TUJUH TESIS JAUSS TENTANG RESEPSI SASTRA Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S. Bahan Ajar pada Matakuliah Resepsi Sastra pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2011
A. PENGANTAR Teori sastra yang berorientasi pada realitas (semesta) disebut sebagai teori mimetik yang bermula dari Plato dan dominan pada abad ke-18. Teori yang berorientasi pada audiens disebut sebagai teori pragmatik yang bermula dari Horace dan juga dominan pada abad abad ke-18. Teori yang berorientasi pada pengarang disebut teori ekspresif yang bermula dari Wordsworth dan dominan pada abad ke-19. Teori yang berorientasi pada karya sastra sebagai objek otonom, yang melahirkan kritik objektif, bermula dari Immanuel Kant dan dominan pada abad ke-19 dan Eliot yang dominan pada abad ke-20 (Abrams, 1979; Faruk, 1988:57).
Estetika resepsi merupakan terjemahan dari Rezeptionaesthetik yang dapat disamakan dengan literary response. Ia juga diterjemahkan sebagai “penerimaan estetik” sesuai dengan aesthetic of reception. Akan tetapi, para ahli sastra lebih cenderung menggunakan terjemahan resepsi sastra sesuai dengan istilah Franco Meregalli (Junus, 1985:1). Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga ia dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu bisa bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau bisa juga secara aktif, yaitu bagaimana ia “merealisasikannya”. Oleh karena itu, pengertian resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas dengan berbagai kemungkinan penggunaan (Junus, 1988:1).
Dalam rangka memahami suatu teks, karya sastra, sesuai dengan hakikat karya sastra yang polisemi, yang ambigous, maka ada satu keinginan untuk menemui “arti yang sebenarnya” dari teks itu. Dalam hal ini, resepsi sastra mengakui adanya polisemi pada sebuah karya sastra karena khalayak (audiens) berhak memaknainya. Dalam pemaknaan ini, “arti” dikongkretkan dalam hubungan penerimaan oleh khalayak itu sesuai dengan “pembawaan” karya itu kepada dunia khalayaknya, sehingga ia mempunyai akibat (Wirkung) terhadap pembacanya, artinya sesuai dengan ideologi khalayaknya (Junus, 1988:2). Menurut Roman Ingarden, kongkretisasi dilukiskan sebagai sikap estetik, sedangkan rekosntruksi sebagai pengobjektifan tema. Kongkretisasi mengatur karya sastra secara fungsional, sedangkan rekonstruksi membuktikannya (Junus, 1988:29). Adapun ideologi adalah dunia gagasan (Faruk, :1994:62), yaitu gagasan masyarakat yang di dalamnya pembaca hidup. Jadi, ideologi pembaca itu pada hakikatnya adalah ideologi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, jika suatu karya sastra dibaca (dimaknai) oleh pembacanya, maka itu berarti ia sedang dikongkretkan oleh masyarakat pembacanya (audiensnya).
B. TUJUH TESIS JAUSS TENTANG RESEPSI SASTRA (Bahannya diambil dari buku Toward an Aesthetic of Reception (1983), Bab III, hlm. 3-45) TESIS I 1. Karya sastra bukan objek yang berdiri sendiri dan menawarkan pandangan yang sama kepada setiap pembaca dalam setiap periode. 2. Karya sastra bukan pula sebuah monumen yang secara monologis menampilkan esensinya yang tidak berbatas waktu. Artinya, karya sastra itu dapat dimaknai oleh pembacanya sesuai dengan periode (semangat) zamannya. 3. Sebuah karya sastra senantiasa dioposisikan antara unsur lama dengan unsur baru dengan cara mengkonfrontasikan antarteksnya karena pada hakikatnya, setiap karya sastra memiliki karakter dialogis antara satu teks dengan teks lainnya.
4. Sebuah karya sastra baru tidak dapat dihindari dari horison harapan pembaca pertamanya. 5. Karya sastra baru dapat membuka/membangkitkan kembali karya lama yang sudah dilupakan. 6. Karya sastra lama hanya dapat kembali ketika resepsi baru menariknya kembali ke masa sekarang. 7. Karya sastra baru bukan hanya berkategori estetis dalam bentuk inovasi, kejutan, pengunggulan, penyusunan ulang, alienasi, tetapi juga merupakan kategori historis, yaitu untuk mempersoalkan momen historis apa yang dibuat oleh pengarang.
TESIS II 1. Analisis pengaruh estetis terhadap sebuah karya sastra apakah dapat mendekati makna karya sastra tersebut secara keseluruhan atau hanya pemaknaan dengan selera sederhana. 2. Kondisi kesadaran individu bersifat momenter dan personal, sedangkan kondisi kesadaran kolektif – menurut Jan Mukarovsky – tidak dapat ditentukan secara empiris. 3. Istilah kondisi kesadaran kolektif diubah oleh Roman Jacobson menjadi “ideologi kolektif”. Ideologi kolektif ini merupakan sistem norma yang ada pada setiap karya sastra sebagai bahasa yang diaktualisasikan.
4. Sebuah karya sastra ketika muncul dipandang sebagai karya baru, walaupun sesungguhnya tidak menunjukkan sebagai karya yang benar-benar baru, melainkan akan dinilai sejauh mana karya sastra itu mampu mempengaruhi pembacanya. 5. Sebuah karya sastra dapat membangunkan memori pembacanya sehingga menimbulkan sikap emosional khusus. Dalam konteks ini, pembaca memiliki horison harapan pada tahap permulaan, pertengahan, dan akhir dari isi karya sastra tersebut. 6. Dalam proses pembacaan itu, pembaca dapat mempertahankan isi cerita secara utuh atau mengubahnya, atau mengorientasikan kembali sesuai dengan selera zamannya. 7. Proses penerimaan teks (proses pembacaan) merupakan kesan subjektif pembaca. Walaupun demikian, pembaca memiliki persepsi terarah yang dibentuk melalui tanda-tanda yang disaranai melalui bahasa tekstual.
TESIS III 1. Sejarah awal kemunculan karya sastra dapat dilihat pada “apakah ia memenuhi, melampaui, mengecewakan atau menyangkal harapan pembaca pertamanya” ? 2. Jika hal-hal tersebut ada, maka karya sastra itu telah mengalami “perubahan horisontal”. Perubahan horizontal ini merupakan konsekuensi dari implementasi estetika resepsi. 3. Penulis sebuah karya sastra bergantung pada pandangan dan ideologi yang dianutnya, sedangkan karya sastra bergantung pada horison harapan kelompok sosialnya.
TESIS IV 1. Ketika seorang pengarang tidak dikenal, tujuan penulisan karyanya tidak diungkapkan, akses terhadap sumber data hanya bisa dilakukan secara tidak langsung, maka pertanyaan filologis dapat diajukan sebagai berikut. Apa tujuan penulisan teks ? Pada masa apa teks itu dibuat ? Teks-teks apa saja yang menjadi hipogram teks yang disusunnya itu ? Siapa saja pembaca teks itu ketika pertama kali muncul ? 2. Filologi dapat menilai karya sastra menurut perspektif masa lampau, atau sudut pandang sekarang, atau dinilai oleh keputusan zaman?
3. Putusan zaman dalam karya sastra adalah penilaian yang terakumulasi dari pembaca lain, pengamat, kritik dari para ahli. Putusan zaman juga berkaitan dengan penyingkapan potensi karya sastra yang diaktualisasikan pada sejarah pemahaman pembacanya. 4. Makna kebenaran sebuah karya sastra yang tidak berbatas waktu harus dipahami dan diinterpretasi oleh pembaca kontemporer di luar sejarah penerimaan pembaca pendahulunya. Artinya, pembaca kontemporer harus melepaskan diri dari hegemoni kebenaran masa lampau yang dibuat oleh pembaca pendahulu. 5. Menurut Gadamer dalam bukunya Truth and Method, seseorang hanya dapat memahami sebuah teks ketika ia memahami pertanyaan yang ia sendiri mengetahui jawabannya. 6. Pertanyaan masa lampau yang disusun kembali tidak selamanya berada dalam horison keasliannya karena tertutup oleh horison masa kini.
TESIS V 1. Teori estetika resepsi berkaitan dengan pemahaman makna karya sastra dan pemahaman bentuk karya sastra. 2. Memahami karya pengarang untuk mengetahui poisisi dan signifikansinya dalam konteks pengalaman sastra. 3. Ketika pengarang menulis karya sastra, maka dengan sendirinya dia telah membuat kejadian (pengalaman) sastra.
4. Memahami sejarah kejadian sastra dipandang sebagai proses penerimaan pasif dari pengarang. 5. Memahami sejarah sastra sebagai evolusi dari sebuah fenomena sastra yang menghasilkan inovasi. Inovasi adalah hal yang sangat menentukan sebagai karya sastra yang dipahami pada latar belakang karya sastra yang lain.
TESIS VI 1. Perspektif sejarah resepsi selalu berbenturan dengan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan karya-karya lama. 2. Perspektif sinkronik perlu mengatur dan meneliti multisiplisitas dan heteregonitas pemahaman karya-karya kontemporer dan struktur hirarkinya untuk mengetahui apakah pemahaman itu bersifat ekuivalen atau bertentangan. 3. Perspektif diakronik adalah suatu pemahaman sejarah atas homogenitas karya sastra dilihat dari kronologi kejadian dan lingkungan kehidupannya. Dalam perspektif diakronik ini dapat dijelaskan perubahan-perubahan dan inovasi-inovasi, misalnya sejarah aliran pemikiran.
TESIS VII 1. Sastra tidak hanya dipresentasikan secara sinkronis dan diakronis, tetapi juga dilihat sebagai sejarah khusus dalam hubungan uniknya dengan sejarah umum. 2. Sastra sebagai sejarah khusus menggambarkan eksistensi sosial sepanjang zaman. 3. Fungsi sosial sastra hanya dapat terwujud dengan sendrinya bilamana sastra masuk dalam: (i) horison harapan kehidupan pengarang, (ii) pemahamannya tentang dunia, (iii) memberikan pengaruh pada perilaku sosialnya.
4. Pemahaman sejarah menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masa kontemporer diinformasikan atau dianalisis secara sama/seimbang dengan kejadian masa lalu. 5. Dalam analisis sinkronik harus tekandung aspek masa lalu dan masa sekarang sebagai elemen struktural yang tak terpisahkan. Elemen-elemen inovasi dalam karya sastra yang diteliti adalah retorika, semantik, arketip, simbol, dan metafora. 7. Konsep imitationaturae mengatakan bahwa sastra merupakan representasi dari sebuah realitas yang ada sebelumnya.
8. Horison harapan sastra tidak hanya memelihara pengalaman yang sesungguhnya, tetapi juga mengantisipasi : (i) kemungkinan yang tidak terealisasi, (ii) memperluas ruang perilaku sosial, (iii) tujuan-tujuan baru, (iv) menyiapkan pengalaman masa depan. 9. Keindahan sastra adalah keselarasan antara bentuk dan isi. Bentuk (sastra) yang baru muncul tidak hanya untuk mengkritik bentuk lama, tetapi juga memunculkan persepsi baru tentang isi yang dikandungnya. 10. Karya sastra baru diterima dan dinilai oleh pembacanya berdasarkan latar belakang karya sastra yang lain dan latar belakang kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp : Romantic Theory and Critical Tradition. New York : Oxford University Press. Faruk. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra. Yogyakarta : P.D. Lukman Offset. ______ 1994. Pengantar Sosilogi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis : University Of Minnesota. Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra : sebuah Pengantar. Jakarta : P.T. Gramedia.