KELEMBAGAAN P2TP2A DAN MANAJEMEN KASUS muhammad mitra lubis s.h YAYASAN PUSAKA INDONESIA PARAPAT, 2018 081360518205
Pembentukan P2TP2A sebagai implementasi Hukum Nasional UU No. 23/2002 ttg Perlindungan Anak yang telah diubah beberapa kali, terakhir UU No. 17/2016 ttg penetapan PERPU No. 1 thn 2016 UU No. 23/2004 ttg Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) UU No. 13/2006 ttg Perlindungan Saksi Korban yang telah diubah menjadi UU No. 31/2014 UU No. 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU No. 44/2008 tentang Pornografi Peraturan Pemerintah No.4/2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pembinaan, Pendampingan dan Pemulihan Terhadap Anak Yang Menjadi Korban atau Pelaku Pornografi Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 Tahun 2010 ttg SPM Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pemerintah pusat dan daerah WAJIB menyelenggarakan upaya perlindungan bagi perempuan dan anak dari bahaya kekerasan dalam bentuk PELAYANAN TERPADU
DASAR HUKUM PEMBENTUKAN UPTD P2TP2A UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 12 ayat 2, layanan pemberdayaan perempuan dan anak merupakan urusan pemerintahan wajib non pelayanan dasar Lampiran Huruf H mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk memberikan Layanan Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Kelola Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Daerah
POLA PIKIR PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DAN ANAK Masyarakat Rentan Masalah Masyarakat Akibat Pendidikan Kesehatan Ekonomi Hukum Sosial Miskin Disabilitas Pekerjaan Terbatas Lansia Pengungsi dll Trafficking Exploitasi Migrasi Diskriminasi Pembatasan Akses Penindasan Pelanggaran Hak Asasi KEKERASAN /TRAFIKING 9/2/2019
PRINSIP PERLINDUNGAN PERLINDUNGAN SETIAP ANGGOTA KELUARGA ADALAH SUBYEK ATAS HAK-HAKNYA SETIAP ORANGTUA DIBEBANI TANGGUNG JAWAB UNTUK HIDUP DAN TUMBUH KEMBANG ANAK/ANGGOTA KEL PERLINDUNGAN MASAYARAKAT HARUS IKUT BERPARTISIPASI DALAM TANGGUNG JAWAB ORANGTUA DAN KEWAJIBAN NEGARA NEGARA BERKEPENTINGAN TERHADAP KUALITAS SETIAP WARGA, SHG DIBEBANI KEWAJIBAN UNTUK MENDAYAGUNAKAN SELURUH SUMBERDAYANYA, TERMASUK HUKUM, UNTUK MELINDUNGI SETIAP WARGA DAN HAK-HAKNYA
Pelaksana Pelayanan Penanganan Pengaduan Garda Awal / Terdepan Layanan di P2TP2A, UPPA, RPTC, RPSA, RPSW, PUSKESMAS, RS, LBH serta lembaga pengada layanan lainnya Hal penting perlu dilakukan bagi petugas pengaduan: Memastikan bahwa langkah-langkah yang dilakukan sudah tepat. petugas harus mampu mengenal karakteristik korban. Petugas sudah mengikuti pelatihan kekerasan, gender dan penerimaan kasus. Bisa diakses secara langsung, melalui telephone (Hotline) , surat, rujukan oleh lembaga / media massa / masyarakat.
ALUR PELAYANAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK UPTD ALUR PELAYANAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK UPTD. P2TP2A PROVINSI SUMATERA UTARA
Mekanisme Pelayanan Pengaduan Korban Kekerasan – Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak. Dalam tahap ini, kasus muncul dan termonitoring. Pihak-pihak yang sering menerima kasus diantaranya : KEPOLISIAN / UPPA / Instansi Terkait P2TP2A, RPTC, RPS LSM /Masyarakat (Pusaka Indonesia, PKPA, WCC SINCERITAS, WCC CAHAYA PEREMPUAN) Korban/Keluarga Korban PERS/MEDIA MASSA dan lain-lain
2. Penanganan Pengaduan Secara Langsung artinya pelapor / korban / keluarga / orang lain/ kelompok masyarakat / institusi datang secara langsung dan bersedia melaporkan adanya tindak kekerasan yang dialami, trafiking, serta pelaku kekerasan. Tindakan yang dilakukan: Pelapor diterima staf UPTD. P2TP2A dilakukan identifikasi kasus, wawancara dan asesment kebutuhan korban. Korban mengisi/menandatangani formulir dan melengkapi berkas pengaduan al. Fc KTP, KK, Akte Nikah, dll Staf melaporkan kepada Ka.UPTD P2TP2A melalui Kasubag Tata Usaha untuk mendapatkan disposisi/petunjuk dalam rangka tindak lanjut pelayanan Seksi pelayanan melakukan pendampingan dan tindak lanjut pelayanan sesuai dengan kebutuhan Korban. Seksi Koordinasi dan Kerjasama melakukan monitoring dan evaluasi korban kekerasan hingga kasus diterminasi Kasubag Tata Usaha melakukan pengarsipan dan Pencatatan Data korban
LANGKAH YANG DILAKUKAN 1. Tahap Pra Kasus (Pencegahan) Upaya pencegahan yang mutlak dilakukan melalui sinergitas koordinasi dan jejaring kerjasama dengan Instansi/SKPD/Lembaga terkait: Sosialisasi, Dialog, advokasi, penyuluhan, seminar, penyebaran informasi, kampanye dan lain-lain. Kegiatan diharapkan tidak hanya memberikan pengetahuan tentang kekerasan & trafiking, bentuk dan modus operandi pelaku trafiking, serta tindakan apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap korban. Namun diharapkan antisipasi pencegahan dilakukan tentunya untuk meminimalisir terjadinya kasus dan dapat memberi pengaruh pada nilai budaya dan kebiasaan masyarakat terhadap penerimaan korban kembali di dalam masyarakat. Semua komponen masyarakat baik Pemerintah dan Masyarakat dapat berperan melakukan tindakan nyata untuk antisipasi pencegahan berdasarkan peran dan fungsinya masing-masing
3. Penanganan Pengaduan tidak langsung Melaporkan tindak kekerasan – trafiking melalui surat / email / faximail/telepon. Penerimaan pengaduan melalui surat mempunyai keterbatasan karena komunikasinya tidak langsung sehingga respon dari petugas atau korban menjadi tertunda ada kemungkinan data yang disampaikan sangat terbatas sehingga memerlukan waktu untuk dapat meminta kelengkapan data dari pelapor / korban. Pengaduan melalui surat / faxmail/ telephone diterima dari antara lain; korban / keluarga korban / masyarakat / LSM Pendamping. Tindakan yang dilakukan: prinsip penerimaan pengaduan sama dengan penerimaan pengaduan yang lain. Biasanya pengaduan yang diterima dari korban / keluarga korban / LSM pendamping yang pengaduan dan kasusnya sudah dilaporkan secara langsung kepada Instansi / SKPD / Lembaga terkait yang berwenang kurang / lambat / tidak direspon dalam proses tindak lanjutnya. UPTD. P2TP2A akan mengkoordinasikan pengaduan dimaksud melalui surat dinas/Ka. UPTD ke Instansi / SKPD / Lembaga yang berwenang dan terkait untuk segera melakukan penanganan guna proses tindak lanjut tanpa mengintervensi kewenangan yang ada dalam rangka perlindungan hak perempuan dan kepentingan terbaik bagi anak.
4. Penanganan Pengaduan dari Rujukan Korban dirujuk oleh kepolisian / LSM pendamping / Instansi lembaga terkait. Ka. UPTD melalui Kasubag TU akan memeriksa surat rujukan dan data – data penyerta dan selanjutnya dilakukan asesmen oleh Seksi Pelayanan untuk tindak lanjut pelayanan yang akan diberikan. prinsip penerimaan pengaduan sama dengan penerimaan pengaduan yang lain.
A. Kasus yang ditangani korban / keluarga korban bersedia melaporkan pelaku kekerasan - trafiking kepada pihak Kepolisian untuk diteruskan proses penuntutan secara hukum setelah dimintakan persetujuannya oleh petugas sekretariat. Dalam hal lain, kemungkinan yang sering terjadi adalah petugas kesehatan/medis merupakan pihak yang pertama sekali ditemui oleh korban kekerasan untuk mendapatkan pertolongan medis, sehingga perlu peran aktif dari para medis dalam membantu korban kekerasan-trafiking, terutama agar korban lebih terbuka dalam mengungkapkan persoalan yang diderita korban atau memberikan catatan medis tahap awal mengenai kasus yang ditemuinya.
B. Kasus tidak mau ditangani. Adakalanya suatu kasus tindak kekerasan – Trafiking korban / keluarga korban tidak bersedia kasusnya utk dilaporkan kasusnya ke pihak kepolisian ataupun meminta pihak kepolisian untuk tidak meneruskan proses hukum . Hal ini dapat disebabkan beberapa hal diantaranya : Ketergantungan korban atau keluarga korban secara ekonomi terhadap Pelaku. Ada rasa ketakutan dari korban/keluarga bila pelaku dituntut secara hukum, maka sumber mata pencaharian mereka juga lenyap. Hal ini banyak terjadi dalam hal pelaku kekerasan – trafficker adalah ayah korban; Rasa malu dari korban/keluarga untuk mengungkapkan kasus kekerasan – Trafiking yang dialami; terjadinya perdamaian antara korban/keluarga korban dengan Pelaku/keluarga pelaku. Satu kemungkinan yang mungkin terjadi dan perlu diperhatikan adalah kemungkinan telah dimanfaatkannya korban oleh keluarga korban untuk mendapatkan imbalan ekonomi dari Pelaku. Dalam hal ini si perempuan atau anak menjadi korban yang kesekian kalinya; Adanya ancaman dari pihak pelaku/keluarga pelaku terhadap korban kekerasan trafiking, agar tidak meneruskan kembali pengaduan atau penuntutan terhadap pelaku;
Tahap Upaya Penyelamatan Setelah diketahuinya suatu kasus tindak kekerasan – trafiking, maka upaya yang harus dilakukan adalah : Investigasi, berupa serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mengumpulkan fakta-fakta dalam mencari kebenaran informasi dan keberadaan si korban ataupun si pelaku. Penjemputan atau penyelamatan korban merupakan tindakan yang perlu segera dilakukan (dalam hal korban belum kembali dan telah diketahui alamatnya). Dan apabila Pelaku atau Korban telah kembali maka upaya ini dianggap tidak perlu dilakukan; Pemeriksaan kondisi kesehatan korban dan melakukan langkah-langkah medis yang dipandang perlu untuk menyelamatkan korban, dan membuat rekaman medik (medical record) korban kekerasan – Trafiking; Konseling atau pemberian bimbingan psykologis kepada korban, termasuk mempertanyakan keinginan korban terhadap kasus yang sedang dialaminya, apakah korban setuju kasusnya diproses secara hukum atau tidak. Bimbingan psykologis ini perlu dilakukan secara mendalam yang tujuannya adalah meyakinkan korban pada pilihannya untuk tidak kembali ke tempat semula dan yakin dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Satu prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam hal ini adalah kejujuran dalam menyampaikan segala kemungkinan yang akan dihadapi korban apapun pilihan yang akan diputuskan oleh korban, serta kebebasan korban dalam menentukan pilihannya.
Pelaporan/Pengaduan kepada pihak berwajib (dalam hal in adalah Kepolisian sebagai aparat yang berkompeten untuk itu) tentang tindak kekerasan – Trafiking yang dialami korban. Pendampingan hukum dan bantuan litigasi terhadap korban perlu dilakukan tidak hanya pada saat pelaporan/pengaduan dan pengambilan Berita Acara Penyidikan (BAP) di Kepolisian tetapi sampai pada proses penuntutan di Kejaksaan dan pemeriksaan di Pengadilan. Proses Perlindungan berupa serangkaian tindakan yang harus diberikan kepada korban yang tujuannya semata-mata untuk melindungi dan memberi rasa aman bagi korban, dari intimidasi ataupun ancaman yang datang dari pelaku/keluarga pelaku, keluarga korban atau pihak ketiga yang sengaja ingin mengambil keuntungan atau mengeksploitasi korban.
Tahap Pasca Penyelamatan Setelah korban kekerasan – trafiking mendapat bantuan baik medis, psykologis maupun pendampingan hukum, maka korban perlu mendapatkan upaya-upaya pasca penyelamatan, seperti bantuan pendidikan, ketrampilan dll yang dapat bermanfaat bagi korban dalam menata kembali masa depannya. Dalam tahap ini, korban dapat tetap tinggal sementara di P2TP2A/DIC/ WCC, / korban telah kembali ke keluarganya.
Perempuan dan anak korban kekerasan Pencegahan Pelayanan Pemberdayaan DATA
9/2/2019
Muhammad mitra lubis s.h 0813-6051-8205 9/2/2019