SELAMAT PAGI Filzah Rahmiati (0505-000-988) PRESENTASI UAS HASIL PENELITIAN ANTROPOLOGI HUKUM “Perlindungan Hukum terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di Depok” Oleh: Filzah Rahmiati (0505-000-988) Karlinaswaty (0505-007-117) Depok, Senin 18 Mei 2009
Latar Belakang
Data Statistik BPS Tahun 2007, mengenai sensus ekonomi yang dilakukan pada tahun 2006 “ BPS mencatat, terdapat 22,5 juta unit usaha di Indonesia pada tahun 2006. Dari jumlah itu, perusahaan yang dikategorikan berskala menengah dan besar hanya 179.000 unit atau 0,8 %. Sekitar 83,4 % dari total jumlah unit usaha itu berskala mikro. Sekitar 15 % berskala kecil. Lebih dari 40 persen kegiatan usaha yang terdata ini tidak mempunyai lokasi permanen. Artinya, kegiatan usaha itu bersifat informal. Misalnya, Pedagang Kaki Lima, penjual keliling, atau pengojek bersepeda motor.” Sumber: http://els.bappenas.go.id/upload/kliping/Data%20Statistik%20harus.pdf di unduh pada tanggal 14 Mei 2009.
“Jumlah usaha berskala mikro di Indonesia jauh lebih besar daripada jumlah usaha berskala kecil, menengah atau besar!” “Sehingga, benarlah jika dikatakan bahwa komunitas Pedagang Kaki Lima (PKL) memberikan sumbangan dan kontribusi yang sangat besar bagi roda perekonomian dan pembangunan bagi bangsa ini!”
Ruang Lingkup Hanya komunitas PKL yang berada di pinggir jalan sepanjang jalan raya Margonda, dari depan pintu masuk menuju Stasiun UI (daerah Kober) hingga jalan depan Mal Margo City dan Depok Town Square (Detos).
Alasan Lokasi ini dipilih karena letaknya yang sangat strategis dan berdekatan dengan lokasi terminal Depok (yang pada tanggal 3 Maret 2009 yang lalu baru saja mengalami kericuhan akibat adanya penertiban oleh Satpol PP), sehingga memiliki tingkat kerawanan sosial yang sangat tinggi !!!!
Pokok Permasalahan Bagaimana kondisi kehidupan yang sebenarnya terjadi atau dialami oleh para Pedagang Kaki Lima di daerah sekitar jalan raya Margonda dari daerah Kober sampai Mal Margo City atau Detos tersebut? Bagaimanakah isu hukum yang terdapat dalam permasalahan sosial yang dialami oleh komunitas PKL tersebut dan isu apa yang paling mengganggu komunitas PKL di daerah tersebut pada saat ini? Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang dapat dimiliki oleh komunitas tersebut, berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya di Indonesia, khususnya untuk wilayah Kota Depok?
Cont’d Bagaimanakah bentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang biasanya digunakan oleh komunitas tersebut untuk menyelesaikan masalahanya? Bagaimanakah kondisi akses terhadap keadilan (Access to Justice) yang dimiliki oleh komunitas tersebut dalam menyelesaikan permasalahannya tersebut? Bagaimanakah tanggungjawab pemerintah dan pihak-pihak lain terhadap permasalahan tersebut? Bagaimana cara atau solusi yang terbaik yang dapat diberikan atau disarankan kepada komunitas tersebut untuk memperbaiki keadaannya atau menyelesaikan masalahnya dan dalam rangka mendapatkan kembali hak asasi dalam hidupnya berupa akses terhadap keadilan?
Metode Penelitian Bentuk Penelitian: Kepustakaan-Normatif; Tipe Penelitian: Deskriptif dan Evaluatif; Jenis Data: Data sekunder; Macam Bahan Hukum: Primer, Sekunder, dan Tersier; Alat Pengumpulan Data: Studi dokumen; Metode Analisis Data: Kualitatif; Bentuk Hasil Penelitian: Deskriptif Analitis dan Evaluatif Analitis.
Informan Pedagang gorengan di Kober; Pedagang rokok di dekat Margo City Mall; Pedagang fried chicken di depan Margo City Mall; Pedagang kebab di depan EF Pondok Cina; Pedagang Roti Medan di daerah Stasiun Pondok Cina ; Pedagang Alat Tulis di daerah Stasiun Pondok Cina.
- Hasil Wawancara - Para Informan, tidak mengalami suatu masalah yang cukup berarti terkecuali tentang perizinan akan tempat (lokasi) mereka berdagang atau berjualan; 5 dari 6 PKL Informan memiliki lokasi berjualan yang tetap dan tidak berpindah-pindah karena usaha mereka memang menggunakan gerobak kios atau rumah-rumahan seng yang digunakan sebagai kios, sehingga agak merepotkan jika harus berpindah-pindah. Hanya pedagang gorengan saja yang memiliki kebiasaan berpindah-pindah tempat.
Cont’d #1 Dari pengakuan keenam informan tersebut, rata-rata mereka tidak mengalami kesulitan yang begitu berarti mengenai permasalahan izin berdagang ini karena menurut mereka, Kota Depok adalah kota yang paling aman dan nyaman untuk berjualan secara kaki lima, dibandingkan dengan kota-kota lain di wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jadebobek). Meskipun demikian, mereka sadar bahwa posisi mereka sangat terancam dan sangat rawan dari penggusuran karena mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki IZIN RESMI yang sah dari Pemkot untuk berjualan di lokasi atau di daerah tersebut.
Cont’d #2 Keenam informan mengatakan bahwa izin utama yang harus mereka dapatkan adalah izin dari Ketua RT setempat, dimana 5 dari 6 informan penulis, diharuskan membayar sejumlah uang kepada Ketua RT agar mendapatkan izin tersebut. 5 dari 6 informan mengatakan bahwa mereka juga harus memberikan sejumlah uang atau rokok kepada “penguasa wilayah” atau preman agar mereka dapat berjualan di tempat itu dengan aman. (1 orang tidak perlu membayar karena di daerah tempat ia berdagang, tidak terdapat preman.)
Cont’d #3 2 dari 6 informan penulis, harus mengeluarkan uang paling besar karena dimintakan uang sewa dari si pemilik gedung/bangunan yang wilayah atau halamannya dijadikan tempat berjualan. Mereka adalah Penjual Alat Tulis (Rp 400.000) yang dibayarkan kepada petugas PT KA Pondok Cina) dan Penjual Kebab (Rp 500.000) yang dibayarkan kepada pemilik atau penjaga gedung bekas tempat kursus EF (English First) Pondok Cina.
Cont’d #4 5 dari 6 informan penulis menyadari akan adanya ancaman yang bisa datang kapan saja kepada mereka, baik dari luar maupun dari dalam akibat perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan ataupun karena adanya atmosfir persaingan usaha yang tidak sehat di antara mereka. 1 informan yang tidak menyadari hal itu adalah pedagang warung rokok karena ia masih terlalu muda dan tidak mengerti akan hal itu.;
1. Perizinan tempat untuk berdagang; Berdasarkan Hasil Wawancara dan Pengamatan terhadap keenam informan, Maka Permasalahan yang ada dalam komunitas itu adalah: 1. Perizinan tempat untuk berdagang; 2. Ancaman-ancaman terhadap komunitas PKL; 3. Perlindungan secara hukum; 4. Akses terhadap Keadilan (Access to Justice) bagi komunitas PKL; 5. Metode penyelesaian sengketa dalam komunitas PKL;
RESIKO JIKA DIBIARKAN
Ancaman TERBESAR bagi PKL
HAK-HAK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Akses terhadap Keadilan (Access to Justice) KETIDAKADILAN BAGI PKL Jaminan terhadap keamanan para PKL INSTITUSI KEADILAN Peradilan
Metode Penyelesaian Sengketa dalam Komunitas PKL Bersifat negatif “adanya suatu metode penyelesaian sengketa yang tidak baik di kalangan para Pedagang Kaki Lima terhadap pihak-pihak yang berpotensi untuk menimbulkan masalah padanya atau pihak yang terasa mengancam dirinya, seperti para pemberi “izin” yang menjadi “pemberi nyawa” bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) tersebut.”
* KESIMPULAN * “Masalah PKL Sesungguhnya Bukanlah MASALAH yang RUMIT jika ADA POLITICAL WILL yang TINGGI dari PEMERINTAH (PUSAT & DAERAH) , Serta ADAnya KESADARAN & KEINGINAN BERSAMA dari SELURUH LAPISAN MASYARAKAT untuk MAU IKUT MEMBANTU MENYELESAIKANNYA!!!”
SOLUSI # saran 1 “Jangan Memaksa untuk Merelokasi!”
SOLUSI # saran 2 “CERDASKAN PEDAGANG dengan mengadakan Penyuluhan dari segi Hukum, Ekonomi, Kesehatan, Lingkungan, Keterampilan usaha dll, yang dibutuhkan oleh pedagang!”
SOLUSI # Saran 3 “Rubah Citra PKL!”
SOLUSI # Saran 4 *Jadikan lokasi PKL sebagai Tempat Bisnis yang Nyaman atau sebagai Lokasi Wisata!!! *
“BERSAMA KITA BISAA!!!” ….Sekian Presentasi dari Kami… “TERIMA KASIH ATAS PERHATIANNYA!” “Mohon MAAF apabila TERDAPAT KEKURANGAN & KESALAHAN! “SARAN&KRITIKAN yang MEMBANGUN Sangat Kami Harapkan!” “BERSAMA KITA BISAA!!!” WASSALAM