AUDIEN (Tester, Keith Media, Budaya dan Moralitas

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
Fenomena Komunikasi Massa
Advertisements

TEKNIK WAWANCARA & OBSERVASI
Konvergensi Media dan Trend Media Massa Saat Ini Pertemuan 25 & 26
Teori Public Relations
PERENCANAAN DAN ANALISIS SISTEM
Komunikasi massa Puri Kusuma D.Putriii. “Saya lebih takut menghadapi tiga surat kabar daripada seribu ujung bayonet.” (Napoleon)
Analisis dalam Riset Komunikasi (Sebuah Pengantar)
TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF
Universitas Dian Nuswantoro
Cultural Studies (Sebuah Pengantar)
Penelitian Kualitatif
Etnografi Penonton.
Metode Pembelajaran (Ceramah, Ekspositori, Demonstrasi, Drill dan Latihan, Tanya Jawab) Kelompok 6 : Febi Putri Rahmadini Fuji Rahayu Wulandari.
PERTEMUAN 15.
Teori-Teori Komunikasi Massa
(2)KARAKTERISTIK IPS SD
Pertemuan 2 Subyek diminta untuk menceritakan setiap gambar pada tester, yang meliputi kejadian yang tampak pada gambar, apa yang menyebabkannya terjadi,
Manfaat Media Massa Pertemuan 8 Matakuliah: O0104/ Teori Komunikasi Tahun : 2007.
Pekan I ‘’Ekonomi Media’’
TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF.
Teori – Teori Sosial Pip, Jones (2009).
Materi Tutorial Tatap Muka Pertemuan ke-5
PERILAKU PETANI Sub Pokok Bahasan Ini Mempelajari Teori Perilaku Manusia Dan Faktor Yang Berkorelasi Dng Perilaku Manusia BY : SUTRISNO.
K V: HAMBATAN KOMUNIKASI MASSA
TEORI KOMUNIKASI MASSA
PROSES MENDENGARKAN AKTIF
Universitas Dian Nuswantoro
Fenomena Komunikasi Massa
Komunikasi massa. “Saya lebih takut menghadapi tiga surat kabar daripada seribu ujung bayonet.” (Napoleon)
03 SOSIOLOGI KOMUNIKASI FUNGSI KOMUNIKASI MASSA BAGI MASYARAKAT
PENDEKATAN PENELITIAN KUALITATIF
Teori BerMedia.
PERTEMUAN 4 HARLINDA SYOFYAN, S.Si., M.Pd
Menemukan Ide dan Merumuskan Konsep
Konsep dan lingkungan pemasaran
Fenomena Komunikasi Massa
PENGERTIAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI (KAP) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAP Pengertian KAP Secara umum komunikasi antar pribadi (KAP) dapat diartikan.
PENDEKATAN PENELITIAN (Strategi Penelitian) KUALITATIF
Pengantar Ilmu Komunikasi
Kecakapan Antarpribadi
PENDEKATAN PENELITIAN (Strategi Penelitian) KUALITATIF
KEMAMPUAN KOMUNIKASI SECARA EFEKTIF
KOMUNIKASI MASSA Kelompok 10 : M. Tauviqul Hakim ( )
Menemukan Ide dan Merumuskan Konsep
Kuliah 6 Editorial dan Penyuntingan Berita
NEGOSIASI.
UNSUR-UNSUR/ELEMEN DASAR DALAM PENELITIAN
Teori Komunikasi Massa
BAHASA & KERANGKA ACUAN
ICT DALAM BELAJAR MENGAJAR
KARAKTERISTIK MATEMATIKA
KONSUMSI TEKS.
HAKIKAT BELAJAR & PEMBELAJARAN
Materi Tutorial Tatap Muka Pertemuan ke-5
HOW TO DO MEDIA & CULTURAL RESEARCH
LITERASI MEDIA&ANTISIPASI TERHADAP MASALAH SOSIAL
MENUMBUHKEMBANGKAN DAN MEMBUDAYAKAN LITERASI DI INDONESIA

Teori BerMedia.
Menemukan Ide dan Merumuskan Konsep
Muhammad Noor Hidayat MIKom
TEORI TEORI DI KOMUNIKASI MASSA
TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF
TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN KUALITATIF
disajikan oleh : Machmud SYAM
Metode “Agenda Setting” dalam Penelitian Komunikasi Oleh: Kelompok 1 & Kelompok 2.
Teori Komunikasi Massa 2
THEORIES OF EDUCATIONAL MANAGEMENT
Jurnalistik dan Pers Selain komunikasi, istilah jurnalistik juga memiliki kaitan erat dengan istilah pers. Bahkan, jurnalistik sering diidentikkan dengan.
Teori Komunikasi Massa
Transcript presentasi:

AUDIEN (Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas AUDIEN (Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose - Kreasi Wacana)

AUDIEN Audien menurut Adorno merupakan korban, sedangkan menurut Morley malahan pengguna. Theodor Adorno mendefinisikan audien sebagai massa yang pasif dan dibodohi. David Morley melihat audien sebagai beragam kelompok konsumen yang aktif.

Dampak perilaku the extreme of heavy TV viewing yang diteliti di AS tahun 2001 hasilnya antara lain munculnya perilaku loneliness, sosok yang kehilangan interaksi sosial, youth, “televisi merebut masa muda”, low income, menyederhanakan masalah dengan hanya nonton TV, lack of education, hidup dalam “keterampilan pasif”, availability of free time, menyukai sedikit bekerja dan bergerak (Masduki, 2008).

Menurut Shoemaker dan Reese (2000) ada empat faktor yang saling bekerjasama dalam proses hyper commercialization of culture. Pertama, faktor individu kreator; Kedua, faktor jaringan organisasi yang menghubungkan antara pengelola media penentu rating dan produsen tayangan; Ketiga, faktor nilai-nilai dan kebijakan pengelola TV; Keempat, faktor eksternal berupa pengiklan yang melingkupi operasi media televisi.

Menurut Adorno keberadaan budaya industri mempunyai arti bahwa kita(audien) menjadi tidak bisa berimajinasi tentang adanya kemungkinan perbedaan kualitatif yang signifikan . Maksudnya audien menjadi tidak bisa membedakan antara yang kenyataan dan hasil imajinasi industri media.

Dalam karya Adorno dan Horkheimer cukup jelas bahwa audien dan media mempunyai hub sebab-akibat dan aksi-reaksi. Artinya audien dan media terlibat hubungan dalam praktik dan prosedur dialog. Media terlibat dalam hubungan dialog karena ia memberi inspirasi berupa semacam respons pada pihak pembaca, penonton, atau pendengar. Teks media pada dasarnya bersifat dialogis (yaitu, mereka secara fundamental terlibat dalam dialog) karena memang dimaksudkan untuk memprovokasi semacam respons dari audien.

Voloshinov mengatakan bahwa ucapan seperti dalam perkuliahan hanya bisa betul-betul diterangkan dan dipahami kalau perhatian diarahkan kepada audien yang berusaha memahami dan memberikan respons terhadap teks yang mereka terima… Oleh karena itu, sangat penting untuk memberi perhatian pada audien. Berbeda dengan monolog, tentu saja seseorang berbicara untuk menafikan orang lain; para audien tidak bisa memberikan respons, mereka hanya menyerap apa yang diberikan.

Adorno dan Horkeimer merumuskan tiga persoalan Pertama, mereka menegaskan bahwa budaya industri melihat dan menciptakan audien tunggal. Kedua, mereka menegaskan bahwa audien monolitik yang tunggal dari budaya industri ini adalah massa pasif. Ketiga, Adorno dan Horkheimer menegaskan bahwa dalam massa audien tunggal masing- masing individu merasa asing dengan individu lainnya.

Paradoks yang disorot oleh Adorno dan Horkheimer mempunyai dua komponen. Pertama, paradoks itu berarti kita mengalami media itu seorang diri. Kedua, ia berarti bahwa media memperlakukan kita seolah-olah kita semua sama. Kesimpulannya adalah media memiliki dampak menurunkan level semua individu, sehingga dari sudut pandang budaya industri , semua individu tersebut betul-betul sama dalam semua hal penting. Contoh yang sangat jelas dapat dilihat pada kasus pemujaan terhadap bintang film. Hal ini terjadi karena audien begitu lemah dihadapan budaya industri media. Namun tentu saja para bintang film itu juga adalah korban dari budaya industri media.

Adorno dan Horkheimer juga mengatakan bahwa media memperlakukan kita (audien) sebagai bagian dari massa dan memaksa kita (audien) untuk bertindak dan berpenampilan seperti yang ditampilakn oleh media. Intinya, media mengubah identitas asli diri kita (audien) menjadi diri orang lain dengan membuat kita (audien) tidak puas dengan keadaan diri kita (audien). Menurut dua tokoh tersebut, audien penting bukan karena dia itu siapa, tetapi karena apa yang terjadi atas dirinya. Audien penting karena proses dehumanisasi yang dilancarkan dan telah menimpa atas dirinya.

Dalam ruang lingkup komunikasi massa teori-teori Adorno dan Horkheimer mungkin disebut Cultivation Theory. Teori ini beranggapan penilaian, persepsi, opini audien televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Apa yang terjadi pada televisi, itulah dunia sesungguhnya dan para pecandu televisi akan memiliki kecenderungan sikap yang sama satu sama lain (Nurudin, 2007: 169).

Dalam teori seni dalam pemahaman Adorno terhadap budaya industri, audien seharusnya menjadi partner dalam sebuah dialog. Namun nyatanya, media hanya melakukan sebuah monologis yang membuat audien tetap dalam keterasingan dalam hal sosial dan moral, sehingga audien tidak bisa memberikan umpan balik.

Voloshinov mengasumsikan seperti halnya profesor yang hanya melihat catatannya saja bukanlah orang yang baik dalam profesinya. Hal itu karena professor tersebut telah melemahkan kekuatan ucapannya dan memutuskan hubungan dialogis dengan audiennya, sehingga mengurangi nilai pembicaraannya (Voloshinov 1988: 118).

Teori budaya industri mengasumsikan bahwa semua media hanya mendengarkan suara mereka saja (dalam hal ini cultural studies akan menjadi salah satu sumber budaya industri untuk berbicara kembali pada dirinya). Dengan kata lain, teori budaya industri kelihatannya memiliki kekeliruan logis yang fundamental di dalam intinya.

Hoggart memberikan komentar bahwa produk media cenderung ke arah pandangan dunia dimana kemajuan dipahami sebagai usaha mencari materi, kesetaraan dipahami sebagai kesetaraan moral, dan kebebasan dipahami sebagai landasan kenikmatan abadi yang tidak bertanggung jawab (Hoggart 1958: 282).

Adorno dan Horkheimer beralasan bahwa orang-orang disiapkan menjadi individu yang terasing dalam massa audien potensi karena semua potensi pemberontak dari individu telah betul-betul dihancurkan dan dibuyarkan oleh budaya industri, sehingga tidak satupun yang tertinggal selain kepasifan.

Ia tidak mau menyimpulkan bahwa audien telah diubah menjadi massa individu karena ia memberi respons terhadap teks media yang monolog (sudah mulai berdialog). Media membuat “para pekerja” menjadi pasif, tetapi ia juga telah gagal menyadari bahwa audien hanya bisa dibuat pasif kalau ia merespons media tersebut dengan cara yang pasif juga. hoggart menegaskan bahwa para pekerja (audien) menerima semua proses yang menjadikan mereka objek karena mereka dibutakan oleh imbalan menggiurkan yang ditawarkan oleh iklan. Tetapi ternyata semua yang mereka dapatkan dari iklan hanyalah kehancuran cara hidup tradisional mereka serta kedekatan palsu.

Fiske Akibatnya, sebuah program dibaca sebagai teks oleh audien yang memproyeksi makna dan interpretasinya sendiri kepada program tersebut. Masing-masing audien akan mengkonstruksi makna teks berbeda dari audien lainnya karena kekhasan posisi budaya dan sosialnya. John Fiske menegaskan bahwa unifikasi ideologis tidak bisa disangkal telah gagal manakala beragam sub-budaya audien menciptakan makna mereka sendiri-sendiri tentang teks budaya pop (Tetzlaff 1992: 49). Fiske juga menegaskan bahwa semua individu dalam lingkup audien media distandarkan dan disamakan levelnya menjadi sebutan persamaan (common denominator). Hal ini menunjukan bahwa perhatian besar seharusnya diberikan kepada kondisi dan konteks dimana penonton terlibat dalam aktivitas sehari-hari yang praktis dalam menonton televisi. mendefinisikan program televisi sebagai sebuah entitas tertentu yang stabil, diproduksi dan dijual sebagai komoditas serta paket yang distribusinya diatur menurut jadwal. Teks adalah produk dari pembaca (audien) mereka. Ia juga menjelaskan program berubah menjadi teks di saat terjadinya pembacaan (reading), yaitu ketika program berinteraksi dengan salah satu audien yang mengaktifkan berbagai makna/kesenangan yang bisa melakukan provokasi (Fiske 1987: 14).

Hal ini karena media menawarkan pelarian dari kesepian dan kebosanan Hal ini karena media menawarkan pelarian dari kesepian dan kebosanan. Media tersebut menawarkan pertemanan kemungkinan untuk berdialog. Dalam komunikasi massa teori seperti ini disebut Media Equation Theory yang mengasumsikan media diibaratkan manusia yang bisa diajak bicara, penyalur kekesalan, dll. Melalui metode etnografi Dorothy Hobson melakukan wawancara dan mengamati wanita yang berada di rumah dengan anak kecilnya. Hasilnya, media penyiaran ternyata sangat penting dalam rutinitas keseharian para wanita muda dengan anak- anaknya. Hobson mengatakan bahwa bagi wanita, media sangat penting untuk berkompromi atau mengatur tegangan yang disebabkan oleh keterasingan dalam hidup mereka (Hobson 1980: 109).

Media sebagai agenda setting juga menjadi penunjuk waktu (time maker) audien dalam rutinitas sehari-hari. Audien bisa saja membagi waktu satu hari menjadi beberapa periode berdasarkan program acara dari media. Media selalu mengarahkan kita (audien) pada apa yang harus kita (audien) lakukan. Agenda media akan menjadi agenda masyarakat.

Menurut Morley; Bagi pria menonton televisi merupakan aktivitas yang terpisah dari interaksi dan relasi kehidupan keluarga. Bagi wanita menonton televisi pada dasarnya merupakan kegiatn sosial yang melibatkan percakapan dan mereka biasanya melakukan paling tidak satu aktivitas domestik lainnya pada waktu yang bersamaan.

Kritik terhadap etnografi Morley. Pertama, Morley terjatuh ke dalam logikanya sendiri yang menjerat John Fiske. Dia melewatkan kemungkinan bahwa apa yang kita anggap kita lakukan dan apa yang betul-betul kita lakukan boleh jadi merupakan dua hal yang berbeda. Kedua, karya Morley memuat persoalan yang sangat berlawanan dengan karya Adorno dan Horkheimer. Adorno dan Horkheimer menerangkan, tetapi tidak menggambarkan. Sedangkan Morley menggambarkan, tetapi tidak menerangkan. Etnografi Morley sangat terjerumus ke dalam jebakan fethization (pemberhalaan). Maksud dari pemberhalaan disini adalah kita(audien) dibutakan terhadap kondisi dimana sebuah komoditas dibuat.

Perbedaan antara Adorno serta Horkheimer dengan Morley ini disebabkan dua hal. Pertama, mungkin disebabkan oleh sikap terhadap dunia. Kedua, mungkin dikarenakan kenyataan bahwa meskipun mereka berbicara tentang media, tetapi mereka betul-betul berbicara tentang suatu hal yang sangat berbeda.

Oleh karena itu, mustahil mengatakan apapun tentang audien media yang akan cocok dengan penerimaan dan kesepakatan universal. Kita semua bisa membuat karya tentang audien media tanpa harus cemas bahwa orang lain akan menemukan kebenaran yang pasti, absolut, dan tidak bisa dipertanyakan lagi sebelum kita melakukannya.

DAFTAR PUSTAKA Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose - Kreasi Wacana. Masduki, dkk. 2008. Media, Jurnalisme dan Budaya Populer. Yogyakarta: Prodi Komunikasi Universitas Islam Indonesia & UII Press.   Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.