Nawaksara atau Kudeta Konstitusi? Bonny Nur | Chintya | Pradisamia Dwi | Ulfa Rodillah Nawaksara atau Kudeta Konstitusi?
Topik-Topik Presentasi Latar Belakang Nawaksara Nawaksara dan Penolakannya Pelengkap Nawaksara dan Penolakannya Peralihan Kekuasaan Beberapa Buku Sumber Bertopik Nawaksara
Latar Belakang Nawaksara Pada 30 September 1965 terjadi percobaan kudeta yang dilakukan oleh PKI. Pada 1 November 1965 Panglima Kostrad Mayor Jendral Soeharto diangkat sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamaan dan Ketertiban (Pangkoptamtib) oleh Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi ABRI/KOTI. SK pengangkatan Soeharto sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini ditetapkan dalam Keppres. No 179/KOTI/1965.
Jumat pagi 11 Maret 1966 saat berlangsung sidang kabinet 100 menteri Jumat pagi 11 Maret 1966 saat berlangsung sidang kabinet 100 menteri. Kota Jakarta diserbu ribuan mahasiswa yang menuju Istana Merdeka untuk satu tujuan yaitu menyuarakan Tritura: Bubarkan PKI, bubarkan kabinet 100 mentri, dan turunkan harga. Pada hari itu juga ditetapkan surat perintah terhadap Letnan Soeharto yang sebelumnya untuk mengambil tindakan yang perlu bagi terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan revolusi.
Surat Perintah yang ditetapkan pada 11 Maret 1966 (Supersemar) itu merupakan kekuasaan derivatif yang berbentuk pemberian kuasa dari Presiden Soekarno terhadap Letjen Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan tritura.
Disamping itu pemegang SP 11 Maret diwajibkan melapor segala sesuatu yang bersangkutan dengan sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya. Pada tanggal 12 Maret 1966. Atas dasar SP 11 Maret, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai bawahannya serta menyatakan Partai Komunis adalah partai yang terlarang di seluruh kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum Tap MPR dikukuhkan pada 21 Juni 1966 Soeharto terlebih dulu mengobok-obok MPRS. Ini terlihat dari Soeharto, dkk melancarkan manuver untuk menggusur para pendukung Soekarno di MPRS dan menggantikannya dengan orang-orang anti-Soekarno. Misalnya : Ketua MPRS Chaerul Saleh yang digantikan dengan A.H. Nasution. Juga Wakil Ketua MPRS Ali Sastromidjojo yang digantikan dengan Osa Maliki. Supersemar yang pada awalnya adalah sebuah perintah eksekutif diubah menjadi Tap MPRS Pada tanggal 21 Juni 1966 dan dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966.
Nawaksara dan Penolakannya Pada tanggal 22 Juni 1966 Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang berkaitan dengan G-30S/PKI : Keblingeran pimpinan PKI. Subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim). Adanya oknum-oknum yang “tidak benar”.
Pada tanggal 5 Juli 1966 Pidato Nawaksara oleh Presiden Soekarno dihadapan Sidang Umum Ke : IV MPRS ditolak karena dinilai tidak bisa memberi pertanggungjawaban secara politis terhadap kehidupan bangsa Indonesia saat itu. Pidato tersebut dinilai hanya sebagai progress report, bukan pertanggungjawaban presiden mengenai kondisi pasca G30S. MPRS dan jajarannya dalam Ketetapan No.5/MPRS/1966 meminta Soekarno untuk segera melengkapi isi pidato tersebut.Wajar saja, karena yang duduk dalam jajaran MPRS saat itu adalah kalangan Angkatan Darat yang memang sudah lama berkontroversi dengan kubu Soekarno. Dilihat dari Ketua MPRS waktu itu A.H. Nasution (AD) yang menggantikan Chaerul Saleh (Pro-Soekarno) dan Osa Maliki (AD) yang menggantikan Ali Sastromidjojo pada tanggal 21 Juni 1966.
Pelengkap Nawaksara dan Penolakannya Soekarno cukup tanggap dengan reaksi masyarakat. Pada 10 Januari 1967 Ia kemudian menyerahkan Pidato Pelengkap Nawaksara. Dalam jawabannya, Soekarno menulis bahwa G-30 S adalah sebuah complete overrompeling bagi dirinya. Mengenai tuduhan bahwa dirinya sama sekali tak pernah mengutuk peristiwa G-30 S, Soekarno jelas-jelas menampik. Dalam pidato 17 Agustus 1966, tulis Soekarno, “Saya berkata ‘sudah terang Gestok kita kutuk’. Dan saya mengutuknya pula. Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB.” Namun pelengkap tersebut belum juga sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Mengapa pelengkap Nawaksara ditolak A. H Nasution selaku ketua MPRS Mengapa pelengkap Nawaksara ditolak A.H Nasution selaku ketua MPRS? dalam wawancara khusus dengan Majalah D & R beliau mengatakan demikian : “Bung Karno memang melengkapi dengan apa yang disebut sebagai Pel-Nawaksara. Pimpinan MPRS telah menerima dengan resmi surat Presiden RI tentang pelengkap pidato NAWAKSARA yang diantarkan oleh Sekretarias Militer Presiden Mayjen Suryo Sumpeno. Setelah membaca surat tersebut, maka catatan sementara dari Pimpinan MPRS adalah presiden masih meragukan keharusan untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS, sebagaimana yang telah ditentukan oleh keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.” Disaat yang sama Nasution mengatakan dengan tegas: “MPRS sependapat dengan penolakan-penolakan itu, sebagaimana yang kami simpulkan dalam rapat 10 Januari 1967.”
Peralihan Kekuasaan Dengan penolakan Nawaksara dan Pelengkapnya, gagal sudah Soekarno mempertahankan dirinya sebagai Presiden RI. Pada Tanggal 20 Februari 1967 diumumkan Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS tentang penyerahan kekuasaan kepada Pengemban Ketetapan MPRS IX/MPRS/1966 yang dulu sebelum di kukuhkan masih berbentuk Surat Perintah 11 Maret 1966. Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa, Pertama. Pidato tanggal 22 Juni 1967 (Nawaksara) dan Surat Presiden No.1/Pres/1967 Tanggal 10 Januari 1967 (Pelengkap Nawaksara) tidak memenuhi harapan rakyat pada umumnya. Kedua, bahwa Presiden/Mandataris MPRS telah “menyerahkan kekuasaan pemerintah” kepada Pengemban Ketetapan MPRS.
Buku-buku sumber untuk mempelajari peristiwa di sekitar Pidato Nawaksara