DESENTRALISASI DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS Oleh: Ni’matul Huda Bahan Kuliah Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 2015
Problematikan Desentralisasi Pasca Reformasi Terlalu banyak urusan yang didesentralisasikan dalam waktu singkat Infra dan supra struktur di daerah belum disiapkan secara matang Kepala Daerah dan DPRD beragam tafsir tentang otonomi daerah (memunculkan raja-raja kecil di daerah) Perda menjadi tumpuan meningkatkan PAD (banyak yang dibatalkan) Perijinan kurang terkendali (50% dari 10.000 ijin bermasalah) Pemekaran daerah tidak terkendali (80% daerah baru atau + 320 dinyatakan ‘gagal’) Banyak benturan aturan main antara UUPD dengan UU sektoral Lemahnya pengawasan Pusat terhadap Daerah (produk hukum daerah) Biaya Pilkada dan Pileg mahal (Pemilihan langsung & suara terbanyak)
Desentralisasi Politik, Administrasi, dan Fiskal Desentralisasi politik pada intinya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan suatu kebijakan. Desentralisasi administrasi atau desentralisasi manajerial memberikan petunjuk bagaimana implementasi dari pengalihan kewenangan fungsi tersebut. Desentralisasi fiskal menyediakan pembiayaan untuk pengalihan kewenangan tersebut.
Kelemahan-kelemahan Administrasi Pemerintah yang Sentralistis Kebijaksanaan pemerintah diambil lebih banyak oleh Pusat (departemen), yang biasanya memberlakukan daerah secara sama, padahal situasi dan kondisi lokal berbeda. Volume dan beban pemerintah Pusat secara teknis terlalu besar, berat dan kompleks, sehingga kurang efektif dan efisien. Kurang melibatkan dan kurang mengembangkan potensi dan kemampuan lokal, sehingga kurang memuaskan aspirasi dan harga diri yang bersifat lokal.
Desentralisasi Asimetris menurut van Houten Kewenangan legal (berkekuatan hukum) yang diberikan kepada kelompok masyarakat khusus yang tidak memiliki kedaulatan, atau wilayah yang khusus secara etnis, (agar mereka dapat) membuat keputusan-keputusan publik yang mendasar dan melaksanakan kebijakan-kebijakan publik secara bebas di luar sumber-sumber kewenangan negara (yang berlaku selama ini), tetapi tetap tunduk di bawah hukum negara secara keseluruhan. Dengan perkataan lain, otonomi berarti hak (yang diberikan kepada) masyarakat etnis atau penduduk dari suatu wilayah beretnis khusus tertentu, yang tidak memiliki kedaulatan (politik) sendiri, untuk melaksanakan suatu yurisdiksi eksklusif.
Lanjutan Definisi otonomi yang dikembangkannya van Houten memiliki aspek- aspek penting yang perlu diperhatikan: Pertama, definisi tersebut mencakup dua bentuk otonomi: otonomi wilayah (territorial autonomy) dan bentuk-bentuk otonomi non- wilayah (non-territorial forms of autonomy). Kedua, di dalam definisi tersebut dimunculkan dua bentuk otonomi, yaitu otonomi asimetris dan otonomi yang berlaku umum. Ketiga, definisi tersebut dikembangkan dari perspektif kelompok etnis atau wilayah yang didasarkan atas etnis, yang karenanya kemudian perlu memiliki otonomi tersendiri.
Irfan Ridwan Maksum Otonomi asimetris adalah otonomi yang diterapkan untuk semua daerah otonom di sebuah negara dengan prinsip tak sama dan tak sebangun. Sedangkan otonomi simetris diterapkan untuk semua daerah otonom dengan prinsip sama dan sebangun. Asimetris dalam pemahaman ini adalah asimetris struktur kelembagaan antardaerah otonom dan bukan daerah otonom terhadap pemerintah pusat, atau bukan pula asimetris dalam hal penyerahan urusan belaka. Asimetris jenis ini secara otomatis terjadi jika dikerangkai oleh sistem federal. Indonesia adalah negara kesatuan. Bagaimana caranya menampung nilai monarki kalau secara logika antardaerah otonom harus simetris otonominya?
Djohermansyah Djohan “Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) bukanlah pelimpahan kewenangan biasa. Dia berbentuk transfer kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik dia merupakan strategi komprehensif Pemerintah Pusat guna merangkul kembali daerah- daerah yang hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Dia mencoba mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam sistem pemerintahan lokal yang khas. Dengan begitu diharapkan perlawanan terhadap pemerintah nasional dan keinginan untuk merdeka dapat dieliminasi lewat sistem pemerintahan lokal yang specifik seperti yang dipraktekkan di beberapa Negara antara lain wilayah Quebeq di Kanada, Mindanao di Filipina, Bougainville di Papua New Guniea, dan Basque di Spanyol. Mereka misalnya, boleh punya bendera, bahasa, partai politik lokal, dan bagi hasil sumber-sumber pendapatan yang lebih besar.”
Jacques Bertrand Desentralisasi asimetris dan otonomi luas (khusus) bukan merupakan satu-satunya ‘obat mujarab’ atau panacea bagi solusi mendasar atas masalah separatisme atau ‘nasionalisme etnis’ di Aceh (atau di tempat-tempat lain), kecuali bila dikombinasikan dengan upaya-upaya lain yang tepat. Pendekatan desentralisasi plus” ini (plus pembangunan ekonomi, good governance, keadilan (termasuk di dalamnya affirmative action dalam jangka waktu tertentu), HAM dan vibrant civil society), diharapkan dapat memperbaiki hubungan Pusat – Aceh, juga diharapkan dapat memecahkan masalah separatisme di daerah- daerah lain di Indonesia (dan mungkin juga di negara-negara lain).
Manfaat Desentralisasi Asimetris Menurut Hannum terdapat dua manfaat: 1. Sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-konflik fisik lainnya. Ia mencontohkan hubungan Hong Kong dan Cina, di mana Hong Kong jelas adalah bagian daerah kedaulatan Cina sebagai suatu negara, tetapi Hong Kong diberikan sejumlah kewenangan penting dalam pengertian politik, hukum dan ekonomi. 2. Sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah- masalah kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan, misalnya sebagaimana yang tercantum dalam CSCE Copenhagen Document tahun 1990.
Permasalahan dalam Desentralisasi Asimetris Menurut Hannum, sumber permasalahan yang terutama adalah: Apabila baik pemerintah nasional maupun kelompok minoritas yang bermaksud meminta, atau telah diberikan status otonomi khusus itu, sama- sama tidak memahami apa saja yang seharusnya menjadi isi otonomi tersebut terutama dalam kaitannya dengan upaya bersama untuk memecahkan masalah nasional, atau secara lebih khusus masalah ancaman disintegrasi yang tidak bisa diabaikan secara nasional. Keadaan dapat menjadi lebih buruk apabila timbul kecemburuan sosial dari rakyat di wilayah-wilayah lain yang memandang desentralisasi asimetris/otonomi khusus itu identik dengan pilihkasih yang ditunjukkan pemerintah pusat kepada rakyat di wilayah tertentu, atau apabila pemberlakuan desentralisasi asimetris itu menambah beban wilayah-wilayah lain itu.
Menurut Cornelis Lay Kebijakan desentralisasi asimetris secara tipologis dapat dibedakan ke dalam lima tipe berikut ini: Pertama, tantangan yang bersifat politik, terutama yang terkait dengan “regional questions”. Pengaturan asimetris ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan basic boundaries unit politik suatu negara. Rancangan desentralisasi asimetris – federasi asimetris – dengan motivasi politis ini adalah yang paling luas ditemukan dalam pengalaman negara-negara dari berbagai belahan dunia. Kedua, sebagai instrumen kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur kesejarahan, termasuk dalam kerangka perlindungan kaum minoritas dan manajemen konflik.
Lanjutan Ketiga, kebijakan untuk menjembatani tantangan yang bercorak teknokratik- managerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyampaikan atau menyediakan pelayanan publik secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain yang berada di level yang sama. Keempat, kebijakan yang dirancang untuk memperkuat kapasitas competitiveness sebuah negara bangsa dalam kerangka persaingan global dan regional yang semakin keras. Kelima, kebijakan yang dirancang sebagai instrumen untuk meminimalisasi “resiko” misalnya bagi kawasan-kawasan perbatasan yang mengandung resiko bagi keamanan negara dan keutuhan territorial negara bangsa, kawasan dengan resiko pengulangan bencana yang tinggi, atau pun kawasan dengan siklus “rawan pangan” yang ajeg.
Menurut Heintze Agar otonomi khusus tidak disalahgunakan, maka hal-hal berikut ini harus dilaksanakan: 1. Pemerintah otonomi khusus harus berkomitmen dan menunjukkan dengan bukti-bukti nyata perlindungan HAM dan hak-hak kaum minoritas; 2. Pemerintah otonomi khusus harus menjamin keselamatan seluruh warga dan membentuk mekanisme agar hak-hak politik warga tersebut dapat disalurkan dan terpresentasi dengan baik dan benar; 3. Pemerintah otonomi khusus harus memperkuat kemampuan keuangan untuk melaksanakan program-program pembangunan dan pelayanan masyarakat; dan 4. Pemerintah otonomi khusus dan pemerintah pusat perlu membentuk dan menyepakati mekanisme penyelesaian konflik – termasuk di dalamnya menyiapkan dan menyepakati masa dan mekanisme transisi kewenangan.
Menurut Stefannd Wolff Status otonomi khusus memungkinkan banyak hal yang selama ini menjadi persoalan antara daerah tersebut dengan pemerintah pusat dapat dimasukkan, diterapkan dan dikembangkan khusus di daerah itu. Dalam konteks ini, otonomi khusus jelas adalah suatu otonomi wilayah (territorial autonomy) dan bukan otonomi sektoral (sectors autonomy). Dengan demikian, semua orang yang berdiam di wilayah itu tunduk kepada status itu, dan bukan hanya kelompok-kelompok tertentu saja. Otonomi khusus dalam pengertian otonomi wilayah harus diupayakan untuk memastikan dua hal berikut ini: (1) seluruh penduduk di wilayah tersebut harus memperoleh manfaat, dan seluruh etnis harus memperoleh keterwakilan politik; dan (2) kelompok-kelompok yang selama ini termarginalkan bahkan didiskriminasi harus memperoleh perhatian khusus.
Kesimpulan Hannum Manfaat otonomi khusus sebagai penyelesaian masalah adalah bahwa sesuai dengan definisinya, otonomi khusus berfungsi mempertahankan integritas negara. Sekuat apa pun suatu wilayah otonomi khusus, dalam skala internasional wilayah itu tidak memiliki kedaulatan sama sekali, dan tetap tunduk di bawah berbagai yurisdiksi negara yang membentuk wilayah otonomi khusus itu. Jelas pendekatan ini disukai negara-negara yang menghadapi masalah (separatism), dan juga menarik bagi pihak luar yang mengkuatirkan timbulnya efek destabilisasi yang dihasilkan oleh wilayah-wilayah yang lebih kecil atas dasar etnis. Otonomi khusus dengan demikian dapat dipandang sebagai penyumbang (penting) bagi stabilitas internasional karena otonomi khusus menggantikan opsi pemisahan diri.