Perppu No 1 Tahun 2016 dan Optimalisasi Perlindungan Anak Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
PENDAHULUAN Kejahatan seksual merupakan kejahatan serius; berdampak bagi korban, baik fisik, Pskis: maupun sosial Pengungkapan kejahatan seksual sulit; Faktor pembuktian formal keluarga korban tak menghendaki pelaporan, malu, tak yakin dg proses hukum, faktor akses, dll. Norma hukum lemah, perspektif APH belum sama; seringkali korban diminta menghadirkan saksi fakta
Faktor Pemicu Maraknya Kejahatan Seksual Pertama, rentannya ketahanan keluarga yang berujung pada permisifitas dalam pengasuhan Kedua, mudahnya akses terhadap materi pornografi yang menginspirasi seseorang melakukan kejahatan seksual. Ketiga, kecenderungan korban kejahatan seksual yang tak tertangani dan mendapat rehabilitasi; berpotensi melakukan kejahatan yang sama. Keempat, norma hukum yang ada belum memberikan efek jera dan efek cegah.
Pergeseran “Term” Kejahatan Kekerasan Pencabulan
Gagasan Besar KSA: Serius Intervensi Serius Optimalisasi Sistem Perlindungan Anak (Norma, SDM, Kelembagaan, Mekanisme, Layanan, Rehabilitasi, dll)
Justifikasi Pemberatan Hukuman Bagi Pelaku Beberapa profil pelaku kejahatan seksual adalah “RESIDIVIS”, bukan pertama kali melakukan tindak kejahatan Pelaku kejahatan seksual, tak semua dapat diintervensi dg penyadaran dan jalur pemasyarakatan: sebagian pelaku “orang sakit”. Norma yang ada belum memberikan efek jera dan efek cegah Indonesia mengenal mazhab HAM “pembatasan’. Kejahatan Seksual Thd Anak Kejahatan Luar Biasa Hukum Indonesia masih mengakui hukuman mati Beberapa negara lain telah melakukan pengaturan kebiri
Aturan Yang Ada Sanksi Hukum Sebelum Diterbitkannya Perppu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Hukuman Belum menjerakan karena pelaku dihukum maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Lima Miliar Rupiah (Pasal 81 UU No 35 tahun 2014) Pada Kenyataannya, tidak semua kasus anak, dengan pelaku orang dewasa, dihukum maksimal. Contohnya kasus: Kasus Sony Sandra (Kediri) yang divonis 9 tahun penjara padahal telah mencabuli 58 anak.
Langkah Perbaikan Regulasi 2014 adalah kasus tertinggi pelanggaran hak anak dalam lima tahun Juni 2014, Presiden mencanangkan Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Anak (GN AKSA), melalui Inpres No 5 Tahun 2014 yang menjadi landasan kerja Kementerian, Polri dan Kejaksaan dan Lembaga Negara untuk mewujudkan penyelenggaraan perlindungan anak Oktober 2014 disahkan UU 35/2014 tentang perubahan atas UU 23/2002 ttg Perlindungan Anak Januari 2015 KPAI melaporkan pentingnya mekanisme pencegahan dari hulu dan pemberatan hukum bagi pelaku KSA, dan disepakati dalam rapat terbatas, penerbitan perppu dengan kebiri menjadi salah satunya Mei 2015, Perppu diterbitkan
Pemberatan Pidana dalam Perppu No 1 Tahun 2016 Ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun Ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati pun masuk ke pemberatan pidana. Tambahan pidana alternatif yang diatur ialah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik
Perubahan Pasal dalam Perppu No 1 Tahun 2016 Perppu ini mengubah dua pasal (pasal 81 dan 82) serta menambah pasal (pasal 81A) dari UU sebelumnya yakni: Pasal 81 Pidana Mati, penjara 10-20 tahun, pengumuman identitas, kebiri kimiawi dan pemasangan chip. Pasal 81A Kebiri Kimiawi dan pemasangan Chip paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaksanaan kebiri disertai rehabilitasi. Di bawah pengawasan Kementerian Hukum, Sosial dan Kesehatan Pasal 82 Tambahan 1/3 hukuman bagi pelaku orang dekat dengan korban anak, residivis dan korban meninggal dunia ataupun luka berat dan gangguan jiwa
Beberapa Kasus Kekerasan Seksual Anak yang Menyedot Perhatian Publik Pembunuhan Engeline di Bali pada Mei 2015 Kasus Kekerasan Seksual Anak di JIS April 2014 Pembunuhan dan Perkosaan PNF di Kalideres pada Oktober 2015 Pembunuhan dan Perkosaan Y di Bengkulu pada Mei 2016 Pencabulan 58 ABG di Kediri dengan Pelaku Sony Sandra pada Mei 2016. Pencabulan ABG dengan pelaku Emon di Sukabumi
Kontroversi Hukuman Kebiri Kelompok Pro Perppu Beralasan: Kejahatan Seksual Anak Masuk dalam Extraordinary Crime Dibutuhkan Upaya Hukum untuk membuat efek jera Hukuman kebiri sebagai “Jalan Tengah” di samping kontroversi hukuman mati Sejumlah negara menerapkan hukuman kastrasi (kebiri) seperti: Rusia, Malaysia, Polandia, Negara Bagian Amerika dan Korea Selatan Kelompok Anti Perppu Beralasan: Kebiri Melanggar HAM Pidana Tambahan tidak boleh melebihi pidana pokok Dari aspek kesehatan dan psikologi, kebiri tidak menjamin pelaku tidak mengulangi perbuatannya Kebiri tidak dikenal dalam perundang-undangan hukum Indonesia
Tren Kenaikan Kasus Kekerasan Seksual Anak Tahun 2011 ada 2.178 kasus Tahun 2012 ada 3.512 kasus Tahun 2013 ada 4.311 kasus Tahun 2014 ada 5.066 kasus
Lokus kekerasan pada anak : Lingkungan Keluarga Lingkungan Sekolah Lingkungan Masyarakat
Lima Pilar Perlindungan Anak Orangtua : Ayah & Ibu Keluarga : Paman, Bibi, Kakek, Nenek atau Saudara Terdekat Masyarakat : RT, RW, Kelurahan & Seterusnya Pemerintah : Eksekutif Negara : Eksekutif, Legislatif & Yudikatif
ISI PERPPU
1. Ketentuan Pasal 81 diubah : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (catatan: Pasal 76D dalam UU 23/2004 berbunyi "Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.") (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
Pasal 81 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling (5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. (6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip. (8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 81A (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. (3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 82 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Catatan: Bunyi pasal 76E dalam UU 23/2004 berbunyi" Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul." ) (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
Pasal 82 (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. (6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip. (7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama- sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 82 A (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok. (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.