Tertib Itu Indah Memang benar apa yang dikatakan kawan saya itu sebab jadwal kerja Ayah luar biasa rapinya. Bayangkan saja, setiap hari, persisi pada jam 4.30 pagi, Ayah bangun. Setelah itu beliau sembahyang, kemudian berolahraga ringan selama satu jam, sesudah itu mandi selama 15 menit dan berpakaian. Kemudian dari pukul 6.30 hingga jam 7.00 Ayah senantiasa mendengarkan siaran RRI sambil sarapan pagi, kemudian memberikan Jonkheer dan kawannya makanan kecil. Tepat pada pukul 7.30 biasanya Ayah mulai ke kamar kerja muka dan membaca koran selama setengah jam hingga jam 8 tepat, di saat Pak Wangsa Widjaja masuk ke ruang kerja Ayah. Acara pagi hari dimulai dengan mendengarkan agenda acara hari itu, tamu-tamu siapa saja yang akan menjumpai Ayah. Saya memang senantiasa merasa heran sebab jarang sekali rumah di Jalan Diponegoro itu bebas dari tamu barang sehari pun, padahal Ayah bukanlah seorang pejabat lagi. Kehidupan Ayah tidak ubahnya seperti kehidupan orang yang bukan pensiunan. Umumnya tamu-tamu yang datang dari golongan kecil (petani) hingga duta besar, bahkan sering juga beberapa menteri negara. Ada kalanya yang datang adalah tamu dari negara asing yang kebetulan berkunjung ke Indonesia dan sengaja ingin menemui Ayah, misalnya almarhum Perdana Menteri Ali Bhutto. Acara kesibukan Ayah haruslah berakhir pada jam 12.30 siang tepat. Setelah itu, Ayah akan ambil air sembahyang dulu menunggu datangnya waktu makan siang yaitu jam 13.00 siang tepat. Biasanya kami makan sambil bercakap-cakap hingga jam 13.25 siang kemudian pindah tempat duduk untuk mulai makan buah di ruang keluarga hingga jam 13.45. Setelah itu Ayah langsung tidur siang hingga jam 15.00 siang. Tepat pukul 15.00 weker Ayah berbunyi, lalu beliau langsung berolahraga, mandi dan bersembahyang hingga 15.55. Mulai dari jam 16.00 hingga jam 19.30 Ayah berada di ruang atas. Selain membaca buletin Antara, Ayah juga belajar ataupun menulis buku di perpustakaan. Umumnya Ayah melakukan sembahyang magrib tepat pada waktunya. Dari jam 19.30 hingga pukul 20.00, Ayah duduk di ruang keluarga sambil membaca koran sore Sinar Harapan atau bercakap-cakap dengan anggota keluarga yang sedang duduk di ruang itu. Tepat pukul 20.00 malam, kami makan bersama. Jonkheer dan kawan-kawannya mendapat porsi malam sebelum
kami pindah untuk makan buah di ruang keluarga kami pindah untuk makan buah di ruang keluarga. Kami bercakap-cakap di tempat ini sambil menyaksikan warta berita TVRI. Tepat jam 22.00 malam biasanya Ayah mengatakan ingin tidur, dan Ayah yang manis itu senantiasa mengatakan pada Ibu: “Yuke, Kak Hatta tidur dulu.” Kami mempunyai kebiasaan untuk mencium orangtua kami sebelum kami pergi ke sekolah dan juga bilamana kami hendak pamit untuk tidur malam. Biasanya anak-anak tidur antara jam 21.00 hingga jam 22.00 malam. Tetapi bilamana ada mata acara TVRI yang menarik, kami diperbolehkan tidur hingga selesainya acara, meskipun semuanya dengan peringatan agar pekerjaan rumah kami telah selesai dikerjakan. Ayah sering menanyakan apakah besok kami ada ulangan di sekolah. Bilamana ada, Ayah hanya mengatakan kami menghafal secara baik, tetapi yang penting menurut Ayah adalah mengerti akan masalahnya. Sering orang hanya menghafal secara mati tetapi tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Menurut Ayah, ini adalah pekerjaan yang salah. Melihat begitu rapinya jadwal kerja Ayah setiap harinya, maka saya sering bertanya kepada satu-satunya kakak kandung Ayah, “Bagaimana caranya Mak Gaek dulu mendidik Ayah sehingga mempunyai kedisiplinan sekeras itu terhadap dirinya sendiri?” Mak Tuo R. Lembaq Tuah hanya mengatakan, “Semuanya berpangkal pada kemauan Ayah sendiri untuk hidup secara tertib.” Memang betul bahwa rasa disiplin yang terbaik itu datangnya bukanlah secara dipaksa dari luar tetapi dari dalam hati. Seluruh kehidupan Ayah telah membuktikan suatu kedisiplinan hidup yang luar biasa. Beliau tidak pernah terus-menerus menekankan kepada kami untuk hidup berdisiplin. Tetapi dari cara hidup Ayah yang penuh contoh kedisiplinan pribadi, kami secara tidak langsung dipengaruhi beliau. Di sinilah kehebatan Ayah. Bagi beliau, meneladani adalah jauh lebih bermanfaat daripada mengindoktrinasikan. Gemala Rabi’ah Chalil Hatta, Pribadi Manusia Hatta, Seri 2, Yayasan Hatta, Juli 2002