harus mengajukan permohonan kepada Perusahaan..
24
Perusahaan menilai apakah permohonan dapat diterima atau tidak, hal ini untuk menghindarkan memiliki kinerja bagus dan produktif ikut mengambil sehingga perusahaan tidak dapat mencapai sasaran efisiensi. Hak pekerja yang mengambil program GSH harus diatas normatif supaya menarik bagi karyawan untuk mengambil program GSH. Berikutnya bagi karyawan yang disetujui oleh perusahan mengambil program GSH dibuatlah perjanjian bersama yang didaftarkan di pengadilan hubungan industrial. Program GSH merupakan pengurangan karyawan (PHK) dengan sukarela dan secara kekeluargaan.
25
Contoh Kasus PT X mempunyai karyawan diseluruh Indonesia PT X ingin mengurangi karyawan sebanyak 300 Orang untuk pertama kali disesuaikan kemampuan keuangan perusahaan untuk membayar hak-hak pekerja. Jadi PT X membuat program GSH dengan hak pekerja sebagai berikut: A. 2 kali uang pesangon (Pasal 156 Ayat 2) B. 1 kali Uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 Ayat 3) C. 1 Kali Uang pengantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 Ayat 2) Disamping hak-hak diatas Perusahaan membayar sisa masa kerja sampai dengan pensiun sebesar 1 kali upah pokok misalnya si A masa usia 45 Tahun dengan masa kerja 10 Tahun sehingga mendapatkan sbb: 11 Tahun X 1 Kali Upah Pokok Nb: 11 Tahun merupakan sisa masa kerja( 56 Tahun -45 Tahun)
26
TERIMA KASIH
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.