Complications of Decompressive Craniectomy For Traumatic Brain Injury Shirley I. Stiver, MD, Ph.D. Oleh : Rahmadi indra. pembimbing : dr Hanis Setyono.SpBS
ABSTRAK Kraniektomi dekompresi banyak dilakukan untuk menangani kasus hipertensi intrakranial setelah terjadinya suatu cedera otak traumatik (traumatic brain injury (TBI). Dua penelitian acak saat ini sedang dilakukan untuk mengevaluasi lebih lanjut tentang efektivitas kraniektomi dekompresi pada TBI
ABSTRAK komplikasi perioperatif awal dari kraniektomi dekompresi pada TBIPerluasan memar (kontusio), hematoma epidural dan subdural baru yang terjadi di sisi kontralateral dari hemisfer otak yang didekompresi, serta herniasi serebri eksternal, kekacauan sirkulasi CSF (cerebrospinal Selama fase lanjut pemulihan, pasien dapat mengalami defisit kognitif, neurologis, atau defisit psikologis baru yang disebut sebagai syndrom of the trephined.
PENDAHULUAN Prosedur kraniektomi dekompresi dilakukan pada kasus-kasus hipertensi intrakranial berat yang mengancam jiwa, dan angka kematian setelah prosedur kraniektomi dekompresi pada kasus TBI derajat berat masih tergolong tinggi. Sebagai suatu terapi penyelamatan, kraniektomi dekompresi telah terbukti dapat mencegah kenaikan yang progresif di ICP. mengubah dinamika CBF dan CSF.
PENDAHULUAN Kraniektomi dekompresi juga merangsang respon hiperemis seperti yang ditunjukkan oleh studi- studi dengan 99mTc SPECT, pencitraan P MR, dan CT 133Xe yang menunjukkan adanya augmentasi CBF serta metabolisme otak. Banyak komplikasi kraniektomi dekompresi yang muncul dari perubahan patofisiologi normal yang terjadi di ICP, sirkulasi CSF, dan CBF setelah dilakukan prosedur kraniektomi dekompresi
Pasien dengan TBI berat semakin berisiko mengalami komplikasi setelah tindakan kraniektomi dekompresi (Tabel 1). Yang et al. melaporkan bahwa frekuensi komplikasi adalah sebesar 62% untuk pasien dengan skor GCS 3-5, 39% untuk pasien dengan skor GCS 6-9, dan 36% untuk pasien dengan skor GCS >9. Pasien usia tua (>60 tahun) juga cenderung mengalami lebih banyak komplikasi, tetapi perbedaannya dengan pasien yang usia muda tidak signifikan secara statistik. Pasien-pasien yang mengonsumsi aspirin, Plavix, dan warfarin berisiko tinggi mengalami komplikasi parah atau nonsurvivable (tidak dapat diselamatkan) setelah kraniektomi dekompresi
Gambar 1. Koagulopati. CT-scan kontras sebelum operasi pada pasien dengan SDH yang diberikan rejimen warfarin (A dan B). Walaupun terdapat koagulopati sebelum dilakukan operasi, tampak gambaran perdarahan bermakna yang terjadi seperti yang dibuktikan dengan gambar CT-scan non-kontras pasca-operasi (C dan D). Perhatikan pada gambar C adanya SDH ekstraeksial di sisi kontraletral hemisfer otak yang mengalami dekompresi.
KOMPLIKASI PERIOPERATIF 1. Munculnya Luka Memar (Kontusio). Perluasan hemoragis dari suatu kontusio tidak dapat dihindari pada proses cedera dan dapat terbukti dari CT-scan serial pada pasien-pasien dengan TBI. Sebaliknya, menghilangkan efek tamponade dengan pengangkatan tulang pada pasien TBI berat dapat membantu pertumbuhan dan ekspansi/perluasan kontusio setelah dilakukan kraniektomi dekompresi. Flint et al. menemukan insiden kontusio hemoragis baru atau meluas yang sangat tinggi setelah operasi dekompresi , dijumpai pada 23 (58%) dari 40 Pasien. Lokasi kontusio yang ipsilateral dengan dengan hemisfer serebri yang terdekompresi dijumpai pada 82% kasus
Gambar 2. Munculnya kontusio Gambar 2. Munculnya kontusio. Gambaran CT-scan non-kontras sebelum dan sesudah operasi menunjukkan kontusio temporal masif setelah kraniektomi dekompresi. Perhatikan hampir tidak adanya lesi parenkim pada lobus temporal pada gambaran sebelum operasi.
2. Evolusi Lesi Massa Kontralateral Bedah dekompresi kraniektomi pada TBI dapat memicu timbulnya lesi massa yang baru, di sisi kontralateral atau jauh dari hemisfer serebri yang terdekompresi Su et al. mengamati sebanyak 10 kasus (71%) dari 14 pasien terdapat EDH kontralateral baru setelah dilakukannya bedah evakuasi SDH akut Secara teoritis pasien memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami EDH kontralateral setelah dilakukannya kraniektomi dekompresi daripada dilakukan kraniotomi.
Gambar 3. Evolusi perdarahan ekstraaksial jauh Gambar 3. Evolusi perdarahan ekstraaksial jauh. A dan B: CT-scan non-kontras sebelum operasi yang diperoleh dari seorang pasien dengan perdarahan subarakhnoid traumatik dan SDH berukuran kecil yang menjalani kraniektomi dekompresi. C dan D: CT-scan non-kontras pascaoperasi menunjukkan evolusi EDH di oksipital (tanda panah), jauh dari lokasi operasi. pasien menjalani kraniotomi oksipital dan evakuasi EDH. Pada saat operasi ditemukan adanya fraktur linier tulang tengkorak yang non-displaced diatas EDH oksipital. Tampilan retrospektif dari CT-scan pasien ini menunjukkan bahwa fraktur yang terjadi paralel dengan bidang potongan CT yang diambil dan densitas tulang oksipital menutupi deteksi fraktur.
3. Herniasi Serebri Eksternal Perluasan otak dengan herniasi serebri eksternal melalui defek kraniektomi seringkali dijumpai pada periode awal setelah dekompresi Tidak ada konsensus tentang bagaimana mengukur herniasi serebri eksternal. Herniasi didefinisikan sebagai jaringan otak di pertengahan defek tulang >1,5 cm di atas bidang dimana bagian terluar kranium seharusnya berada.
Gambar 4. Herniasi serebri eksternal Gambar 4. Herniasi serebri eksternal. Gambar atas: gambaran CT non-kontras menunjukkan herniasi serebri eksternal (tanda panah) melalui kraniektomi kecil. Gambar bawah: foto dari spesimen yang diperoleh pada saat otopsi pasien yang berbeda yang menunjukkan herniasi serebri eksternal (tanda panah) dan infark vena dalam jaringan otak yang mengalami herniasi.
Komplikasi Pasca Operasi Dalam 30 Hari Efusi Subdural atau Higroma Kraniektomi dekompresi mengubah dinamika sirkulasi CSF, hal ini akan memperberat timbulnya higroma subdural dan hidrosefalus. Studi Aarabi et al. higroma subdural terjadi pada 25 (50%) dari 50 pasien rata-rata setelah 8 hari menjalani kraniektomi dekompresi. Higroma biasanya muncul di sisi ipsilateral defek tengkorak dengan volume berkisar 10- 120 ml (rata-rata 51 mL)
Gambar 5. Higroma subdural Gambar 5. Higroma subdural. Gambaran CT non-kontras kasus higroma subdural (tanda panah) setelah kraniektomi dekompresi
Komplikasi Setelah 1 Bulan Penyembuhan Luka dan Infeksi Duraplasti dengan menggunakan pengganti dura dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi Jika dura dibiarkan terbuka tanpa duraplasti, material sintetik asing harus diletakkan di atas permukaan otak untuk mencegah perlekatan kulit kepala dengan otak di bawahnya Dengan flap tulang ukuran besar yang digunakan untuk dekompresi, tindakan pembukaan ke dalam sinus frontalis atau sel-sel udara di pertengahan fossa akan berisiko menimbulkan meningitis dan empiema subdural di kemudian hari, terutama jika duraplasti tidak dilakukan
Gambar 6. Empiema ekstraaksial Gambar 6. Empiema ekstraaksial. A: sebuah gambaran MR T1-weighted yang menunjukkan pengumpulan di area subdural (tanda panah). B: gambaran MR T1-weighted Gd-enhanced yang menunjukkan peningkatan di bagian tepi (kepala panah) kumpulan material. C: gambaran difusi dengan sinyal terang yang merupakan gambaran diagnostik empiema subdural.
Gambar 7. Flap kulit kepala menjorok ke dalam Gambar 7. Flap kulit kepala menjorok ke dalam. A: CT-scan non-kontras sebelum operasi yang menunjukkan SDH akut kanan, yang dievakuasi dan bagian tulang ditinggalkan sebagai bentuk ukuran hipertensi intrakranial yang kemudian akan terjadi. B: CT-scan tanpa kontras yang diperoleh beberapa bulan kemudian menunjukkan kontur parenkim yang tenggelam (masuk ke dalam) dengan midline shift ~1,5 cm. C: setelah repair kranioplasti autolog pada defek tengkorak, CT-scan menunjukkan pemulihan kontur otak yang tenggelam dan midline shift yang terjadi. D: dalam kurun waktu 2 bulan setelah kranioplasti, CT-scan non-kontras mulai menunjukkan tanda-tanda resorpsi parsial (kepala panah) dari flap tulang yang diganti.
Komplikasi Setelah 1 Bulan Hidrosefalus. Hidrosefalus dan syndrom of the trephined adalah komplikasi yang paling sering dari kraniektomi dekompresi setelah satu bulan Kraniektomi dekompresi diketahui merupakan faktor risiko terjadinya perubahan CSF dan timbulnya hidrosefalus pasctrauma
Komplikasi Setelah 1 Bulan Syndrom of the Trephined Gejala umumnya mencakup nyeri kepala, pusing, gelisah, sulit konsentrasi, masalah ingatan, dan gangguan mood, yang mana khas muncul berminggu-minggu sampai berbulan- bulan pasca kraniektomi dekompresi Jarang, syndrom of the trephined dapat muncul bersama dengan defisit neurologis baru onset lambat
penyebabkan timbulnya sindrom trephin motorik 1) Kontusio dapat disebabkan karena cedera itu sendiri atau perluasan kontusio setelah dekompresi (tanda panah). 2) Higroma CSF (tanda panah) dijumpai pada CT-scan awal masa pasca-operasi pada 90% pasien yang mengalami sindrom trephine motorik. Seiring berjalannya waktu, disfungsi aliran CSF akan menetap dan timbul suatu mekanisme dekompensasi. 3) CSF dan edema melampaui parenkim otak yang ada di bawah defek tengkorak, yang bermanifestasi sebagai area hipoatenuasi pada CT-scan (tanda panah). Cedera kontusio intraparenkim sebelumnya, menurunkan resistensi terhadap akumulasi cairan tanpa adanya defek kraniektomi tulang. 4) Aliran CBF dari gambaran perfusi CT tampak hilang pada area-area yang hipoatenuasi (tanpa panah) karena adanya kebocoran CSF dan edema. Transgresi CSF dan edema tersebut, yang bekerja melalui atau bersama dengan hilangnya CBF menyebabkan sindrom trephine motorik. Gambar 8. Skema mekanis terjadinya sindrom trephine motorik. Adanya kontusio intraparenkim sebelumnya dan juga ketidaknormalan aliran CSF merupakan faktor penyebabnya
Komplikasi Setelah 1 Bulan Resorpsi Tulang Pada kraniektomi dekompresi, resorpsi tulang pada katup tulang bebas sangat umum dan mungkin mencapai insidensi sebesar 50% pada follow-up jangka panjang
Gambar 9. Resorpsi tulang Gambar 9. Resorpsi tulang. A: CT-scan non-kontras pada fraktur area frontalis (tanda panah) pada pasien yang menjalani kraniektomi dekompresi. B: 4 bulan setelah operasi dekompresi, dilakukan repair kranioplasti autolog dengan rekonstruksi plat untuk fraktur tengkorak yang dialami pasien tersebut (tanda panah). C dan D: CT-scan non-kontras (C) dan foto polos kranial lateral (D) yang diperoleh 2 bulan setelah kranioplasti menunjukkan resorpsi tulang luas pada segmen yang fraktur (kepala panah). Pasien menjalani kranioplasti kedua dengan flap tulang sintetik.
Komplikasi Setelah 1 Bulan Status Vegetative Persisten Kraniektomi dekompresi sangat efektif sebagai cara untuk menyelamatkan nyawa. dan menurunkan mortalitas. Risiko-risiko selamat dengan hasil status vegetative perseisten setelah kraniektomi dekompresi telah dilaporkan berkisar antara 15-20% pada banyak kasus (Tabel 2) untuk pasien yang dapat meninggal akibat herniasi serebral dari ICP yang menigkat. Skor GCS pra operasi <6, disfungsi batang otak, usia lanjut, dan waktu dekompresi yang panjang telah dilaporkan berhubungan dengan risiko tinggi keadaan vegetative persisten,utk melakukan tindakan operasi.
Tabel 2. Ringkasan literatur mengenai outcome kraniektomi dekompresi pada pasien TBI
Penghindaran Komplikasi Pada operasi, dekompresi tulang luas harus dilakukan pembukaan dura dura Untuk meminimalisir luka dan infeksi, diperlukan kehati-hatian untuk melindungi arteri temporal superficial dan untuk memastikan katup dengan rasio luas dasar-ke-pedikula Dekompresi tulang frontal harus menghindari pembukaan ke sinus frontalis
Penghindaran Komplikasi Augmentasi kraniektomi dengan duraplasti telah disarankan sebagai mekanisme untuk mencegah atau membatasi herniasi serebral eksternal, peneliti lainnya menggunakan alat berupa kusen vaskuler yang disalurkan dengan pembuluh darah pada ujung tulang untuk melindungi vena dari tekanan obstruktif Pada banyak kasus perbaikan kranioplasti pada defek tengkorak dapat menormalkan kerusakan aliran CSF dan menghilangkan kebutuhan shunt
Simpulan Berbagai komplikasi kraniektomi dekompresi tidak dapat dihindari proses patofisiologinya sehingga menjadi suatu indikasi untuk diangkatnya sebagian tulang tengkorak dalam ukuran besar Perubahan tekanan interstisial dan komplian otak, sirkulasi CSF, CBF dan vasoreaktivitas otak serta autoregulasinya berperan penting terhadap timbulnya komplikasi pasca operasi seperti meluasnya kontusio, herniasi serebri eksternal dan terbentuknya hematoma ekstraaksial di sisi kontralateral lesi
Simpulan Selama minggu pertama setelah dekompresi, higroma subdural terjadi sebagai akibat dari perubahan komplian otak dan sirkulasi CSF Pada fase akhir setelah dekompresi, syndrome of the trephined dapat menyebabkan timbulnya defisit kognitif, psikologis dan neurologis
Terima kasih