Semiotika dalam Komunikasi Berger (2004: 2) mendefinisikan semiologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tanda (science of signs) yang dikemukakan seroang ahli bahasa berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure. Ilmu tentang tanda dan semiotika—yang dipaparkan pertama kali oleh filsuf Amerika keturunan Perancis, Charles Sanders Peirce—menelaah mengenai bagaimana pemaknaan dihadirkan dalam ”teks” (film, televisi, teks dan bentuk lain hasil pekerjaan seni). Dalam analisis ini, semiotika diterapkan untuk memahami pemaknaan yang terkandung dalam periklanan dan publikasi korporat. Peirce menjelaskan modelnya secara sederhana sebagain berikut (Zeman, 1977 dalam Fiske 2003: 42):
Gambar 2.2 Elemen-elemen Pemaknaan Peirce “A sign is something which stands to somebody for something in some respect or capacity. It address somebody, that is, crates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object.” Sign Interpretant Object Gambar 2.2 Elemen-elemen Pemaknaan Peirce
Matakuliah: Advertising Research Session: 03 SEMIOTICS ANALYSIS Referensi DAVIES, Joel J. (1997). Advertising Research: Theory and Practice. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. 694 pp. Chapter 5, 6. Adv Research/Sesi 03 Z. Hidayat, MM, M.Si.
Pada model Peirce diilustrasikan pada gambar 2 Pada model Peirce diilustrasikan pada gambar 2.2 dengan anak-panah dua arah yang menekankan setiap term dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Suatu Tanda berarti sesuatu yang lain di dalam dirinya sendiri—the object, dan dipahami oleh seseorang; itulah, ia memiliki efek di dalam pikiran pengguna—the interpretant. Kita harus menyatakan interpretant bukanlah user dari the sign, namun apa yang disebut Pierce sebagai ‘the proper significate effect’: itulah, berupa konsep mental yang dihasilkan baik oleh sign maupun the user’s experience of the object. Perbedaan lain antara semiotika dan model-model proses sangat relevan di sini, dimana model semiotika membuat suatu perbedaan encoder dan decoder. The interpretant adalah konsep mental pengguna the sign, dimana pengguna in dapat menjadi speaker atau listener, wirter atau reader, painter atau viewer. Decoding sebagai aktif, dan creative sebagai encoding.
Van Leeuwen (2005: 1) memaparkan semiotika dengan jenis aktivitas dalam semiotika, apa saja yang dilakukan para semiotisian, yakni: 1) mengumpulkan, mendokumentasikan dan secara sistematis mengkatalogkan sumber-sumber seniotika termasuk asal-usulnya; 2) menginvestigasi bagaimana sumber-sumber yang digunakan dalam konteks spesifik, budaya dan institusional, dan bagaimana orang-orang membicarakannya—merencanakan, mengajarkan, menyesuaikan, dan mengritiknya, dan sebagainya; dan 3) berkontribusi untuk menemukan dan mengembangkan sumber-sumber semiotika baru dan penggunaan baru atas sumber-sumber semiotik yang ada. Sumber-sumber semiotika dalam penjelasan van Leeuwen (2005: 4) tidak saja terbatas pada dokumen percakapan, penulisan, dan gambar, namun juga tercakup pada semua hal yang dibuat yang mengartikulasikan makna sosial dan budaya. Metode semiotika yang dikemukakan Fiske (2003: 103) khususnya pada periklanan disebut sebagai teks visual metafora. Menurutnya, pengiklan seringkali mengambil keuntungan pada skup teknikal fotografi untuk memasukkan (’insert’) atau ’superimpose’ obyek-obyek secara normal di dalam suatu syntagm ke dalam yang lain. Visual metafora dalam iklan, mengalami deviasi (penyimpangan) dari norma-norma perilaku bahasa. Jika digunakan secara frekuentif maka akan menjadi klisé dan kehilangan efek imajinatif yang sejati.
Selanjutnya, berkaitan dengan visual iklan sebagai dokumen (teks) semiotika, McQuairre dan Phillips (2005: 7-20) melihat perkembangan pesat dalam penggunaan persuasi secara tak langsung dalam suatu visual periklanan. Bahkan lebih pesat daripada penggunaan kata-kata. Elemen-elemen gambar seperti warna, tata-letak, menurutnya, dapat mempengaruhi keragaman hasil (outcomes) periklanan. Periklanan sebagai bentuk komunikasi satu arah, menghasilkan interpretasi bagi penerima dan klaim di satu pihak pada pengirim. Mothersbaugh et al. (2002: 589-602) menemukan adanya metafora sebagai suatu klaim tidak langsung dalam komunikasi periklanan. Menurutnya, metafora merepresentasikan suatu bentuk klaim tak langsung lebih pada bentuk figuratif (gambar) daripada literal—pesan iklan tidak dinyatakan secara palsu tetapi tersirat (implied). Watts (2004: 384-394) juga mengemukakan elemen-elemen visual dalam publikasi korporasi menjadi dominan dibandingkan elemen-elemen tulisan. Elemen visual dalam hal ini mencakup fotografi, sistem desain, tata-letak dan materi teks. Elemen inilah yang menjadi unsur penting dan dominan dalam format publikasi korporasi seperti Annual Report dan penampilan Web Site perusahaan.