Gajah Way Kambas Seorang petani di daerah Lampung menemukan seekor anak gajah di kebunnya. Rupanya anak gajah ini tertinggal dari induk dan kumpulannya. Anak gajah itu diambil dan dirawat dengan baik oleh petani tersebut. Namun, karena tidak memiliki kandang yang memadai, akhirnya anak gajah ini diikat di sebatang bambu kecil dengan rantai anjing yang tidak terlalu besar. Hari demi hari anak gajah tumbuh menjadi besar, dan keinginan naluriah hewani untuk bebas pun semakin besar. Setiap hari anak gajah yang sedang beranjak dewasa ini mencoba menghentakkan kakinya untuk lepas dari rantai yang mengikatkan salah satu kakinya ke bambu. Tetap tidak bisa, bahkan beberapa bagian kakinya mengalami luka lecet. Lama kelamaan keinginan gajah untuk melepaskan diri dari ikatan rantai tersebut mulai mengendur dan akhirnya tidak sama sekali. Satu hal yang menarik, setelah gajah tersebut tumbuh menjadi gajah dewasa dan memiliki taring yang cukup panjang, dia tetap terikat pada sebatang bambu yang kecil seperti ketika ia baru ditangkap dulu. Padahal, menurut logika, sederhana saja, dengan sekali hentakan saja rantai tersebut sebenarnya bisa lepas. Mengapa tidak bisa dilakukan sang gajah? Karena di dalam benaknya dia sudah merasa gagal dan tidak mungkin bisa melakukannya lagi. *** Kehidupan manusia adalah kehidupan yang ‘jatuh bangun’. Sang Pencipta tidak pernah menjanjikan langit yang selalu biru, setelah hujan reda selalu tampak pelangi. Bukan perkara bagaimana kita gagal atau menghadapi masalah, namun yang terpenting adalah bagaimana kita bangkit dari kegagalan tersebut dan mulai melakukan pembaharuan agar hal serupa tidak terulang kembali. Pada kenyataannya, ada begitu banyak manusia yang dengan mudah melakukan vonis terhadap dirinya sendiri dan sekaligus memastikan bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa, lantaran sudah pernah melakukan kesalahan yang fatal. Keberhasilan bukan diukur dari posisi yang telah dicapai seseorang dalam kehidupan, melainkan dari rintangan-rintangan yang diatasinya saat berusaha untuk berhasil. Di sinilah letak nilai kehidupan yang bermakna tersebut. Pengalaman bukanlah apa yang terjadi pada seseorang, melainkan apa yang dilakukan seseorang terhadap apa yang terjadi padanya. Mungkin itu pengalaman pahit yang menyisakan duka atau pengalaman manis yang memotivasi kita untuk membuat hidup lebih hidup. Apa pun itu, bukan peristiwanya yang penting, melainkan sejauh mana kita merespon peristiwa tersebut. Terkadang pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan cenderung membuat seseorang menjadi pesimis melihat kehidupan ini. Lebih hebatnya lagi, peristiwa kecil yang terjadi dapat berkembang dalam pikiran seseorang melalui imajinasinya sehingga seolah-olah peristiwa tersebut demikian tragis telah merebut optimisme seseorang. Manusia (bukan gajah!) diberi akal, hati nurani, dan dorongan oleh Sang Pencipta untuk bangkit dari setiap kegagalan dan peristiwa yang begitu menekan. Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dihadapi, tidak ada langkah yang terlalu panjang untuk dijalani, dan tidak ada orang yang terlalu sulit untuk dihadapi ketika kita mampu menyikapi setiap peristiwa yang terjadi dengan hati yang jernih dan kepala dingin. Seorang filsuf pernah bertutur, “Kita tidak akan pernah bisa mengukur betapa tingginya sebuah gunung, hingga kita sudah berada di puncaknya dan mengatakan bahwa sebenarnya tinggi gunung ini tidak seberapa.” Artinya, jangan pernah menyerah sebelum pernah mencoba. Kekuatan terbesar untuk menyelesaikan pekerjaan adalah pada saat kita berani untuk memulainya. Bukankah seribu langkah ke depan dimulai dari langkah pertama? Ketika peristiwa begitu menekan dan hampir putus asa, percayalah bahwa hal tersebut tidak akan melebihi kekuatan kita sebagai manusia yang notabene dicipta sebagai ciptaan yang paling sempurna di antara seluruh ciptaan-Nya. Mungkin langkah-langkah praktis yang perlu dilakukan adalah dengan mengidentifikasi secermat mungkin peristiwa yang kita alami, mungkin memang itu adalah buah dari perbuatan selama ini. Kalaupun datangnya dari orang lain, dengan bijaksana kita melakukan introspeksi, “Ada apa dengan diri kita sehingga orang lain berbuat demikian?” Ketika peristiwa tersebut adalah peristiwa alam yang demikian dahsyat, maka mata imanlah yang melihat. Bukankah Sang Pencipta yang kita percayai adalah Khalik langit dan bumi sebagai pencipta alam yang dahsyat tersebut? Langkah berikutnya adalah dengan selalu membuka jalinan silaturahmi dengan orang lain untuk membagi pengalaman (sharing). Dalam percakapan yang berbagi tersebut, setidaknya akan mengurangi beban mental dan memungkinkan kita menemukan solusi untuk bangkit. Langkah terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah dengan banyak membaca buku-buku bermutu tentang kehidupan, terutama kitab suci karena di sinilah sumber kekuatan kita untuk memaknai setiap peristiwa yang terjadi. Orang tidak dapat menemukan lautan biru kecuali ia memiliki keberanian untuk tidak melihat pantai.