Pandangan Gereja Terhadap Pernikahan Beda Agama Pemahaman Alkitab Interaktif Komisi Dewasa GKI Cinere 16 Oktober 2012 Pdt. Tohom Tumpal Marison Pardede
Kawin Campur: Tradisi Perjanjian Lama Pernikahan beda agama, dalam sejarahnya sering disebut perkawinan campur; Dalam tradisi Perjanjian Lama (PL), dipengaruhi oleh keterpilihan Israel sebagai bangsa yang terpilih dan kudus; Ini menyebabkan eksklusivisme dengan sikap memisahkan diri dari bangsa-bangsa lain yang kafir;
Pemisahan ini ditempuh agar bangsa pilihan tidak tercemar dari sikap menyembah ilah lain, yang acapkali digambarkan dengan penyembahan pada dewa-dewa, yang sesungguhnya tidak apa-apanya dibandingkan Yahweh (TUHAN); Juga karena pemahaman bahwa bangsa-bangsa bukan Israel akan dilenyapkan TUHAN, oleh sebab mereka melakukan penyembahan berhala. Umat Tuhan saja dihukum, apalagi bangsa lain. (Keluaran 7: 21-26, 23: 23)
Kawin antara orang Israel dengan orang kafir; Itu juga berarti kawin campur antara orang-orang yang berbeda agama; Kawin campur dinilai negatif karena alasan religius, sosiologis, politis; Namun ada juga yang tidak negatif, tetapi mungkin tidak etis dan tidak adil, seperti dalam Ulangan 21: 10- 14.
Kawin campur dilarang karena bahaya untuk iman akan Yahweh (TUHAN), karena sangat memungkinkan untuk umat beribadah kepada allah lain, terutama juga menyangkut pendidikan iman anak-anak. (Keluaran 34: 12- 16 dan Maleakhi 2: 10- 15); Bahkan dalam zaman Ezra dan Nehemia, hal ini lebih keras dan tegas (Ezra 2: 59- 62, Nehemia 7: 61- 65). Tidak ada dalam silsilah, tersingkir.
Ezra 9: 2, menyebutkan bercampurnya “benih yang kudus” dengan penduduk negeri (bangsa bukan Israel). Ini lebih kepada ketidaksetiaan umat Tuhan yang ada di pembuangan yang melakukan kawin campur; Hasil kawin campur (laki-laki umat Tuhan memperisteri perempuan asing), baik perempuan asing dan anak-anak yang lahir darinya disuruh pergi, diusir, termasuk yang dikawini oleh para imam sekalipun (Ezra 10).
Nehemia pun menyampaikan sikap yang luar biasa tegas terhadap perkawinan campur, bahkan dengan menyebutkan raja Salomo, yang juga terbawa ke dalam dosa dan berubah setia oleh karena perempuan-perempuan asing (Nehemia 13: 22b- 31); Juga menentang hal ini lebih karena para imam telah mencemarkan jabatannya dan mencemarkan perjanjian Tuhan dengan para imam Lewi.
Kawin Campur: Tradisi Perjanjian Baru Yang pertama meneruskan semangat Perjanjian Lama, bahwa yang disebut kawin campur adalah antara orang beriman dengan orang tidak beriman kepada Yesus Kristus; Dalam 2Korintus 6, disebut pasangan yang tidak seimbang, diperbandingkan antara kebenaran dan kedurhakaan, antara terang dan gelap, antara Kristus dan Belial, antara orang percaya dan tidak percaya, bait Allah dan berhala (14-16).
Kawin Campur: Tradisi Perjanjian Baru Yang kedua adalah situasi di mana sebelumnya tidak beriman, namun salah satu kemudian beriman. Dalam bahasa 1Korintus 7 suami/isteri yang beriman menguduskan isteri/suami yang belum beriman. (13- 16) Model yang sama dengan ini ditampakkan dalam 1Petrus 3: 1- 7, khususnya ayat 1. Bahwa lebih banyak kaum perempuan/isteri yang lebih dahulu menjadi kristiani.
Alasan sikap ini Adalah biologistis-Mekanistis, yaitu bahwa sekarang termasuk anak-anak termasuk dalam lingkaran orang-orang kudus; Adanya peluang tawaran iman dan rahmat yang menguduskan, yaitu rahmat penebusan (sebutkan contohnya!)
Alasan sikap ini Adalah antropologi semitis, yaitu gagasan personalitas korporatif, berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok orang mengambil bagian dalam suka duka anggota lain; Adanya kesatuan erat suami isteri, satu daging, demikian juga bagi anak-anak dalam kesatuan dengan orangtuanya
Kaum Proselit dan Samaria Kaum proselit yaitu kaum penganut agama Yahudi yang berasal dari non Yahudi (simpatisan ke-Yahudi-an). Lalu yang dalam Perjanjian Baru lebih condong kekristenan. Tetap perkawinannya disebut sebagai kawin campur, dan inipun ditentang oleh kaum Yahudi; Perkawinan antara Yahudi dengan Yahudi (+), yaitu Samaria, juga dapat disebut perkawinan campur, ini pun juga dilarang.
Dalam Pandangan Bapa-Bapa Gereja dan Sejarah Gereja Tertulianus: Kawin campur merupakan hubungan yang tidak murni; Cyprianus: Kawin campur berarti mencemarkan anggota-anggota Kristus (“prostituere gentilibus membra Christi”); Konsili Elvira (± 300M): mempermasalahkan orangtua yang menikahkan puterinya dengan orang kafir (bukan kristiani), tanpa ancaman hukuman;
Pandangan Bapa-Bapa Gereja Masih konsili Elvira (± 300M): memberikan hukuman tapa 5 tahun kepada orangtua yang menikahkan puterinya dengan orang Yahudi. Menurut konsili justru lebih membahayakan iman kristiani, jika seorang katolik (kristiani) menikah dengan seorang Yahudi atau seorang dari anggota bidat. Jika dengan orang kafir masih ada peluang untuk pertobatan, sementara ini tidak.
Pandangan Bapa-Bapa Gereja Konsili Orleans (314M): menghukum pemudi yang kawin dengan orang kafir dengan pengucilan dari ekaristi (terkena siasat gereja atau penggembalaan khusus); Kosili Laodisea (pertengahan abad 4): mengizinkan perkawinan campur jika hanya si kafir menjadi katolik (kristiani); Konsili Hipo dan Kartago (akhir abad 4): melarang perkawinan anak-anak uskup dan klerus dengan non katolik (kristiani).
Pandangan Bapa-Bapa Gereja Konsili Chalsedon (451M): melarang dan mengancam dengan hukuman perkawinan rohaniawan dengan perempuan Yahudi, bidat dan kafir; Zaman Reformasi: Larangan perkawinan beda gereja (Katolik Roma dan Kristen Protestan). Setiap non Katolik Roma dituntut perobatan, atau anak-anak terjamin pendidikan iman Katolik Roma.
Pandangan Bapa-Bapa Gereja Masih zaman Reformasi: Jika terjadi perkawinan beda gereja (Katolik Roma dan Kristen Protestan), lalu dari perkawinan itu lahir anak-anak, maka laki-laki ikut ayahnya dan jika perempuan ikut ibunya. Pemahaman seperti ini masih ada sampai sekarang.
Dari Sudut Teologi Keselamatan Kawin campur “dilarang” karena dipandang sebagai faktor penghambat atau faktor risiko yang membahayakan pencapaian keselamatan (Filipi 2: 12), yaitu bahwa percaya itu bukan hanya dengan mulut tetapi juga dengan hati (Roma 10: 9); Anak dari kawin campur pun mempengaruhi sikap gereja terutama dalam pembaptisan anak, sebab yang sering terjadi adalah pasangan kawin campur mengabaikannya
Dari sudut Teologi Moral Perkembangan hidup beriman keluarga (suami-isteri, orangtua-anak) terganggu, bahkan bisa terhambat. Kapan “couple power” suami isteri tampak? Juga kapan “family power” terwujud, jika ada perbedaan iman di dalamnya? Mengganggu upaya pertumbuhan iman suami/isteri dan anak-anak (pendidikan iman).
Penggenapan Efesus 5: 22- 33 Terhambatnya perwujudan “rahasia ilahi” atau “misteri agung” soal perkawinan atau pernikahan, soal relasi suami isteri; Terhambatnya perwujudan sikap tunduk, sikap mengasihi dan sikap mengampuni, dalam kehidupan suami isteri yang adalah gambaran Kristus dan jemaat (sebab satu pihak tidak dapat mewujudkan); Apakah istilah “satu tubuh” dan “satu daging” relevan untuk kawin campur? (Tentu TIDAK)
Kawin Campur: Masa Kini (Fridolin Ukur: Dialog PGI-KWI, 12- 14 Maret 1987, di Malang) Kawin campur (matrimonia mixta) yang dipahami sekarang ini adalah kawin campur beda agama disparitas cultus) dan kawin campur beda gereja (mixta religio); Mereka dianjurkan menikah secara sipil, di mana mereka tetap menganut agama masing-masing; Mereka dikenakan “penggembalaan khusus”; Pada umumnya tidak diberkati;
Ada beberapa gereja yang memberkati perkawinan tersebut dengan mensyaratkan, bahwa si non-Kristen, mau menjadi Kristen (nantinya); Ada juga yang mensyaratkan, bahwa si non-Kristen bersedia diberkati secara gereja, juga memberikan pernyataan bahwa kelak jika mempunyai anak, anak/anak-anak boleh dibaptis. (GKI termasuk di sini, Talak GKI Jawa Tengah, 1995, Bab V, Pasal 1, Ayat 26, butir 2.a.3 dan Talak GKI, 2003, Bab X, Pasal 30, butir 9.b. ) Ada juga gereja yang tidak memberkati perkawinan tersebut , malah mengeluarkan anggota yang kawin campur itu dari Gereja;
Kawin Campur Beda Gereja Dengan adanya PSMSM (Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima), maka perkawinan campur antargereja anggota PGI sudah sepenuhnya diterima; Dalam hubungannya kawin campur antara Gereja anggota PGI dan Gereja Katolik Roma, juga telah diterima dengan beberapa persyaratan (Talak GKI Jawa Tengah, 1995, Bab V, Pasal 1, Ayat 26, butir 2.a.2 dan Talak GKI, 2003, Bab X, Pasal 30, butir 9.c; Pedoman Pelaksanaan, Bab I)
Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja Bagi Gereja Katolik, kawin campur beda agama, diberikan ruangan dengan apa yang disebut dispensasi, mengacu Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 Kanonik 1125, yang tidak jauh beda degan Talak GKI Jateng atau Talak GKI (Kawin Campur, hl. 20-21); Sementara itu kawin campur beda Gereja, dapat dilaksanakan dengan mendapat ijin dari Waligereja (keuskupan) untuk dicatatkan dalam Berkas Kanonik (KHK 1983 Kanonik 1124-1128)
Peraturan dan Surat Keputusan Kawin Campur (KC, hl. 126, 132-133) UU RI No. 1/1974 tentang Perkawinan, pasal 66; Peraturan Perkawinan Campuran 1898 No. 158, pasal 6; Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen 1933 No. 74, pasal 75 dan 76; Surat Ketua Mahkamah Agung RI, Nomor: KMA/72/IV/1981, 20 April 1981 tentang Pelaksanaan Perkawinan Campuran
Peraturan dan Surat Keputusan Kawin Campur Keputusan (Pj.) Kepala Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta no. 2183/1.755.2/CC 1986, tanggal 12 Agustus 1986 tentang Petunjuk Penyelesaian Pelaksanaan Perkawinan “Antar Agama” pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta; (KC, hl.93, juga 134-136) Kutipan dari Surat Mendagri 17 April 1989 kepada Gubernur KDh Tingkat I di seluruh Indonesia tentang Catatan Sipil (KC, hl. 137)
Sikap GKI terhadap ini Sebagai pendeta GKI, tentu pada hakekatnya pa yang dituangkan dalam Tata Laksana GKI yang sekarang ini, menjadi acuan dan sekaligus sikap serta pandangan GKI terhadap pernikahan beda agama (Perkawinan Campur Antar Agama)