Taungya/Tumpangsari dan Perladangan Berpindah Foto: kawasan hutan kayu putih, KPH Indramayu © Budiadi
Klasifikasi agroforestri berdasarkan pengaturan waktu/temporal
Taungya/Tumpangsari Taungya (bhs. Burma): taung = hill, ya = plantation, diciptakan pertengahan th. 1800-an pada masa kolonialisme Inggris Waldfeldbau: cultivation of agricultural crops in forest Teknik permudaan hutan jati dengan melibatkan petani pada periode awal pertanaman. Ada 2 pihak yang terlibat, yakni pemilik hutan dan petani miskin Ada mekanisme saling menguntungkan antara pemilik lahan dan petani, apakah itu? Forest Village System di Thailand tahun 1967 mrp modifikasi taungya dan inovasi yang cukup berhasil untuk merelokasi peladang berpindah. Konsep taungya: Bhw komponen utama dalam taungya adalah pohon, sedangkan dalam agroforestri pada umumnya adalah tanaman pangan Kelemahannya a.l. setelah ditinggal petani, pohon tidak terawat
Alasan mengapa taungya diintroduksi ke Indonesia/ Jawa (Becking 1928, Beekman 1948): Biaya pembangunan tegakan jati Produk tambahan (additional income) dari pertanian pada periode awal dari pertanaman Pemeliharaan tanaman (kayu) muda lebih baik Reclaim tanah kosong (wasted lands) melalui pertanian sebelum pembangunan hutan bosokan Kebutuhan lokal akan tanah pertanian yang baik Tetapi: Apa yang lebih diutamakan? A prerequisite of taungya is forestry, the own objectives of the forest entreprise may not be hindered by increased food production (Hellinga 1953) Tidak mungkin mencetak orang kaya dari bertani di hutan (pesanggem) karena luas rata-rata lahan 0.25 ha.
Kebutuhan tenaga kerja untuk reforestasi di Thailand Jenis pertanaman Kebutuhan tenaga kerja (HOK/ha) Jati Tahun pertama Tahun kedua Total 124,44 45,06 169,50 Non-jati 142,25 58,06 200,31
Subsidi petani kepada Perhutani melalui pekerjaan tanam* Pengeluaran petani per ha Pemasukan dari Perhutani Pekerjaan HOK/ha Rp Tarif upah 24.000 Uang kontrak Babat/resik 46 414.000 Gebrus 1 133.71 1.203.390 100.000 Uang pengolahan Gebrus 2 38 342.000 Bahan baku 9.000 Buat acir 2 18.000 Pasang acir 4 36.000 11.110 Buat & pasang acir Langsir bibit 14.81 133.290 Tanam bibit 31.15 280.350 Alat pertanian 33.333 1.722.800 Hasil tumpangsari sebagai upah 2.463.363 1.880.130 * Laporan bulanan ARuPA, studi kasus sembilan desa di BH Randublatung, 2001
Tumpangsari di Jawa Sejarah Tumpangsari konvensional (3x1 m): Pertama kali dikenalkan di Jawa tahun 1873, di Perhutani Jati dan tanaman sela Luas lahan tumpangsari hampir tak terbatas Tumpangsari konvensional (3x1 m): Untuk meminimalkan biaya penanaman Menghasilkan produk pangan Untuk mengelola tanaman muda secara lebih baik Intensifikasi tumpangsari (6x1 m): Pemilihan varietas tanaman pangan yang unggul Pengelolaan lahan dengan lebih baik Penggunaan pupuk Penanganan hama dan penyakit Penanaman dan pemupukan secara tepat waktu, sesuai curah hujan Perkembangan pola tumpangsari Sistem bosokan Contoh: pola MR (jarak tanam menyesuaikan keberadaan petani) ………
Pola tumpangsari jati tanaman pengisi? tanaman pagar? : tanaman jati : tanaman sela tanaman pagar?
Tanaman jati prospektif L 0,25 m 6 m J : tanaman jati L : tanaman pengapit
Manajemen rejim (MR) jati Kawasan Hutan MR2 MR3 Desa
Analogi sistem MR pada hutan rakyat Hutan/Alas Tegalan Pekarangan
Sekilas perladangan berpindah Istilah lain: swidden cultivation, slash and burn agriculture (SAB), shifting cultivation Sistem pengelolaan mengacu pada pengaturan hasil Ciri: tradisonal, subsisten, tanpa input Prospek ekologis “Tembawang” Apa yang dimaksud forest fallow Resettlement peladang berpindah …….. (Terbentuknya suksesi secara alami)
Tumpangsari dan perladangan berpindah: Perbedaannya : Lokasi, Jawa dan luar Jawa (: tekanan penduduk, kesuburan tanah) Tingkat intensitas pengelolaan Fasilitas yang diperoleh petani (Sequential vs simultaneous) Tumpangsari = improved shifting cultivation Tumpangsari tradisional, konvensional Jika peladang sudah memiliki skema yang baik Jika pemilik hutan sudah memiki kepedulian terhadap kerusakan hutan oleh peladang
Siklus Pertanaman Sistem perladangan berpindah Sistem tumpangsari 3 13 Masa bero diakhiri, bakar Masa bero dimulai Masa bero dimulai lagi Natural forest fallow Food crops Musim tanam kembali Kesuburan tanah menurun Kesuburan tanah menurun 3 13 16 26 Sistem perladangan berpindah Penanaman simultan pohon dan palawija Pemanenan pohon dan penanaman palawija Planted forest fallow Food crops Naungan kanopi, budidaya palawija dihentikan 3 10 13 20 Sistem tumpangsari
Taungya vs shifting cultivation The taungya system can be considered as another step in the process of transformation from shifting cultivation to agroforestry. While shifting cultivation is a sequential system of growing woody species and agricultural crops, taungya consists of the simultaneous combination of the two components during the early stages of forest plantation establishment (Nair 1993) Taungya is a system of plantation forestry which crops are planted between the tree seedlings, for the first few years of the rotation. Taungya solves two problems: provides for re-establishment of high value timber that will provide much needed income in future years, stabilizes the peasants, and reduces the destruction caused by shifting cultivation (Gajaseni 1992) <Back
Tumpangsari (?) yang lain …………………………….
Terima kasih
Thinking as with other`s way (Berpikir dengan jalan pikiran orang lain) ごめん (Maap!) Gjhasg!! Kring..kringg!!