Ikan Hilang, Nelayan Kelabakan Ikan seperti menjauh dari pantai dan menghilang dari perairan di utara Pulau Jawa itu. Nelayan mengaku makin sulit mendapatkan ikan. Produktivitas ikan yang ditangkap nelayan pun menurun. "Sebenarnya itu sudah terasa sejak tahun 2001, tapi baru 2004 itu sangat terasa." Rusjo, nelayan senior yang juga Ketua HNSI Pekalongan saat ditemui, Kamis (10/11/2011) hari ini. Ia mengatakan, penurunan seperti saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Saat ini, kondisinya semakin terpuruk. "Tahun 2004, hasilnya setahun 53 ribu ton, senilai Rp 181 miliar di tempat lelang ikan. Kalau tahun ini produksinya cuma 18 ribu ton. Jadi turun sekali," ungkap Rusjo. Rusjo mengatakan, salah satu sebab penurunan tersebut ialah menurunnya kesediaan ikan. "Tahun 2004 itu terasa sekali, sudah habis-habisan ikannya waktu itu," keluhnya. Menurut Rusjo, untuk mendapatkan ikan saat ini, nelayan harus mencari ikan hingga ke perairan Sulawesi. Ini kontras dengan yang terjadi puluhan tahun lalu, di mana ikan mudah dijumpai di wilayah sekitar. "Waktu tahun 70-an itu, kurang dari 3 mil kita sudah dapat ikan. Sekarang kan harus sampai Sulawesi. Itu bisa 4 bulan nelayan berlayar di laut baru kembali," papar Rusjo yang telah melaut sejak tahun 1970-an. "Tahun 70-an, kita melaut 1 hari bisa pulang. Kita dapat ikan layar, banyar dan gentong. Kalau masa kapat dalam kalender Jawa, ikan banyak sampai harga ikan jatuh, bisa Rp 25 per kilogram," lanjut Rusjo. Rusjo menyetujui bahwa salah satu penyebab penurunan kesediaan ikan adalah eksploitasi yang berlebihan. Ia menyebut adanya penangkapan ikan yang sedang bertelur dan masih berukuran kecil. Masalah Pengolahan Sementara itu, R Eduard D, perwakilan Dinas Pertanian, Peternakan dan Kelautan Pekalongan, menyebut faktor lain menurunnya produksi ikan di Pekalongan adalah adanya jual beli ikan di tengah laut. Terjadinya hal ini terkait dengan lamanya waktu nelayan berada di laut. "Di laut kan 4 bulan, itu kalau nggak dijual ikannya busuk. Selain itu karena waktunya lebih lama, nelayan juga perlu bahan bakar lebih untuk kapal, beras dan kebutuhan lain," papar Eduard. Akibat banyaknya ikan yang dijual di laut, ikan yang dibawa nelayan ke Pekalongan sudah dalam bentuk ikan asin. Jumlah yang dibawa pun tak banyak sehingga aktivitas tempat pelelangan ikan di daerah ini sepi. Adanya perdagangan di tengah laut ini menjadi masalah dilematis. "Kalau kita larang, bagaimana nelayan mampu menutupi biaya operasi yang bisa Rp 250 juta sekali operasi. Bagaimana mau beli bahan bakar dan beras," tukas Rusjo. Untuk mengatasi masalah ini, menurut Rusjo, diperlukan pendidikan bagi para nelayan. Misalnya dengan memberikan pengertian agar nelayan mengerti pentingnya mengendalikan tangkapan ikan. Dipadu dengan pengembangan lain seperti membebaskan biaya tertentu yang meberatkan nelayan, harapannya perikanan Pekalongan kembali maju. Kesediaan ikan juga akan lebih bisa dikontrol. Perlu dicatat, menurut Rusjo, Pekalongan pernah menjadi penghasil ikan tertinggi se-Asia Tenggara. Kini posisi Pekalongan adalah nomor 4 se-Indonesia. Nomor 1 kini diduduki oleh Pati.