Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
Diterbitkan olehTio Irwanda Telah diubah "9 tahun yang lalu
1
MEMBANGUN WAWASAN BHINEKA TUNGGAL IKA Dengan Nilai-nilai Keagamaan
Waryono Abdul Ghafur Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Dipresentasikan pada tanggal 4 Agustus 2009 Lokakarya Pendidikan Agama “Membangun Wawasan BTI Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama” Interfidei
2
Realitas Empirik Indonesia
Sejak awal didirikan/merdeka, Indonesia sudah terdiri dari multiras, etnik, suku, agama, dan kepercayaan yang penduduknya tersebar di kurang lebih pada pulau. Itulah Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity/ E Pluribus Unum). Semuanya diakui dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia, meski kadang tak cukup mendapat perlindungan
3
Dari realitas itu, maka:
Sejak awal pula, negara-bangsa ini tidak pernah dimaksudkan hanya untuk warga negara-bangsa dengan agama/kepercayaan tertentu dan etnis tertentu juga. Ini tentu saja berbeda misalnya dengan Pakistan yang sejak awal didirikan adalah sebuah negara bagi umat Islam sbg hasil dari penerapan teori dua bangsa (two-nation theory) yang digagas oleh Ali Jinnah. Dengan demikian tidak Bhineka Tunggal Ika. Meskipun demikian, tidak ada realitas yang benar-benar tunggal.
4
BTI: Kehendak Siapa? Bukan saja kehendak sejarah dan sosial, tapi merupakan kehendak Tuhan. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai manusia! Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…(QS. al-Hujurat [49]: 13)
5
Lanjutan: Pada ayat yang, Allah juga berfirman: Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan mereka satu umat,…(QS. asy-Syura [42]: 8). Maka, BTI adalah realitas yang tidak bisa ditolak atau dinegasikan. Ia harus diterima dan disikapi secara bijak, dimulai dengan proses saling mengenali (lita’a>rafu>) bukan menjauhi, menghindari dan apalagi memusuhi atau berusaha menyeragamkan atau menghilangkan heterogenitas.
6
Memajukan kesejahteraan umum Mencerdaskan kehidupan bangsa
Karena itu, dalam rumusan tujuan NKRI ditegaskan bahwa Tujuan didirikannya Indonesia ini adalah: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (dengan keanekaragamannya). Memajukan kesejahteraan umum Mencerdaskan kehidupan bangsa Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
7
Lalu bagaimana aturan mainnya?
Perlu berangkat dari asumsi yang benar mengenai anak manusia. Apa saja asumsinya yang dihidupkan? Selalu positif Memberi lingkungan yang mendukung tersemainkannya nilai-nilai positif Mendukung
8
Asumsi pertama Nilai-nilai universal mengajarkan untuk menghargai orang lain dan bahwa tiap manusia memiliki harga diri. Belajar menikmati nilai-nilai tersebut menciptakan kesejahteraan bagi tiap individu dan masyarakat luas
9
Asumsi kedua Tiap anak-anak peduli akan nilai-nilai dan memiliki kapasitas untuk berkarya dan belajar secara positif bila disediakan kesempatan
10
Asumsi Ketiga Anak-anak akan tumbuh berkembang dalam suasana bermuatan nilai di lingkungan positif dan aman yang saling menghargai dan memperhatikan; dalam lingkungan seperti itu anak-anak dipandang mampu belajar membuat pilihan-pilihan sosial
11
Ingat Tujuan Agama (Maqa>shidus Syari’<ah)
Memelihara/menjaga nyawa (hifdzun nafs) Memelihara/menjaga akal (hifdzul ‘aql) Memelihara/menjaga kelangsungan generasi (hifdzun nasl) Memelihara/menjaga kehormatan (hifdzul ‘ird) Menjaga/memelihara harta (hifdzul ma>l) Menjaga/memelihara lingkungan (hifdzul bi<’ah) Menjaga agama (hifdzud di<n)
12
Dalam bahasa yang lain, menurut az-Zarqani (penulis Mana>hilul ‘Irfa>n),
Tujuan/cita-cita agama seperti terdapat dalam al-Qur’an adalah: Isla>hul ‘aqa>’idi Isla>hul ‘iba>dati Isla>hul akhla>qi Isla>hul Ijtima>’i (perbaikan segi kemasyarakatan) Isla>hus Siya>sati aw hukmid dauli Isla>hul Ma>li (perbaikan segi ekonomi) Isla>hun Nisa>’i (perbaikan kedududkan perempuan) Isla>hul Harbi (perbaikan mengenai peperangan) Muha>rabatul Istirqa>qi (memerangi perbudakan) Tahri<rul Uqu>li wal Afka>ri (memerdekaan akal dan pikiran)
13
Untuk terwujudnya tujuan tersebut, maka Islam mengajarkan Prinsip Relasi Sosial
Dasar Pijakan: Manusia adalah makhluk yang termulia (QS.al-Isra’ [17]: 70) Manusia tercipta dengan ahsani taqwi<m (QS. at-Tin [95]: 4) Manusia lahir dalam keadaan fithri (yu<ladu ‘alal fitrati) yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan: Hadis Manusia sebagai satu kesatuan (nafsiw wa>hidah): QS. an-Nisa’ [4]: 1 Manusia tercipta dan memiliki asal yang sama (min tura>b) Manusia sebagai saudara (ukhuwah insa>niyah/basyariyah) Manusia dalah makhluk pedagogis/educandum yang dapat dididik dan mendidik (QS. ar-Rum [30]: 30)
14
Lanjutan: Manusia sebagai hamba Allah (QS. adz-Dzariat [51]: 56 dan khalifah-Nya (Qs. al-An’am [6]: 165) Manusia itu setara (musa>wa), kecuali karena kualitas taqwa/prestasinya (QS. al-H{ujura>t [49]: 13 Semua manusia menerima perjanjian primordial (QS. al-A’raf [7]: 172) Manusia makhluk interdepedensi (QS. al-’Alaq [96]: 2, min ‘alaq) Memiliki beban dan tanggungjawab yang sama untuk mewujudkan kehidupan yang baik (h{aya>tan thayyibah) dengan kerja-kerja positif (‘amalan sha>lih{a) (QS. an-Nah{l: 97) Persamaan penghargaan di sisi Allah (QS. al-Ahza>b [33]: 35)
15
Oleh karena itu: Manusia sudah seharusnya
Saling mengenal (ta’a>ruf) Saling menyayangi (irahmu> man fil ard) Saling bekerjasama dan membantu (ta’a>wanu> ‘alal birri wat taqwa>) (QS. al-Ma>’idah [5]: 2) Bermitra (QS. at-Taubah [9]: 71), karena manusia adalah pasangan (azwa>j) (QS. Ya>sin [36]: 36) Saling menghormati (tahiyyah) (QS. an-Nisa>’:86) dan menghargai (tauqi<<r), bahkan lebih dari yang kita terima.
16
Lanjutan Saling mengingatkan dengan bahasa yang tidak menyakitkan (tawas>aw) Musyawarah (QS. as-Syu>ra> [42]: 38) Perhatian dan empati (ihtima>m) Untuk itulah Islam: Anti kekerasan dan pengrusakan (mashlah{ah)(QS. al-Anfa>l [8]:1; al-Ma>’idah [32]: 32) Pantang menghina, merendahkan atau memberi label negatif (taskhi<r dan tana>bazu>) (QS. al-H{ujura>t [49]: 11)
17
Lanjutan Menjauhi prejudice (su>’udzan), mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan ghibah (QS. al-Hujurat [49]: 12) Yang kuat melindungi yang lemah (QS. an-Nisa>’: 75). Tidak berperilaku yang merugikan diri dan orang lain (QS. al-Baqarah [2]: 279) ‘Adalah/adil (QS. an-Nah{l: 90, al-H{ujura>t: 9, an-Nisa>’: 58) Bersikap ihsa>n (QS. an-Nahl [16]: 90) terhadap semua
18
Lanjutan Bersikap moderat (tawa>suth) dan seimbang (tawa>zun) (QS. al-Baqarah [2]: 143 dan al-Ahzab [33]: 35) Bersikap toleran (tasa>muh) terhadap perbedaan (QS. al-Mujadilah [58]: 11) Memberi kebebasan yang bertanggungjawab (al-hurriyah) (QS. al-Kahfi [18]: 29)
19
Beberapa ajaran di atas adalah apa yang dikenal dengan Islam rahmatan lil’a>lami<n, yaitu:
Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan tanpa membeda-bedakan. Islam seperti inilah yang universal dan qat’i yang menjadi referensi bagi Islam yang partikular dan lokal yang muncul dari sebuah mazhab penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Islam yang partikular dan lokal harus tunduk pada Islam yang universal dan qat’i.
20
Kita Cermati model Epistemologi Tafsir
1. Tafsir sebagai Proses: al-Qur’an harus terus dikaji ulang dan ditafsirkan. Nasr Hamid menyatakan bahwa al-Qur’an adalah teks bahasa yang secara mandiri tidak mampu melahirkan peradaban apapun, tanpa adanya dialektika antara akal manusia dengan teks dan realitas sendiri. Ini artinya, al-Qur’an sebagai mintij ats-tsaqafah (produsen peradaban) Sebagai proses: tafsir harus disikapi secara kritis, sah untuk dipertanyakan, tafsir bersifat nisbi, relatif, dan temporer
21
2. Tafsir sebagai Produk Tafsir merupakan hasil atau produk pemikiran (mumtaj al-fikr) dari seorang mufassir sebagai respon terhadap kehadiran kitab suci. Sebagai produk: tidak sakral, bersifat historis, relatif dan tentatif (qa>bilun linniqa>s wat taghyi<r)
22
Struktur Dasar Epistemologi Tafsir dengan Nalar Mitis
Sumber Penafsiran Metode Penafsiran Validitas Penafsiran Karakteristik dan Tujuan Penafsiran Al-Qur’an dan hadis, Qiro’at, aqwal dan ijtihad sahabat, tabi’in dan para atba’ tabi’in, cerita israiliyat, dan syair jahiliyyah Bir-Riwayah, deduktif, disajikan secara oral melalui sistem periwayatan dan disertai analisis sedikit, sebatas kaidah-kaidah kebahasaan Sahih tidaknya sanad dan matan sebuah riwayat, kesesuaian (coherency) antara hasil penafsiran dengan kaidah-kaidah kebahasaan dan riwayat hadis yang sahih Minimnya budaya kritis, ijmali, praktis, implementatif, Tujuannya sekedar memahami makna (restropective) belum sampai ke dataran magza (prospective), posisi teks sbg subjek dan penafsir sebagai objek.
23
Struktur Dasar Epistemologi Tafsir dengan Nalar Idiologis
Sumber Penafsiran Metode Penafsiran Validitas Penafsiran Karakteristik dan Tujuan Penafsiran Akal (ijtihad) lebih dominan daripada al-Qur’an dan hadis. Teori-teori keilmuan (filsafat, tasawuf, kalam dan ilmu-ilmu tradisonal lainnya yang ditekuni mufassir Bir ra’yi dengan deduktif-tahlily, dengan analisis kebahasaan dan mencocok2kan dg teori dari disiplin keilmuan atau mazhab masing-masing mufassir Kesesuaian (coherency) antara hasil penafsiran dengan kepentingan penguasa, mazhab (aliran) dan ilmu yang ditekuni mufassir Idiologis, sektarian, atomistic, repetitif, pemaksaan gagasan non Qur’an, kecenderungan truth claim dan subjektif. Tujuannya untuk kepentingan kelompok, mendukung kekuasaan, mazhab, dan ilmu yang ditekuni mufassir.Penafsir sbg subjek, teks sbg objek.
24
Struktur Dasar Epistemologi Tafsir dengan Nalar Kritis
Sumber Penafsiran Metode Penafsiran Validitas Penafsiran Karakteristik dan Tujuan Penafsiran al-Qur’an, realitas, akal (ra’yu) yang derdialektika secara sirkular dan fungsional.Sumber hadis jarang digunakan. Posisi teks al-Qur’an dan penafsir sbg objek dan subjek sekaligus Bersifat interdisipliner, mulai dari tematik, hermeneutik, lingusitik, dengan pendekatan sosiologis, antropologis, historis, sains, semantik dan disiplin keilmuan masing2 mufassir Coherency; antara hasil penafsiran dg proposisi2 yang dibangun sebelumnya. Correspondent; sesuai dg fakta empiris Pragmatisme; solutif dan sesuai dengan kepentingan transformasi umat Kritis, transformatif, solutif, non idiologis, menangkap ruh al-Qur’an. Tujuannya: untuk transformasi dan perubahan, tidak hanya mengungkap makna (meaning), tapi juga magza (significance)
25
KARAKTERISTIK TAFSIR Paham Relevansi Implikasi Tekstual Bayani
Kebenaran Relevansi Implikasi Tekstual Bayani Normatif A historis Skriptual Berpotensi menimbulkan kekerasan Rasional Burhani Tentatif Historis partikular Intuitif ‘Irfani Subjektif Empiris Kontekstual Waqi’i&‘Ashr Relatif Historis kontekstual Mendorong Keadilan dan Kesetaraan
26
Curah Pendapat Pertanyaan Kritis
Corak penafsiran mana yang relevan dengan kondisi saat ini? Apakah corak tafsir tersebut ada dalam tradisi Islam? Apakah corak tafsir tersebut semuanya diakui dalam Islam?
27
Jawabnya: Ada dan diakui, tapi tidak semuanya relevan dan kontekstual dengan sekarang. Karena itu, hasil pemikiran atau tafsir tersebut tidak sepantasnya disakralkan. Apalagi kalau bertentangan dengan Isla>m Rahmatan lil’a>lami<n.
28
Demikian Semoga bermanfaat dan kita semua dengan cara masing-masing dapat berkontribusi untuk mewujudkan wilayah yang aman dan damai untuk semua anak manusia apa pun agama, kepercayaan, suku, etnis atau rasnya. Wassala>mu’alaikum warahmatulla>hi wabaraka>tuh.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.