MATERI “PEMERINTAHAN DAERAH”

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
APA OTONOMI DAERAH ? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN.
Advertisements

Berkelas.
Hasil Diskusi Definisi Otonomi Daerah
MAPEL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN
Drs. Cyrus Ramot Marpaung
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Otonomi Daerah.
BAB 7 Otonomi Daerah.
Hubungan Antar Pemerintahan
OTONOMI DAERAH.
PENGERTIAN Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Penyelenggaran Kekuasaan Negara
UU No. 23 TAHUN 2014 IMPLIKASINYA TERHADAP SDM KESEHATAN
Kelompok 2 Nama anggota : Ajeng Bella P. (02) Amalia Utami (03)
Materi Ke-14: MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
ORGANISASI DAN TATA KERJA CABDIN DAN UPT-SP
KELEMBAGAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI
PENGANGGARAN SANITASI
DITJEN BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Sisitim ketatanegaraan Republik Indonesia
EKSISTENSI KERJASAMA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH PASCA
1 BAB. VII OTONOMI DAERAH 1. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH
Administrasi Pemerintahan di Daerah Hukum tentang Organisasi Administrasi Negara Hukum Administrasi Negara Semester 4
Kepala Biro Organisasi Setda Prov. Sumbar
Otonomi Daerah (Dalam Konteks Perencanaan Pembangunan Wilayah)
UNDANG-UNDANG 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
PRINSIP - PRINSIP PEMERINTAHAN DAERAH Muchamad Ali Safa’at
Kuliah 7 UU 32 Tahun 2004 Harsanto Nursadi.
PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH
TIPE DAN ASAS PEMERINTAHAN LOKAL
OPTIMALISASI POTENSI EKONOMI DAERAH OLEH : DEDY ARFIYANTO , SE.MM
BAB 3 Perkembangan Pengelolaan Kekuasaan Negara di Pusat dan Daerah dalam Mewujudkan Tujuan Negara Indonesia.
PENATAAN KELEMBAGAAN PEMDA DIY
Pertemuan 13 Otonomi Desa.
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
Pembagian Urusan & Penyelenggaraan Pemerintahan
DIREKTORAT JENDERAL OTONOMI DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI
LEMBAGA PEMERINTAH DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945 DR Fitriani A Sjarif, SH, MH 2008.
OTONOMI DAERAH Definisi otonomi daerah  kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
MATERI “PEMERINTAHAN DAERAH”
Pertemuan 13 Otonomi Desa.
OLEH: YUNITA WULANSARI PPKn
OTONOMI DAERAH (OTODA)
KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Dasar Hukum DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH
Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (I)
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Perkembangan Otonomi Daerah
Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Otonomi Daerah studi kasus provinsi riau
OTONOMI DAERAH Desi Harsanti Pinuji.
Disusun Oleh Pipit Fitriyani, S.Pd
KELOMPOK 3: OTONOMI DAERAH.
STANDARDISASI JABATAN PELAKSANA
DR.Suharto,SH.,M.Hum.
ISU DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
OTONOMI DAERAH by Dr. Ardiyan Saptawan
Model pemisahan kekuasaan dalam bangunan negara Pancasila.
SISTEM PEMERINTAHAN DESA Cahyono, M.Pd. FKIP UNPAS Cahyono, M.Pd. FKIP UNPAS.
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
PERSPEKTIF PERANGKAT DAERAH BERDASARKAN PP 18 TAHUN 2016
Pembagian Urusan & Penyelenggaraan Pemerintahan
PENGAWASAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pusat Perencanaan Kepegawaian dan Formasi 2016
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Desentralisasi atau otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Transcript presentasi:

MATERI “PEMERINTAHAN DAERAH” M. YUSRIZAL ADI SYAPUTRA, S.H.,MH. FAKULTAS HUKUM

TINJAUAN UMUM Menurut Philipus M. Hadjon, UUD 1945 menganut dua pola pembagian kekuasaan negara yaitu pembagian kekuasaan negara secara horisontal dan secara vertikal. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.

Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, disebut negara kesatuan apabila kekuasaan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan pemerintahan pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingannya dari badan legislatif pusat dalam membentuk undang- undang. Kekuasaan pemerintahan yang di daerah bersifat derivatif (tidak langsug) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas,

Dalam kaitannya dengna desentralisasi, Joeniarto mengatakan bahwa: “ Dalam negara kesatuan semua urusan negara menjadi wewenang sepenuhnya dari pemerintah (pusat)nya. Kalau negara yang bersangkutan mempergunakan asas desentralisasi, dimana di daerah-daerah dibentuk pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri kepadanya dapat diserahkan urusan- urusan tertentu untuk diurus sebagai rumah tangganya sendiri.”

ASAS SENTRALISASI Sentralisasi merupakan konsekuensi dari negara kesatuan. Konsepsi dasar pemerintahan dalam negara kesatuan adalah suatu rancangan yang harus dibangun di atas pondasi sentralisasi. Semua kewenangan berada ditangan pemerintah pusat. Seiring perkembangan paham negara modern, model pemerintahan sentralistik dengan tugas pemerintahan yang semakin luas tidak dapat dilaksanakan secara maksimal oleh pemerintah pusat dalam suatu wilayah yang sangat luas sehingga menimbulkan asas dekonsentrasi.

ASAS DEKONSENTRASI Menurut Instituut voor besturrswetenscahppen dalam laporan penelitian tentang organisasi pemerintahan 1975 (dikutip oleh Phillipus M. Hadjon), mengatakan bahwa: “Dekonsentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau dinas-dinas yang mempunyai hubungan hierarki dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur dan membuat keputusan dalam masalah- masalah tertentu, pertanggungjawaban terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan”

Menurut Bagir Manan, Dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena sifat kepegawaian. Dekonsentrasi adalah unsur dari sentralisasi. Dekonsentrasi dalam UU No. 5 tahun 1974 pasal 1 huruf f adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat didaerah. Pasal 1 huruf h UU No. 22 tahun 1999, Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat didaerah.

PELIMPAHAN KEWENANGAN ATRIBUSI DELEGASI MANDAT

Delegasi Penyerahan wewenang ( untuk membuat besluit) oleh pejabat pemerintahan (Pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut Mandat Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat TUN yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat TUN yang memberi mandat. Dengan demikian tanggungjawab dan tanggung gugat tetap ada pada pemberi mandat.

Atribusi Dalam dekonsentrasi tidak terdapat pembentukan lembaga baru yang terpisah dari organ pemerintah pusat. Artinya lembaga yang melaksanakan tugas dekonsentrasi adalah unsur pemerintah pusat.

ASAS DESENTRALISASI Menurut Phillipus M ASAS DESENTRALISASI Menurut Phillipus M. Hadjon, Desentralisasi adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagaian urusan pemerintahan

Adapun proses penyerahan wewenang kepada daerah dalam UU Pemerintahan daerah yang pernah berlaku dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: Penyerahan penuh artinya baik tentang asas-asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajibannya yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah; Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, tetapi asas-asasnya ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri.

Pengaturan Tentang Pemerintahan Daerah Sebelum kemerdekaan RI Decentralisatie wet tahun 1903 BestuurS.H.ervorming tahun 1922 Setelah kemerdekaan RI Di dalam UUD 1945, diatur didalam Bab VI dengan judul “ pemerintah Daerah” Pasal 18 Di dalam UUD RIS 1949, diatur didalam Pasal 42-67 Di dalam UUD Semetara 1950, diatur dalam pasal 131 dan 132

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Undang-undang nomor 22 tahun 1948 tentang pemerintah di daerah Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950 tentang pemerintahan daerah-daerah indonesia timur Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah Penetapan Presiden No 6 tahun 1959 tentang Pemerintahan daerah Penetapan Presiden No 5 tahun 1960

UU No. 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah Daerah beserta peraturan pelaksananya yang ditetapkan pada tahun 1999 dan tahun 2000 UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah beserta peraturan pelaksananya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah beserta peraturan-peraturan pelaksananya UU No 23 tahun 2014 jo UU No 9 Tahun 2015 tentagn Pemerinthan Daerah

UU No. 22 Tahun 1948 Pertama kali Pemerintahan daerah diatur didalam UU No. 1 tahun 1945, akan tetapi materi yang diatur masih sangat sedikit dan umum, sehingga sulit untuk menerapkannya. Maka dibentuklah UU No. 22 tahun 1948. Menurut Amrah Muslimin, UU No. 22 tahun 1948 mengandung prinsip, yakni: Penghapusan perbedaan cara pemerintahan di jawa dan madura dengan daerah luar bisa disatukan atau uniformitas pemerintahan daerah di seluruh indonesia Membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dan tingkat terendah yang belum ditentukan namanya karena namanya berbeda-beda bagi daerah-daerah

Penghapusan dualisme pemerintahan daerah Pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis (collegiaal bestuur)atas dasar permusyawaratan Pasal 1 ayat (1) UU No 22 tahun 1948 Menegaskan bahwa NKRI terdiri dari wilayah; Provinsi Kabupaten (kota besar) Desa (kota kecil), Negeri , Marga dan sebagainya

UU No. 22 tahun 1948 pada tingkat pemerintah daerah, bermaksud memperbaiki pemerintahan daerah agar dapat memenuhi harapan rakyat, yaitu pemerintahan daerah yang collegial berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan batas-batas kekuasaan. Menurut Wajong , UU No. 22 tahun 1948; Memberi isi pada pasal 18 UUD 1945 dan meletakkan dasar bagi susunan pemerintahan daerah dengan hak otonomi yang rasional sebagai jalan untuk mempercepat kemajuan rakyat didaerah; Membentuk tiga tingkatan daerah yang diatur didalam suatu Undang-Undang;

Memodernisir dan mendinamisir pemerintahan desa dengan status sebagai Dati III; Menghilangkan pemerintahan di daerah yang dualistis, dengan menetapkan DPRD dan DPD sebagai Instansi pemegang kekuasaan tertinggi Memungkinkan daerah-daerah yang mempunyai hak asal-usul di zaman sebelum RI mempunyai pemerintahan sendiri dengan status daerah istimewa

UU No. 1 tahun 1957 Menurut Soetardjo, UU No UU No. 1 tahun 1957 Menurut Soetardjo, UU No.1 tahun 1957 memiliki kesalahan prinsip yaitu bentuk pemerintahan Dati III, disamaratakan dengan daerah otonom lainnya, yaitu Dati I, Dati II, dan Dati III. UU No. 1 tahun 1957 merupakan hasil kerja dari DPR pemilu 1955, di dalam UU ini menjanjikan demokratisasi pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya. Menurut Soetardjo, UU ini memuat prinsip negara serikat atau bondstaat karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaannya didaerah. UU ini menganjurkan negara kesatuan tapi dipihak lain membentuk negara federasi.

Setelah berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Dampak langsung terhadap otonomi daerah adalah diberlakukannya penetapan presiden (penpres) Nomor 6 tahun 1959 dan Penpres No. 5 tahun 1960. Menerut The Liang Gie, kedua Penpres tersebut merubah tujuan desentralisasi dari demokrasi ke pencapaian stabilitas dan efisiensi pemerintahan didaerah. ( asas desentralisasi menjadi asas sentralisasi)

Penetapan presiden ini sebenarnya memiliki maksud untuk memulihkan dan memperkokoh kewibawaan kepala daerah (KDH) sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap sebagai alat dekonsentrasi (gubernur, bupati, atau walikota) dan sekaligus desentralisasi (KDH). Dengan fungsi rangkat tersebut persoalan did daerah diharapkan dapat ditanggulangi oleh setiap KDH, sehingga KDH dapat tetap exist sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat (nasional) dalam sistem pemerintahan presidensial NKRI.

UU No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah UU No UU No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 18 tahun 1965 melanjutkan ide Penpres No. 6 tahun 1959. UU ini membagi wilayah negara dalam tingkatan daerah- daerah otonom Pasal 2 ayat (1) terdiri dari provinsi/kotapraja sebagai Dati I, kabupaten/kotamadya sebagai Dati II, dan kecamatan sebagai daerah Dati III. Menurut Amrah Muslimin, UU ini memberi peluang bagi terciptanya tiga tingkatan daerah otonom biasa di mana desa atau masyarakat Hukum Adat akan menjadi Daerah Tingkat III.

UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Menganut prinsip Otonomi Daerah Di dalam penjelasan UU No. 5 tahun 1974 anka 1 huruf I menyebutkan bahwa : “ tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.”

UU No. 5 tahun 1974 menyoroti desentralisasi dan Dekonsentrasi sekaligus. Penjelasan Umum Angka 2 UU No. 5 tahun 1974 menyatakan bahwa: “ adanya pemerintah daerah yang bersifat otonom adalah sebagai konsekuensi dilaksanakannya asas desentralisasi dari pemerintah pusatu atau daerah otonomi tingkat atasnya kepala daerah menjadi urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan wilayah administrasi sebagai konsekuensi dilaksanakannya asas dekonsentrasi.”

Penjelasan umum UU No. 5 tahun 1974 menegaskan tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu: Agar daerah yang bersangkutan dapat mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan; Memberikan wewenang kepada daerah untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.

UU No. 5 tahun 1974 melaksanakan prinsip-prinsip digariskan oleh Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai berikut: “ dalam rangkat melancarkan pelaksanan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa maka hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, diserahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa UU No Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa UU No. 5 tahun 1974 prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan berdasarkan otonomi nyata dan bertanggungjawab. UU ini tidak lagi menggunakan otonomi nyata dan seluas-luasnya dianggap dapat menimbulkan kecendrungan yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan.

Menurut Bagir Manan, kekhawatiran mengenai otonomi seluas-luasnya lebih disebabkan karena persepsi yang kurang tepat, yakni; Pandangan bahwa urusan itu mempunyai jumlah (kuantitas) tertentu. Pendekatan kuantitas mengenai urusan pemerintahan tidaklah begitu tepat bahkan menyesatkan. Kemampuan untuk menjalankan kekuasaan secara efektif tidaklah ditentukan oleh kuantatias tetap kualitas. Pandangan seolah-olah otonomi luas dapat berjalan tanpa batas, atau tanpa tanggungjawab. Telah disebutkan bahwa otonomi adalah pranata negara kesatuan. Keluasan dan keleluasaan otonomi tidak mungkin melampaui prinsip negara kesatuan.

Sistem rumah tangga nyata adalah dasar untuk melaksanakan otonomi luas, oleh karena itu menurut Bagir Manan, sistem rumah tangga nyata tidak mungkin dipisahkan dari pemberi otonomi seluas- luasnya kepada daerah. Sistem rumah tangga nyata memuat konsep bahwa daerah diberi keleluasaan mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya. Dengan keleluasaan, kebebasan administratif otonomi daerah akan selalu berkembang sesuai dengan kenyataan yang ada didaerah. Kesempatan berkembang inilah inti otonomi seluas-luasnya.

Penyelenggaraan otonomi nyata dan bertanggunjawab dalam UU No Penyelenggaraan otonomi nyata dan bertanggunjawab dalam UU No. 5 tahun 1974 lebih dimaksudkan pada keserasian antara kebijakan pusat dan daerah, hal tersebut diliahat dari penjelasan umum angka 1 huruf h, yakni: “ pemberian otonomi daerah dilaksanakan bersama- sama dengan asas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi tidak lagi sekedar komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah”.

Dalam UU No.5 tahun 1974, kemungkinan-kemungkinan untuk memperluas dan mempersempit urusan pemerintahan pada daerah otonom menganut penyerahan secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan keadaan masing-masing daerah, tidak secara integral, sehingga isi otonomi masing-masing daerah tidak perlu sama. Menurut UU ini penambahan urusan pemerintahan kepada daerah ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Pasal 8 ayat 1) tetapi suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan dapat ditarik kembali (Pasal 9).

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah UU No. 22 tahun 1999 disahkan 4 mei dan mulai berlaku 1 januari 2001. Penyelenggaraan otonomi menekankan pada prinsip- prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Daerah dibagi menjadi daerah provinsi, daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom (pasal 2 ayat 1)

Daerah otonom berdiri sendiri tidak memiliki hierarki satu sama lain (pasal 4 ayat 2) Otonomi daerah yang luas dan utuh dilaksanakan pada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi terbatas. Konsep otonomi daerah menurut Pasal 1 huruf h UU No. 22 tahun 1999, yakni: “otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undanga”.

Menurut Muchsan, ada tiga sendir yang merupakan pilar otonomi daerah, yaitu: Sharing of power ( pembagian kewenangan) Distribution of income ( pembagian pendapatan) Empowering (kemandirian administrasi pemerintahan daerah)

UU No. 22 tahun 1999, pelaksanaan otonomi seluas- luasnya menonjolkan aspek, yakni: Aspek politis, desentralisasi ini dimaksudkan untuk mendemontrasikan pemerintah daerah; Aspek teknis, pelaksanaan desentralisasi ditujukan untuk memperoleh efisiensi dan efektivitas yang maksimal dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Aspek ekonomis, dengan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya diharapkan daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri, karena daerah mempunyai kewenangan untuk menggali potensi daerah yang dapat menghasilkan baik yang SDM maupun SDA.

Menurut Afan Gaffar, ciri khas dari UU No. 22 tahun 1999, yakni: demorkasi dan demokrastisasi berkaitan dengan hal ini UU ini mengatur mengenai, pertama tentang rekrutmen pejabat pemerintahan daerah, dan kedua mengenai proses legislasi di daerah; mendekatkan pemerintah dengan rakyat. UU ini menentukan bahwa otonomi daerah diletakkan secara utuh dan bulat pada daerah kabupaten/kota, bukan pada provinsi; UU ini menganut sistem otonomi luas dan nyata, dengan sistem ini pemerintah daerah berwenang untuk melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan selain yang dikecualikan dalam pasal 7

UU ini tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, sebagaimana dianut UU No. 5 tahun 1974 yang memiliki susunan daerah bertingkat (daerah tingkat I, II, III) no mandate without funding, persoalan klasik yang selalu diperdebatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah keuangan daerah.

Menurut Nur Rif’ah Masykur, 8 Prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman UU No. 22 tahun 1999, yakni: Penyelenggaraan otonomi dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah; Pelaksanaan otonomi daerah luas, nyata, dan bertanggungjawab; Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota sedangkan provinsi otonomi terbatas.

pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungna yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah; pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten/kota tidak ada lagi wilayah administrasi. pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan, maupun fungsi anggaran atas penyelengggara pemerintahan daerah

Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah; Pelaksanaan asas tugas pembantuan, dimungkinkan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaoporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 32 tahun 2004 disahkan 15 oktober 2004 Asas desentraslisasi Hal yang mendasar dalam UU No. 32 tahun 2004, adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD, serta mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis.

Otonomi Daerah Menurut Pasal 1 angka 5 UU No Otonomi Daerah Menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 32 tahun 2004, yaitu: “ hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan”

Dalam konteks hubungan hierarki, dikaitkan dengan pembagian kekuasaan secara vertikal otonomi daerah diartikan yakni: “ penyerahaan kepada atau membiarkan setiap pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu secara penuh baik mengenai asas-asas maupun cara menjalankannya ( wewenang mengatur, mengurus asas dan cara menjalankannya)

Pasal 1 angka 9 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan tugas pembantuan (medebewind) adalah; “ penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”

Menurut Harsono, Medebewind ( tugas pembantuan) merupakan penyerahan yang dilakukan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan prinsip-prinsipnya (asas- asasnya) ditetapkan pemerintah pusat sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon, hakekat otonomi daerah, merupakan kebebasan bukan kemerdekaan, (indepence ; onafhankelijkheid ), otonomi merupakan sub sistem dari negara kesatuan.

UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa bidang- bidang yang tidak diserahkan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat, seperti : Politik luar negeri; Pertahanan; Keamanan; Yusitisi; Moneter dan fiska nasional,dan agama

Konsekuensi dari pemilihan asas otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah pusat melaksanakan desentralisasi kewenangan. Perumusan desentralisasi di dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 32 tahun 2004 yakni: “ penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia “.

UU No 32 tahun 2004 membawa perubahan yang signifikan, yakni: Didalam UU No. 22 tahun 1999 hubungan gubernur, bupati, walikota tidak memiliki hubungan hierakis satu dengan yang lain. Sedangkan menurut UU No. 32 tahun 2004 hubungan gubernur, bupati, walikota memiliki hubungan. Didalam UU No. 32 tahun 2004, Pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan.

c. UU No. 32 tahun 2004, pemberhetian kepala daerah melalui mekanisme impechment ke mahkamah agung. Apabila DPRD berpendapat bahwa kepala daerah telah melakukan pelanggaran sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajiban maka seorang kepala daerah dapat diusulkan oleh DPRD ke mahkamah agung untuk diberhentikan.

UU No 23 tahun 2014 Jo UU No 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

SIAPAKAH PEMDA ? Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

OTONOMI DAERAH Menurut UU No 9 Tahun 2015 Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah.

Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

URUSAN DAERAH OTONOMI Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah. Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah. Pelayanan Dasar adalah pelayanan public untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana Daerah dilaksanakan berdasarkan: asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

Pasal 10 UU PEMDA Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

Urusan Pemerintahan Konkuren Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas: Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.

Urusan Pemerintah wajib Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud meliputi: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial.

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;

LANJUTAN………. l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.

Urusan Pemerintahan Pilihan Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.

Silabus Hukum Pemerintahan daerah Hubungan pemerintah pusat dan daerah Otonomi daerah Hubungan perimbangan keuangan pusat dengan daerah Pemilihan kepala daerah Hubungan antara perangkat-perangkat daerah Desa