Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehFaiz Mahardika Telah diubah "9 tahun yang lalu
1
HEIGO PEBRIANTO, 3450407073 Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
2
Identitas Mahasiswa - NAMA : HEIGO PEBRIANTO - NIM : 3450407073 - PRODI : Ilmu Hukum - JURUSAN : Hukum dan Kewarganegaraan - FAKULTAS : Hukum - EMAIL : Heigo_kaka pada domain yahoo.co.id - PEMBIMBING 1 : Ali Masyhar, S.H., M.H. - PEMBIMBING 2 : Anis Widyawati, S.H., M.H. - TGL UJIAN : 2011-08-22
3
Judul Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
4
Abstrak Dalam Undang-Undang Advokat yang menjadi permasalah dalam penelitian ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Dalam Pasal 28 ayat (1) diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat. Namun kenyataannya terdapat banyak Organisasi Advokat. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) diamanatkan untuk dilakukan sumpah terhadap advokat sebelum beracara di pengadilan. Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 052/KMA/V/2009 memerintahkan agar Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah advokat baru sebelum terbentuknya wadah tunggal advokat. Terkait berbagai permasalahan sumpah advokat tersebut, telah dilakukan upaya uji materiil terhadap Undang- Undang Advokat yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 101/PPU-VII/2009 ternyata bertentangan dengan SEMA Nomor 052/KMA/V/2009. Hal ini tentunya akan menciptakan dualisme pandangan di Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri apakah mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi atau Surat Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan sikap tentang advokat yang legal untuk dapat beracara di pengadilan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai : bagaimana sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPUVII/ 2009?, dan bagaimana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui dan menganalisis sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, serta Mengetahui sejauh mana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling, dengan jenis sampling yaitu purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Serta menggunakan teknik trianggulasi dalam validitas dan keabsahan data. Adapun Hasil penelitian adalah sebagai berikut : (1) Pada Pengadilan Tinggi menunjukan bahwa Pengadilan Tinggi belum menjalankan sepenuhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 dan lebih memilih untuk menjalankan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Pengadilan Tinggi beralasan bahwa sebagai lembaga yang secara organisatoris berada di bawah Mahkamah Agung, maka Pengadilan Tinggi harus tunduk pada Mahkamah Agung bukan pada lembaga lain termasuk pada Mahkamah Konstitusi dan putusan yang dihasilkannya. (2) Sedangkan pada Pengadilan Negeri menunjukkan bahwa sumpah advokat harus sesuai dengan Undang-Undang Advokat, dimana menyatakan seorang advokat yang tidak disumpah Pengadilan Tinggi adalah advokat yang tidak sah, sehingga secara hukum advokat yang tidak disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi tidak berhak beracara dalam persidangan di pengadilan. Namun dalam prakteknya advokat yang belum disumpah dalam di Pengadilan Tinggi diperbolehkan menjadi kuasa hukum, tetapi sifatnya mendampingi advokat lain yang sudah sah yang telah disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tinggi tidak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, Pengadilan Tinggi lebih memilih untuk menjalankan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Sedangkan Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 adalah tidak sah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Advokat. Dari simpulan tersebut dapat diberikan saran bahwa agar advokat memiliki legalitas seperti yang dikehendaki Undang-Undang Advokat, maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 seharusnya dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi dengan mengadakan sidang terbuka untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat tanpa memandang organisasinya, dan Sikap Pengadilan Negeri dalam menanggapi kasus sumpah advokat tersebut sebaiknya menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 karena mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi lebih berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tentunya hal ini dilakukan sambil menunggu organisasi advokat menyelesaikan permasalahan intern mereka dengan baik.
5
Kata Kunci Sumpah, Advokat, Legalitas
6
Referensi Arikunto, Suharsini. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Asshiddiqie, Jimly, 2005. Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, cetakan pertama. Jakarta : Konstitusi Press. -----------------------. 2004. Format kelembagaan Negara dan pergeseran kekuasan dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press -----------------------. 2004. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang, Makalah kuliah umum program doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Jogjakarta : FH UII Press C. Anwar. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang : In-TRANS Publishing Departemen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa indonesia Huda, Ni’matun. 2009. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 2004 Mahkamah Konstitusi. 2010. Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember. Jakarta: Konstitusi Press Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Marwan dan Jimmy. 2009. Kamus Hukum. Surabaya : Reality Publisher Miles Mattew B, Huberman A Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Daya Widya. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya Rambe, Ropaun. 2001. Teknik Praktek advokat. Jakarta : PT Garmedia widiasarana Indonesia Daniel, S.Lev. 2001. Advokat Indonesia Mencari LegitimasiI. Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Samardi, Sukris. 2007. Advokat Litigasi dan Nonlitigasi Pengadilan. Jogjakarta : Pusaka Prisma Sutarto, Suryono. 2005. Hukum Acara Pidana Jilid II dan II. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia. Varia Advokat, Volume 10, Agustus 2009 Daftar Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta. Yayasan Bima Soesilo R. 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentar lengkap pasal demi pasal. Bogor. Politeia Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat Daftar Web http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInterna lLengkap&id=3429 (Accessed : Minggu, 17 April 2011, 13:04:39 Wib) http://www.mahkamahagung.go.id/ (Accessed : Minggu, 17 April 2011, 13:30:39 Wib) http://www.hukumonline.com (Accessed : Minggu 13 Maret 2011, 13:30:18 Wib)
7
Terima Kasih http://unnes.ac.id
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.