Suara Tak Terucap dari Kelok Seribu Jalur perjalanan saya kali ini saya namakan “jalur kelok seribu”. Inilah jalur Ruteng-Maumere lewat Ende. Kalau Sumbar punya kelok sembilan nan mengular dan Sulteng punya jurang Kebun Kopi nan curam, Flores punya dua-duanya. Rasanya, inilah jalur dengan kelokan terbanyak yang pernah saya lewati sepanjang hidup saya. Itu pula sebabnya mengapa perjalanan darat yang tidak sampai 600 km ini menghabiskan waktu dua hari suntuk. Saya hitung, kelokan di sepanjang rute tersebut mencapai 6.234 buah. Kalau Anda tidak percaya, hitunglah sendiri. Tentu saya menghitungnya secara sungguh-sungguh ngawurnya. Misalnya, setiap satu kilometer sedikitnya terdapat 27 kelokan. Lalu, kalikan 316 km atau berapa lah. Jatuhnya “ini juga ngawur” 6.432 kan? Agar kita tidak perlu memperdebatkan angka tersebut, baiklah saya yang mengalah. Saya sebut saja jalur itu “jalur kelok seribu”. Mengapa saya harus menyusuri “kelok seribu?” Di jalur itulah geothermal (pembangkit listrik tenaga panas bumi/PLTP) Ulumbu dan Mataloko berada. Ini penting karena dua-duanya akan diandalkan untuk melistriki seluruh Pulau Flores. Direksi PLN memang sudah bertekad untuk menjadikan Flores, kalau bisa, sebagai satu-satunya pulau di Indonesia yang seluruh listriknya menggunakan tenaga panas bumi. Digabung dengan energi terbarukan lainnya. Sebenarnya, sudah hampir 10 tahun lamanya geothermal Ulumbu itu dibicarakan. Tapi tidak jadi-jadi. Pemprakarsa proyek tersebut, putra daerah Flores, seorang doktor senior di PLN, Vincent Radja, sudah berjuang keras untuk mewujudkannya. Namun, sampai beliau pensiun, proyek geothermal Ulumbu itu belum juga selesai. Maka, ketika mendengar saya diangkat jadi Dirut PLN, beliau yang ditemani beberapa pensiunan lainnya langsung menemui saya. Kesehatannya, tampaknya, sudah menurun. Tapi, semangat memperjuangkan Ulumbu-nya tetap tinggi. Saya masih bisa menangkap kata-katanya yang sudah agak sulit diucapkan. Ulumbu harus diteruskan, katanya. Tentu saya berjanji untuk melihat dulu lokasinya. Saya menyesal tidak mempercepat perjalanan ke Flores waktu itu. Dua bulan berikutnya, ketika saya sedang berencana ke Flores, saya diberi tahu bahwa Pak Vincent meninggal dunia. Dialah ahli geothermal terkemuka Indonesia. Lokasi geothermal Ulumbu, seperti yang saya lihat pada 3 Oktober lalu itu, ternyata memang sexy. Letaknya di celukan Gunung Poco Ranaka yang indah. Tinggi gunung itu 2.140 meter. Tidak jauh dari Kota Ruteng. Saya kaget tiba di sana: sumur uap geothermal itu sudah lama jadi. Tentu sudah tidak sulit mewujudkannya. Maka, saya bertekad bahwa proyek ini harus segera jadi. Apalagi, dananya sudah ada. Untuk meneguhkan tekad tersebut, ketika kembali ke kantor PLN Cabang Ruteng, saya mengambil buku tamu. Di buku itulah saya menggoreskan pena. Begini bunyinya: Saya bersumpah untuk menjadikan proyek ini sebelum akhir tahun 2011. Agar jadi hadiah Natal terbaik bagi rakyat Flores yang mayoritas Katolik itu. Saya berani mencanangkan itu karena dua hal: dananya sudah siap sejak 2005 dan semangat teman-teman PLN sangat tinggi. Baik yang di PLN pusat maupun PLN NTT. Bahkan, Direktur Operasi Indonesia Timur Vickner Sinaga memajukan jadwal tersebut: sebelum Agustus 2011. Agar bisa jadi hadiah ulang tahun kemerdekaan. General Manajer PLN Nusa Tenggara Timur Janu Warsono akan mengawal proyek tersebut. Dia sangat antusias karena memang sudah bosan dengan ejekan lama: NTT itu kependekan Nusa Tidak Tentu. “NTT harus diubah menjadi Nusa Terang Terus,” katanya. Memang, ada persoalan lereng gunung yang longsor. Namun, itu hanya urusan teknis. Bisa dihitung bagaimana mengatasinya. Ahli-ahli sipil di PLN pasti bisa mencarikan solusi. PLN sudah sering mengerjakan PLTA yang jauh lebih sulit dari itu. Kalau proyek Ulumbu ini selesai, saya membayangkan betapa tambah menariknya Kota Ruteng. Inilah kota yang karena berada di pegunungan hijau, sejuk dan indahnya bukan main. Kawasan di sekitar kota ini juga begitu suburnya. Hijau dan hijau. Jauh dari bayangan lama Flores yang gersang. Saya tahu, rakyat Ruteng kini sudah senang dengan listrik yang sudah sangat cukup sekarang ini (sampai-sampai waktu tiba di bandara kecil di Ruteng, saya dan istri disambut upacara adat dan diberi hadiah ayam jantan sebagai ucapan terima kasih karena di Ruteng tidak byar-pet lagi). Namun, cara mengatasi krisis listrik sekarang ini sangat mahal. Padahal, dengan geothermal Ulumbu, listrik menjadi sangat murah! Dari Ulumbu, kami terus menyusuri kelok seribu menuju geothermal Mataloko. Meski lokasi Mataloko lebih mudah dijangkau (proyek itu hanya 1 km dari seminari terkemuka di Mataloko), kapasitasnya hanya 2 MW. Proyek tersebut sudah jadi, namun rusak-rusak melulu. Kebetulan, di lokasi Mataloko masih ada teknisi dari Tiongkok. Kami sempat mendiskusikannya. Terutama untuk menjaga bagaimana setelah perbaikan terakhir ini tidak akan mati-mati lagi. Para teknisi Tiongkok tersebut berjanji 6 Oktober ini geothermal Mataloko sudah menyala kembali. Dan tidak akan mati-mati lagi. Janji itu dipenuhi. Ketika tulisan ini dibuat, geothermal Mataloko sudah joss! Rupanya, selama ini terjadi kesulitan komunikasi antar teknisi yang saling tidak mengerti bahasa masing-masing itu. Meski proyek tersebut kecil, fungsinya sangat penting. Tegangan listrik di wilayah itu kurang baik karena jauh dari pembangkit. Para guru di sekolah seminari itu, misalnya, tidak berani menggunakan komputer setelah pukul lima sore. Takut rusak. Saya memang menyempatkan diri untuk meninjau seminari besar yang dibangun pada 1930-an tersebut. Kami memberikan harapan bahwa dengan teratasinya PLTP Mataloko, mereka tidak perlu lagi takut menyalakan komputer. Rupanya, bukan hanya komputer yang error di Mataloko. Gara-gara kelok seribu, istri saya harus “turun mesin” di sini. Minyak kayu putih harus lebih banyak disiramkan di punggung dan perutnya. Mabuknya sudah tidak ketulungan. Tapi, perjalanan dari Mataloko ke Ende masih 3,5 jam lagi. Masyarakat Ruteng-Maumere punya cara melewati “kelok seribu” tanpa mabuk. Yakni, naik “bus kayu”. Itulah kendaraan umum yang amat populer di jalur “kelok seribu”. Truk yang diberi atap. Bus biasa kurang laku di sana. Dengan naik bus kayu, penumpang bisa mendapat udara bebas, di samping bisa membawa barang dan ternak lebih banyak. Pukul 21.00, barulah kami tiba di Ende. Ikan bakar yang disiapkan teman-teman PLN Ende sudah pada dingin. Tapi, seluruh karyawan masih menanti sambil bernyanyi-nyanyi. Tentu juga sambil menahan lapar. Karena itu, sebelum kepala cabang Ende, Audi, membuka acara dialog tengah malam, kami makan dulu ramai-ramai. Kami pun sepakat, keesokannya pukul lima pagi kumpul lagi di kantor. Untuk bersama-sama olahraga jalan pagi. Yakni, dari kantor PLN ke rumah kenangan yang dulu ditempati Bung Karno ketika empat tahun dibuang ke Ende. Jarak tempuhnya 45 menit. Kurang lebih sama dengan jarak jalan kaki saya setiap pagi dari rumah saya di sebelah Pacific Place, Jakarta, ke Kantor PLN Pusat di Jalan Trunojoyo. Pagi itu, kami tidak sempat sarapan. Setelah selesai olahraga, kami harus bergegas ke proyek PLTU Ende di pantai utara. Berarti, kami harus kembali menyusuri “kelok seribu” dengan perut kosong. Jarak tempuhnya hampir tiga jam. Untungnya, ada singkong rebus yang dimasukkan ke mobil bersama sambal. Memang selalu saja ada makanan lokal yang istimewa. Di Kupang ada jagung rebus lokal. Manisnya seperti jagung manis dan pulennya seperti ketan. Di Ende, singkongnya bukan main nendangnya: lezat rasanya, pulen gigitannya, dan masir komposisinya. Apalagi dimakan dengan sambal khas Flores. Sayangnya, “kelok seribu” telah membuat sambal itu tumpah di pangkuan dan minyaknya merembes sampai menembus celana dalam. Pedalaman saya terasa terganggu tapi malu merintih: minyak sambal tersebut rupanya merembes sampai ke bagian yang ada di balik celana dalam itu. Tiba di lokasi PLTU, saya tercenung. Mengapa dibangun PLTU batu bara di sini” Kalau saja keputusan itu dibuat sekarang, saya akan memilih menggunakan dana tersebut untuk mempercepat penyelesaian proyek geothermal Ulumbu dan memperbesarnya. Di PLTU Ende itu, kami sepakat memberikan kepercayaan kepada generasi muda PLN untuk mencari jalan keluar. Hanya anak-anak muda yang biasa nekat yang bisa membuat PLTU tersebut berfungsi baik nantinya. Saya lihat mereka lulusan ITB dan ITS yang andal, gigih, serta berani. Setidaknya berani mendebat saya. Kepada mereka saya titipkan nasib PLTU itu. “Kelok seribu” sudah berlalu. Perjalanan selanjutnya memang masih akan tiga jam, tapi tinggal menyusuri pantai utara. Menuju Maumere. Kelokannya hanya ratusan mengikuti bukit-bukit yang tidak seberapa terjal. Kami melewati perkebunan kemiri yang rindang. Lalu, perkebunan mete yang berbuah lebat. Tepat tengah hari, kami sudah tiba di kantor PLN Cabang Maumere. Meski hari Minggu, semua karyawan dan istri lengkap menunggu di kantor. Kami mendiskusikan kondisi listrik di Maumere. Mereka juga minta penjelasan mengenai banyak hal di PLN. Termasuk mengenai wacana larangan suami-istri kerja di PLN. Ternyata, di situ ada karyawan muda asal Sidoarjo yang sudah mengincar seorang gadis yang kini sedang menjalani masa percobaan untuk menjadi karyawan PLN. Secara bergurau, saya sarankan agar cepat-cepat saja dilamar dan dikimpoi. Sebelum aturan baru berlaku. Aturan itu nanti tidak berlaku mundur. Wacana tersebut sekarang memang lagi top di kalangan karyawan PLN. Sangat banyak pro dan kontra. Tapi, sebenarnya larangan seperti itu sudah umum berlaku di perusahaan-perusahaan besar di mana saja. Saya memang prihatin di PLN ini. Saya lihat sangat banyak suami-istri yang harus hidup berjauhan bertahun-tahun. Bahkan mungkin sampai pensiun kelak. Untuk itu, saya minta izin untuk menyebut general manajer PLN NTT sebagai contoh. Istri Pak Janu itu dulunya juga karyawan PLN. Namun, mereka sepakat hanya suami yang meniti karir. Sedangkan sang istri mempersiapkan tiga anaknya agar tidak menjadi anak pembantu. Hasilnya hebat: anak-anak Pak Janu hebat-hebat, pinter-pinter. Di Fakultas Elektro ITB dan Fakultas Elektro Undip. Pak Janu adalah tipe pemimpin yang tidak banyak bicara tapi nyata kerjanya. Saya mencatat ada tiga jenis karyawan. Pertama yang bicaranya hebat tapi kerjanya juga hebat. Kedua yang bicaranya luar biasa, kalau diskusi paling pintar, kalau berteori paling canggih, namun tidak pernah bisa bekerja dengan baik. Dan yang ketiga adalah yang kalau rapat hanya sesekali bicara, yang kalau tidak ditanya tidak bunyi, tapi hasil kerjanya luar biasa. Kami berpisah di Bandara Kupang. Hari sudah senja dan kami harus segera kembali ke Jakarta. Kami sudah berkeliling Kupang pada hari pertama kunjungan ini. Hari itu, pukul 05.00 subuh kami sudah berkeliling Kota Kupang untuk melihat sendiri lampu penerangan jalan raya yang menggunakan tenaga matahari. Ternyata, lampu-lampu jalan tersebut masih menyala terang. Berfungsi dengan baik. Artinya, sampai pagi pun lampunya tetap menyala. Itu berarti tenaga matahari yang disimpan di aki/baterai tersebut cukup untuk menyalakan lampu besar semalam suntuk. Kalaupun ada beberapa lampu yang saya lihat tidak menyala, ternyata ada penyebab lainnya: aki/baterainya dicuri orang! Pak Janu yang baru pulang dari Tiongkok itu sudah punya kiat mengatasi pencurian aki tersebut. Di Tiongkok, dia melihat sudah ada aki/baterai yang tidak bisa digunakan untuk start mobil/motor. Baterai jenis itulah yang kelak digunakan untuk memperluas suryanisasi lampu jalan raya. Di Kupang, kami juga sempat melihat pabrik semen Kupang. Satu-satunya industri besar di Pulau Timor itu sangat berharap PLN bisa memberikan listrik yang cukup. Bahkan, kalau listrik di NTT memang bisa baik, akan ada dua pabrik lagi yang dibangun: pabrik pengolahan mangan yang memerlukan listrik masing-masing 4 MW. Alangkah vitalnya listrik ini untuk memajukan ekonomi daerah. Dari kunjungan ke berbagai daerah di NTT itu, saya mendapat pelajaran manajemen yang sangat berharga. Pelajaran yang belum pernah saya peroleh dalam hidup saya. Ini datang dari ucapan tidak langsung seorang karyawan yang malam itu ikut menampilkan paduan suara. Paduan suara karyawan PLN NTT memang ciamik. Juara paduan suara BUMN! Setelah turun panggung, dia berbisik: “Pak, kunjungan Bapak ini membuat kami merasa dekat dengan pimpinan. Selama ini kami menyangka bahwa pimpinan itu hanya lebih dekat dengan rekanan.” Makna bisikan tersebut sangat dalam. Citra pimpinan yang hanya dekat dengan rekanan ternyata menimbulkan dampak psikologis yang hebat di kalangan karyawan. Ternyata, karyawan sering segan menegur, marah, atau memberikan sanksi kepada rekanan karena suasana kebatinan yang tidak terkatakan itu. Mereka takut menegur rekanan karena melihat betapa akrabnya pimpinan dengan rekanan tersebut. Intinya, mereka takut menegur yang mereka kira temannya pimpinan. Meski kedekatan pimpinan dengan rekanan tidak mesti karena adanya hubungan khusus, karyawan ternyata tidak mudah membedakannya. Karyawan tidak bisa tahu mana perkawanan yang profesional dan mana perkawanan yang kolutif. Begitu melihat keakraban antara pimpinan dan rekanan (misalnya bisa masuk ruang kerja pimpinan tanpa prosedur atau sering sama-sama main golf atau sering sama-sama makan), karyawan langsung menduga hubungan itu sangat khusus. Karyawan akan hati-hati memperlakukan rekanan tersebut, “khawatir jangan-jangan mengganggu kepentingan khusus pimpinan”. Bahwa ada perasaan karyawan seperti itu, sungguh baru kali ini saya mendengarnya. Maklum, baru kali ini saya bergaul dengan karyawan BUMN. Alangkah pentingnya kita mendengar suara yang tidak terkatakan itu! Dahlan Iskan CEO PLN