Tokek Budek Peringatan hari kemerdekaan di negeri binatang berlangsung meriah dengan acara-acara perlombaan. Salah satu acara yang paling menarik, yang diletakkan di puncak acara adalah panjat pinang untuk para tokek. Batang pinang dilumuri getah salah satu pohon yang licin. Bedanya dari perlombaan panjat pinang biasa, pada perlombaan ini tidak untuk memperebutkan sesuatu di atas dan tidak pula perlu kerja sama. Perlombaannya sederhana, yakni siapa yang duluan sampai ke puncak pohon pinang, dialah yang menjadi pemenangnya. Aturannya sederhana, jika ada tokek yang sudah jatuh, masih diberi kesempatan tiga kali untuk tetap naik. Namun, jika sudah ada tokek yang sampai duluan di puncak, maka pertandingan berakhir dengan tokek yang terlebih dahulu sampai di puncak sebagai pemenang pertamanya. Total peserta tokek yang ikut sebanyak 25 ekor, yang datang dari berbagai wilayah negeri binatang. Selain berpartisipasi memperingati hari kemerdekaan, mereka tampaknya juga tergiur dengan hadiah ‘Rumah Tokek’ yang ditawarkan. Disamping tentunya hadiah-hadiah lain yang menggiurkan. Ketika juri meniup peluit tanda perlombaan dimulai, maka ke-25 ekor tokek ini langsung berebut naik. Baru beberapa menit, sudah beberapa tokek yang tergelincir jatuh. Penonton pun semakin histeris melihat perjuangan para tokek yang sangat bersusah payah mencapai puncak. Ada yang memotivasi, namun lebih banyak yang mencerca serta sok mengatur. Dalam hal ini mungkin penonton jauh lebih hebat dari pemain itu sendiri. Beberapa waktu telah berlalu, para tokek yang tereliminasi pun sudah banyak karena telah jatuh bangun lebih dari tiga kali. Tinggallah enam tokek yang sedang berjuang menuju puncak. Anehnya, penonton bukan semakin memotivasi, melainkan memberitahukan bahwa adalah tidak mungkin untuk mencapai puncak yang sedemikian tinggi sementara badan tokek kecil. Suara penonton pun mulai berubah, “Sudahlah, tidak mungkin sampai, turun saja!” demikian sorak penonton. Yang lain mengatakan, “Jangan gara-gara iming-iming rumah, kau korbankan sesuatu yang mungkin berguna untuk yang lain.” Bahkan, tokek senior yang tidak ikut bermain malah berkomentar, “Zaman saya dulu saja tidak se-ngotot ini, yang penting jalan saja seperti rutin.” Sementara itu para petinggi negeri binatang mulai ikut bersuara, “Sudahlah tokek, sengaja kami buat perlombaan ini hanya untuk bersenang-senang dan memang dirancang agak sulit. Jadi, turunlah! Tidak mungkin kamu bisa mencapai puncak!”
Mendengar teriakan-teriakan yang demikian, beberapa tokek mulai jatuh motivasinya, daya juang mereka semakin melorot, dan akhirnya mulai tereliminasi satu demi satu. Melihat kondisi demikian, penonton semakin lantang berteriak bahwa tidak mungkin ada tokek yang dapat mencapai puncak. Namun demikian, perlombaan belum selesai. Dari lima tokek yang sudah tereliminasi, tinggal satu tokek yang terus merangkak naik, perlahan namun pasti. Melihat hal ini penonton kembali bersorak dan mencemooh sang tokek, bahwa tidak mungkin mencapai puncak itu. Bahkan seekor binatang yang kaya raya mengatakan, “Hei tokek, turunlah! Kalau demi rumah kau rela berkorban untuk sesuatu yang tidak mungkin, kau pakailah rumahku dan turunlah, sebab semakin tinggi kau merangkak, semakin besar pula risikomu untuk jatuh, dan itu sangat menyakitkan!” Namun, kata-kata sang binatang kaya ini pun tidak digubris oleh sang tokek. Mendekati tengah hari, semua penonton mulai terdiam. Mereka melihat tokek dengan konstan merangkak dan akhirnya… mencapai puncak! Gegap gempita dan sorak-sorai penonton pun meledak melihat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Bahkan, rekan-rekannya yang sudah tereliminasi terlebih dahulu, ikut menangis terharu melihat rekannya yang bisa mencapai puncak. Setelah diturunkan dengan tali khusus, beberapa penonton dan petinggi negeri binatang berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan sang tokek bisa mencapai puncak dan meraih hadiah rumah yang layak. Betapa kegetnya mereka, setelah diperiksa ternyata sang tokek pemenang itu ternyata tidak bisa mendengar alias tuli bin budek. Salah satu sifat manusia yang hingga kini masih mewarnai pergaulan adalah seseorang lebih mudah dan menyenangkan menceritakan hal-hal negatif tentang orang lain daripada yang positif. Coba amati! Orang lain jarang yang senang dan gembira dengan tulus pada saat kita senang memperoleh sesuatu yang menggembirakan. Bahkan, bagi beberapa orang, ungkapan-ungkapan yang negatif yang diterimanya acapkali telah mematikan motivasi dirinya untuk berkembang dengan baik dan optimal. Namun, bukankah penonton berhak berkomentar atas pertandingan yang sedang berlangsung. Demikian pula dalam perjuangan hidup manusia, semua orang punya hak untuk membicarakan yang negatif atau positif tentang diri kita. Tinggal bagaimana respon setiap orang dalam menanggapi segala isu negatif yang menerpa dirinya.
Belajar dari sang tokek, ada kalanya kita perlu “tuli” untuk tidak mendengar segala pembicaraan negatif (gosip) yang justru menghambat laju perkembangan kita di perusahaan, keluarga maupun masyarakat. “Tuli”bukan berarti kita menjadi pura-pura tidak tahu akan isu yang berkembang. “Tuli” berarti, kita melakukan instropeksi diri terhadap isu yang berkembang, dan jika tidak benar maka jadilah “tuli” yang benar. Dalam arti kata, bahwa biarkan isu tersebut berkembang, ada kalanya suatu saat kebenaran itu seperti terang yang bersinar pada waktunya, bersabarlah. Namun, jika isu tersebut benar, maka sebagai manusia (bukan tokek!) dengan berbesar hati mengakui dan berusaha untuk memperbaikinya di kemudian hari. Tidak perlu berlindung di balik punggung orang lain untuk menutupi kesalahan diri. Jadilah “tuli” untuk hal-hal negatif yang tidak jelas kebenaran dan asal-usulnya, serta bukalah telinga selebar-lebarnya untuk orang lain dan untuk instropeksi diri. Tetap baik kepada semua orang sekalipun orang tersebut tidak baik kepada kita. Promod Batra mengatakan, “Perlakukan semua orang dengan sopan, bahkan mereka yang kasar kepada Anda. Camkanlah bahwa Anda menunjukkan sopan santun kepada orang lain bukan karena mereka orang terhormat, tetapi karena Andalah yang bersikap demikian.”