Jawaban untuk John Foster Dulles Pembicaraan kami meliputi permasalahan yang luas sekali, tetapi ruangan ini membatasi uraian saya. Saya ingin mengungkapkan kesan-kesan utama saya mengenai dirinya. Yang pertama adalah pendiriannya mengenai ketepatan dan kebebasan intelektual serta penolakannya berbicara secara doktriner dan klise. Saya melihat hal ini dalam pembicaraan-pembicaraan kami yang pertama, juga mengenai lawan politiknya. Dengan demikian dia melihat Musso lebih sebagai seorang anarkis dari pada seorang komunis, ia menghormati Tan Malaka sebagai seorang nasionalis yang penuh dedikasi, yang menggunakan komunisme untuk kepentingan nasionalisme, dan sebagai seseorang yang menolak pengarahan apa pun dari Moskow; Sjarifuddin “terlalu beragama untuk menjadi seorang komunis”, dan kalau dia bersikeras menyebut dirinya komunis, maka komunisnya “tentulah merupakan komunis gaya baru”. Hatta memegang teguh dan tidak mau melepas prinsip-prinsip yang dianutnya. Dia tidak pernah melepaskan keyakinannya bahwa Indonesia harus mempertahankan politik luar negeri yang bebas dan tidak memihak. Boleh memihak mengenai masalah tertentu pada waktu tertentu, tetapi tidak dengan mengorbankan kemerdekaan dan kebebasannya menentukan pilihan untuk jangka panjang bagi kepentingan negara mana pun, atas dasar apa pun, baik dasar ekonomi mau pun dasar lain. Pendiriannya ini disajikan dengan meyakinkan dalam majalah Foreign Affairs bulan April 1953. Waktu penerbitan tulisan itu sangat penting, karena tulisan itu muncul tidak lama setelah John Foster Dulles menyatakan bahwa kebebasan seperti itu tidak mungkin dalam dunia yang berpolarisasi seperti yang dilihatnya bersama dengan Eisenhower, dan bahwa kenetralan Indonesia berarti membantu dan bersekongkol dengan Blok Komunis. Sebaliknya argumentasi seperti itu dan bantuan Amerika untuk pemberontakan-pemberontakan kedaerahan dalam tahun 1957-1958 dianggap Hatta sebagai argumentasi yang bodoh dan keliru, serta merugikan baik bagi Indonesia maupun bagi Amerika Serikat, terutama karena kebijaksanaan ini segera memaksa Jakarta berpaling kepada Uni Soviet untuk memperoleh bantuan militer dan bantuan lain sedemikian rupa, sehingga dianggapnya tidak bijaksana, dan mungkin mengancam politik luar negeri yang bebas. Pada tahun-tahun berikutnya, saya memperoleh kesan bahwa segi ekonomi dalam usaha mempertahankan politik luar negeri yang bebas sangat mengkhawatirkan Hatta, dan dengan demikian dia tampaknya semakin prihatin terhadap meningkatnya ketergantungan Indonesia kepada Amerika Serikat dan Jepang. George McT. Kabin, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002