PENGANTAR KESEHATAN REPRODUKSI Lutfi Agus Salim
Pentingnya Kesehatan Reproduksi Dalam Kependudukan Kesehatan reproduksi perlu mendapat perhatian besarnya kaitan antara kesehatan reproduksi dengan kependudukan Semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dan sosial penduduk yang berhubungan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi manusia. Kesehatan reproduksi merupakan kecenderungan baru yang lebih manusiawi, dimana penduduk tidak hanya dipahami sebagai angka-angka mati, tetapi sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi.
Batasan Kesehatan Reproduksi Keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya (Family Care International, 1994:10) Kesehatan reproduksi dalam arti yang luas meliputi seluruh proses, fungsi dan sistem reproduksi pada seluruh tahapan kehidupan manusia
Secara lebih khusus, studi kesehatan reproduksi mempelajari bagaimana individu dapat terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang disebabkan oleh proses atau bekerjanya fungsi dan sistem reproduksi.
Manusia secara naluriah mempunyai dorongan seksual (sexual drives), dan akibat pengaruh faktor sosial budaya membentuk makna subyektif tentang seksualitas (seksual meanings), akibatnya timbul hasrat mencari pasangan (seksual patnership). Dari situ muncul aktivitas seksual (sexual acts) berikut akibatnya, yaitu mengalami kehamilan dan melahirkan atau tanpa berniat memperoleh keturunan.
Tema Kesehatan Reproduksi Dalam Konferensi Kependudukan di Kairo 1994 Rencana Tindakan Pasal 7. hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, keluarga berencana, penyakit menular seksual dan pencegahan HIV, seksualitas manusia dan hubungan jender masalah remaja.
RUANG LINGKUP Menurut Dixon-Mueller (1994:36) adalah elemen-elemen kesehatan reproduksi yaitu seks yang sehat dan reproduksi yang sehat.
RUANG LINGKUP KESPRO.. Koentjoro (1994) 1. KESEHATAN GENERATIF tercermin dalam upaya mendapatkan keturunan yang sesuai dengan kehendak pasangan suami istri segala upaya mengatur dan memperoleh generasi yang sehat, sejak proses spermatogenesis dan oogenesis, pembuahan, kelahiran sampai pasca kelahiran.
2. KESEHATAN SEKSUAL tercermin pada segala perilaku dan sikap seksual secara perorangan, pasangan dan dalam masyarakat. kesehatan kejiwaan seks (psikoseksual) dan kesehatan seks fisiologis/ biologis.
SEKS YANG SEHAT Individu terbebas atau terlindung dari kemungkinan terkena penyakit menular karena hubungan seks (Sexual Transmitting Disease =STD) Individu terlindungi dari praktek-praktek yang berbahaya dan kekerasan seksual. Individu dapat mengontrol akses seksual orang lain kepadanya. Individu dapat memperoleh kenikmatan atau kepuasan seksual. Individu dapat memperoleh informasi tentang seksualitas.
REPRODUKSI YANG SEHAT Aman dari kemungkinan kehamilan yang tidak dikehendaki. Terlindung dari praktek reproduksi yang berbahaya. Bebas memilih kontrasepsi yang cocok baginya. Punya akses terhadap informasi kontrasepsi dan reproduksi. Punya akses tehadap perawatan kehamilan dan pelayanan persalinan yang aman. Punya akses terhadap pengobatan kemandulan (infertilitas).
RUANG LINGKUP Affandi (1995), kesehatan reproduksi mencakup kemampuan (ability), keberhasilan (succes) dan keamanan (safety).
PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI A. KONSEP Tujuan: Penurunan tingkat fertilitas (tujuan primer) Memperbaiki kesejahteraan ibu dan anak dan kesejahteraan keluarga (tujuan sekunder) Peningkatan kontrol perempuan atas tubuhnya dan hidupnya Memperbaiki kesehatan perempuan termasuk kesehatan reproduksinya. Mengubah kondisi-kondisi sosial ekonomi yang menjadi penghambat terhadap pelaksanaan hak reproduksi (mis. status hukum perempuan, pendidikan, tingkat kemiskinan, partisipasi dalam pengambilan keputusan rumah tangga).
KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI Etika/Nilai: Reproduksi merupakan fungsi sosial Tujuan demografis negara lebih penting daripada hak-hak individu Perempuan mempunyai hak dan tanggungjawab sosial untuk menentukan jumlah anak. Perempuan mempunyai hak untuk memperoleh otonomi dan hak atas pilihan reproduksi Laki-laki juga mempunyai tanggung jawab pribadi dan sosial terhadap perilaku seksual mereka dan fertilitas. Hak-hak dasar seksual dan reproduksi tidak dapat disubordinasikan secara berlawanan dengan kemauan perempuan, kepada kepentingan pasangan, anggota keluarga, pengambil keputusan, negara atau aktor-aktor lain. Perempuan dapat dipercaya dan dihormati di dalam membuat keputusan reproduksi mereka jika diberi informasi yang lengkap
PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI Asumsi yang melatarbelakangi Besarnya penduduk merupakan determinan utama dari kemiskinan, keterbelakangan dan kelestarian lingkungan Pengendalian penduduk akan menurunkan fertilitas Kemiskinan dan lain-lain adalah disebabkan oleh model pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan. Yang diperlukan adalah pemenuhan kebutuhan dasar, bukan berpusat pada pengendalian penduduk. Perbaikan status perempuan dan kualitas program kesehatan reproduksi akan menurunkan fertilitas.
KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI B. PROGRAM Tujuan Target dicapai dengan pemberian insentif, disinsentif dan paksaan secara terang-terangan atau terselubung. Luas Layanan Kontrasepsi, infertilitas (jika pro-natalis), kesehatan maternal, aborsi (jika secara budaya dapat diterima) Tidak berorientasi pada target, tetapi memusatkan pada kebutuhan individu Kontrasepsi, kesehatan maternal, aborsi, PMS, infeksi saluran reproduksi, AIDS, seksualitas, kekerasan terhadap perempuan, pemeriksaan kanker (payudara dan kandungan), dalam konteks hubungan-hubungan kekuasaan jender (seperti suami, ayah, negara)
KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA (DAHULU) KESEHATAN REPRODUKSI Keberdayaan Perempuan Tak ada komponen menyangkut status Metode Kontrasepsi Memprioritaskan pada kontrasepsi yang permanen, berjangka panjang, yang memerlukan intervensi medis (mis. sterilisasi, suntikan); preferensi penyedia layanan dominan Peningkatan kontrol/ keberdayaan perempuan dimasukkan dalam semua rancangan dan implementasi layanan. Perempuan didorong untuk untuk menuntut layanan Menekankan pada metode yang aman, efektif dan tersedia yang pilihannya tergantung pada keputusan perempuan Sumber: Toward Women-Centered Reproduction Health, Information Package :1(1994)
ANALISIS DATA KEPENDUDUKAN
TREN INDIKATOR FERTILITAS DI INDONESIA (1991-2007) Tahun 1991 - 2002 Tahun 2003 - 2007 Usia kawin pertama Naik (dari 17,7 tahun menjadi 19,2 tahun) Stagnan di angka 19,3 tahun Angka peserta KB aktif (prevalensi kontrasepsi) Naik (dari 49,7% menjadi 60,3%) Sedikit meningkat menjadi 61,4% Angka peserta KB baru Naik, mencapai 70,4% Turun, menjadi 69,6% Tingkat fertilitas (TFR) Turun (dari 3 menjadi 2,6) Stagnan di angka 2,6
Indikator Makro Program KB dan Kesehatan Reproduksi Kondisi pada tahun 2002 TFR (Total Fertility Rate) ASFR 15-19 MMR (Maternal Mortality Ratio) IMR (Infant Mortality Rate) Median umur perkawinan pertama usia 25-49 Median umur melahirkan anak pertama usia 25-49 Kelahiran yang terjadi pada perempuan usia 15-19 Unwanted pregnancy 2,6 anak/perempuan 51 anak/1.000 perempuan usia 15-19 307 kematian/100.000 kelahiran hidup 35 kematian/1.000 kelahiran hidup 19,2 tahun 21,0 tahun 8,3 persen 16,8 persen Sumber: SDKI 2002-03
Indikator Makro Program KB dan Kesehatan Reproduksi Kondisi pada tahun 2002 CPR (Contraceptive Prevalence Rate) KB untuk menjarangkan kelahiran KB untuk membatasi kelahiran Kesertaan KB Pria (Kondom dan MOP) Unmet Need Unmet need untuk penjarangan kelahiran Unmet need untuk pembatasan kelahiran 60,3 persen 24,2 persen 36,2 persen 1,3 persen 8,6 persen 4,0 persen 4,6 persen Sumber: SDKI 2002-03
LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK PROPINSI JATIM 2002-2006
TINGKAT LPP MENURUT DAERAH JAWA TIMUR 1,097 LPP >1.09 LPP 0.93-1.09 LPP<0.93
TINGKAT FERTILITAS PROPINSI JAWA TIMUR 1982-2006
TINGKAT FERTILITAS MENURUT DAERAH DI JAWA TIMUR 2005 JAWA TIMUR 2,01 TFR >2.2 TFR 2.0-2.2 TFR<2.0
RATA-2 % WANITA KAWIN PERTAMA USIA < 20 TH TAHUN 2005 PROP. = 22.75 < 20 % 20 - 25 % > 25 %
PERSENTASE PENCAPAIAN PB – PRIA TAHUN 2005 PER KAB./KOTA PROP. = 0.99 > 1,10% < O,7 % 0,7 – 1,10 %
PENCAPAIAN PESERTA KB BARU (PB) THD PRAKIRAAN PERMINTAAN MASYARAKAT (PPM) TAHUN 2005 PROP. = 88,4 < 90% 90 - 100 % > 100 %
PENCAPAIAN PREVALENSI KESERTAAN BER KB TAHUN 2005 PROP. = 76,2% > 75 % < 70 % 70 - 75%
PENCAPAIAN PESARTA KB AKTIF (PA) SEMUA METODE TERHADAP PPM TAHUN 2005 PROP. =105.1 < 95 % 95 - 100 % > 100 %
KESERTAAN BER KB PRIA TAHUN 2005 PROP = 0,80% < 0,5 % 0,5 – 1,0% > 1,0 %
PUS BUKAN PESERTA KB TIDAK HAMIL (UNMETNEED) DESEMBER 2005 JATIM = 24,7% > 25 % < 20 % 20 – 25%
DROUP OUT PESERTA KB S/D BULAN DESEMBER 2005 PROPINSI JAWA TIMUR JATIM = 11.6% > 15 % 10 – 15% < 10 %
SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH PENCAPAIAN PROGRAM KB DI JAWA TIMUR SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH
sebelum otonomi daerah
Persentase pencapaian program KB aktif terhadap PPM sebelum dan sesudah otonomi daerah
Persentase Pencapaian Angka Drop out Peserta KB semua metode sebelum dan sesudah otonomi daerah
Persentase Pencapaian Tingkat Kemandirian Peserta KB Aktif semua metode sebelum dan sesudah otonomi daerah
TERIMA KASIH