Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
Etika Filsafat Komunikasi
Oleh: Drs. Arief S. Safrianto, M.M. Universitas Mercu Buana Jakarta
2
Pokok Bahasan Filsafat Ilmu Etika Komunikasi
Etika / Kode Etik Profesi Komunikasi 1. Kode Etik Jurnalistik 2. Pedoman Perilaku Penyiaran 3. Kode Etik Perhumas 4. Kode Etik Insan Kehumasan Pemerintah 5. Etika Pariwara Indonesia
3
FILSAFAT ILMU Filsafat Ilmu : Ilmu yang mempelajari sebab yang sedalam - dalamnya mengenai hakekat persolan ilmu. Hakekat Persoalan Ilmu : • Ontologi • Epistemologi • Aksiologi Bidang Filsafat : 1. Ontologi/metafisika ➽ apa ilmu itu ? 2. Epistemologi (Bagaimana cara peroleh Ilmu) a. Logika b. Metodologi c. Filsafat ilmu 3. Aksiologi (nilai) : Untuk apa ilmu itu dipergunakan a. Etika : Cabang filsafat yang mempelajari baik/buruk tindakan b. Estetika : Cabang filasafat yang mempelajari indah/tidaknya tindakan
4
Objek Etika : ♦ Manusia dinilai manusia lain dari tindakannya Katagori penilaian tindakan : ➽ ● baik – buruk (etika) ● Indah – jelek (estetika) ● Sehat – kurang sehat ➽ dari segi kesehatan/medis ♦ Tindakan dinilai Baik - Buruk (etika) terhadap orang lain berarti tindakan itu dilakukan dengan sadar atas pilihan atau dengan sengaja. • Faktor kesengajaan mutlak ada dalam penilaian baik-buruk ➽ disebut penilaian kesadaran etis / moral • Sengaja : Berarti ada rasa tahu dan bisa memilih Tidak ada Kesengajaan maka tidak ada penilaian baik – buruk • Tahu dan memilih ➽ harus ada dalam penilaian moral • Etika, khusus dilakukan pada tindakan - tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja ♦ Objek Materia Etika : Manusia ♦ Objek Forma Etika : Tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja
5
♦ Objek Materia Etika : Manusia
♦ Objek Forma Etika : Tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja ♦ Penilaian Etis hanya dapat dilakukan jika ada kehendak bebas ═ kehendak memilih ♦ Manusia tidak bebas,karena dipengaruhi 2 hal, yaitu : - Determinisme materialistik “ Manusia berada di alam,sehingga ia harus tunduk oleh hukum-hukum alam” - Determenisme Religius. “ Kehendak manusia ditentukan Tuhan, karena ia maha kuasa”
6
♦ Kesadaran Moral yang sudah timbul disebut
KATA HATI ! orang pingsan → tidak ada kesadaran etisnya ♦ Cara Kerja Kata Hati : ▪ Ada kesadaran atau pengetahuan umum tentang baik - buruk ▪ Setiap orang bertindak secara etis, ada penerangan mengenai tindakan kenkrit ▪ Sesudah ada tindakan (atas pilihan) ada penentuan (vonis) bahwa tindakan itu baik/buruk ♦ Penilaian Objektif : tindakan lepas dari subjek yang melakukan tindakan itu, sehingga lepas pula dari situasinya dan tindakan itu diukur baik-buruknya diluar subjek ♦ Penilaian Subyektif : Putusan yang diambil berdasarkan KATA HATI demi tidak terikat ukuran/norma di luar subjek ♦ Kesadaran Etis/Moral : Pengetahuan bahwa ada baik dan buruk
7
ETIKA KOMUNIKASI Etika : - Hendak mencari ukuran baik-buruk
- Hendak mengetahui bagaimana manusia seharusnya bertindak Komunikasi : Usaha manusia dalam menyampaikan IP – nya kepada manusia lain. Jadi : Etika Komunikasi : “ Penilaian baik-buruk ataui bagaimana manusia seharusnya bertindak dalam usahanya menyampaikan IP-nya kepada manusia lain.” Tanggung Jawab : Manusia harus bertanggung jawab terhadap tindakanya yang disengaja.Artinya manusia dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hatinya, tindakan itu sesuai kata hati dan tindakan itu baik. Tanggung Jawab :➽Kepada kata hati ➽Kepada orang lain.
8
PENGERTIAN : Etika : Verderber : Etika adalah standar - standar moral yang mengatur perilaku manusia bagaimana harus bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak. Etika pada dasarnya merupakan dialektika antara kebebasan dan tangguing jawab, antara tujuan yang hendak dicapai dan cara untuk mencapai tujuan itu. Ia berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar atau tidak benar, yang baik dan tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna atau tidak berguna, dan yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. I.R. Poedjawijatna : Manusia yang berkepribadian etis adalah manusia yang dalam tindakannya selalu memilih yang baik sesuai dengan penerangan budinya. Manusia yang berkepribadian (etis) adalah manusia susila.
9
Jadi Etika Adalah : Ilmu yang mempelajari apa yang baik dan yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Ilmu yang secara mendasar akan mendapat jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia harus hidup dan bertindak menurut norma-norma. Mengarahkan manusia agar pada gilirannya dapat mengerti mengapa harus bersikap begini atau begitu, dan mampu bertanggung jawab atas kehidupan dan tindakan apa yang telah dilakukan. ♦ Etika Komunikasi : Seorang komunikator dengan motif - motif tertentu berupaya mencapai tujuan tertentu pada khalayak tertentu dengan menggunakan (secara sengaja atau tidak) sarana-sarana atau teknik-teknik komunikasi untuk mempengaruhi khalayak.
10
Jadi etika komunikasi mempersoalkan penilaian pada :
Komunikator dan motifnya dalam penyampaian pesan - Tujuan Komunikasi Khalayak sasaran komunikasi Sarana dan teknik komunikasi yang digunakan. B. MANFAAT ETIKA : Agar disenangi, disegani, dan dihormati orang lain. Memudahklan hubungan dengan orang lain, sehingga melancarkan kegiatan hidup dan kerja. Memelihara suasana menyenangkan di lingkungan keluarga, tempat kerja, dan handai tolan. Memberi keyakinan pada diri sendiri saat menghadap orang lain. Meningkatkan citra pribadi seseorang di mata masyarakat.
11
Ukuran Baik : 1. Menurut aliran Hedonisme :
Semua tindakan manusia cenderung untuk mencapai : • Kepuasan semata (lihido Sexualitas) ➽S.Freud • Kepuasan dalam memiliki kekuasaan ➽Alder 2. Menurut aliran Utilitarisme : Yang baik adalah yang berguna. Jadi baik-buruknya sesuatu, dinilai dari kegunaannya untuk mencapai tujuan. 3. Menurut Aliran Vitalisme : Yang baik adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup. Kekuatan dan kekuasaan menaklukan orang yang lemah,itulah ukuran baik,Manusia yang kuasa itulah manusia baik. 4. Menurut aliran sosialisme Masyarakat terdiri dari manusia, maka masyarakat yang menentukan baik - baik tindakan individu anggota masyarakat. Ukuran baik adalah yang lazim dianggap baik oleh masyarakat tertentu.
12
5. Menurut aliran Religionisme :
Ukuran baik berdasarkan kehendak Tuhan ➽Kendala menetukan ukuran baik : jika berbeda ukuran baik menurut tiap-tiap agama yang berbeda. 6. Menurut aliran Humanisme : yang baik adalah yang sesuai kodrat manusia. Jadi tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia atau tidak mengurangi atau menentang kemanusiaan Contoh :Manusia makan dan minum, untuk mempertahankan hidup,memulihkan kekuatan➽Kodrat manusia Manusia minum untuk ketenangan kemudian mabuk➽ini buruk
13
Norma : Secara Etimologi :
Norma (bahasa Latin) = penyiku (alat tuk Kayu) Norma : pedoman, ukuran, aturan/kebiasaan Fungsi Norma : a. Sebelum terjadi sesuatu,dipakai sebagai pedoman/haluan untuk menunjukan bagaimana sesuatu terjadi. b. Sesudah terjadi sesuatu, dipakai sebagai ukuran untuk mempertimbangkan apakah sesuatu itu terjadi seperti yang seharusnya. Fungsi Norma kalau diterapkan pada perilaku manusia : a. Berfungsi sebagai pedoman,pemandu, petunjuk, perintah hukum : bagaimana seharusnya manusia berperilaku dihari depan. b. Berfungsi sebagai ukuran sesudah perbuatan selesai :apakah perilaku sesuai norma atau tidak.
14
Bentuk-bentuk Norma : Peraturan Sopan-Santun ➽ hanya berdasarkan konvensi Norma Hukum ➽• Pelaksanaannya dapat dituntut/ dipaksakan • Pelanggarannya dapat ditindak (oleh penguasa sah) 3. Norma Moral ➽ Norma yang menjadi dasar menilai seseorang dari segi baik-buruknya. “Semua kesepakatan mengenai baik - buruk dalam masyarakat disebut norma etika masyarakat tersebut.” Catatan : Tanpa adanya Norma kehidupan manusia akan kacau. Manusia tidak menginginkan keadaan tidak senonoh dan perilaku tidak tertib. Untuk itu perlu norma sebagai aturan mencapai ketertiban.
15
Kode Etik Profesi : Code : Sistem aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang telah disetujui dan diterima oleh masyakarat atau kelas tertentu atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Profesi : Pekerjaan terutama yang memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus, seperti : Arsitektur, hukum kedokteran, jurnalistik. Kode Etik Profesi : “ Suatu sistem norma-norma (aturan) etika yang telah disetujui oleh anggota-anggota organisasi profesi tertentu ”, seperti : • Kode etik Kedokteran ➽ IDI • Kode etik Jurnalistik ➽ PWI • Kode etik Jurnalistik ➽ Dewan Pers
16
Perbedaan Mekanisme Pembuatan
ETIKA DAN HUKUM 1. Etika berbicara tentang pikiran sikap dan tingkah laku yang dianggap baik dan buruk. Hukum berbicara tentang aturan, ketentuan atau batasan yang dianggap benar dan salah. Perbedaan Sanksi Perbedaan Daya Laku Perbedaan Mekanisme Pembuatan Suatu pelanggaran dapat saja dimaafkan atau bebas secara hukum, tetapi tidak dapat dimaafkan secara etika (minimal sanksi moral)
17
MENGAPA KODE ETIK DIPERLUKAN:
Merupakan acuan/pedoman tingkah laku yang jelas dalam bertugas. Menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap profesi tersebut (akuntabilitas) Untuk mencapai tujuan, visi, missi yang diemban (pesan terwujud) Penghargaan terhadap profesi (penegakkan integritas) Merupakan syarat profesionalisme.
18
SYARAT SUATU LEMBAGA PROFESI
Pendidikan (knowledge) formal dan non-formal Ketrampilan / keahlian (skill) menulis, pidato, dsb Lembaga praktek, pekerjaan penuh waktu penerbitan, kantor humas, dsb Kode Etik Profesi KEJ, Kode etik Kehumasan, dsb Berdedikasi tinggi thd pekerjaaan dan bersifat otonomi
19
KARAKTERISTIK KODE ETIK PROFESI
Dibuat oleh lembaga profesi itu sendiri Untuk mengatur anggota profesinya Pengawasan pentaatan oleh organisasi Sanksi atas pelanggaran oleh organisasi profesi tersebut
20
PRINSIP KODE ETIK Pada dasarnya kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawab pentaatannya berada terutama pada hati nurani masing-masing insan profesional tersebut. Rosihan Anwar, salah satu tokoh pers menyatakan : pers yang tidak memegang kaidah kode etik sama dengan “teroris”.
21
Etika dan Prinsip Utama Jurnalisme (Dennis Mc Quale) 1
Etika dan Prinsip Utama Jurnalisme (Dennis Mc Quale) Bebas dan Independen Orientasi kepentingan masyarakat luar Isi redaksional pers tidak dikontrol secara formal (UU) 2. Tertib dan menciptakan Solidaritas Pers terlibat aktif tetapi tidak seperti dipersepsikan pemerintah, elit politik dll Menahan diri : sara, perilaku menunjang 3. Keragaman Merefleksikan keragaman masyarakat Akses bagi berbagai pihak dan menjadi wacana publik 4. Objektivitas Faktual, isinya benar, sesuai fakta tanpa ditambah tambahi atau didramatisir, tidak membuat interprestasi atau opini Impartial, tidak memihak, tidak subyektif, Seimbang
22
ETIKA DAN KOMPETENSI WARTAWAN
Pengertian Kompetensi : “Kemampuan wartawan untuk melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan tingkat pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang disyaratkan”. Kompetensi juga diartikan sebagai “kewenangan” Tiga Katagori Kompetensi : Pengetahuan (Knowledge) : - Umum - Khusus 2. Keterampilan (Skill) : - Menulis - Wawancara dsb 3. Dilandasi Kesadaran (Awareness), mencakup : - Etika - Kode Etik - Hukum
23
Kode Etik Jurnalistik Asas Demokratis KEJ
Menghasilkan berita berimbang Bersikap independen Wartawan Indonesia melayani hak jawan Wartawan Indonesia melayani hak koreksi Asas Profesional KEJ Membuat berita akurat Menunjukan identitas kepada narasumber Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya Selalu menguji informasi Dapat membedakan fakta dan opini Tidak membuat berita bohong dan fitnah Jelas dalam mencantuman waktu peristiwa dan atau pengambilan/penyiaran gambar Mengharga ketentuan embargo,informasi latar belakang (background infromation) dan off the record Rekaulang harus dijelaskan
24
Asas Moralitas KEJ Tidak boleh beritikad buruk Tidak membuat berita cabul dan sadis Tidak menyebut identitas korban kesusilaan Tidak menyebut identitas korban atau pelaku kejahatan anak-anak Tidak menerima suap Tidak berprasangka dan diskrimitatif terhadap jender, SARA dan bahasa Tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin dan sakit (jasmani & rohani) Menghormati kehidupan pribadi (kecuali untuk kepentingan umum) Mencabut dan meralat serta (kalau perlu) minta maaf terhadap kekeliruan berita yang dibuat
25
Asas Supremasi Hukum KEJ
Wartawan tidak melakukan plagiat Menghormati prinsip asas praduga tidak bersalah Tidak menyalahgunakan profesinya Memiliki hak tolak
26
Dibandingkan dengan KEWI 1999, KEJ 2006 agak lebih lengkap
Dibandingkan dengan KEWI 1999, KEJ 2006 agak lebih lengkap. Akan tetapi, kita tidak dapat mengharapkan tersusunnya kode etik selengkap sebagaimana yang lazim diperlukan oleh masing-masing media pers sebagai pedoman dalam menjalankan pekerjaan jurnalistiknya. Setiap media pers biasanya masih perlu melengkapi kode etik—yang bersifat umum ini—dengan rincian panduan bagi para wartawannya. Umpamanya, yang menyangkut masalah penggunaan bahasa dan petunjuk perilaku (code of conduct), yang dicatat dalam apa yang disebut stylebook.
27
Pengaturan KEJ dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang
Pers : Pasal 1, butir 14: Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Pasal 7, ayat (2): Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Penjelasan pasal 7, ayat (2): Yang dimaksud dengan “Kode Etik Jurnalistik” adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Pasal 15, ayat (2), huruf c: Dewan Pers melaksanakan fungsi [antara lain]: menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
28
Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran: Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai [dengan] keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
29
Penjelasan Butir b tentang pengertian “akurat” (kata sifat) atau “akurasi” (kata benda). Kata-kata tersebut mengandung makna “kecermatan, ketelitian, dan ketepatan.” Artinya, informasi yang dipublikasikan oleh media pers sesuai dengan keterangan yang didengar wartawan dari narasumber atau sesuai dengan peristiwa yang disaksikannya. Akan tetapi, berita yang akurat tidak selamanya dapat dipastikan “sepenuhnya mengandung kebenaran,” walaupun para wartawan haruslah didorong agar berusaha mencari kebenaran dalam setiap informasi yang hendak dipublikasikan.
30
Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran: Cara-cara yang profesional adalah: Menunjukkan identitas diri kepada narasumber. Menghormati hak privasi. Tidak menyuap. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang.
31
f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam
penyajian gambar, foto, suara. g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
32
Penjelasan butir b,g dan h
Agaknya perlu dijelaskan beberapa pengertian, seperti yang tercantum pada penafsiran butir b, g, dan h. Butir b: Menghormati hak privasi atau privacy tidak berarti bahwa pers samasekali dilarang meliput dan memberitakan kehidupan pribadi atau privat. Larangan seperti itu lazimnya hanya menyangkut kehidupan pribadi yang samasekali tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Di kalangan para praktisi dan pengamat pers dikenal konvensi yang berlaku universal bahwa “semakin tinggi kedudukan atau jabatan seseorang, atau semakin terkenal seseorang, kian mungkin memberitakan kehidupan pribadinya.”
33
Butir g: Larangan kode etik jurnalistik terhadap plagiarisme sangat keras, seperti juga terhadap tiga jenis pelanggaran lainnya, yaitu: menyiarkan berita yang sejak semula diketahuinya bohong; menerima suap dengan ikatan janji untuk memberitakan atau tidak memberitakan suatu kasus; atau mengungkapkan narasumber anonim, rahasia, konfidensial yang dapat mengancam jiwa narasumber itu atau keluarganya. Hukuman moral bagi wartawan yang melanggar salah satu larangan ini lazimnya ialah bahwa ia harus serta merta melepaskan profesi kewartawanan—untuk selama-lamanya.
34
Butir h: Dalam upaya melakukan peliputan berita investigasi (investigative reporting), wartawan dapat mengabaikan beberapa ketentuan kode etik jurnalistik bila tidak ada cara lain untuk dapat mengungkapkan suatu kasus yang penting diketahui oleh publik. Akan tetapi, pengabaian ketentuan kode etik ini haruslah berdasarkan alasan yang sangat kuat, misalnya karena: hendak membongkar korupsi atau rencana kejahatan; bermaksud mengungkapkan kasus yang mengancam keselamatan atau kesehatan penduduk. Selain itu, jika dalam proses peliputan investigatif terjadi pelanggaran hukum oleh wartawan, maka konsekuensi hukum tetap harus ditanggung oleh wartawan tersebut dan media persnya.
35
Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran: Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
36
“Judgmental opinion” adalah murni pendapat reporter peliput atau redaktur penyunting.
Sedangkan “interpretative opinion” hanyalah upaya wartawan untuk menjelaskan fakta-fakta di lapangan agar pembaca, pendengar, dan penonton memahami duduk perkaranya. Pembedaan ini penting agar pers masih dapat menyajikan pemberitaan yang jelas bagi khalayak dengan memberikan penafsiran atau informasi latar belakang (background information) bagi fakta-fakta peristiwa atau masalah. Tetapi, sebaliknya, wartawan tetap tidak boleh mencapuradukkan fakta yang ditemukan dalam kegiatan peliputan dengan opininya sendiri.
37
Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita
bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran: Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
38
Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran: Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
39
Identitas subjek berita tidak hanya berupa nama lengkap dan foto, melainkan apa pun yang memudahkan khalayak melacak keberadaannya, seperti alamat jelas, nama anggota keluarganya, dan nama rekan kerja atau teman sekolahnya. Pers perlu melindungi identitas korban pelecehan atau perundungan seksual agar mereka tidak mengalami “trauma kedua,” atau seperti kata pepatah “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.” Penting pula melindungi identitas pelaku tindak kejahatan yang masih kanak-kanak—lazimnya belum berumur 16 tahun—karena perilaku mereka masih dapat berubah dan mereka dapat menjadi warga yang baik serta berguna setelah dewasa.
40
Pasal 6: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran: Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
41
Hukuman moral yang keras bagi wartawan penerima suap sehubungan dengan kegiatan pemberitaannya telah diuraikan dalam catatan untuk pasal 2, butir g. Yaitu, serta merta melepaskan profesi kewartawanan tanpa perlu menunggu peringatan pertama sekalipun. Sedangkan “tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum” dapat terjadi, umpamanya, dalam kegiatan meliput masalah keuangan dan pasar saham. Wartawan, dengan demikian, hanya dapat bersama-sama publik memanfaatkan informasi yang semula tertutup setelah disiarkan secara terbuka.
42
Pasal 7: Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran: Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
43
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau
data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
44
Hak tolak dijamin oleh undang-undang pers yang berlaku sekarang, yaitu hak wartawan untuk tidak mengungkapkan narasumber anonim, rahasia, atau konfidensial kepada siapa pun, termasuk para penegak hukum sekalipun. Akan tetapi, seandainya pengadilan memutuskan bahwa seorang wartawan harus mengungkapkan narasumber yang sudah dijanjikan akan dirahasiakan, maka wartawan tersebut harus menanggung konsekuensi hukum yang ditetapkan oleh pengadilan.
45
Oleh karena itu, penetapan seseorang sebagai narasumber anonim sebaiknya dilakukan oleh media pers secara amat selektif dan hanya untuk kasus yang informasinya sangat penting bagi pengetahuan publik. Akan tetapi, hak tolak bukan berarti bahwa wartawan perlu menolak permintaan penegak hukum, biasanya polisi, untuk memberi keterangan di kantor kepolisian. Hanya saja, keterangan yang diberikan oleh wartawan tidak akan “mengkhianati” kepercayaan yang diberikan oleh narasumber anonim.
46
Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran: Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
47
Wartawan tidak sepatutnya bersikap “pilih kasih” kepada narasumber dan subjek berita berdasarkan perbedaan seperti dijelaskan dalam pasal 8, yaitu berbeda dalam suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa. Sikap selektif dalam penilaian terhadap informasi dan pendapat yang akan dipublikasikan, dengan demikian, bukanlah berdasarkan perbedaan-perbedaan itu, melainkan karena pertimbangan atas bobot bahan berita itu dan kepentingannya bagi publik.
48
Pasal 9: Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran: Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
49
Pasal 10: Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran: Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
50
KEJ 2006 tidak lagi mencantumkan penafsiran atau penjelasan seperti yang dijumpai dalam KEWI 1999 bahwa “Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang salah atau tidak akurat.” Ketentuan seperti tercantum dalam KEWI 1999 sebetulnya tidak lazim dalam kode etik jurnalistik di mana pun. Pelaksanaan ketentuan demikian tidak selamanya praktis karena ralat tidak selalu dapat menemukan ruangan yang sama dengan tempat pemuatan berita yang diralat pada media pers cetak.
51
Yang penting, pemuatan ralat, ataupun hak jawab, perlu dilakukan secara mencolok, bukan “berdesakan” dengan iklan atau foto-foto, misalnya. Juga penting diperhatikan bahwa ralat atau hak jawab menggunakan huruf yang ukurannya tidak lebih kecil dari ukuran huruf tubuh berita yang diralat atau ditanggapi dengan hak jawab. Lagi pula, campur tangan “pihak luar” atau “pihak lain”—yang mengharuskan pemuatan informasi atau pendapat, termasuk ralat dan hak jawab, di halaman tertentu—dipandang sebagai tekanan terhadap independensi redaksi. Ini dapat diartikan sebagai tekanan pula atau hambatan terhadap kebebasan pers.
52
Pasal 11: Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran: Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
53
Bagaimana menempatkan tulisan berisi hak jawab di halaman media pers cetak, yang diatur berdasarkan kebijakan redaksi, sebagaimana dijelaskan dalam uraian tentang pasal 10. Tanggapan yang dimaksudkan sebagai hak jawab lazimnya tidak lebih panjang dari tulisan yang ditanggapi. Sedangkan penyiaran hak jawab oleh stasiun radio dan televisi biasanya lebih dari satu kali, dan salah satu di antaranya diupayakan pada jam siaran yang sama dengan siaran yang ditanggapi oleh pengguna hak jawab.
54
Bagian penutup : Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Dewan Pers hanya memberikan penilaian dan pendapat tentang pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan atau kontributor media pers. Putusan dan pelaksanaan sanksi bagi wartawan dan kontributor hanya dapat ditetapkan dan dijalankan oleh perusahaan pers yang menyiarkan karya jurnalistik mereka. Bagi wartawan, sanksi juga dapat diberikan oleh organisasi tempat wartawan itu menjadi anggota.
55
PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2007 Tentang PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN
DASAR : Pedoman Perilaku Penyiaran ditetapkan berdasarkan pada nilai-nilai agama,norma-norma yang berlaku dan diterima dalam masyarakat, kode etik, standar profesi dan pedoman perilaku yang dikembangkan masyarakat penyiaran, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. ARAH : Pedoman Perilaku Penyiaran ditetapkan untuk menghormati asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hokum, asas keamanan, asas keberagaman,m asas kemitraan, etika, asas kemandirian, dan asas kebebasan dan tanggung jawab.
56
PENGHORMATAN TERHADAP SUKU, AGAMA, RAS DAN ANTAR GOLONGAN
1. Lembaga penyiaran harus menyayikan program isi siaran yang menghormati perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan. 2. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program dan isi siaran yang merendahkan, mempertentangkan, dan/atau melecehkan perbedaan Suku, Agama, Ras , dan Antargolongan
57
PENGHORMATAN TERHADAP NORMA KESOPANAN DAN KESUSILAAN
Lembaga penyaiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkannya tidak merugikan dan menimbulkan efek negative terhadap keberagaman khalayak baik dalam agama, suku, budaya, usia, dan latar belakang ekonomi. PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK, REMAJA DAN PEREMPUAN Lembaga penyaiaran dalam memproduksi dan menyiarkan berbagai program dan isi siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak,remaja dan perempuan.
58
PELARANGAN DAN PEMBATASAN ADEGAN SEKSUAL
1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menampilkan adegan yang secara jelas didasarkan atas hasrat seksual 2. Lembaga penyiaran televisi dibatasi menyajikan adegan dalam konteks kasih sayang dalam keluarga dan persahabatan, termasuk di dalamnya mencium rambut, mencium pipi, mencium kening/dahi, mencium tangan, dan sungkem.
59
Pelarangan dan Pembatasan Adegan Kekerasan dan Sadisme
1. Program dikatakan mengandung muatan kekerasan secara dominan apabila sepanjang tayangan sejak awal sampai akhir, unsur kekerasan muncul mendominasi program dibandingkan unsur-unsur yang lain, antara lain yang menampilkan secara terus menerus sepanjang acara adegan tembak-menembak, perkelahian dengan menggunakan senjata tajam, darah, korban dalam kondisi mengenaskan, penganiayaan, pemukulan, baik untuk tujuan hiburan maupun kepentingan pemberitaan (informasi)
60
2. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis. 3. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan 4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan lagu-lagu atau klip video music yang mengandung muatan pesan menggelorakan atau mendorong kekerasan. 5. Program atau promo program yang mengandung muatan kekerasan secara dominan dan jelas, dibatasi waktu penayangannya.
61
PENGOLONGAN PROGRAM SIARAN TELEVISI
1. Lembaga penyiaran televisi wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan informasi klasifikasi program isi siaran berdasarkan usia khalayak penonton di setiap acara yang disiarkan 2. Penggolongan isi siaran diklasifikasikan dalam 4 (empat) kelompok usia, yaitu : Klasifikasi A : Tayangan untuk Anak, yakni khalayak berusia dibawah 12 tahun; Klasifikasi R : Tanyangan untuk Remaja, yakni khalayak berusia tahun; Klasifikasi D : Tanyangan untuk Dewasa; dan Klasifikasi SU : Tanyangan untuk Semua Umur; 3. Untuk memudahkan khalayak penonton mengidentifikasi,informasi penggolongan program isi siaran ini harus terlihat di layar televise di sepanjang acara berlangsung.
62
4. Secara khusus atas program isi siaran yang berklasifikasi Anak dan/atau Remaja,lembaga penyiaran dapat memberi peringatan dan himbauan tambahan bahwa materi program isi siaran klasifikasi Anak dan/atau Remaja perlu mendapatkan arahan dan bimbingan orangtua. 5. Peringatan atau himbauan tambahan tersebut berbentuk kode huruf BO (Bimbangan Orangtua) ditambah berdampingan dengan kode huruf A untuk klasifikasi Anak,dan/atau R untuk klasifikasi Remaja.Kode huruf BO tidak berdiri sendiri sebagai sebuah klasifikasi Remaja.Kode huruf BO tidak berdiri sendiri sebagai sebuah klasifikasi penggolongan program isi siaran, namun harus bersama-sama dengan klasifikasi A dan R.
63
PRIVASI Dalam menyelenggaran suatu program siaran baik itu bersifat langsung (live) atau rekaman (recorded),lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi,sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subyek dan obyek berita.
64
NARASUMBER 1. Dalam setiap program yang melibatkan narasumber,lembaga peyiaran harus menjelaskan terlebih dahulu secara terus terang, jujur, dan terbuka kepada narasumber atau semua pihak yang akan diikutsertakan, tentang sifat, bentuk, dan tujuan dari acara, sehingga dipastikan bahwa narasumber sudah benar-benar mengerti semua hal tentang acara yang akan mereka ikuti 2. Lembaga penyiaran wajib memperlakukan narasumber dengan hormat dan santun.
65
BAHASA SIARAN 1. Lembaga penyiaran dalam menyajikan informasi wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik tulisan kecuali bagi program siaran atau berita yang disajikan dalam bahasa daerah atau asing. 2. Lembaga Penyiaran yg menggunakan bahasa asing dalam pemberitaan, hanya boleh meyiar kan sebanyak 30 % dari total siaran acara. 3. Lembaga Penyiaran Berlangganan yang menyiarkan program-program asing melalui saluran-saluran asing yang ada dalam paket siaran, harus membuat terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, baik dalam bentuk sulih suara atau berupa teks.
66
PRINSIP JURNALISTIK 1. Lembaga Penyiaran dalam menyajikan informasi program factual wajib mengindahkan prinsip jurnalistik, yaitu akurat, berimbang, ketidakberpihakan, adil, tidak beritikad buruk, tidak mencampuradukan opini pribadi,tidak menonjolkan unsur kekerasan, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. 2. Lembaga Penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk kepada peraturan perundangan-undangan dan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku.
67
SENSOR 1. Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). 2. Lembaga penyiaran televisi wajib melakukan sensor internal secara mandiri atas materi siaran non berita seperti sinetron, program komedi, program music, klip video. Program features/documenter, baik asing maupun local, yang bukan siaran langsung.
68
PENGAWASAN 1. KPI mengawasi pelaksanaan Pedoman Perilaku Penyiaran .
2. Pedoman Perilaku Penyiaran harus menjadi pedoman lembaga penyiaran dalam memproduksi suatu program siaran. 3. Pedoman Perilaku Penyiaran wajib dipatuhi oleh semua lembaga penyiaran.
69
PENGADUAN 1. Setiap orang atau sekelompok orang yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku dapat mengadukan Ke KPI. 2. KPI menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan,sanggahan, serta kritik dan aspresiasi masayarakat terhadap penyelenggara penyaiaran. 3. Dalam hal KPI memutuskan untuk mempertimbang keluhan dan atau pengaduan, Lembaga Penyiaran tersebut diundang untuk didengar keterangannya guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut tentang materi program materi program yang diadukan tersebut.
70
KODE ETIK PERHUMAS ➽Pasal I : KOMITMEN PRIBADI
Anggota Perhumas harus : a. Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan. b. Berperan secara nyata dan sungguh – sungguh dalam upaya memasyarakatkan kepentingan Indonesia. c. Menumbuhkan dan mengembangkan hubungan antar warga negara Indonesia yang serasi dan selaras demi terwujudnya persatuan dan kesatuan. ➽Pasal II : PRILAKU TERHADAP KLIEN ATAU ATASAN Angota Perhumas harus : a. Berlaku jujur dalam berhubungan dengan klien atau atasan
71
c. Menjamin rahasia serta kepercayaan yang diberikan
b. Tidak mewakili dua atau beberapa kepentingan yang berbeda atau yang bersaingan tanpa persetujuan semua pihak yang terkait. c. Menjamin rahasia serta kepercayaan yang diberikan oleh klien atau atasan maupun yang pernah diberikan mantan klien atau mantan atasan. d. Tidak melakukan tindak atau mengeluarkan ucapan yang cenderung merendah martabak, klien, atasan, maupun mantan klien atau mantan atasan. e. Dalam memberi jasa pada klien atau atasan tidak menerima pembayaran, komisi, atau imbalan dari pihak manapun selain klien atau atasan yang telah memperoleh jasa. f. Tidak menyarankan pada calon klien atau atasan bahwa pembayaran atau imbalan jasa didasarkan pada hasil tertentu ➽Pasal III : PRILAKU TERHADAP MASYARAKAT DAN MEDIA MASSA Anggota Perhumas harus : Menjalankan profesi kehumasan dengan memperhati-kan kepentingan masyarakat serta harga diri anggota masyarakat. b. Tidak melibatkan diri dalam tindak untuk me- manipulasi integritas sarana maupun jalur komunikasi massa.
72
c. Tidak menyebarkan informasi yang tidak benar atau menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan d. Senantiasa membantu menyebarluaskan informasi maupun pengumpulan pendapat untuk kepentingan Indonesia ➽Pasal IV : PRILAKU TERHADAP SEJAWAT Praktisi kehumasan Indonesia harus : Tidak dengan sengaja merusak dan mencemarkan reputasi atau profesional sejawatnya. Namun bila sejawat yang bersalah karena melakukan tindak yang tidak etis, melanggar hukum, tidak jujur melanggar Kode Etik Kehumasan Indonesia maka bukti - bukti wajib disampaikan kepada Dewan Kehormatan Per- humasan Tidak menawarkan diri atau mendesak klien atau atasan untuk menggantikan kedudukan sejawatnya Membantu dan bekerjasama dengan sejawat di seluruh Indonesia untuk menjunjung tingi dan mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia.
73
KODE ETIK INSAN KEHUMASAN PEMERINTAH
UMUM. Menjunjung Tinggi Profesi Terus Menerus Meningkatkan Pengetahuan dan Ketrampilan. Meningkatkan Motivasi Kerja Bertekad Memajukan Profesi Kehumasan Indonesia.
74
HUBUNGAN KERJA KE DALAM
Loyal, Integritas, Kinerja Tinggi dan Hubungan Antar Karyawan tempat. Menjaga Citra Organisasi, MenyebarluaskanKebijakan Pemerintah dan Membina Hubungan Baik Dengan Masyarakat.
75
HUBUNGAN KERJA KE LUAR Dengan Sesama Aparat Humas (Memelihara Hubungan Kerjasama) Dengan Media Massa (Menjalin Kerjasama) Dengan Rekan Seprofesi (Pengetrahuan dan Ketrampilan) Dengan Masyarakat Umum (Sikap, Berprilaku dan Pribadi Yang Baik)
76
LARANGAN INSAN KEHUMASAN
Memberikan Informasi Rahasia Kegiatan Merugikan Profesi Kehumasan Penengah, Harus Persetujuan Menerima Imbalan Mencemarkan Nama Baik
77
TANGGUNG JAWAB Insan Kehumasan Pemerintah dalam batas kewenangannya mempunyai tanggung jawab untuk menyajikan informasi berdasarkan data dan fakta yang telah diolah untuk disebarluaskan kepada masyarakat.
78
Hak Jawab dan Hak Koreksi
Apabila ada informasi yang tidak benar atau menyesatkan, setiap Insan Kehumasan Pemerintah dapat memanfaatkan hak jawab dan hak koreksi guna meralat dan meluruskan informasi tersebut,sebagaimana diatur dalam undang-undang
79
Dewan kehormatan Dalam rangka mengawasi,mengontrol, dan mengendalikan pelaksanaan Kode Etik Kehumasan Pemerintah ini,oleh anggota perlu di bentuk DEWAN KEHORMATAN KODE ETIK KEHUMASAN PEMERINTAH Mataram, 19 September 2003 Peserta Pertemuan Tahunan Bakohumas 2003/Konvensi Kehumasan Pemerintah Tingkat Nasional 2003
80
ETIKA PARIWARA INDONESIA
TATA KRAMA 1. ISI IKLAN 2. RAGAM IKLAN 3. PEMERAN IKLAN 4. WAHANA IKLAN TATA CARA 1. PENERAPAN UMUM 2. PRODUKSI IKLAN 3. MEDIA PERIKLANAN
81
ISI IKLAN 1. HAK CIPTA MATERI PERIKLANAN HARUS ATAS IJIN TERTULIS DARI PEMILIK ATAU PEMEGANG MERK. 2. BAHASA A. MUDAH DIPAHAMI OLEH KHALAYAKNYA B. TIDAK BOLEH MENGGUNAKAN KATA-KATA SUPERLATIF “PALING” , “NOMOR SATU “ “TER” DSB., TANPA DIJELASKAN . C. PENGGUNAAN KATA-KATA TERTENTU - “100 %”, “MURNI”,”ASLI” DLL HARUS DAPAT DIBUKTIKAN DARI OTORITAS TERTENTU - “HALAL” SERTIFIKAT DR MUI -”PRESIDEN”, “RAJA”, “RATU” DAN SEJENISNYA TIDAK UNTUK KONOTASI NEGATIF 3. TANDA ASTERIK (*) DI MEDIA CETAK TDK BOLEH UNTUK MENYEMBUNYIKAN , MENYESATKAN MEMBINGUNGKAN ATAU MEMBOHONGI KHALAYAK, HANYA BOLEH DIGUNAKAN UNTUK MEMBERI PENJELASAN LEBIH RINCI.
82
4. PENGGUNAAN KATA “ SATU-SATUNYA
MENYEBUTKAN DALAM HAL APA PRODUK TERSEBUT MENJADI YANG SATU-SATUNYA DAN HAL TERSEBUT HARUS DAPAT DIBUKTIKAN DAN DIPERTANGGUNG-JAWABKAN. 5. PEMAKAIAN KATA “GRATIS” TIDAK BOLEH DICANTUMKAN DALAM IKLAN, BILA TERNYATA KONSUMEN HARUS MEMBAYAR BIAYA LAIN. 6. PENCANTUMAN HARGA HARUS DITAMPAKKAN DENGAN JELAS,SEHINGGA KONSUMEN MENGETAHUI. 7. GARANSI GARANSI ATAU JAMINAN ATAS MUTU SUATU PRODUK,MAKA DASAR-DASAR JAMINANNYA HARUS DAPAT DIPERTANGGUNG-JAWABKAN 8. JANJI PENGAMBILAN UANG WARRANTY) JIKA TERNYATA MENGECEWAKAN KONSUMEN,MAKA; SYARAT-SYARAT PENGEMBALIAN UANG TERSEBUT HARUS DINYATAKAN SECARA JELAS DAN LENGKAP,PENGIKLAN WAJIB MENGEMBALIKAN UANG KONSUMEN SESUAI JANJI YANG TELAH DIIKLANKANNYA, 9. RASA TAKUT DAN TAKHAYUL IKLAN TIDAK BOLEH MENIMBULKAN ATAU MEMPERMAINKAN RASA TAKUT,MAUPUN MEMANFAATKAN KEPERCAYAAN ORANG TERHADAP TAKHAYUL, KECUALI UNTUK TUJUAN POSITIF.
83
IKLAN TIDAK BOLEH SECARA LANGSUNG MAUPUN TIDAKL LANGSUNG-
10. KEKERASAN IKLAN TIDAK BOLEH SECARA LANGSUNG MAUPUN TIDAKL LANGSUNG- MENAMPILKAN ADEGAN KEKERASAN YANG MERANGSANG ATAU MEMBERI KESAN MEMBENARKAN TERJADINYA TINDAKAN KEKERASAN. 11. KESELAMATAN IKLAN TIDAK BOLEH MENAMPILKAN ADEGAN YANG MENGABAIKAN SEGI- SEGI KESELAMATAN, UTAMANYA JIKA IA TIDAK BERKAITAN DENGAN PRODUK YANG DIIKLANKAN. 12. PERLINDUNGAN HAK-HAK PRIBADI IKLAN TIDAK BOLEH MENAMPILKAN ATAU MELIBATKAN SESEORANG TANPA TERLEBIH DAHULU MEMPEROLEH PERSETUJUAN DARI YANG BERSANGKUTAN, KECUALI DALAM PENAMPILAN YANG BERSIFAT MASSAL, ATAU SEKADAR SEBAGAI LATAR, SEPANJANG PENAMPILAN TERSEBUT TIDAK MERUGIKAN YANG BERSANGKUTAN
84
13. HIPERBOLISASI BOLEH DILAKUKAN IA SEMATA-MATA DIMAKSUD SEBAGAI PENAIK PERHATIAN ATAU HUMOR YANG SECARA SANGAT JELAS BERLEBIHAN ATAU TIDAK MASUK AKAL, SEHINGGA TIDAK MENIMBULKAN SALAH PERSEPSI DARI KHALAYAK YANG DISASARNYA. 14. WAKTU TENGGANG (ELAPSE TIME) IKLAN YANG MENAMPILKAN ADEGAN HASIL ATAU EFEK DARI PENGGUNAAN PRODUK DALAM JANGKA WAKTU TERTENTU,HARUS JELAS MENGUNGKAPKAN MEMADAINYA RENTANG WAKTU TERSEBUT. 15. PENAMPILAN PANGAN IKLAN TIDAK BOLEH MENAMPILKAN PENYIA-NYIAAN,PEMBOROSAN, ATAU PERLAKUAN YANG TIDAK PANTAS LAIN TERHADAP MAKANAN ATAU MINUMAN 16. PENAMPILAN UANG A. HARUSLAH SESUAI DENGAN NORMA-NORMA KEPATUTAN, DALAM PENGERTIAN TIDAK MENGESANKAN PEMUJAAN ATAUPUN PELECEHAN YANG BERLEBIHAN B. SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA MERANGSANG ORANG UNTUK MEMPEROLEHNYA DENGAN CARA-CARA YANG TIDAK SAH. C. PADA MEDIA CETAK TIDAK DALAM FORMAT FRONTAL DAN SKALA 1:1.BERWARNA ATAUPUN HITAM-PUTIH. D. PADA MEDIA VISUAL HARUS DISERTAI DENGAN TANDA”SPECIMEN” JELAS 17. KESAKSIAN KONSUMEN (TESTIMONY) A. HANYA DAPAT DILAKUKAN ATAS NAMA PERORANGAN, BUKAN MEWAKILI LEMBAGA, KELOMPOK.ATAU MASYARAKAT LUAS.
85
B. HARUS MERUPAKAN KEJADIAN YANG BENAR-BENAR DIALAMI, TANPA MELEBIH-
LEBIHKANNYA. C. UNTUK PRODUK-PRODUK YANG HANYA DAPAT MEMBERI MANFAAT ATAU BUKTI KEPADA KONSUMENNYA DENGAN PENGGUNAAN YANG TERATUR DAN ATAU DALAM JANGKA WAKTU TERTENTU, MAKA PENGALAMAN HARUS TELAH MEMENUHI SYARAT-SYARAT KETERATURAN DAN JANGKA WAKTU TERSEBUT. D. HARUS DAPAT DIBUKTIKAN DENGAN PERNYATAN TERTULIS YANG DITANDA TANGANI OLEH KONSUMEN TERSEBUT. E. IDENTITAS DAN ALAMAT PEMBERI KESAKSIAN DAPAT DIMINTA OLEH LEMBAGA PENEGAK ETIKA. 18. ANJURAN (ENDORSEMENT) PERNYATAN, KLAIM ATAU JANJI YANG DIBERIKAN HARUS TERKAIT DENGAN KOMPETENSI YANG DIMILIKI OLEH PENGANJUR, HANYA DAPAT DILAKUKAN OLEH INDIVIDU, TIDAK DIPEROLEHKAN MEWAKILI LEMBAGA ,KELOMPOK, GOLONGAN, ATAU MASYARAKAT LUAS. 19. PERBANDINGAN A. PERBANDINGAN LANGSUNG HANYA TERHADAP ASPEK-ASPEK TEKNIS PRODUK, DAN DENGAN KRITERIA YANG TEPAT SAMA B. JIKA MENAMPILKAN DATA RISET, MAKA METODOLOGI,SUMBER DAN WAKTU PENELITIANNYA HARUS DIUNGKAPKAN SECARA JELAS, HARUS SUDAH MEMPEROLEH PERESETUJUAN ATAU VERIFIKASI DARI ORGANISASI PENYELENGGARA RISET TERSEBUT. C. DIDASARKAN PADA KRITERIA YANG TIDAK MENYESATKAN KHALAYAK.
86
20. PERBANDINGAN HARGA HANYA DAPAT DILAKUKAN TERHADAP EFISIENSI DAN KEMANFAATAN PENGGUNAAN PRODUK, DAN HARUS DISERTAI DENGAN PENJELASAN ATAU PENALARAN YANG MEMADAI. 21. MERENDAHKAN IKLAN TIDAK BOLEH MERENDAHKAN PRODUK PESAING SECARA LANGSUNG MAUPUN TIDAK LANGSUNG. 22. PENIRUAN A.IKLAN TIDAK BOLEH DENGAN SENGAJA MENIRU IKLAN PRODUK PESAING SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA DAPAT MERENDAHKAN PRODUK PESAING, ATAUPUN MENYESATKAN ATAU MEMBINGUNGKAN KHAYALAK. B. IKLAN TIDAK BOLEH MENIRU IKON ATAU ATRIBUT KHAS YANG TELAH LEBIH DULU OLEH IKLAN PRODUK PESAING DAN MASIH DIGUNAKAN HINGGA KURUN DUA TAHUN TERAKHIR. 23. ISTILAH ILMIAH DAN STATISTIK IKLAN TIDAK BOLEH MENYALAHGUNAKAN ISTILAH-ISTILAH ILMIAH DAN STATISTIK UNTUK MENYESATKAN KHALAYAK, ATAU MENCIPTAKAN KESAN YANG BERLEBIHAN 24. KETIADAAN PRODUK IKLAN HANYA BOLEH DIMEDIAKAN JIKLA TEL;AH ADA KEPASTIAN TENTANG TERSEDIANYA PRODUK YANG DIIKLANKAN TERSEBUT
87
25. KETAKTERSEDIAAN HADIAH
IKLAN TIDAK BOLEH MENYATAKAN “ SELAMA PERESEDIAAN MASIH ADA” ATAU KATA-KATA LAIN YANG BERMAKNA SAMA. 26. PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI IKLAN TIDAK BOLEH MENGEKSPLOITASI EROTISME ATAU SEKSUALITAS DENGAN CARA APAPUN, DAN UNTUK TUJUAN ATAU ALASAN APAPUN. 27. KHALAYAK ANAK-ANAK A. IKLAN YANG DITUJUKAN KEPADA KHALAYAK ANAK-ANAK TIDAK BOLEH MENAMPILKAN HAL-HAL YANG DAPAT MENGGANGGU ATAU MERUSAK JASMANI DAN ROHANI MEREKA, MEMANFAATKAN KEMUDAHPERCAYAAN , KEKURANGAN PENGALAMAN, ATAU KEPOLOSAN MEREKA. B. FILM IKLAN YANG DITUJUKAN KEPADA, ATAU TAMPIL PADA SEGMEN WAKTU SIARAN KHALAYAK ANAK-ANAK DAN MENAMPILKAN ADEGAN KEKERASAN, AKTIVITAS SEKSUAL, BAHASA YANG TIDAK PANTAS, DAN ATAU DIALOG YANG SULIT, WAJIB MENCANTUMKAN KATA-KATA ”BIMBINGAN ORANG TUA” ATAU SIMBOL YANG BERMAKNA SAMA.
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.