Upload presentasi
Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu
1
Konsep Wahyu Nashruddin Syarief
2
Dekonstruksi Konsep Wahyu
al-Qur`an haruslah dilihat dari perspektif teologi dan filsafat linguistik. Sebuah pandangan teologis menyebutkan bahwa al-Qur`an adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku di mana dan kapan saja, sehingga ia tidak mungkin bisa diubah dan diterjemahkan. Namun demikian, dari sudut historis dan filsafat linguistik, begitu kalam Tuhan telah membumi dan sekarang malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur`an menjadi sebuah teks biasa yang dibuat oleh bangsa Arab. Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
3
Dekonstruksi Konsep Wahyu
al-Qur`an yang telah tersaji saat ini, setidaknya telah melalui dua proses penafsiran. Pertama, penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh Jibril dan kemudian didiktekan kepada Muhammad saw. Kedua, penafsiran yang mungkin terjadi dalam diri Muhammad Rasulullah. Bukankah Muhammad sebuah sosok pribadi yang cerdas, jujur, amanah (bisa dipercaya), dan bukan sebuah kaset kosong untuk diisi rekaman? Jadi, ketika menerima wahyu, Muhammad bertindak aktif memahami, menyerap dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
4
Dekonstruksi Konsep Wahyu
Teologi: al-Qur`an wahyu Allah Jibril Muhammad Historis/Linguistik: al-Qur`an berbahasa Arab. Al- Qur`an buatan Muhammad dan bangsa Arab Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004, Cet. II, hlm. 150.
5
Makna Wahyu secara Bahasa
كُلُّ مَا أَلْقَيْتَهُ إِلَى غَيْرِكَ Setiap yang kamu alihkan kepada selainmu Maka dari itu, jelas Ibn Manzhur, maknanya mencakup berisyarat (isyârah), menulis (kitâbah), menyampaikan surat/pesan (risâlah), memberi ilham (ilhâm), dan berbicara dengan pelan (kalam khafiy). [Muhammad ibn Mukram ibn Manzhur, Lisan al-'Arab, Beirut: Dar Shadir, t.th., jilid 15, hlm. 379]
6
Makna Wahyu secara Istilah
Wahyu adalah sumber ajaran para Nabi 'alaihimus-salam. Yang membedakan Nabi dari manusia lainnya adalah wahyu itu sendiri, karena memang para Nabi adalah seorang manusia biasa. Wujud wahyu itu sendiri adalah kalam (firman) Allah swt yang ditransferkan kepada Nabi-Nya, baik secara langsung ataupun melalui perantaraan malaikat. Dan Allah swt menjamin Nabi-Nya tidak akan salah satu huruf pun dalam menghafal firman Allah swt tersebut.
7
Makna Wahyu secara Istilah
Manna' al-Qaththan memberikan ta'rîf wahyu sebagai berikut: كَلاَمُ اللهِ تَعَالَى الْمُنَزَّلُ عَلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَائِهِ Firman Allah Ta'ala yang diturunkan (langsung) kepada seorang Nabi. (Manna' al-Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, Riyadl : Mansyurat al-'Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M, hlm. 33)
8
Wahyu adalah Tanzil Wahyu adalah tanzil/munazzal; diturunkan langsung. Artinya, apa yang diterima Nabi adalah murni sebagai firman Allah swt secara utuh. Tidak terkandung di dalamnya penafsiran dan pengalihan bahasa oleh malaikat atau oleh Nabi sendiri. Dari Allah swt-nya sudah berbahasa Arab, bukan dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Nabi saw Oleh karenanya teks al-Qur`an, walau bagaimanapun, tidak akan sama dengan teks buatan penyair, ataupun jampi-jampi paranormal.
9
Wahyu adalah Tanzil Dengan sendirinya wahyu ini pun metahistoris; tidak terikat sejarah, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ia jelas tidak tunduk pada budaya Arab yang ada waktu itu, melainkan melintasinya. Kalau memang wahyu, khususnya al-Qur`an, merupakan hasil kreasi manusia tepatnya Nabi Muhammad saw, tentu manusia-manusia yang lainnya pun bisa membuat karya yang serupa dengan al-Qur`an. Akan tetapi fakta berbicara lain, al-Qur`an tidak bisa tersamai oleh karya manusia yang ada waktu itu, bahkan sampai hari ini.
10
Hermeneutika Tidak Dibutuhkan
Pertama, hermeneutika menuntut kita meyakini bahwa al-Qur`an buatan Muhammad dan bangsa Arab. Kedua, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya. Konsekuensinya, al-Qur`an menjadi susah untuk diamalkan karena semuanya menjadi direlatifkan. Padahal al-Qur`an dari sejak awal menolak skeptisisme dan relativisme. Al-Qur`an hadir membawa haqq dan hudan untuk dijadikan pegangan dan diamalkan manusia. Ilmu tafsir yang dikembangkan oleh para ulama sudah mendahului teori-teori yang dikemukakan dalam hermeneutika. Hanya tentu bedanya, ilmu tafsir berawal dari keyakinan bahwa al-Qur`an kalam Allah swt dan kebenaran dalam al-Qur`an ada serta dapat ditemukan, sementara hermeneutika berawal dari kesangsian al-Qur`an sebagai kalam Allah dan keraguan yang tiada akhir akan ditemukannya kebenaran dalam al-Qur`an.
11
Mushaf ‘Utsmani Nashruddin Syarief
12
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) I (Periode Nabi saw)
Pada masa Nabi saw mencakup dua kegiatan; penghafalan dan penulisan. Dan Nabi saw langsung menjadi pengawas dalam keseluruhan kegiatannya. Dari Zaid ibn Tsabit, ia berkata: "Kami menyusun al-Qur`an di samping Rasulullah Saw dari lembaran kulit/daun." (Sunan at-Tirmidzi kitab al-manaqib bab fi fadlli as-Syam wa al-Yaman, no. 3954; Musnad Ahmad ibn Hanbal no ; Shahih Ibn Hibban bab dzikr ibahah ta`lif al-'alim kutub Allah, no. 114; al-Mustadrak 'ala as-Shahihain, kitab at-tafsir dzikr as-shahabah alladzina jama'u al-Qur`an wa hafizhuhu, no. 2901)
13
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) I (Periode Nabi saw)
'Utsman berkata: "… apabila turun wahyu beliau memanggil sebagian sekretarisnya sambil bersabda: "Letakkanlah ayat-ayat ini dalam surat yang menyebutkan ini dan itu." Dan apabila turun kepadanya satu ayat, beliau bersabda: "Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan ini dan itu." (Sunan at-Tirmidzi, kitab tafsir al-Qur`an bab wa min surat at-Taubah, no. 3086)
14
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) II (Periode Abu Bakar ra)
Pada masa Abu Bakar r.a, kodifikasi al-Qur'an dilakukan dengan menyalinnya ke dalam shuhuf; lembaran-lembaran daun yang tidak terikat (belum dibukukan). Surat-surat belum tersusun rapi seperti sekarang, walau semua ayat dalam masing-masing suratnya sudah disusun secara rapi sebagaimana diarahkan Rasul saw di periode sebelumnya (Ibn Hajar, Fath al-Bari, hlm. 22).
15
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) II (Periode Abu Bakar ra)
Zaid ibn Tsabit sebagai koordinator yang ditunjuk Abu Bakar, memberlakukan syarat “dua saksi”, yaitu: Menukil dari hafalan dan catatan sekaligus. Harus ada dua saksi bahwa ayat yang disetorkan kepada panitia benar-benar talaqqî (menerima langsung) dari Nabi saw dalam hal pencatatannya. Ini terlihat dari pernyataan 'Umar yang menegaskan talaqqâ min Rasûlillâh dan pengakuan Zaid bahwa akhir surat at-Taubah, catatannya hanya ditemukan di Abu Khuzaimah al-Anshari, tidak pada yang lainnya. Sebelum Zaid menemukan bentuk otentik tulisannya, walau ia tahu ayat-ayat itu ada, ia tidak memasukkannya dulu ke dalam shuhuf. (Ibn Hajar, Fath al-Bari, hlm )
16
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) III (Periode ‘Utsman ra)
Pada periode ini al-Qur`an disalin ulang dari shuhuf ke dalam sebuah mushhaf dengan mengurutkan surat-suratnya menjadi seperti yang sekarang ada. (Fath al-Bari, hlm. 22) Zaid yang ditunjuk kembali menjadi koordinator, menerapkan manhaj yang sama. Buktinya, ketika ia kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab ia menelusurinya sampai menemukannya pada Khuzaimah ibn Tsabit (Ibn Hajar, Fath al-Bari, hlm. 26)
17
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) III (Periode ‘Utsman ra)
‘Ali ra: "Jangan kalian berkata tentang 'Utsman kecuali kebaikan. Karena demi Allah, tidaklah yang ia lakukan dalam hal mushhaf itu kecuali berdasarkan persetujuan kami. Waktu itu 'Utsman berkata, 'Bagaimana pendapat kalian tentang qirâ`at ini? Sungguh telah sampai kepadaku bahwasanya sebagian dari mereka berkata, qirâ`atku lebih baik dari qirâ`atmu. Dan ini hampir-hampir mengarah pada kufur.' Kami bertanya kembali, 'Menurut anda sendiri bagaimana?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat, manusia disatukan dalam satu mushhaf. Sehingga tidak ada perpecahan dan perselisihan.' Kami pun menjawab, 'Bagus sekali pendapat anda." (Ibn Hajar, Fath al-Bari, hlm. 22. Mengutip riwayat dari Ibn Abi Dawud dalam al-Mashâhif, dari jalan Suwaid ibn Ghaflah dengan sanad yang shahih)
18
Kodifikasi al-Qur`an (Jam’ul-Qur`an) III (Periode ‘Utsman ra)
Ibn 'Abbas bertanya kepada 'Utsman, mengapa al-Anfal yang masuk golongan al-matsânî disambungkan dengan al-Bara`ah yang masuk golongan al-mi`ûn tanpa menuliskan basmalah di antara keduanya, lalu dirangkaikan ke dalam as-sab'ut-thuwal (tujuh surat yang panjang)? Maka 'Utsman menjawab: "Surat al-Anfal itu memang diturunkan di awal periode Madinah, sedangkan al-Bara`ah di akhirnya. Tapi kisahnya serupa dengan al-Bara`ah. Aku mengira bahwa al-Anfal itu bagian dari al-Bara`ah. Rasulullah Saw wafat tanpa sempat menjelaskannya kepada kita. Oleh karena itu aku menyandingkan keduanya dan aku tidak tuliskan bismillâhir-rahmânir-rahîm. Aku pun lalu memasukkannya pada as-sab'ut-thuwal." (Sunan at-Tirmidzi kitab tafsir al-Qur`an min Rasulillah bab wa min surat at-Taubah no Juga dalam al-Mustadrak al-Hakim 2 : 241, 360; as-Sunan al-Kubra an-Nasa`iy 5 : 10; dan Musnad Ahmad 1 : 57).
19
Alasan Logis Kodifikasi
Jika al-Qur`an sudah benar-benar tertulis semuanya, mengapa kemudian timbul kekhawatiran ketika banyak huffazh meninggal dunia? Pengumpulan al-Qur`an ketika meninggalnya para huffazh, berkaitan dengan persaksian. Yakni bahwa suatu tulisan diakui sah sebagai ayat al-Qur`an karena adanya saksi. Kalau kemudian orang-orang yang hafal al-Qur`an terus meninggal, dan al-Qur`an tidak segera dikumpulkan, siapa yang akan menjadi saksi dan mengesahkan bahwa tulisan-tulisan itu benar al-Qur`an. (Al-A'zhami, Sejarah Teks Al-Quran, hlm. 339)
20
Penyeragaman Qira`ah Kenapa qira`ah harus diseragamkan? Bukankah al-Qur`an itu diturunkan dalam tujuh huruf? Diturunkannya al-Qur`an dalam tujuh ahruf (gaya membaca) bukan berarti sebuah kewajiban yang harus dikuasai oleh setiap individu. Ia hanya sebuah rukhshah bagi yang tidak mampu membacanya dalam salah satu ahruf tertentu. Oleh karena itu, meninggalkan sebagiannya pun tidak menjadi dosa. Terlebih dengan memperhatikan situasi yang tengah mengarah pada perpecahan umat disebabkan beragamnya ahruf tadi. Ditambah dengan telah banyak beredar ahruf yang tidak bersumber dari Nabi Saw. Maka kesepakatan shahabat untuk menetapkan satu rasm dengan pertimbangan kemaslahatan, seperti yang terjadi pada periode 'Utsman, sangat tepat. (Al-Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, hlm. 132)
21
Rasm ‘Utsmani Menurut Ibn al-Jazari, jumhur 'ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa rasm 'utsmani itu adalah rasm yang mencakup semua jenis al-ahruf as-sab'ah. Dan yang masuk kategori al-ahruf as-sab'ah itu adalah qira`at-qira`at yang mutawatirah bersumber dari Rasul Saw dalam al-'urdlah al-akhirah (setoran terakhir). Hal tersebut sangat memungkinkan mengingat para shahabat menetapkan rasm 'utsmani tanpa syakal dan titik, sehingga sifatnya ihtimal (memungkinkan untuk semua jenis qira`at yang ada). Hanya untuk ayat-ayat tertentu yang tidak memungkinkan untuk diakomodir dalam satu tulisan, maka tulisan yang dipakai adalah tulisan yang sesuai dengan bacaan orang Quraisy, sebagaimana titah ’Utsman kepada panitia kodifikasi al-Qur`an. ('Ali ibn Sulaiman al-'Abid, Jam' al-Qur`an al-Karim Hifzhan wa Kitabah, al-Maktabah as-Syamilah al-Ishdar 2, hlm. 59)
22
Rival Codices Rival codices (mushhaf-mushhaf tandingan) merupakan istilah baru yang dikemukakan oleh Arthur Jeffery; seorang orientalis yang memfokuskan diri pada penelitian mushhaf-mushhaf al-Qur`an. Berdasarkan penelitiannya, Jeffery mengatakan, setidaknya terdapat 15 mushhaf primer dan 13 mushhaf sekunder, walau kemudian Jeffery hanya mempopulerkan Mushhaf Ibn Mas’ud dan Ubay. Menurut Jeffery, banyaknya mushhaf pra- 'Utsmani menunjukkan bahwa pilihan 'Utsman terhadap tradisi teks Madinah tidak berarti pilihan terbaik. Pendapat ini terbantahkan dengan kesepakatan semua shahabat atas mushhaf 'Utsmani (arjah dan ashah), termasuk Ibn Mas’ud dan Ubay
23
Kelemahan Orientalis Pertama, meremehkan sistem sanad.
Kedua, pada prinsipnya al-Qur`an bukanlah "tulisan" (rasm atau writing) tetapi merupakan "bacaan" (qira`ah atau recitation) dalam arti ucapan atau sebutan. Baik proses turunnya, maupun penyampaian dan periwayatannya. Oleh karena itu sangat tidak tepat kalau kemudian para orientalis membidik teks dengan metode-metode filologi yang lazim digunakan pada Bibel. Apalagi setelah sebelumnya menggugurkan sistem sanad.
24
Kelemahan Orientalis Ketiga, tulisan yang sifatnya sebagai penunjang pun begitu terpelihara sejak dari zaman Nabi Saw, Abu Bakar dan Utsman. Pada masa Abu Bakar, ketika terdesak untuk melakukan jama', maka metode yang digunakan pun sangat ketat. Selain harus sesuai dengan hafalan, harus ada dua saksi yang mengesahkan tulisan tersebut. Hal yang sama ditempuh lagi pada masa 'Utsman, guna menganalisa qira`ah mutawatirah. Semuanya didasarkan pada sanad dengan pengesahan ijma' shahabat.
25
Kelemahan Orientalis Keempat, salah paham tentang rasm dan qira`ah. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khath mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, al-Qur`an ditulis gundul tanpa tanda baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm 'utsmâni sama sekali tidak menimbulkan masalah, mangingat kaum muslimin saat itu belajar al-Qur`an langsung dari shahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Maka dari itu keliru kalau orientalis menyatakan adanya banyak tulisan berarti banyak bacaan. Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaidahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi saw (ar-rasmu tabi'un li ar-riwayah), dan bukan sebaliknya. (Syamsuddin Arif, al-Qur`an, Orientalisme, dan Luxemberg dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm
Presentasi serupa
© 2024 SlidePlayer.info Inc.
All rights reserved.