ROAD MAP PERJALANAN JAMU NUSANTARA Jamu telah menjadi unsur peradaban Nusantara, sejak ribuan tahun yang lampau yaitu sejak abad 7 Masehi. Dari berbagai sumber yang ada, secara singkat perkembangan jamu.
Tahun 722 M : Relief Karmawibhangga di dinding Candi Borobudur yang berukirkan cerita mengenai kebiasaan meracik jamu dari dedaunan sebagai bagian proses penyembuhan
Abad 9-10 M : Lontar Usada dari Bali dan Lontar Pabbura dari Sulawesi Selatan memuat mengenai racikan atau ramuan dari berbagai tanaman untuk menyembuhkan penyakit Abad 13 M : Prasasti Balawi, Sidoteka dan Madhawapura dari jaman Majapahit memuat mengenai peracik ramuan tradisional dengan istilah Tuha Nambi dan Acaraki. Abad 13-14 M : Kitab Sarasamuccaya memuat istilah mengenai pembuat ramuan dengan istilah mamimami, dan Kitab Korawacrama mempergunakan istilah Acaraki yang berperan sebagai penjual jamu
Pedagang jamu gendong selalu membawa jamu dalam jumlah 8 jenis Pedagang jamu gendong selalu membawa jamu dalam jumlah 8 jenis. Ini merupakan representasi konsep 8 arah mata angin sekaligus lambang surya Majapahit Wilwatikta Delapan jenis jamu tersebut antara lain: Kunir Asam, Beras Kencur, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci Suruh, Kudu Laos, Uyup-Uyup/Gepyokan, dan Sinom
Abad 17-18 M : Berbagai informasi mengenai jamu atau ramuan tradisional baik itu untuk kesehatan maupun kecantikan, sebagaimana ditulis oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II dalam Kitab Primbon Jampi Jawi, naskah Buku Jampi maupun Primbon Lukmanakim Adammakna yang berisikan informasi mengenai jalu usada yaitu jamu untuk kesehatan lelaki, wanita usada yaitu jamu untuk kesehatan wanita, primbon triguna yaitu jamu untuk berbagai kebutuhan, dan rarya usada yaitu jamu untuk anak-anak. Kanjeng Sinuhun Sunan Pakubuwono IV juga membuat Serat Centhini yang memuat mengenai penyembuhan dengan ramuan dari bahan-bahan alam serta Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi yang memuat informasi mengenai lebih dari seribu resep jamu.
Serat centini serta manuskrip kuno
Abad 19 M : Pada awal abad ke-19, para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris, maupun Jerman tertarik mempelajari Jamu. Beberapa di antaranya menuliskan ke dalam buku, misalnya “Practical Observations on a Number of Javanese Medications” oleh dr. Carl Waitz pada tahun 1829. (Pols, 2010)
Pada tahun 1850, seorang ahli kesehatan Geerlof Wassink membuat kebun tanaman obat dan menginstruksikan kepada para dokter di The Weltevreden Military Hospital agar menggunakan herbal untuk pengobatan. Lokasi tersebut sekarang menjadi RS Gatot Subroto, Jakarta. Hasil pengobatan tersebut dipublikasikan di Medical Journal of the Dutch East Indies. Pada abad 19 juga diterbitkan buku setebal 900 halaman tentang pemanfaatan Jamu di Indonesia oleh dr. Cornelis L. van der Burg, yang berjudul Materia Indica. (Pols, 2016)
Abad 20 M Pada awal abad ke 20, berdirilah berbagai pabrik Jamu di Indonesia. Pada era pendudukan Jepang tahun 1942-1944, Pemerintah Jepang mendukung Jamu Indonesia dengan membentuk Komite Obat Tradisional Indonesia pada 1944. Dengan adanya perhatian dari pemerintah, perusahaan-perusahaan Jamu yang dulunya sudah berdiri semakin pesat perkembangannya, seperti Jamu Djago, Nyonya Meneer, Jamu Iboe, Jamu Sido Muncul dan Jamu Air Mancur. (Beers, 2001).