UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 PENGATURAN DAN MASALAH-MASALAH YANG PERLU DIPERHATIKAN
Pengertian perkawinan dan konsepsi perkawinan “ Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH : Perumusan tersebut tepat memberikan landasan dan pemahaman mengenai unsure dan tujuan perkawinan.
Dengan demikian perkawinan sejenis kelamin dilarang Alasan : 1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian perkawinan sejenis kelamin dilarang Alasan : Definisi perkawinan tegas. Tujuan perkawinan membuahkan keturunan. Perkawinan adalah ibadah bernuansa “Religius”.
2).Aspek Yuridis Perkawinan Untuk sahnya perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang : Pasal 3, pasal 6 (1) pasal 7(1), pasal 9 dan pasal 11.
Mengenai larangan bagi wanita Pegawai Negeri Sipil PP No. 10/1983 yang menjadi istri ke 2,3, dan seterusnya. Dalam UU tidak dilarang. Pertanyaan apakah ketentuan yang bersifat larangan, Merupakan pelaksanaan dari UU ?
Prof. Wahyono Darmabra, SH, MH berpendapat : Kebolehan dalam UU tidak dapat diatur dalam bentuk Larangan dalam PP. Sebaliknya bentuk larangan dalam UU tidak dapat diatur dalam bentuk kebolehan dalam PP.
3. Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan religius/agama Pasal 2 (1) UU No. 1/1974. Bandingkan dengan perkawinan menurut KUH Perdata. Pasal 26 KUH Perdata. Pasal 81 KUH Perdata.
Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH: ”Hukum Agama dan Hukum Negara diterapkan bersama dan sejalan” Pencatatan hanya tindakan administrasif tetapi dapat mempengaruhi sah/tidaknya perkawinan. Menjamin kepastian hukum tentang telah dilangsungkannya perkawinan. Dilangsungkan berdasarkan agama yang dianut oleh suami/istri tersebut.
Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri dengan menerapkan ketentuan pasal 56 Undang-undang perkawinan No. 1/1974 Sejalan dengan ketentuan pasal 83 KUH Perdata Merupakan upaya penyelundupan hukum dengan mengabaikan hukum agama.
4). Perkawinan bersifat kekal Prof. Wahyono Darmabrat, SH, MH : Kekal abadinya perkawinan adalah dasar pengaturan dan Sendi utama hukum keluarga bagi terbinanya keluarga Indonesia yang bahagia Perkawinan bukan merupakan pemenuhan kebutuhan Jasmani semata, Tetapi merupakan suatu lembaga yang Sangat rapat dengan agama/religius dan kerohanian. Sehingga perceraian harus dihindarkan.
Undang-undang menentukan alasan-alasan perceraian secara limitative. Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH : Alasan perceraian yang berupa “suami/istri cacat badan/ penyakit yang tidak dapat disembuhkan tidak perlu dicantumkan. Alasan perceraian harus diatur dalam UU, bukan dalam PP Untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum dan Tercapainya tujuan UU untuk menciptakan abadinya Perkawinan Menyangkut hal kewajiban suami/istri, setia, tolong menolong, Bantu membantu (pasal 33 UU No. 1/1974).
Keadaan biologis istri mandul dimungkinkan untuk poligami. 5). Perkawinan memperhatikan aspek biologis Undang-undang perkawinan No. 1/1974 : Keadaan biologis istri mandul dimungkinkan untuk poligami. Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH : Ketentuan tersebut diatas tidak tepat cacat badan atau mandul tidak dapat dijadikan alasan untuk cerai atau poligami.
6). Perkawinan pada asasnya Monogami Prof. wahyono Darmabrata, SH, MH : Pengaturan pasal 3 UU No. 1/1974, dan pasal 9 UU No. 1/1974 cukup baik UU No. 1/1974 tetap menganut Asas monogami, Poligami adalah pengecualian. Bagi istri Mutlak poligami tidak dimungkinkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh suami yang ingin berpoligami : Syarat menurut UU dipenuhi; Hukum agama tidak melarang; Berdasar moral dilakukan dengan penuh tanggung jawab; Perkawinan yang wakil/pemberian kuasa (PP No. 9/1975 ayat 2)
Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH : Prinsip bahwa hak dan kewajiban dibidang hukum keluarga tidak dapat dinilai dengan uang. Undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas Pasal 58 KUH Perdata Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH : Prinsip ini sejogjanya diperhatikan untuk membedakan hukum kekayaan
Berkaitan dengan janji kawin : Bandingkan pasal 58 Kuh Perdata (1), Pasal 13 KHI. “ Janji kawin tidak menimbulkan hak menuntut dimuka hakim, akan berlangsungnya suatu perkawinan.”
B. Unifikasi Hukum atau Pluralisme Hukum UU normal mutlak, bagi suatu Negara dan bangsa sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan. Tujuan unifikasi hukum lazim untuk penyeragaman ketentuan hukum keluarga khusus hukum perkawinan yang sebelumnya “bersifat pluralistis”
Dalam masyarakat Indonesia unifikasi hukum tidak selalu identik dengan “kepastian hukum” dengan demikian dibutuhkan landasan pengaturan dibidang hukum keluarga dan tetap harus mengarah pada terciptanya kepastian hukum harus diupayakan mencegah terjadinya pengaturan dan pelaksanaan peraturan yang memberi gambaran adanya kesimpangsiuran atau ketidakpastian hukum, mengingat masyarakat Indonesia heterogen
Pendapat Prof.Hazairin Undang-undang perkawinan adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional yang memberi gambaran nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan “Bhineka Tunggal Ika” Undang-undang perkawinan merupakan unifikasi dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan Agama dan kepercayaan yang berketuhanan Yang Maha Esa, namun demikian tidak berarti undang-undang perkawinan tidak sempurna. Usaha penyempurnaan adalah tugas bersama para ahli hukum, badan peradilan dan badan legeslatif serta badan administratif.