Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehBagas Rifai Telah diubah "9 tahun yang lalu
1
Pangeran Diponegoro Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo adalah putra sulung Pangeran Adipati Anom (Hamengku Buwono III), seorang raja Mataram di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Lahir di Yogyakarta, 11 November Ia juga bergelar Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi. Perlawanan Diponegoro dimulai ketika dia dengan berani mencabut tiang-tiang pancang pembangunan jalan oleh Belanda yang melewati rumah, masjid, dan makam leluhur Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pembangunan jalan ini atas inisiatif Patih Danurejo IV yang menjadi antek Belanda. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah “perang sabil“, perlawanan menghadapi kaum kafir. Sejak saat itu, berkobarlah perang besar yang disebut Perang Jawa atau Perang Diponegoro ( ). Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang menggunakan taktik gerilya. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Mojo, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Dengan dibantu oleh Sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo Mataram, dan Pangeran Pak-pak (Serang), Pangeran Diponegoro berhasil memberikan perlawanan yang hebat kepada Belanda. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai pada akhirnya digunakanlah siasat licik dengan berpura-pura mengajak berunding dan berjanji akan menjaga keselamatannya. Namun, Belanda ingkar janji dan menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi perundingan di Megelang. Tanpa malu Jenderal Hendrik de Kock menangkapnya. Hari itu juga Diponegoro diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. Tangal 30 April 1830 Pangeran Diponegoro akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di Benteng Amsterdam. Tahun 1834 dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.