Industri Rokok Indonesia Sedang Menjemput Kematian? Industri rokok di tanah air mungkin tengah berada dalam harapan yang tercabik itu: dibalik kepulan asap yang demikian memabukkan, terbentang jalan terjal yang pelan-pelan bisa membuatnya terkapar mati. Seperti nikmatnya asap tembakau yang secara perlahan akan membunuh pengisapnya, para produsen rokok di tanah air mungkin juga tengah meretas jalan yang sama: pelan-pelan mereka akan tersedot dalam asap yang membuat mereka bangkrut dan terbaring tewas. Make no mistake. Industri rokok di tanah air tetap merupakan sebuah industri yang eksotis dengan jumlah perokok terbesar nomor tiga di dunia (setelah China dan India). Kian tahun juga makin banyak perokok belia yang dengan mudah terseret dalam pusaran asap yang terus menari-nari. Itulah mengapa Philip Morris (alias Marlboro Man) mencaplok Sampoerna dan kemudian BAT melumat Bentoel. Sebab mereka percaya industri rokok di tanah air masih punya harapan yang gilang gemilang. Sebab mereka percaya, sangat mudah mengelabui rakyat Indonesia untuk masuk dalam jebakan candu yang mereka rajut dengan seringai senyum yang tak kenal ampun. Para kapitalis asing itu (juga para juragan lokal dari Kediri dan Kudus) akan tertawa terkekeh-kekeh setiap kali melihat kepulan asap membakar di setiap sudut pelosok negeri. Mereka tertawa sebab itu artinya mereka berhasil menyedot uang trilyunan rupiah dari kantong para perokok di segenap penjuru nusantara; dan kemudian menyimpan uang itu di markas mereka yang megah dan angkuh nun jauh di sana - di pusat kapitalis dunia. But, how long can you go? Sampai kapan seringai senyum kapitalis itu terus menerus menari dibalik kekonyolan para perokok di bumi pertiwi? Sampai kapan para kapitalis rokok global itu terus berdansa dibalik peluh para perokok yang terus ditipunya? Mungkin tak lama lagi. Mengapa? Ada tiga alasan di sini. Yang pertama adalah Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai tindak lanjut dari UU yang menyatakan rokok sebagai zat adiktif. Isi RPP ini antara lain adalah melarang habis iklan rokok dimanapun (baik di media cetak, bilboard yang sekarang ada di mana-mana itu, atau juga sebagai sponsor kegiatan musik, olahraga, dll). Jika RPM ini disetujui, industri rokok dan para kapitalis dibaliknya, sungguh akan terkapar dan terluka parah. Lobi para produsen rokok segera bersatu dan melakukan serangan balik (dan tentu uang milyaran rupiah akan mengalir berceceran sebagai penyedap upaya lobi). Argumen klasik selalu dinyanyikan: nasib ribuan petani tembakau akan terdesak dan selama ini kami sudah menyumbang cukai triyunan rupiah kepada negara. Sumbangan cukai ini sebenarnya dari para perokok, bukan dari produsen. Dan asal tahu, uang yang dipakai oleh para perokok buat membeli sebungkus Dji Sam Soe atau A Mild itu ternyata banyak yang diambil dari jatah uang pendidikan anak dan uang makan keluarga sang perokok. Maksudnya, para perokok itu, meskipun miskin dan tidak punya banyak uang, lebih rela menggunakan uangnya untuk membeli rokok daripada untuk membayar SPP anak-anaknya, atau membeli lauk yang memadai buat keluarganya. Di sini jelas: jutaan perokok yang mayoritas berasal dari kelas menengah ke bawah, tertipu oleh para produsen rokok; dan mereka lebih rela memberi uang kepada kapitalis rokok yang sudah kaya itu, dibanding menyekolahkan anak-anaknya. Jutaan anak-anak di Indonesia terampas masa depannya, hanya karena ayah mereka lebih memilih membeli rokok dibanding membayar uang sekolah. Sebuah ironi yang tragis. Dan aha… para kapitalis rokok global itu terus tertawa terkekeh-kekeh melihat ironi ini…
Argumen para petani tembakau terdesak juga mitos Argumen para petani tembakau terdesak juga mitos. Jika RPP itu diberlakukan, permintaan tembakau tetap akan ada. Bahkan selama ini para produsen rokok Indonesia harus mengimpor tembakau dari China karena kekurangan pasokan dari dalam negeri. Alasan kedua mengapa industri dan bisnis rokok di tanah air akan mengalami penurunan adalah ini: kesadaran gaya hidup sehat yang terus tumbuh. Lihatlah tren olah tubuh yang kian banyak merasuk dalam gaya hidup masyarakat masa kini: ada yang rajin bersepeda ke kantor, giat melakukan futsal untuk membuat tubuh selalu sehat. Semoga saja kesadaran ini membuat orang makin menjauhi pekatnya asap rokok yang membius dan mematikan itu. Banyak pihak yang kemudian juga berharap agar kesadaran itu membuat gerakan serentak: yakni menjadikan para perokok sebagai pesakitan yang layak dijauhi karena membuat lingkungan tidak sehat. Dulu, ketika saya sekolah di Amerika, saya melihat hal itu terjadi: teman-teman saya yang perokok - dan jumlahnya sedikit sekali - pelan-pelan selalu dijauhi karena dianggap hanya membawa asap rokok yang penuh racun. Akibatnya jelas: para perokok itu menjadi terisolasi dan terkucil dari lingkaran pergaulan. Alasan terakhir: makin banyak gerakan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang menekan ruang gerak industri rokok. Beberapa diantaranya bahkan membuat langkah kreatif: membuat pencitraan para produsen rokok sebagai monster kapitalis yang rakus dan merampas masa depan anak-anak miskin Indonesia. Pencitraan semacam ini menarik sebab ternyata lebih efektif dibanding kampanye peringatan bahaya merokok yang tertera di setiap bungkus dan iklan rokok itu. Dalam sejumlah riset neurologi, ternyata slogan bahaya merokok itu justru mendorong orang untuk makin banyak merokok! Setelah diteliti ternyata ada bagian sel saraf otak yang cenderung mendorong orang melakukan hal kebalikan dari apa yang tertera dalam sebuah peringatan (termasuk peringatan bahaya merokok). Jadi para peneliti itu berkesimpulan, kalimat bahaya merokok itu justru menguntungkan para produsen rokok. Sebaliknya, dalam sejumlah eksperimen iklan, digambarkan para produsen rokok sebagai monster yang rakus dan merampas hak masa depan anak-anak; dan harus dilawan oleh sekumpulan anak muda yang idealis dan memperjuangkan nasib masyarakat. Ajaibnya, ketika iklan eksperimen ini ditayangkan, jumlah anak muda yang merokok turun drastis. Alasannya jelas: bagi anak muda yang tengah mencari jati dirinya, citra anak muda idealis yang melawan kemungkaran itu bagaikan hero yang menancap di benaknya. Sebaliknya mereka juga malu untuk merokok sebab itu artinya menyamakan mereka dengan monster rakus yang mencabik nasib dan masa depan anak-anak (kalau saja saya punya uang banyak, saya akan menayangkan iklan ini di televisi dan koran-koran). Demikianlah tiga alasan kunci mengapa industri rokok di tanah air tengah berkemas menuju ladang pembantaian yang mematikan. Selama ini pelan-pelan mereka telah membunuh jutaan perokok di tanah air menuju alam baka (jumlah orang yang mati karena kegiatan teroris di tanah air sungguh tak ada bandingannya dibanding mereka yang gugur lantaran asap rokok yang mematikan). Cuma bedanya kalau para teroris terus diburu dan ditembak mati, maka para produsen rokok itu dibiarkan leyeh-leyeh di rumahnya yang megah dan bertebaran di mancanegara. Mungkin harus tiba saatnya, industri rokok Indonesia menemui nasib seperti korbannya: terjerat asap yang membius dan pelan-pelan membawa mereka menuju maut.