BONEKA KUNTILANAK ELVA THEDYUS
Malam semakin larut. Angin kencang berembus melipir ke sela-sela jendela kamar Riani. Angin dingin menyentuh kulit dan rambutnya yang panjang, sehingga rambut bergoyang lembut. Riani menggeliat, hawa dingin menusuk tulangnya. Perlahan selimut tebal yang melorot ditarik kembali untuk menutupi tubuh. Namun, matanya tetap terpejam. Kantuk memang tak kuasa ditahannya. Walaupun angin dingin mengusik tidurnya, dia tetap meneruskan tidurnya.
Jam menunjukkan pukul malam. Tak terasa Riani sudah tidur sejak jam sembilan malam. Selepas pulang dari kuliah, dia langsung tidur. Bahkan, dia sama sekali belum mandi dan makan. Entah kenapa, sejak masuk halaman tempat kos-kosannya, rasa kantuk langsung menyerang tanpa kompromi. Angin dingin terus menyapanya. Karena dingin, lama-lama Riani tak tahan juga. Dengan mengerjapkan matanya, kemudian membuka mata perlahan, sekadar ingin memastikan apakah jendelanya sudah tertutup atau belum.
Sedikit remang, kelopak matanya masih berat. Riani merebahkan kembali tubuhnya di kasur. Tiba-tiba, dia melihat sosok bayang di depan meja belajar. Bayangan putih yang berdiri menghadap padanya. Matanya menelusuri dari bawah sampai ke atas dan…. “Huaaa!!!” Riani berteriak histeris. Riani bersembunyi di balik selimutnya. Dok!
“Yani…!” panggil seseorang dari luar. Riani tidak berani menyahut. Dia membekap mulutnya. Rasa takut lebih besar daripada untuk menjawab panggilan itu. Dia takut kalau itu hanya halusinasi saja. Dok! “Yani, ada apa? Cepat buka pintunya!” suara itu semakin keras memanggil nama Riani.
Riani mulai mengenali suara itu. Itu suara Ibu Roro, pemilik kos. Riani membuka selimutnya, ternyata makhluk tersebut masih berdiri sambil memegang boneka gadis kecil berkepang dua. Riani kali ini tak bisa berbicara apa-apa di depan makhluk yang sepertinya menyerupai kuntilanak. Matanya sama sekali tak berkedip. Ke mana suara gedoran pintu, dan suara ibu kos yang tadi memanggilnya. Tak ada satu pun yang terdengar kali ini. Sunyi dan sepi. Kuntilanak yang memegang boneka itu perlahan mengangkat wajahnya. Lalu, tersenyum pada Riani. Riani pun masih di kasur dan kemudian pingsan.
Pipinya seperti sedang diraba oleh sebuah tangan. Namun, entah apa itu. Riani masih tak berdaya, susah untuk membuka mata. Seperti mimpi. Tangan itu terus mengusap pipinya. Riani pun mulai sadarkan diri. Susah sekali waktu pertama kali untuk membuka matanya. Wajah keibuan Bu Roro tersenyum lembut padanya. Di sampingnya ada Lia, Amel, dan Mbok Harra, sang pembantu rumah tangga di kosan.
“Sa… Sa… saya ada di mana?” Riani bertanya linglung. Tidak mengingat apa yang menimpanya semalam. Wajah di depannya malah saling pandang mendengar pertanyaan Riani. “Justru kami ingin bertanya padamu, kenapa kamu pingsan, Riani? Mbok Harra tadi pagi menemukanmu sudah tak sadarkan diri,” Bu Kos menatap lekat. Seakan ingin mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Ah, aku… aku… aku ketemu sama..” Suara Riani seperti berat untuk mengatakannya. “Ketemu siapa, Riani?” Tanpa terasa semua bertanya serempak padanya. Mereka lalu saling pandang. Rasa penasaran menggelayuti hati mereka. Ada apa dengan Riani? Apa yang ditemuinya? Pasti sesuatu yang menakutkan… Riani ingin menjawab, tetapi terasa berat. Karena belum tentu mereka percaya apa yang telah dilihatnya. Namun, ini sangat menakutkannya. Belum sempat ia mengeluarkan kata-kata, tiba-tiba matanya tertuju pada sosok benda yang tergeletak di bawah meja.
“Boneka itu… tolong bawa pergi dari sini!” Matanya begitu ketakutan melihat benda yang ternyata sebuah boneka gadis kecil berkepang dua. Boneka itu yang dipegang kuntilanak semalam. “Kenapa dengan boneka itu, Riani?” tanya Bu Roro tercekat. Matanya kemudian meneliti boneka, dan mengamati secara seksama.
“Aku takut dengan boneka itu, tolong cepat bawa pergiii!!!” teriak Riani, histeris seperti orang kesetanan. Semua kaget dengan teriakan Riani yang tiba-tiba histeris. “Tenang, Yani… semua baik-baik saja. Boneka itu sudah dibawa pergi oleh Mbok Harra dari sini,” kata Lia, memeluk Riani yang sudah menangis tidak karuan. Karena ketakutan dengan boneka tersebut. Sementara Amel hanya menempel mereka di belakang. Tampaknya dia sudah ketakutan, dan hanya diam seribu bahasa.
Boneka itu diletakkan di atas meja ruang tamu. Paginya, Riani meyapa Bu Roro, dengan hanya mengangguk dan cepat berlalu. Kemudian, Amel, Amel baru saja ingin menyapa Bu Roro, tetapi dia terkejut karena melihat sosok mirip kuntilanak duduk dengan kepala menunduk duduk di samping Bu Roro. “Bu, itu… itu teman Bu Roro, ya?” tanya Amel gugup. “Siapa?” jawab Bu Roro heran, “Itu… itu… yang duduk di samping ibu…” Amel mulai ketakutan, sedangkan Ibu Roro hanya keheranan. Bu Roro yang awalnya tidak melihat siapa-siapa, tiba-tiba melihat sebuah benda melayang-layang di dekatnya, kemudian pingsan. Amel lari ketakutan melihat hal tersebut.
“Makhluk itu adalah penunggu rumah ini. Dia dulu dibunuh oleh majikannya ketika dia berumur 17 tahun. Namanya, Marsha.” jelas sang paranormal, Pak Jono. Semua yang mendengar penjelasan itu saling berpandangan heran. Ketika ada seseorang yang bertanya, “Lalu, apa hubungannya dengan boneka itu?” “Boneka itu ada bersamanya ketika mati terbunuh, jika boneka itu ada, berarti makhluk itu ada,” jawab Pak Jono. Makhluk itu sudah diusir oleh Pak Jono bersama bonekanya.
Suasana terasa sangat menjadi tenang dan tenteram. Tiba- tiba, terdengar teriakan Amel, “HUAA!!! Boneka itu… Boneka itu… ada di kamarku!!” Semua kaget, dan langsung ke kamar Amel. “Ada apa, Mel?” tanya Bu Roro diikuti yang lainnya. “Boneka itu ada di kamarku, Bu,” jawab Amel ketakutan sambil menunjuk pada boneka yang duduk manis di ranjangnya, dengan bercak darah di sekitar mulutnya. Ada sebuah tulisan berwarna merah darah di cermin dekat tempat tidur, “BIARKAN KAMI DISINI. KAMI TAK AKAN MENGGANGGU…”
Sementara di sebuah rumah besar dan sunyi, seorang lelaki bersimbah darah meregang nyawa. Di depannya ada sesosok kuntilanak memegang boneka tersenyum puas. Lelaki itu bernama… bernama Jono, sang paranormal. SELESAI