MEDIA MASSA dan DEMOKRATISASI Ira Naulita - 1464290 019
Pilar Keempat Demokrasi MEDIA MASSA dan DEMOKRASI Eksekutif, Legislatif, Yudikatif Pilar Keempat Demokrasi Manakala dalam suatu negara, media massa mampu menjadi salah satu instrumen bagi adanya kebebasan berekspresi dan berpendapat, hal ini mengindikasikan bahwa negara tersebut bercorak demokratis, demikian pula sebaliknya.
Teori Priming dan Framing. Teori Efek Langsung (direct effct theory). Kenneth Newton dan Jan W. van Deth ( 2005 : 196-7), mengemukakan empat teori untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh media massa. Teori Penguatan. Teori ini berpendapat bahwa pengaruh media massa itu minimal. Apa yang dilakukan media massa pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi dan penguatan opini yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan demikian, yang menciptakan opini sebenarnya bukanlah media massa, melainkan masyarakat sendiri. Teori Setting Agenda. Media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang kita pikirkan, tetapi dianggap dapat memiliki pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan. Di dalam teori ini, media tidak hanya merefleksikan apa yang ada di dalam masyarakat. Media bisa dan memiliki agenda sendiri di dalam menyajikan berita sehinggga berpengaruh, baik kepada masyarakat maupun pemerintahan. Teori Priming dan Framing. Dalam pandangan teori priming, media dapat memengaruhi karena lebih fokus pada isu-isu tertentu, bukan yang lain. Sementara dalam teori framing, media melakukan set up untuk memengaruhi penafsiran pembaca, pemirsa dan pendengar tentang suatu isu dalam makna tertentu. Teori Efek Langsung (direct effct theory). Media dipandang memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang termasuk di dalamnya adalah perilaku politik.
Empat Sistem Pers Menurut Peterson dan Schramm (1963) Sistem Pers Otoriter. Sistem Pers Liberal Sistem Pers Komunis Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial
Dua Posisi Media Menurut Katrin Voltmer (2006: 2) Argumentatif Normatif Pers bebas dianggap sebagai marketplace of ideas yang memungkinkan berbagai pandangan dan suara mengemuka di publik tanpa intervensi negara. Namun demikian pandangan ini dikritik sejumlah argumentasi lain. Pertama, apa betul bahwa melalui peran seperti itu media massa benar-benar sebagai instrumen untuk menemukan kebenaran, atau justru memperburuk masalah? Kedua, di dalam pertarungan gagasan itu seberapa jauh media memerankan diri sebagai aktor yang memiliki pengaruh di dalam memberikan gagasannya sendiri, ataukah media harus benar-benar netral? Ketiga, media bisa memerankan diri sebagai watchdog, melakukan kontrol terhadap pemegang kuasa agar tetap dan terus akuntabel.. Media sebagai Aktor Komunikasi Politik Dalam pandangan demikian, media massa tidak hanya sekedar sebagai alat komunikasi yang menghubungkan aktor-aktor elit politik dengan massa atau audience. Media massa bisa memiliki posisi tentang peristiwa-peristiwa dan gagasan-gagasan itu. Dalam posisi seperti ini, media massa bisa masuk dalam pemihakan-pemihakan tentang isu dan kebijakan tertentu. Bahkan media bisa berpihak kepada calon atau partai tertentu.
DEMOKRATISASI DAN MEDIA MASSA PASCA ORDE BARU Di Indonesia terlihat jelas bahwa keberadaan media massa tidak lepas dari karakteristik sistem politik. Terdapat perbedaan posisi dan peran media ketika Indonesia berada di dalam pemerintahan Orde Baru yang otoriter dengan ketika pasca-Orde Baru yang relatif demokratis. Pada masa Orde Baru, terdapat keinginan kuat membangun pemerintahan yang stabil dan efektif. Upaya ini dilakukan melalui bangunan negara yang kuat dengan relasi terhadap kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat secara terbatas atau state corporatisme. Di dalam negara yang seperti itu, kekuatan yang ada di luar negara, termasuk media, diorganisasi dikendalikan dan dibatasi ruang geraknya. Hal itu dilakukan dengan penunggalan organisasi wartawan dan serikat surat kabar. Langkah ini memungkinkan adanya kontrol yang lebih langsung dan terarah kepada wartawan dan pemilik penerbitan.
BREDEL TEMPO, DETIK dan EDITOR Ketika media berseberangan dengan konstruksi semacam ini, media massa yang mencoba memberi informasi berlawanan dengan kebijakan pemerintah diberi sanksi berat yaitu pembreidelan. Majalah TEMPO dan Tabloid Detik merupakan contoh media yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dan karena itu harus dikeluarkan dari konstuksi negara korporatis itu. Majalah Tempo yang terbit 7 Juni 1994 mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur dari USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar. Sepekan sebelumnya, majalah Tempo mengungkapkan pembengkakan harga kapal bekas sebesar 62 kali lipat. Pada 9 Juni 1994, Soeharto marah besar. Dia memerintahkan menindak tegas majalah Tempo, tabloid DeTik, dan majalah Editor, (www.merdeka.com). Pada saat itu media massa tidak lagi dapat memosisikan diri sebagai watchdog pemerintah. Bahkan tidak lagi dapat memfungsikan diri sebagai refleksi dari apa yang terjadi di dalam masyarakat. Kalaupun ada refleksi, itu merupakan refleksi penguasa, bukan masyarakat.
KEBEBASAN PERS PASCA ORDE BARU Jatuhnya pemerintahan Soeharto membuat pertumbuhan media menjadi tidak terkontrol. Sebelumnya, untuk memperoleh SIUPP (Surat Izin Umum Penerbitan Pers) tidak mudah. Pasca runtuhnya Orde Baru, menteri penerangan Yunus Yosfiah mencabut ketentukan mengenai SIUPP dan memperbaikinya. Implikasinya banyak orang mendirikan surat kabar dan majalah. Termasuk efeknya adalah menjamurnya koran-koran kuning bahkan cabul di tengah masyarakat, yang menjadi penumpang gelap kebebasan pers
REGULASI PERS PASCA ORDE BARU Media massa di dalam pemerintahan pasca Orde Baru, telah merefleksikan dinamika, termasuk dinamika politik yg ada di dalam masyarakat. Media massa secara cepat dan luas juga menyiarkan peristiwa yang ada di dalam masyarakat tanpa sensor yang cukup sebagaimana di dalam pemerintahan Orde Baru. Memang media massa tidak lepas dari pengaturan-pengaturan, yang diatur dalam Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, yang menyebutkan pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI yang dibentuk dengan beranggotakan orang-orang independen ini dimaksudkan untuk mengurangi kontrol pemerintah di bidang penyiaran. Tetapi, pengaturan-pengaturan itu tidak lebih sebagai rule of the game agar media massa juga tetap dalam kerangka penghormatan terhadap hak-hak orang dan kelompok di dalam negara demokratis. Undang-Undang no 40 tahun 1999 tentang Pers Undang-Undang nomor 32 tentang Penyiaran
MEDIA: MENGONTROL dan DIKONTROL Peran politik media massa di dalam negara demokratis dapat dilihat dari dua peristiwa. Pertama adalah pada proses seleksi kepemimpinan politik (di dalam pemilu atau pemilihan pejabat publik dan di dalam proses pemilihan pemimpin di dalam organisasi-organisasi politik). Di dalam pemilu, media massa dapat memublikasikan berbagai isu, termasuk program yang ditawarkan oleh calon atau partai. Media massa juga bisa mengkritisi isu-isu tersebut. Dalam situasi ini, media massa dapat menguntungkan atau merugikan calon dan partai tertentu atas publikasinya. Selain itu, media massa juga dapat menjadi saluran khusus bagi calon atau partai untuk mempromosikan dirinya. Kecenderungan terakhir ini semakin menguat setelah mendapati realitas menguntungkan calon atau partai. Melalui citra yang positif di media, memperkuat pilihan seseorang atau bahkan mengubah pilihan seseorang dari politisi atau partai yang satu ke yang lain.
PENINGKATAN BELANJA IKLAN Semakin kuatnya minat para politisi menggunakan media massa sebagai instrumen membangun relasi dengan masyarakat guna memperoleh dan mempertahankan dukungan itu terlihat dari meningkatnya belanja iklan politik dalam tahun-tahun menjelang pemilu. Pengaruh iklan politik terhadap perilaku sejauh ini masih diperdebatkan apakah cukup berarti atau tidak, (Kaid, 1999; 2004). Tetapi mengingat penggunaan media sebagai institusi untuk memperoleh informasi mengenai calon atau partai semakin meningkat, dapat diberi makna bahwa iklan politik melalui media telah menjadi salah satu sumber pokok bagi pemilih yang rasional di dalam mempertimbangkan pilihan politiknya.
IKLAN POLITIK menurut Durren Lilleker Pertama adalah tipe iklan politik advokasi yang berisi ajakan dan persuasi pada para pemilih. Kedua adalah iklan politik perbandingan yang berisikan isu yang menjadi posisi dari calon atau partai kalau dibanding dengan posisi calon atau partai lain. Ketiga adalah iklan politik negatif, berisikan isu-isu negatif dari calon atau partai lain. Masing-masing tipe memiliki pengaruh sendiri-sendiri.
MEDIA: MENGONTROL dan DIKONTROL Kedua adalah pascapemilu, berkaitan dengan perjalanan pemerintahan sehari-hari. Media massa setiap harinya memublikasikan berbagai peristiwa yang terjadi dan berkembang. Di bidang politik, selain menyiarkan berbagai kegiatan aktor-aktor politik yang dipandang memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat berikut interaksi para aktor itu antara yang satu dengan yang lain, media juga menyiarkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elite. Disini posisi media massa akan terlibat: memberi dukungan, bersikap netral saja, atau memberikan perlawanan.
MEDIA dan KEPENTINGAN PEMILIK
MEDIA dan KEPENTINGAN PEMILIK Realitas semacam ini juga terjadi pada kehidupan media massa pasca-pemerintahan Orde Baru. Meskipun iklim demokrasi memungkinkan banyak orang mendirikan media, tetapi yg mampu terus hidup dan berkembang hanya sebagian kecil saja. Saat ini, bisnis media massa hanya terkonsentrasi pada kelompok-kelompok tertentu. Hal ini berlaku baik di media cetak ataupun elektronik.
Kecenderungan ini pula yang membuat Edwin Baker sampai pada pandangan bahwa kehidupan demokrasi saat ini berada di persimpangan jalan, ketika dikaitkan dengan eksistensi media massa. Media massa di satu sisi diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran dari berbagai kelompok yang ada di dalam masyarakat, tetapi di sisi yang lain, pengaruh pemilik modal terhadap eksistensi media juga tidak kecil. Robert Hackett dan William Carrol (2006) berpendapat, pengaruh pemilik media mungkin saja tidak dipakai. Tetapi ketika pemilik itu berkepentingan di dalam memengaruhi isu-isu tertentu, tidak mudah untuk dikendalikan.
Ketika pemilik media memiliki perhatian untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, tidaklah masalah. Tetapi ketika pemiliknya itu memiliki kepentingan berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi dan kepentingan publik, hal itu akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
PARADOKS MEDIA Pasca-pemerintahan Orde Baru telah memberi ruang kebebasan yang cukup besar kepada media massa, mulai dari kebebasan untuk berdiri sampai kebebasan untuk memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi. Isu-isu yang pada masa pemerintahan Orde Baru dianggap tabu untuk diberitakan, saat ini bisa leluasa disebarkan. Liputan meda massa juga telah melahirkan tekanan-tekanan dari publik kepada pemerintah atau pejabat publik yang dianggap bermasalah. Salah satu contohnya ketika ada perselisihan antara Kepolisian-Kejaksaan-KPK, soal kriminalisasi Chanda Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Dalam kasus tersebut, media massa telah menjadi bagian dari institusi untuk menjaga keberlangsungan demokrasi pasca-pemerintahan Orde Baru. Manakala ditengarai terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalam ruang publik, media, dalam kasus ini telah berfungsi sebagai instrumen dan aktor untuk mengontrol. Media massa telah berada pada pihak publik yang berusa mencari keadilan dan kebenaran. Tetapi peran media semacam ini berlainan atau paradoks dengan fakta tadi, ketika media massa berada dalam kendali pemilik. Sehingga siaran tidak lepas dari bingkai kepentingan pemilik modal yang mengendalikan media. Berkaitan dengan kepentingan modal ini, pertanyaannya adalah, apakah ketika media massa menyiarkan berbagai isu yang berkaitan dengan publik itu berarti media massa telah melakukan pemihakan kepada publik ataukah demi keberlangsungan media itu sendiri?