POSTKOLONIALISME DAN POSTMODERNISME Disusun oleh: RIZKI NUGRAHA Muhammad Jalalludin
Pengertian poskolonial Poskolonial yang secara etimologis berasal dari kata ‘post’ dan ‘kolonial’, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata ‘colonia’, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya.
Postkolonial dalam Sastra ”Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan poskolonial sekaligus juga merupakan respons dan cermin "kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49). ”Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya melalui oposisi yang kaku seperti kedewasaan/ketidakdewasaan, beradab/biadab, maju/berkembang, progresif/primitif” (Gandhi, 2001: 44).
Empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori poskolonial, yaitu: Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang. Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak Nampak. Di sinilah egaray oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis dekontruksi poskolonial dilakukan .
Ciri-ciri Poskolonial Anti-esensialisme (bahwa sastra bukan suatu teks yang ajeg dan permanen, tetapi merupakan hasil bentukan realitas di luarnya). Anti-determinisme (bahwa sastra bukan teks yang pasif, yang dibentuk secara tetap dan pasti sebuah struktur, tetapi juga membentuk dan menciptakan struktur-struktur baru). Anti-universalisme (bahwa sastra bukan teks yang berlaku secara universal, tetapi lahir dari negoisasi-negoisasi kulturalnya sendiri yang bersifat lokal dan partikular). Kajian poskolonial bukanlah kajian yang terpaku pada aspek formal dan struktural dari karya sastra tetapi kajian-kajian yang ingin membaca secara cair, fleksibel, dan radikal dimensi-dimensi kritis dari sastra, dalam relasinya dengan kekuasaan (yang dipahami secara luas dan cair pula) dalam teks sastra maupun formasi sosial yang membentuknya. Pada kajian poskolonial, kekuasaan tersebut adalah relasi-relasi kuasa yang diakibatkan oleh penjajahan dan kolonisasi, kekuasaan itu adalah relasi-relasi kuasa akibat kapitalisasi.
Edward Said (1935) Pada tahun 1978, Edward Said menerbitkan bukunya yang berjudul Orientalism. Buku ini melahirkan kegerahan dan sekaligus pencerahan dalam berbagai disiplin ilmiah seperti kurtural studies, kajian wilayah dan secara khusus melahirkan kajian ilmiah yang dilingkungan akademis dikenal dengan analisis diskursus kolonial. Gagasan Edwar Said sangat luas, ia membahas tentang berbagai konteks lokal budaya, sehingga disebut juga dengan ‘travelling teory’. Bukunya yang berjudul Power And Culture: Interviews With Edward Said merupakan perluasan buku Orientalism ditambah dengan wawancaranya.
Homi bhabha Bhabha berpendapat bahwa interaksi antara penjajah dan terjajah mengarah ke fusi norma-norma budaya, yang menegaskan kekuasaan kolonial tetapi juga, mengancam stabilitas. Ini dimungkinkan karena iden- tity dari penjajah yang secara inheren tidak stabil, yang ada dalam identitas ekspatriat terisolasi situation.
G C Spivak (1942) Spivak telah menggabarkan teori postkolonial feminis yang pertama. Dia mengkritik feminisme Barat khususnya untuk berfokus pada dunia putih, kekhawatiran heteroseksual kelas menengah. Dia juga tertarik pada peran kelas sosial dan berfokus pada apa yang dalam studi postkolonial telah menjadi dikenal sebagai 'subaltern', awalnya istilah militer mengacu pada mereka yang berada di peringkat yang lebih rendah atau posisi
postmodernisme
postmodernisme Berdasarkan asal usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu berkembang dalam bidang- bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.
postmodernisme Postmodernisme menurut Lyotard merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalan modernism memenuhi janji-janjinya. Postmodernisme berkembang setelah era modern dengan modernism- nya. Postmodernisme bukanlah faham sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temunya.
delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta- narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”. Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Postmodernisme dalam Sastra Salah satu jenis sastra popular postmodernisme, yaitu parodi di mana para penulisnya mematahkan cara pandangan sastra tradisional . Teater adalah salah satu wujud penolakan postmodernisme terhadap modern. Kaum modern melihat sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat waktu dan ide-idenya tidak dibatasi waktu. Beberapa seniman teater berpandangan bahwa postmodernisme pada naskah atau teks otoritasnya menindas kebebasan. Sehingga beberapa seniman mengurangi naskah atau teks dimaksudkan agar di setiap penampilan pemain atau actor menjadi spontan dan unik. Dalam postmodernisme, salah satu yang menjadi kajiannya misalnya tentang pengetahuan dan kuasa.
Ciri-ciri postmodernisme Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa- masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat- tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan.
Kedua, kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic).
Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan.
Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta).
Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen
Tokoh-tokoh postmodernisme Jean Baudrillard (1929) Jean Baudrillard terkenal karena kritiknya teknologi modern dan media. Dia menolak untuk membedakan antara penampilan dan setiap realitas berbaring di belakang mereka. Baginya, perbedaan antara penanda dan petanda akhirnya runtuh. Jean-François Lyotard (1924-1998) Dalam Discours, angka (1971) karyanya Lyotard membuat pembedaan-tion yang ia percaya strukturalisme telah diabaikan. Dia membedakan antara apa yang 'dilihat' dan dirasakan dalam tiga dimensi (yang 'figural') dan apa yang 'membaca': teks dua dimensi. Bergema Foucault, ia berpendapat bahwa apa yang dianggap sebagai pemikiran rasional oleh para pemikir modernis, pada kenyataannya, bentuk kontrol dan dominasi. Untuk Lyotard, tingkat 'figural', yang tampaknya untuk menggabungkan sesuatu yang mirip dengan libido Freudian, atau kekuatan keinginan, memperoleh makna bersatu dengan operasi rasional thought.Art, di sisi lain, mengkritik dan destabilises dan bekerja terhadap rasa penyelesaian dan penutupan.
simpulan Posmodernisme merupakan sebuah paham yang berawal dari gerakan seni dan budaya termasuk di dalamnya sastra. Posmodernisme telah menentang mitos-mitos modern dan juga telah menghilangkan batas-batas antara seni dan kehidupan masa kini, antara elit yang hirarkhis dengan budaya populer, dan antara gabungan stalistik dengan pencampuran kode. Melalui terobosan postmodern, telah mengubah hal-hal yang tak mungkin menjadi mungkin, seperti hadirnya cybersastra yang akhir-akhir ini sedang bergema. Karena kelahirannya yang dilatar belakangi oleh pemahaman sastra dari segi modernitas yang sangat patuh pada aturan-aturan tertentu. Dari sifat modernisme yang radikal itu, posmodernisme mendobrak dan mengkontruksi tatanan yang baik dan lebih handal.
Postkkolonia merupakan suatu kajian yang merefeksikan kembali masa kolonial yakni interaksi antara penjajah dalam hal ini barat dengan masyarakat pribumi yakni timur (orient). Dimana pada saat itu terjadi penguasaan dan penundukan secara totalitas terhadap masyarakat pribumi yang meliputi segala aspek, baik secara fisik maupun mental. Kondisi sosial kultural juga tidak luput dari hegemoni barat. Dalam kajian postkolonial, barat melakukan hegemoni terhadap Negara bekas jajahan dengan mengkonstruk cara pandang bahwa masyarakat barat merupakan sosok makhluk sempurna, sehingga tolak ukur kebenaran berdasarkan praktek keBaratan. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah sebuah Negara telah bebas dari cengkaraman penjajah, tidak berarti juga bebas dari hegemoni atau penjajahan secara konsep. Dalam hal ini masyarakat timur digiring cara pandang agar berkiblat ke barat.
Pertanyaan dan tanggapan Mba marita Apa alasan dari ciri kedua dalam postmodernisme? Mbak rusmi Posmodernisme anti modern? Pak Hidayat Apakah memang betul negara-negara yang tidak pernah dijajah, bisa dikaji dengan postkolonial? Dan apakah betul atau salah postkolonial tidak membahas tentang kolonial? Postmodernisme bukanlah pisau, atau hanya era?