Psikologi Gestalt Ekarini Saraswati
Pendahuluan Psikologi gestal memiliki pandangan yang sama dengan psikologi humanistik yang menganggap manusia secara utuh bukan elemen-elemen. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar di samping tokoh-tokoh pencetusnya pun berbeda. Maslow sebagai tokoh humanistik mendasarkan diri pada ketidakpuasan terhadap pendapat kaum behaviorisme sedangkan para tokoh gestalt mendasarkan pendapatnya pada ketidakpuasan terhadap kaum strukturialisme
Pengertian Istilah “Gestalt” sendiri merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain.Arti Gestalt bisa bermacam-macam, yaitu “form” “shape”. (dalam bahasa Inggris) atau bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, totalitas. Terjemahannya ke dalam bahasa inggris pun bermacam-macam antara lain “shape psychology”, “configurationism” “whole psychology” dan sebagainya. Karena adanya kesimpangsiuran dalam penerjemahan. Akhirnya para sarjana diseluruh dunia sepakat untuk menggunakan istilah “Gestalt” tanpa menerjemahkannya ke dalam bahasa lain.
Tokoh-tokoh Max Wertheimer merupakan tokoh pendiri psikologi Gestalt di Jerman. Psikologi Gestalt lebih menekankan kritiknya pada penguraian kesadaran ke dalam elemen-elemen yang dilakukan oleh strukturalismenya Wundt, tetapi masih mengakui adanya unsur kesadaran itu sendiri dalam bentuk yang utuh (totalitas tidak terbagi-bagi dalam elemen-elemen)
Psikologi Gestalt mempelajari suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dan bahwa data-data dalam psikologi Gestalt disebut sebagai fenomena Prinsip mempelajari gejala sebagai totalitas dikemukakan pertama kalinya oleh Christian Von Ehrenfels, tokoh yang merangsang timbulnya aliran ini, pada tahun 1890 dalam eksperimennya mengenai musik.
Suatu komposisi lagu mempunyai sifat tertentu yang disebut “emergent” yang tidak dimiliki oleh not-not dalam lagu itu secara satu pe satu. Kalau tangga nada lagu itu diubah, maka not-not dalam lagu itupun berubah, namun selama komposisinya masih tetap, maka emergentnya masih sama, maka kita tetap akan mendengar lagu yang sama. Jadi, yang penting adalah sifat daripada totalitas yang disebut emergent, bukan sifat-sifat dari pada elemen-elemen.
psikologi Gestelt sependapat dengan pandangan filsafat fenomenologi yang mengatakan bahwa pengalaman haruslah dilihat secara netral. Tidak dipengaruhi oleh apapun. Di dalam fenomena kita harus selalu melihat adanya dua unsur, yaitu objek dan arti. Objek dari fenomena mempunyai sifat-sifat yang dapat dideskripsikan, tetapi segera objek itu tertangkap oleh indera kita, maka kita akan menerimanya sebagai informasi dan pada saat ini kita sudah memberi arti pada objek itu.
Ilusi Kontur
Max Wertheimer Dalam kertas kerjanya ini ia mengemukakan hasil eksperimennya dengan menggunakan alat yang disebut Stroboskop (stroboscop) yaitu alat yang berbentuk kotak yang diberi alat untuk melihat ke dalam kotak itu. Di dalam kotak terdapat gambar dua buah garis yang satu melintang dan yang lain tegak. Kedua gambar itu tidak terlihat sekaligus, melainkan berganti-ganti. Mula-mula tampak garis yang melintang, kemudian tampak garis tegak, kemudian melintang lagi dan demikian seterusnya.Kesan yang akan terjadi adalah akan tampak bahwa garis itu bergerak dari tegak ke melintang dan sebaliknya, terus menerus. Gerak yang disebut gerak stroboskopik ini merupakan gerakan yang semu karena sesungguhnya garis-garis itu sendiri tidak bergerak melainkan muncul berganti-ganti. Gejala ini disebut juga sebagai Phi-phenomenon dan dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai misalnya kalau kita menonton bioskop atau melihat lampu-lampu reklame yang bergerak-gerak.
Kurt Koffka (1886 – 1941) Tokoh kedua adalah Kurt Koffka (1886 – 1941) yang mengungkapkan tentang teori belajar Salah satu faktor yang penting dalam belajar adalah jejak-jejak ingatan (memory traces), yaitu pengalaman-pengalaman yangmembekas pada temapt-tempat tertentudi otak.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada ingatan bersamaan dengan jalannya waktu tidak melemahkan jejak-jejak ingatan itu (dengan perkataan lain tidak menyebabkan terjadinya lupa) melainkan menyebabkan perubahan jejak karena jejak ingatan itu cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk Gestalt yang lebih baik dalam ingatan. Latihan-latihan akan memperkuat daya ingat.
Wolfgang Kohler Tokoh ketiga adalah Wolfgang Kohler Karya Kohler yang paling terkenal adalah penyelidikannya mengenai tingkah laku kecerdasan (intelligent behaviour) pada hewan utamanya simpanse. Bertitik tolak dari teori Thorndike yang beranggapan bahwa tingkah laku hewan pada dasarnya adalah tingkah laku coba-salah (trial and error). Kohler membuat eksperimen-eksperimen dengan kera dan membuktikan bahwa pada kera pun terdapat pemahaman (insight).
Kurt Lewin (1890-1947). Tokoh lain yang memiliki pengaruh dalam aliran psikologi ini adalah Kurt Lewin (1890-1947). Menurutnya persepsi dan tingkah laku seseorang tidak hanya ditentukan oleh bentuk keseluruhan atau sifat totalitas dari rangsang atau emergent, tetapi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan (force) yang ada lapangan psikologis seseorang.
Lewin membagi konflik dalam tiga jenis: Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict). Konflik ini terjadi kalau seseorang menghadapi du aobjek yang sama-sama bernilai positif. Konflik menjauh-menjauh (avoidance-avoidance conflict). Konflik ini terjadi kalau seseorang berhadapan dengan dua objek yang sama-sama mempunyai nilai negatif, tetapi ia tidak bisa menghindari kedua objek itu sekaligus
Konflik mendekat-menjauh (Approach-avoidance conflict) Konflik mendekat-menjauh (Approach-avoidance conflict). Dalam konflik ini terdapat hanya satu objek yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus
Kajian Sastra Novel ini menggambarkan perjalanan hidup seorang ronggeng dianggap memiliki bakat alam. Srintil, nama ronggeng itu, dibentuk oleh lingkungannya sebagai ronggeng dan dididik serta semua perilakinya diarahkan untuk menjadi ronggeng. Kehidupannya sebagai ronggeng itu sendiri bagi Srintil bukan merupakan pilihan hidupnya. Setelah mengalami suka duka menjadi ronggeng, ada perasaan yang hilang dalam dirinya, yaitu cinta. Dia mencintai Rasus dan ingin menjadi istrinya. Keinginannya ini jelas menentang adat dan harapan masyarakat Dukuh Paruk yang menganggap dia sebagai pembawa berkah bagi dukuh itu sebagai dukuh ronggeng. Latar tempat peristiwa di dalam novel ini lebih banyak menggambarkan kehidupan orang Jawa, sekalipun nama Dukuh Paruk itu sendiri tidak ada. Sebagaimana layaknya sebuah dukuh, tempat-tempat yang ditemui dalam novel ini seperti sawah, kuburan, ladang, pasar, kelurahan, kecamatan dan sebagainya. Dalam kajian ini yang menjadi tokoh kajian adalah Srintil dan Rasus. Srintil merupakan seorang ronggeng yang dibentuk oleh lingkungan. Dia belajar menjadi seorang ronggeng karena diarahkan oleh seorang dukun ronggeng. Selain belajar yang dia lakukan juga ada bakat alam yang dia miliki. Hidup sebagai ronggeng memang menjanjikan materi yang banyak dan dapat membuat iri wanita-wanita di dukuh itu. Kecantikan dan kegemerlapan sebagai ronggeng membuat Srintil banyak dipuja orang, selain Rasus kekasihnya. Setelah menjadi ronggeng, Rasus merasa kehilangan Srintil yang telah menjadi milik masyarakat. Rasus benci kepada Srintil dan pergi meninggalkannya. Cintanya kepada Srintil punah. Perasaan kehilangan dalam diri Rasus dialami juga oleh Srintil. Kehidupan ronggeng yang dia jalani ternyata merupakan kehidupan yang semu. Dia mendambakan kehidupan tenang menjadi istri Rasus dan memiliki anak darinya. Dalam diri Srintil dan Rasus ada sisi kehidupan manusia yang tidak mereka dapatkan, yaitu perwujudan cinta. Cinta itu sendiri tidak mungkin terbagi. Setelah terbagi menjadi ternoda. Sekalipun Rasus masih mencintai Srintil, namun dia merasakan tak mungkin menyatu, karena hidup mereka yang berbeda.
Hidup sebagai ronggeng memang menjanjikan materi yang banyak dan dapat membuat iri wanita-wanita di dukuh itu. Kecantikan dan kegemerlapan sebagai ronggeng membuat Srintil banyak dipuja orang, selain Rasus kekasihnya. Setelah menjadi ronggeng, Rasus merasa kehilangan Srintil yang telah menjadi milik masyarakat. Rasus benci kepada Srintil dan pergi meninggalkannya. Cintanya kepada Srintil punah. Perasaan kehilangan dalam diri Rasus dialami juga oleh Srintil. Kehidupan ronggeng yang dia jalani ternyata merupakan kehidupan yang semu. Dia mendambakan kehidupan tenang menjadi istri Rasus dan memiliki anak darinya. Dalam diri Srintil dan Rasus ada sisi kehidupan manusia yang tidak mereka dapatkan, yaitu perwujudan cinta. Cinta itu sendiri tidak mungkin terbagi. Setelah terbagi menjadi ternoda. Sekalipun Rasus masih mencintai Srintil, namun dia merasakan tak mungkin menyatu, karena hidup mereka yang berbeda.
Hidup sebagai ronggeng memang menjanjikan materi yang banyak dan dapat membuat iri wanita-wanita di dukuh itu. Kecantikan dan kegemerlapan sebagai ronggeng membuat Srintil banyak dipuja orang, selain Rasus kekasihnya. Setelah menjadi ronggeng, Rasus merasa kehilangan Srintil yang telah menjadi milik masyarakat. Rasus benci kepada Srintil dan pergi meninggalkannya. Cintanya kepada Srintil punah.
Perasaan kehilangan dalam diri Rasus dialami juga oleh Srintil Perasaan kehilangan dalam diri Rasus dialami juga oleh Srintil. Kehidupan ronggeng yang dia jalani ternyata merupakan kehidupan yang semu. Dia mendambakan kehidupan tenang menjadi istri Rasus dan memiliki anak darinya.
Dalam diri Srintil dan Rasus ada sisi kehidupan manusia yang tidak mereka dapatkan, yaitu perwujudan cinta. Cinta itu sendiri tidak mungkin terbagi. Setelah terbagi menjadi ternoda. Sekalipun Rasus masih mencintai Srintil, namun dia merasakan tak mungkin menyatu, karena hidup mereka yang berbeda.