Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
POSISI DOMINAN DAN PENYALAHGUNAANNYA
2
POSISI DOMINAN Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan usaha (HPU) tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri dengan cara yang fair. Konsep HPU adalah menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan (menjadi unggul) melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif.
3
Apa definisi atau pengertian posisi dominan?
Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah : Posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dengan market power tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya.
4
Apa definisi atau pengertian posisi dominan?
Dalam UU No.5/1999, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. (Pasal 1 angka 4 UU No. 5/1999)
5
Terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan: pangsa pasarnya; kemampuan keuangan; kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
6
Pangsa Pasar Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Pangsa pasar adalah salah satu elemen penting dalam menetapkan, apakah suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan atau tidak.
7
Berapa persen penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha dinyatakan sebagai posisi dominan ?
Di dalam hukum persaingan usaha Jerman, untuk satu pelaku usaha diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, jika satu pelaku usaha mempunyai pangsa pasar lebih dari 33,3%; dan untuk dua atau lebih dari tiga pelaku usaha diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, apabila menguasai pangsa pasar lebih dari 66,6%. Menurut hukum persaingan Negara Republik Cekoslovakia dan Spanyol diduga memilik posisi dominan jika menguasai pangsa pasar 40%.
8
Berapa persen penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha dinyatakan sebagai posisi dominan ?
Menurut Pasal 25 ayat 2 UU No. 5/1999 menetapkan bahwa : Satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu; dan Dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan, apabila menguasai 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu.
9
Ketentuan posisi dominan mengenai penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 tersebut mensyaratkan bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut dapat mendistorsi pasar baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 25 ayat 1 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk : Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
10
Pasal 25 ayat 2 tersebut bersifat absolut atau tidak?
Secara normatif ketentuan Pasal 25 ayat 2 bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha sudah menguasai pangsa pasar 50% untuk satu pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut langsung dilarang. Kalau pendekatan per se illegal diterapkan kepada Pasal 25, maka sama dengan menghambat tujuan UU No. 5/1999, yaitu mendorong pelaku usaha berkembang berdasarkan persaingan usaha yang sehat.
11
Dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason dalam penerapannya. Karena ketentuan Pasal, 4, Pasal 13, Pasal 17, dan Pasal 18 menetapkan diduga dapat melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar.
12
Jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha (monopoli), tetapi dalam prakteknya dapat melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai pangsa pasar 40% sementara pangsa pasar pesaingnya tersebar kecil-kecil dikuasai oleh 6 pelaku usaha dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing 10%, yaitu pelaku usaha B menguasai 10%, C10%, D 10%, E 10%, F 10% dan Pelaku usaha G menguasai 10%. Jadi, jika struktur pasar yang demikian, maka Pelaku usaha A yang mempunyai pangsa pasar 40% dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dibandingkan dengan penguasaan pangsa pasar pesaingnya masing-masing menguasai 10%
13
Dengan demikian ketentuan penetapan penguasaan pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli dan dibawah 75% untuk pasar oligopoli yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.
14
Kemampuan keuangan Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya kemampuan ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan. Artinya, kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri, untuk melakukan investasi sejumlah uang tertentu dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal.
15
Secara sederhana dilihat dari keberadaan pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi (besar) dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya, pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi akan mempunyai keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau beli yang lebih tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu dibandingkan dengan nilai jual atau beli pesaing-pesaingnya akan menunjukkan ke kemampuan keuangan yang lebih kuat atau lebih besar.
16
Faktor-faktor yang menetapkan pelaku usaha mempunyai keuangan yang kuat dapat dilihat dari :
Modal Dasar; Cash flow; Omset; Keuntungan; Batas kredit; dan Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional
17
Kemampuan Pada Pasokan atau Penjualan
Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar dalam persentase tertentu dapat melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan yaitu melalui kemampuan pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang bersangkutan. Kamampuan pengaturan pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu menjadi salah satu bukti bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Akibatnya adalah pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menguasai pasar dan pesaingnya tidak dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan.
18
Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan
Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu. Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar yang bersangkutan.
19
PENETAPAN POSISI DOMINAN
Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi dominan suatu pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan, apakah suatu pelaku usaha sudah mempunyai posisi dominan, adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum suatu pelaku usaha ditetapkan mempunyai posisi dominan, KPPU terlebih dahulu harus melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan. KPPU dalam melakukan investigasi tersebut harus melakukan pembatasan pasar bersangkutan.
20
Pembatasan pasar bersangkutan
Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 metode pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan di dalam Pasal 1 No. 10 yang berbunyi : “Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subsitusi dari barang dan atau jasa tersebut”.
21
Berdasarkan ketentuan tsb, pembatasan pasar yang bersangkutan (relevant market) untuk menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha menggunakan pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk (product market) dan berdasarkan wilayah atau geografis (geographich market)
22
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk atau secara obyektif (product market)
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara obyektif adalah di mana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subsitusinya. Untuk dapat menentukan, apakah suatu barang dengan barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat dinyatakan menjadi subsitusi terhadap barang tertentu, perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu bentuk lahiriah dan sifat barang tersebut; fungsi barang tersebut; harga barang tersebut; dan fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen.
23
Bentuk dan sifat barang
Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengidentifikasi apakah suatu produk satu pasar atau satu produk secara obyektif. Dikatakan secara objektif, karena produk yang berbeda tersebut dilihat secara fisik apakah bentuk dan sifat barang tersebut sama atau tidak. Misalnya apakah soft drink Coca cola dapat dianggap barang yang sama dengan Pepsi? Kalau ya, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah produk yang saling bersaing. Dalam hal ini Coca Cola dengan Pepsi adalah satu pasar, karena dilihat dari aspek sifat minumannya.
24
b) Fungsi barang Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau produk dengan barang atau produk yang lain (berbeda) tersebut mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen. Contoh Coca Cola dan Pepsi mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen, yaitu untuk menghilangkan rasa haus. Dilihat dari aspek fungsi barang tersebut, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah satu produk. Artinya, satu pasar bersangkutan.
25
c) Harga Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah suatu produk dengan produk yang lain dinyatakan sama atau dapat sebagai barang pengganti adalah harga. Misalnya harga Coca Cola satu botol Rp.4000 sedangkan harga Pepsi satu botol Rp.3900, maka Coca Cola dengan Pepsi dapat dikatakan satu barang yang sama atau sebagai barang pengganti. Akan tetapi kalau harga Coca Cola satu botol Rp , dan sedangkan harga Pepsi satu botol hanya Rp , maka Coca Cola dengan Pepsi bukan satu barang yang sama, atau Pepsi tidak dapat disebut sebagai barang Coca Cola.
26
Fleksibilitas barang bagi konsumen (interchangeable)
Jika konsumen biasanya mengkonsumsi suatu produk tertentu, dan konsumen kehabisan barang/produk tersebut, maka apakah jika konsumen pada saat membutuhkan produk yang biasa dibutuhkan tersebut tidak ada di pasar, konsumen tersebut secara otomatis mau beralih kepada produk yang lain tersebut? Kalau ya, maka produk pengganti tersebut menjadi satu produk bagi konsumen terhadap produk yang biasa dikonsumsinya.
27
Misalnya, apakah mie dapat menjadi barang subsitusi terhadap beras
Misalnya, apakah mie dapat menjadi barang subsitusi terhadap beras. Artinya jika beras habis dipasar, apakah konsumen bersedia beralih otomatis membeli mie sebagai penggantinya (interchangeable). Apakah dengan demikian kebutuhan kosumen dapat dipuaskan oleh mie tersebut. Oleh karena itu, apakah suatu barang tertentu sama dengan barang yang lain, atau sejenis atau dapat sebagai barang subsitusi biasanya dilihat dari aspek kebutuhan konsumen yang diselidiki kasus per kasus. Dalam hal ini aspek penilaian konsumen sangat penting, karena konsumen membeli suatu produk untuk kebutuhannya.
28
Jika suatu produk sudah ditetapkan mempunyai barang sejenis atau barang subsitusi, maka pangsa pasar produk yang sama atau barang sejenis atau barang subsitusi tersebut termasuk dalam satu pasar bersangkutan secara objektif. Konsekuensinya adalah bahwa pangsa pasar barang sejenis dan barang subsitusi akan ikut dijumlahkan untuk menentukan, apakah pangsa pasar bersangkutan memiliki posisi dominan atau tidak. Biasanya dengan ikut menghitung pangsa pasar barang sejenis dan/atau barang subsitusi mengakibatkan pangsa pasar bersangkutan menjadi turun. Hal ini akan menguntungkan bagi perusahaan yang sedang diawasi oleh KPPU dalam proses penentuan posisi dominan.
29
Pembatasan Pasar Bersangkutan Secara Geografis (relevant geographic market)
Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ditentukan sejauh mana produsen memasarkan produknya seluas itulah dihitung produsen yang memasarkan barang/produk diwilayah tersebut. Fungsi pembatasan pasar secara geografis adalah untuk menghitung pangsa pasar bersangkutan secara obyektif disekitar wilayah di mana barang tersebut dipasarkan. Oleh karena itu dapat terjadi, bahwa pasar suatu barang tertentu dapat mencapai pasar regional, nasional, internasional dan bahkan pasar global.
30
Akan tetapi UU No. 5/1999 sudah membatasi penerapannya hanya di dalam negeri saja.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 No. 5: “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan berbagai kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia”. Dari ketentuan tsb, jangkauan penerapan UU Anti monopoli tersebut maksimum seluas wilayah Indonesia saja.
31
Namun demikian, KPPU telah menetapkan bahwa jangkauan penerapan UU No
Namun demikian, KPPU telah menetapkan bahwa jangkauan penerapan UU No. 5/1999 tidak terbatas seluas wilayah Indonesia dimana pelaku usaha mempunyai kedudukan hukumnya, tetapi juga pelaku usaha yang mempunyai kedudukan hukum di luar wilayah Indonesia, tetapi perilaku pelaku usaha tersebut mempunyai dampak terhadap persaingan usaha di pasar Indonesia. Contoh Kasus : Di dalam kasus Temasek Group, KPPU memutuskan bahwa Temasek Holdings dan anak perusahaannya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar UU No. 5/1999 walaupun Temasek Group tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia, tetapi mempunyai dampak persaingan di pasar Indonesia (Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007).
32
Setelah ditetapkan pasar produk suatu barang tertentu, kemudian ditetapkan pasar geografis produk tersebut, yaitu seluas mana produk-produk yang sama dan barang penggantinya dipasarkan, maka seluas wilayah itulah dihitung berapa jumlah pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di wilayah tersebut, dan berapa pangsa pasar masing-masing pelaku usaha. Dari pasar geografis ini dapat disimpulkan pelaku usaha yang mana yang menguasai pangsa pasar di wilayah tersebut, pelaku usaha itulah yang mempunyai posisi dominan di wilayah tersebut (geographic market)
33
PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN
Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5/1999, asalkan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah apabila pelaku usaha tersebut menyalahgunakan posisi dominannya.
34
Bagaimana pelaku usaha melakukan penyalahgunaan posisi dominannya sehingga pasar dapat terdistorsi ?
Bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan atau hambatan-hambatan persaingan usaha yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat 1 dan Pasal 19.
35
Pasal 25 ayat 1 menetapkan, bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk : Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing dari segi harga maupun kualitas; atau Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
36
Larangan Pasal 19 disebut dengan penguasaan pasar.
Penguasaan pasar disini sebetulnya adalah suatu proses pelaku usaha untuk menguasai pasar baik yang dilakukan secara sendirian maupun secara bersama dengan pelaku usaha yang lain. Akibat dari pencapaian terhadap penguasaan pasar maka pelaku usaha tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaingnya itu ; atau membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar yang bersangkutan; atau Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
37
Dari ketentuan Pasal 25 ayat 1 pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat menyalahgunakan posisi domiannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: Mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat-syarat perdagangan; atau Membatasi pasar dan pengembangan teknologi; Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
38
Mencegah atau menghalangi konsumen
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat perdagangan yang dapat mencegah konsumen memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga maupun dari segai kualitas. Dapat disimpulkan bahwa konsumen telah mempunyai hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.
39
Kasus Carrefour Di dalam kasus Carrefour KPPU menetapkan dalam putusannya bahwa Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a UU No.5/1999, karena menetapkan syarat perdagangan yang mengakibatkan pelaku usaha pemasok tidak dapat memasok produknya ke Carrefour. Di dalam Putusan KPPU No. 02/KPPU-L/2005 ditetapkan bahwa Carrefour mempunyai market power dibandingkan dengan Hypermart, Giant dan Clubstore karena Carrefour mempunyai gerai yang terbanyak. Dengan market power tersebut menimbulkan ketergantungan bagi pemasok agar produknya dapat dijual di Carrefour. Bukti menghalangi pemasok ke Carrefour adalah dengan memberlakukan minus margin yang mengakibatkan salah satu pemasoknya menghentikan pasokannya kepada pesaing Carrefour yang menjual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga jual di gerai Carrefour untuk produk yang sama. Carrefour dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a UU No. 5/1999.
40
Membatasi pasar dan pengembangan teknologi
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di pasar yang bersangkutan.
41
Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan berupa melakukan hambatan masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan barang di pasar atau membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa di pasar yang bersangkutan dan melakukan jual rugi yang akan menyingkirkan persaingnya dari pasar. Termasuk melakukan perjanjian tertutup dan praktek diskriminasi. Secara umum tindakan diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain secara istimewa, dan pihak lain atau pelaku usaha lain tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, atau ditolak.
42
Menghambat pesaing potensial
Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing faktual dan pesaing potensial. Pesaing faktual adalah pelaku usaha-pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan pesaing potensial adalah pelaku usaha yang mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri.
43
Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi dominan swasta adalah penguasaan produk suatu barang mulai proses produki dari hulu ke hilir hingga pendistribusian – sehingga perusahaan tersebut demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar yang bersangkautan. Sedangkan hambatan masuk pasar akibat kebijakan negara atau pemerintah ada dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan strategis. Hambatan masuk pasar secara struktur adalah dalam kaitan sistem paten dan lisensi. Sedangkan hambatan masuk pasar secara strategis adalah kebijakan-kebijakan yang memberikan perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar. Jadi, di dalam hukum persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar yang bersangkutan.
44
HUBUNGAN AFILIASI DENGAN PELAKU USAHA YANG LAIN
Hubungan terafiliasi ini diatur didalam Pasal 26 tentang jabatan rangkap dan Pasal 27 tentang kepemilikan saham silang UU No. 5/1999.
45
Jabatan Rangkap (Pasal 26)
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut: berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
46
Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (rule of reason).
47
Contoh jabatan rangkap: PT Garuda Indonesia mempunyai saham 95% di PT Abacus, maka PT Garuda Indonesia menempatkan dua orang direksinya merangkap jabatan di PT Abacus, yaitu Emirsyah Satar dan Wiradharma Bagus Oka sebagai Komisaris di PT Abacus Indonesia. PT Garuda dinyatakan sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 26 UU No. 5/1999, karena keberadaan Emirsyah Satar dan Wiradharma ikut menentukan kebijakan dual acess yang mengharuskan travel agent untuk mengakses sistem abacus untuk pasar domestik, padahal abacus adalah untuk pasar internasional (Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2003 tentang Garuda Indonesia)
48
Kepemilikan saham silang (Pasal 27)
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
49
Contoh kasus yang paling tepat yang diputuskan oleh KPPU dalam kasus kepemilikan saham silang adalah dalam Putusan Perkara No. 05/KPPU-L/2002 tentang Kasus Cineplex 21, di mana induk perusahaan, yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya mempunyai hubungan terafiliasi dengan anak perusahaannya, karena mempunyai saham lebih dari 50%, yaitu 98% di PT Intra Mandiri dan 70% di PT Wedu Mitra.
50
Ketentuan Pasal 27 UU No. 5/1999 walaupun menurut ketentuan UU No
Ketentuan Pasal 27 UU No. 5/1999 walaupun menurut ketentuan UU No. 5/1999 bersifat per se illegal, maka sebaiknya dalam penerapannya digunakan pendekatan rule of reason. Hal ini untuk memberikan konsistensi diantara ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18 dengan Pasal 25 dan Pasal 27 UU No. 5/1999.
51
Terima kasih
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.