, SOSIALISASI HUKUM PIDANA DAN PERDATA DALAM PENANGANAN MASALAH I PAPARAN SINGKAT DISAMPAIKAN OLEH : KEJAKSAAN NEGERI MAGETAN 19 JANUARI 2012
Curiculum Vitae NAMA : R.TRIMARGONO, HA,SH.MH TTGL : SURABAYA, 10 DESEMBER 1970 PENDIDIKAN : - FH UNIBRAW MALANG (S.1) - FH UNS SOLO (S.2) - DIKLAT HAKI,PERBANKAN PIDSUS -DIKLAT PIDSUS - DIKLAT PIM III Riwayat Pekerjaan : 1. Tata Usaha Kejaksaan Negeri Sumenep Jatim 2. Jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Selong NTB 3. Jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi Mataram NTB 4 Kepala Sub Seksi Penyidikan pada Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Sumbawa Besar , NTB. 5. Kepala Sub Seksi Penuntutan pada seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Sumbawa Besar,NTB 6. Kepala Seksi Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Sumbawa Besar, NTB 7. Kepala Seksi Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Magetan, Jatim.
I. PENDAHULUAN MATERI INI DISAMPAIKAN DALAM RANGKA PELATIHAN DASAR ADVOKASI HUKUM RUANG BELAJAR MAYSRAKAT RBM) PNPM MANDIRI UNTUK MEMBERIKAN PENCERAHAN DAN SHARING TERKAIT HK PIDANA DAN HK PERDATA DIHARAPKAN DENGAN MEMAHAMI KETENTUAN TENTANG HK PIDANA DAN PERDATA , MAKA DALAM PELAKSANAAN PNPM MANDIRI TAHUN 2012 DI KABUPATEN MAGETAN DIELEMINIR BAHKAN DICEGAH SEDINI MUNGKIN TERJADINYA POTENSI TINDAK PIDANA MAUPUN PERMASALAHAN PERDATA
A. HUKUM PIDANA Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan- kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan. (Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1969),
1.Pembagian Hukum pidana Berdasarkan Sumbernya: Perbedaan menurut sumbernya, hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana umum adalah semua ketentuan pidana yang terdapat/ bersumber pada kodifikasi KUHP, sering disebut dengan hukum pidana kodifikasi. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Hukum pidana khusus ini dibedakan atas dua kelompok, yaitu : - Kelompok peraturan per-UU hukum pidana. - Kelompok peraturan per-UU-an bukan dibidang hukum pidana, namun didalamnya terdapat ketentuan pidananya -Menurut wilayah berlakunya hukum pidana
Keseluruhan tindak pidana yang termasuk dan diatur dalam KUHP dan belum diatur secara tersendiri dalam Undang- undang khusus, seperti diantaranya: Makar, Pemerkosaan, Pelecehan seksual dan pencabulan Pembunuhan Penganiayaan Menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan Pencurian Penggelapan Penipuan Dst. 2. Pidana Umum :
3.Tindak Pidana Khusus. Pengertian umum: aturan pidana di luar KUHP yang mengatur tentang tindak pidana tertentu — Pengertian khusus: aturan pidana di luar KUHP yang mengatur tentang tindak pidana tertentu, dilakukan oleh orang tertentu, dan mempunyai hukum acara (formil) tertentu Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian : Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap). Contoh Hukum tindak Tindak Pidana Khusus Hk. Administrasi Hk. Pidana Ekonomi ( UU No 7 Drt 1955). TP. Korupsi; /> UU lain. Hubungan : Hk. TP Khusus – Hk Pidana Umum, Hk. Pidana Umum – Hk. TP.Pid Khusus Ps 103 KUHP ------- ----=Melengkapi
3.a. PENGERTIAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, dalam bahasa Inggris disebut corruption, yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian yang disangkutpautkan dengan keuangan negara. Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu permasalahan serius yang dihadapi bangsa dewasa ini, karena sudah merambah keseluruh struktur masyarakat dan semua bidang kehidupan, dan akibatnya bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga pelanggaran hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta merusak tata nilai moral bangsa bahkan dapat berdampak lebih luas, yaitu mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, baik masyarakat Indonesia sendiri maupun masyarakat internasional.
Sekarang ini, sudah berkembang dan meluas bahwa seseorang melakukan korupsi bukan hanya sekedar untuk mempertahankan hidup karena gaji kecil atau ingin menjadi kaya, tetapi ada kecenderungan orang melakukan korupsi karena termotivasi untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, sehingga pelakunya bukan hanya Pegawai Negeri dan Swasta, tetapi juga para politisi atau pejabat publik. Modus operandi atau cara melakukannya sudah semakin canggih dan melibatkan keahlian (konsultan hukum dan keuangan, dan sebagainya) serta sudah menjadi fenomena trans nasional.
1. Tindak Pidana yang merugikan keuangan negara; 3.b BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI (UU NO.31/1999 JO UU NO.20/2001) 1. Tindak Pidana yang merugikan keuangan negara; Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
3. Penggelapan dan Pemalsuan (Pasal 8, 9 dan 10) 2. Penyuapan Pegawai Negeri, Hakim dan Advokat (Pasal 5, 6 dan 11) 3. Penggelapan dan Pemalsuan (Pasal 8, 9 dan 10) 4. Pemerasan dalam jabatan (Pasal 12) 5. Perbuatan yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dengan rekanan (Pasal 7) 6. Gratifikasi (Pasal 12, 13) 7. tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 21, 22, 23 dan 24)
3.c.Aspek Pidana dalam UU Korupsi — Jenis pidana yang diancamkan mati, penjara seumur hidup, penjara waktu tertentu (1 – 20 th), denda (50 juta – 1 M). — Pidana mati dapat dijatuhkan (Pasal 2) jika korupsi dilakukan dalam hal tertentu, yaitu pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, krismon, atau pengulangan korupsi. — Ketentuan pidana telah mengenal pidana minimal khusus dan maksimal khusus, sebagai batasan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku. Ketentuan ini baru karena dalam KUHP hanya mengenal pidana maksimal umum dan minimal umum. —
Lanjutan aspek pidana Pidana bagi percobaan, permufakatan jahat, pembantuan tidak ada pengurangan 1/3 sebagaimana dalam KUHP, akan tetapi dipidana sama seperti pelakunya (Pasal 15 dan 16). — Pidana tambahan (Pasal 18) : perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan usaha, pencabutan hak. — Adanya pidana penyitaan harta benda pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan. — Dikenal adanya pidana penjara pengganti jika terdakwa tidak mampu membayarkan pidana pembayaran uang pengganti dengan maksimum tidak melebihi pidana pokoknya. — Pidana denda bagi pelaku korporasi diperberat dengan ditambah 1/3 dari pidana denda pokok untuk pelaku orang/manusia (Pasal 20).
Perseorangan, meliputi : - Pegawai Negeri, (Pasal 1) a. Pasal 92 KUHP 4. Penjabaran unsur pasal-pasal tipikor Pasal 2 UU No.31 tahun 1999 Unsur “Setiap Orang “ meliputi : 1. Perseorangan 2. Korporasi Perseorangan, meliputi : - Pegawai Negeri, (Pasal 1) a. Pasal 92 KUHP b. UU No.30 Tahun 1999, jo UU No.20 Tahun2001 c. UU No.28 Tahun 1999 d. Pasal 1 (2) UU No.31 Tahun 1999 - TNI / POLRI - Swasta Pasal 1 (3) UU No.31 Tahun 1999 Korporasi, ialah : Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1)
. Pengertian “Melawan Hukum” Pengertian melawan hukum ini sejak Putusan Judicial Review MA No. 003/PUU-IV/2006 diartikan hanya perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis. Namun dalam hal pengelolaan keuangan negara harus tetap memperhatikan azas Kepentingan Umum, Proporsionalitas , dan Akuntabilitas.
Unsur “Melakukan Perbuatan” Selama ini unsur “melakukan perbuatan” memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dianggap hanya satu unsur saja, sehingga yang dibuktikan hanya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, tanpa membuktikan apakah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan tujuan atau dikehendaki. Unsur “melakukan perbuatan” sama maknanya dengan unsur “dengan maksud” pada Pasal 362 KUHP, yang artinya dikehendaki atau sengaja, yang merupakan unsur subyektif pada pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 ini. Membuktikan unsur “melakukan perbuatan” dengan menggunakan teori kesengajaan, yaitu : - Wilstheorie - Voorstellingtheorie Bagian inti suatu delik meliputi unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif meliputi unsur “ Kesalahan “ yang terdiri dari : - Sengaja / Opzet, dan - Lalai / Culpa Tidak ada pidana tanpa kesalahan
Unsur “Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi Pengertian memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi harus dikaitkan dengan Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001 : - Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. - Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan, yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi - Pasal ini merupakan alat bukti “petunjuk” dalam perkara korupsi
Setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi : (Pasal 38B ayat (1) UU No. 20 tahun 2001) Dalam hal terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi. Merupakan beban pembuktian terbalik. (Pasal 38B ayat (2) UU no. 20 tahun 2001. Unsur memperkaya diri sendiri telah terbukti.
Menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Unsur-Unsurnya : Setiap orang Dengan tujuan Menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Unsur “Setiap Orang” Pada dasarnya sama dengan unsur “setiap orang” pada Pasal 2 di atas Yang perlu diperhatikan kalau terjadi delik penyertaan, antara pejabat dan bukan pejabat, antara yang punya kewenangan dan yang tidak punya kewenangan. Pastikan kapan perkara displit dan kapan tidak dalam hal terjadi delik penyertaan. . Unsur “Dengan Tujuan” Unsur ini juga sama dengan unsur “melakukan perbuatan” pada Pasal 2 di atas, sehingga penyidik maupun penuntut umum harus bisa membuktikan adanya unsur sengaja untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan. Dengan tujuan dimaksudkan sama dengan “dengan maksud” artinya sengaja. Setiap unsur yang ada sesudah unsur sengaja diliputi oleh unsur sengaja tersebut, artinya unsur menguntungkan diri sendiri, unsur menyalahgunakan kewenangan dan unsur dapat merugikan keuangan negara, semuanya diliputi dengan sengaja dan karenanya harus dibuktikan adanya kesengajaan untuk itu.
Unsur “Menguntungkan diri Unsur “Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” Unsur itupun pada dasarnya sama dengan unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” pada Pasal 2 di atas. Jadi untuk membuktikan unsur ini hendaknya dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU No. 31 tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001. Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tidak selalu dalam bentuk uang akan tetapi dapat meliputi pemberian, hadiah, fasilitas, dan kenikmatan lainnya.
Pengertian “Menyalahgunakan Kewenangan, kesempatan, sarana yang ada karena jabatan atau kedudukannya Pengertian “menyalahgunakan kewenangan” berarti menyalahgunakan kewajiban yang dibebankan oleh atau yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang menunjukkan “posisi” subjek hukum selaku pegawai negeri di institusi tempat dia bekerja, menyalahgunakan kesempatan berarti menyalahgunakan peluang atau waktu yang ada yang seharusnya dipergunakan menjalankan kewajibannya sesuai dengan jabatan dan kedudukan, sedangkan menyalahgunakan sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan berarti menyalahgunakan atribut yang menjadi instrumen sesuai dengan tujuan dan fungsi institusi.
Unsur ini merupakan unsur melawan hukum dalam arti sempit atau khusus. Unsur ini merupakan unsur alternatif dari 6 (enam) kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu : 1. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan 2. Menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan 3. Menyalahgunakan kesempatan karena jabatan 4. Menyalahgunakan kesempatan karena kedudukan 5. Menyalahgunakan sarana karena jabatan, atau 6. Menyalahgunakan sarana karena kedudukan Dalam praktek hampir tidak pernah kita jumpai pilihan salah satu dari enam pilihan unsur yang tepat berdasarkan fakta yang ada, baik dalam berkas perkara hasil penyidikan, surat dakwaan, surat tuntutan bahkan dalam pertimbangan putusan pengadilan sekalipun. Putusan MARI Tanggal 17-02-1992 No. 1340K/Pid/1992, memperluas pengertian Unsur Pasal 1 ayat (1).b UU No.3 Tahun 1971, dengan cara mengambil alih pengertian “ menyalahgunakan kewenangan “ Yang pada Pasal 53 ayat (2) b UU No. 5 Tahun 1986 sehingga unsur “ menyalahgunakan kewenangan “ mempunyai arti yang sama dengan pengertian perbuatan melawan hukum Tata Usaha Negara yaitu, bahwa pejabat telah menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu.
Doktrin : menurut JEAN REVERO dan JEAN WALIME Pemyalahgunaan kewenangan dalam hukum Administrasi diartikan dalam tiga wujud, yaitu : a. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan- tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. b. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain. c. Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. (Dr.H.Parman Soeparman, SH,Tuada Pidana Mahkamah Agung RI)
. KEUANGAN NEGARA/DAERAH 1. Keuangan Negara (UU No. 31 Tahun 1999) : Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya bagian kekayaan negara dengan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. Berada dalam penguasaan, pengawasan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. b. Berada dalam penguasaan, pengawasan, dan pertanggung jawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian negara.
3. Kerugian Negara/Daerah : 2. Keuangan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) : Semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan hak dan kewajibannya. 3. Kerugian Negara/Daerah : Kekurangan uang, surat berharga,dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 butir 22 UU No.1/2004). 4. Bentuk-bentuk Kerugian Negara : - Penggunaan anggaran diluar peruntukan. - Penggunaan anggaran lebih besar daripada seharusnya digunakan. - Hilangnya sumber/kekayaan negara yang seharusnya diterima. - Penerimaan negara lebih kecil daripada seharusnya diterima.
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 5. Perhitungan Kerugian Keuangan Negara : - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). - Instansi lain yang mempunyai kemampuan dan wewenang. 6. Pengembalian kerugian Keuangan Negara : Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku Tindak Pidana (Pasal 4)
Perbedaan pengertian kerugian negara yang diatur dalam UU No Perbedaan pengertian kerugian negara yang diatur dalam UU No. 1 tahun 2004 dengan UU No. 31 tahun 1999 jo U No. 20 tahun 2001 Pengertian kerugian negara dalam pasal 1 angka 22 UU tahun 2004 adalah kerugian daerah yang meliputi berkurangnya uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai; pengertian ini termasuk lingkup administrasi negara; * Sedangkan pengertian kerugian negara yang dimaksud dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 adalah kerugian keuangan negara dalam lingkup pidana yang memaknai pengertian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi tersebut seperti spesifik mengaju kepada azas lex spesialis deragat, lex generalis dan azas lex superior deragat legi inferiori; * Apabila seseorang diduga melakukan tindak pidana korupsi maka yang diterapkan adalah pengertian kerugian negara yang digariskan dalam Undng-Undang tindak pidana korupsi.
Pengertian Pegawai Negeri Pengertian “pegawai negeri” adalah menurut pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, yaitu : A. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepegawaian; B. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana; C. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; D. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau E. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat;
.Pengertian Gratifikasi Gratifikasi yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Menurut pasal 12 B UU No 20 Thn 2001, Gratifikasi kepada pegawai negeri/penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pengecualian – Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 12 C ayat 1) Suap (bribery) – Ps.5 UU 31/99 jo UU 20/01 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri / Penyelenggara Negara dengan maksud supaya ybs berbuat/tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. (Berlaku untuk yg memberi dan yg diberi) – Diadopsi dari pasal 209 KUHP. Ancaman pidana min 1 tahun maks 5 tahun dan atau denda min Rp 50 jt maks Rp 250 jt.
STRATEGI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI a. Pencegahan (Preventif) : Diarahkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya Tindak Pidana Korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor penyebab atau peluang antaralain : - Komitmen dari pegawai negeri sipil/penyelenggara negara; - Teliti sebabnya dengan mencari solusi untuk menghilangkan/ mengurangi; - Menyempurnakan manajemen/prinsip-prinsip Good Governance; - Kampanye anti korupsi di seluruh lapisan masyarakat; - Tingkatkan kualitas pengawasan (waskat, wasnal dan wasmas); - Tingkatkan fungsi pengawasan - Pemberian Reward bagi petugas/pejabat yang memiliki integritas moral dan mampu meningkatkan pendapatan daerah. - Pelaporan harta kekayaan pejabat/penyelenggara negara b. Penindakan. - Pemidanaan . - Gugatan perdata. .
TITIK RAWAN POTENSI KORUPSI PADA PNPM MANDIRI. BEBERAPA indikasi kecurangan dan penyimpangan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri dapat dilihat dari peta kegiatan yang dilaksanakan. Modus-modus yang jamak terjadi diantaranya berupa : - penyalahgunaan dana BLM dengan cara dipotong dan diserahkan sebagaian kepada yang berhak menerimadan - penyalahgunaan dana bergulir, - mark-up harga dan volume, - kegiatan fiktif
b. Penindakan (Represif) - Penegakkan / penerapan hukum : azas “Lex Certa” (Jelas, pasti dan tidak meragukan); - Menerapkan nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan; - Penegak hukum yang mempunyai kemampuan teknis, manajerial, jujur dan berani; - Tingkatkan koordinasi sesama antar penegak hukum untuk persamaan persepsi, tujuan dan rencana tindak; - Komitmen yang kuat dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi.
B. HUKUM PERDATA Hukum Privat adalah hukum yang baik materia ataupun prosesnya didasarkan atas kepentingan pribadi-pribadi. Hukum Perdata masuk dalam kategori hukum privat ini. Menurut Sianturi, Hukum Perdata adalah ketentuan- ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan penguasa sebagai pribadi .perseorangan (bukan funsinya sebagai pejabat) Contoh perbuatan hukum perdata: jual beli dengan sitem kredit atau cicilan. Hutang piutang . Kredit.
C. PENUTUP Dalam mengelola keuangan Negara / Daerah, perlu diperhatikan asas kepentingan umum, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Perlunya komitmen yang kuat dari pegawai negeri/penyelenggara negara atau para pihak terkait untuk tidak melakukan korupsi atau terjerat perkara pidana maupun perdata. Khusus kaitannya dengan tindak pidana korupsi, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi dengan melakukan penataan baik dari aspek perundang-undangan maupun kelembagaan, namun belum menampakkan hasil yang signifikan untuk menekan / mengurangi terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Korupsi tidak akan terberantas hanya dengan penjatuhan pidana berat saja, diperlukan adanya strategi baik yang bersifat pencegahan (preventif), pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) terhadap masyarakat akan bahaya korupsi, maupun penindakan.
SELAMAT BEKERJA TERIMA KASIH TELAGA SARANGAN INDAH DAN ELOK NIAN KALAU ADA KESALAHAN MOHON KIRANYA DIMAAFKAN SELAMAT BEKERJA TERIMA KASIH