DASAR HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Workshop Diseminasi Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi DASAR HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI Dr. H. Asep Iwan Iriawan, S.H., M.Hum. GORONTALO, MATARAM, SEMARANG, YOGYAKARTA, MAKASSAR TEMPAT
MATERI TIPIKOR TPK AD HOC KODIFIKASI PMH UNCAC 2003 KORPORASI DISKRESI
TINDAK PIDANA KORUPSI TIPIKOR Korupsi = Busuk, Rusak, Bejat, tidak jujur, amoral UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 Th. 2001 Kepolisian, Kejaksaan, KPK TIPIKOR Pengadilan Tipikor LP Sukamiskin, LP Sukamiskin
CIRI-CIRI KORUPSI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU ORANG MERAHASIAKAN MOTIF, ADA KEUNTUNGAN YANG INGIN DIRAIH BERHUBUNGAN DENGAN KEKUASAAN/KEWENANGAN TERTENTU BERLINDUNG DIBALIK PEMBENARAN HUKUM MELANGGAR KAIDAH KEJUJURAN DAN NORMA HUKUM MENGKHIANATI KEPERCAYAAN
FAKTOR PENYEBAB KORUPSI PENEGAKKAN HUKUM TIDAK KONSISTEN PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN/WEWENANG LANGKA NYA LINGKUNGAN YANG ANTI KORUP RENDAHNYA PENDAPATAN PENYELENGGARA NEGARA KEMISKINAN, KESERAKAHAN BUDAYA MEMBERI UPETI BUDAYA PERMISIF/SERTA MEMBOLEHKAN GAGALNYA PENDIDIKAN AGAMA DAN ETIKA
ISI UUPTPK MATERIEL Pasal : 2, 3, 4, 5, 6 , 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 38B FORMIL Pasal : 19, 20, 25, 26 , 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40
PERSONAL DAN INSTITUSIONAL TINDAK PIDANA KORUPSI KERUGIAN NEGARA PERSONAL DAN INSTITUSIONAL SUAP MENYUAP PENGGELAPAN DLM JABATAN Kepentingan umum terlayani Negara tidak dirugikan Tidak menerima sesuatu PEMERASAN PERBUATAN CURANG GRATIFIKASI BENTURAN KEPENTINGAN DLM PENGADAAN
TP BERHUBUNGAN DENGAN TIPIKOR Jenis Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi : 1. Merintangi Proses pemeriksaan perkara korupsi : - Pasal 21 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar - Pasal 22 jo Pasal 28 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka - Pasal 22 jo Pasal 29 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberikan keterangan Palsu - Pasal 22 jo Pasal 35 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu - Pasal 22 jo Pasal 36 6. Saksi yang membuka identitas pelapor - Pasal 24 jo Pasal 31
PERBUATAN MELAWAN HUKUM Perbuatan hukum: perbuatan (kehendak dan pernyataan kehendak) yang menimbulkan akibat hukum (hak dan kewajiban) Perbuatan melawan hukum: perbuatan yang bertentangan dengan tata perbuatan masyarakat dan ketertiban yang dikehendaki hukum, sifatnya merugikan masyarakat Melawan Hukum Umum : Salah satu etemen yang terdapat dalam perbuatan pidana. Selain melawan hukum, elemen perbuatan pidana tainnya adatah memenuhi unsur delik dan sifat dapat dicelanya perbuatan. Melawan Hukum Khusus : Melawan hukum sebagai syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Biasanya kata "melawan hukum" ditulis dalam rumusan delik. Melawan Hukum Formil : Memenuhi semua unsur delik yang ada dalam undang-undang. Melawan Hukum Materiil : Perbuatan yang oteh masyarakat dianggap sebagai perbuatan tercela meskipun tidak memenuhi unsur detik yang ada datam undang-undang.
UNCAC 2003 KRIMINALISASI Bribery of national public officials (penyuapan pejabat publik nasional) Bribery of foreign public officials and officials of public international organizations (penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official (penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan lain oleh seorang pejabat publik) Trading in influence (memperdagangkan pengaruh) Abuse of functions (penyalahgunaan fungsi jabatan atau wewenang) Illicit Enrichment (memperkaya diri secara tidak sah). Bribery in the private sector (penyuapan di sektor privat). Embezzlement of property in the private sector (penggelapan kekayaan di sektor privat)
UNCAC 2003 LANDASAN HUKUM Obstruction of justice (penghalangan jalannya proses peradilan) Liability of legal persons (tanggung jawab badan-badan hukum) Prosecution, adjudication and sanctions (penuntutan, pengadilan dan saksi-saksi) Cooperation with law enforcement authorities (kerjasama dengan badan-badan penegak hukum).
KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUM PIDANA Pasal 51 Wetboek van Strfrecht Belanda menyatakan: (1) Perbuatan pidana dapat dilakukan oleh perorangan dan oleh badan hukum (2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, maka penuntutan pidana jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan yang tercantum dalam Undang-Undang terhadap : 1) badan hukum; atau 2) terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pimpinan melakukan tindakan yang dilarang itu; atau 3) terhadap 1 dan 2 melakukan perbuatan terlarang itu secara bersama-sama.
SOLUSI MENGURAIKAN KESALAHAN kesalahan (schuld, mens rea) fungsionaris pimpinan dan pegawai korporasi didistribusikan pada korporasi sesuai dengan struktur organisasi internal korporasi. (Jan Rammelink) Pertanggungjawaban pidana diperluas kepada yang memberikan perintah atau pimpinan dalam suatu badan hukum yang secara fisik bukanlah sbg pelaku tindak pidana (fysieke daderschaps). Ajaran ini memberi ruang yang lebih luas bagi penerapan asas geen straf zonder schuld, karena kesalahan individu pimpinan atau pengurus korporasi yang memberi perintah pada suatu badan hukum atau yang menjalankan perintah (pelaku fisik) didistribusikan sebagai kesalahan korporasi tsb.. (Rolling)
MEMBUKTIKAN PERTANGGNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Tidak dapat dilihat dengan sudut pandang biasa karena tindak pidana korporasi seringkali merupakan white collar crime Penentuan subyek hukum yang dipertanggungjawabkan secara pidana berkaitan dengan kesalahan korporasi Penentuan kesalahan (schuld, mens rea) korporasi tidak mudah, terdapat hubungan yang kompleks dalam tindak pidana terorganisasi (organizational crime), eksekutif dan manager di satu sisi dan perusahaan induk (parent corporations), divisi-divisi perusahaan (corporate divisions), dan cabang-cabang perusahaan (subsidiaries)
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI Roeslan Saleh : Dalam membedakan dapat dipidananya perbuatan dengan dapat dipidananya orang yang melakukan perbuatan, atau membedakan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti seluas-luasnya, asas geen strafzonderschuld tidak mutlak berlaku. Tegasnya, dalam pertanggungjawaban korporasi, tidak harus selalu memperhatikan kesalahan pembuat, tapi cukup dengan mendasarkan pada adagium res ipsa loquitur, bahwa fakta sudah berbicara dengan sendirinya. Pada faktanya, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana korporasi sangat besar, baik secara fisik, ekonomi, maupun social cost yang mana korban mencakup pula masyarakat dan negara
PARAMETER MEMIDANA KORPORASI Lu Sudirman dan Feronica Undang-Undang telah mengatur dengan tegas bahwa subyek tindak pidananya termasuk korporasi (asas legalitas) Korporasi dapat disertakan sebagai tersangka jika penyidik telah menentukan bahwa tersangka personalnya ialah direktur atau manager yang menjadi directing mind and will Korporasi tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila directing mind and will korporasi melakukan tindak pidana terhadap korporasi mereka sendiri dan korporasi yang bersangkutan telah melakukan penuntutan terhadap tindakan directing mind and will-nya.
MODEL PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab Korporasi sebagai pembuat dan juga bertanggungjawab
PERMA Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi Penggabungan Peleburan Korporasi Pemisahan Pembubaran
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Tindak pidana oleh korporasi adalah tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur korporasi (Pasal 1 angka 8) Tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi didalam maupun diluar lingkungan korporasi (Pasal 3) Menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi antara lain (Pasal 4): Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana Korporasi tidak melakukan langkah-langkah pencegahan dampak yang lebih besar
STRATEGI NASIONAL TINDAKAN ANTI KORUPSI PENCEGAHAN PENEGAKAN HUKUM HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KERJASAMA INTERNASIONAL DAN PENYELAMATAN ASET HASIL TINDAK PIDANA PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTI KORUPSI MEKANISME PELAPORAN PELAKSANAAN PEMBERANTASAN KORUPSI
LANGKAH ANTI KORUPSI Perbaikan Manusianya Perbaikan Sistem Moral Manusia sebagai umat beriman Moral sebagai satu bangsa Kesadaran hukum Sosialisasi dan pendidikan anti korupsi Mengentaskan kemiskinan Meningkatkan kesejahteraan Memilih pemimpin bersih, jujur, anti korupsi Perbaikan Sistem Peraturan Perundang-undangan Cara kerja pemerintahan Pemisahan aset negara dan pribadi Menegakkan etika profesi dan sanksi tegas Prinsip goodgovernance Optimalisasi pemanfaatan teknologi
STRANAS PENCEGAHAN KORUPSI PERPRES 54/2018 AREA RAWAN KORUPSI PERENCANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAERAH HIBAH DAN BANSOS PERJALANAN DINAS PERIZINAN MUTASI PNS PENGADAAN BARANG DAN JASA
POTRET KORUPSI APH 2016 PENYALAHGUNAAN ANGGARAN: 229 KASUS PENGGELAPAN: 514 KASUS MARK UP : 399 KASUS PROYEK FIKTIF: 61 KASUS LAPORAN FIKTIF: 139 KASUS SUAP/GRATIFIKASI: 68 KASUS PENYALAHGUNAAN WEWENANG: 514 KASUS PENYALAHGUNAAN ANGGARAN: 229 KASUS
TANTANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI DAERAH Rendahnya komitmen dan integritas penyelenggara daerah dalam mencegah dan memberantas korupsi Pengawasan internal yang belum efektif Regulasi yang belum harmonisasi dan sinkron, misal pada sektor perizinan Kecenderungan politik biaya tinggi yang mengakibatkan terjadinya suap menyuap misal pada sektor perizinan Partai politik yang belum berintegritas, memiliki kode etik dan transparan dalam pengelolaan dana Partai Politik
GAMBARAN TIPIKOR 2004-2018 ESELON I/ II/ III DPR & DPRD: 205 POLISI: 2 KEPALA K/L: 25 PENGACARA: 10 DUTA B ESAR: 4 SWASTA: 198 KOMISIONER: 7 KORPORASI: 4 GUBERNUR: 19 LAINNYA: 85 JAKSA: 7 ESELON I/ II/ III HAKIM: 18 WALIKOTA/BUPATI & WAKIL: 84
PERIZINAN DAN TATA NIAGA Peningkatan Pelayanan dan Kepatuhan Perizinan dan Penanaman Modal Perbaikan Tata Kelola Data dan Kepatuhan Sektor Ekstratif, Kehutanan dan Perkebunan Penguatan Manajemen Basis Data Petani Integrasi dan Sinkronisasi Data Impor Pangan Strategis Penerapan Manajemen Anti Suap di Sektor Swasta
KEUANGAN NEGARA Peningkatan Sistem Perencanaan, Penganggaran, Penatalaksanaan (termasuk pengadaan) dan Pelaporan Berbasis Elektronik Peningkatan profesionalitas dan modernisasi Pengadaan Barang dan Jasa Optimalisasi Penerimaan Negara dari Penerimaan Pajak dan Non-Pajak
PENEGAKAN HUKUM DAN RB Penguatan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Implementasi Grand Design Strategi Pengawasan Desa Perbaikan Tata Kelola Sistem Peradilan Pidana Terpadu
JENIS TIPIKOR KERUGIAN NEGARA SUAP MENYUAP PENGGELAPAN DLM JABATAN PEMERASAN PERBUATAN CURANG GRATIFIKASI BENTURAN KEPENTINGAN DLM PENGADAAN
KERUGIAN NEGARA Pasal 2 Pasal 3
SUAP MENYUAP Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Pasal 11 Pasal 13 Pasal 12 huruf a dan b Pasal 12 huruf c dan d
PENGGELAPAN DALAM JABATAN Pasal 8 Pasal 10 huruf a Pasal 10 huruf b Pasal 9 Pasal 10 huruf c
PEMERASAN Pasal 12 huruf a Pasal 12 huruf f Pasal 12 huruf g
PERBUATAN CURANG Pasal 7 ayat (1) huruf a Pasal 7 ayat (2) Pasal 7 ayat (1) huruf b Pasal 12 huruf h Pasal 7 ayat (1) huruf c Pasal 7 ayat (1) huruf d
BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN Pasal 12 huruf i
GRATIFIKASI Pasal 12 B jo. Pasal 12 C
UU NOMOR 5 TAHUN 2014 (ASN) TUPOKSI ALASAN YURIDIS PERINTAH JABATAN
Pejabat pengadaan dan pembuat komitmen tersangkut masalah hukum PERMASALAHAN Pejabat pengadaan dan pembuat komitmen tersangkut masalah hukum Tuntutan pidana terkait keputusan Badan/Pejabat Sikap dan tindakan dalam memberikan perlindungan hukum atas tuntutan pidana terhadap ASN dalam pelaksanaan tugasnya
PEMBAHASAN Apakah produk hukum pejabat sesuai dengan Tupoksi Tuntutan pidana terhadap ASN wajib didampingi penasehat hukum dengan biaya negara Apakah produk hukum pejabat sesuai dengan Tupoksi Tuntutan pidana harus memiliki asas legalitas Pejabat terima sesuatu atau tidak, Kepentingan umum terlayani atau tidak, Negara dirugikan atau tidak
PENGATURAN BANTUAN HUKUM Pengaturan mengenai penyediaan anggaran Siapa yang berhak dan berwenang memberikan bantuan hukum Perangkat organisasi apa yang dibutuhkan untuk memberikan perlindungan hukum dan bantuan hukum Perlu diatur ruang lingkup dan batasan pemberian perlindungan dan bantuan hukum
PERLINDUNGAN HUKUM ASN Pasal 3 huruf f Pasal 6 (2) i, j, UU 30/2014 Memperoleh perlindungan hukum serta bantuan hukum Pasal 21 huruf d Perlindungan Bantuan Hukum Bantuan Hukum dalam perkara yang dihadapi di Pengadilan terkaitpelaksanaan tugasnya Pasal 92
PERLINDUNGAN HUKUM Personal PROSEDURAL Perdata Institusional Pidana Tipikor TUN
Peradilan Dilakukan Menurut Cara yang Diatur dalam Undang- Undang ini PERLINDUNGAN HUKUM Pasal 24A (5) UUD 1945 Susunan, Kedudukan, Keanggotaan dan Hukum Acara Mahkamah Agung serta Badan Peradilan di bawahnya Diatur dengan Undang- Undang Pasal 3 KUHAP Peradilan Dilakukan Menurut Cara yang Diatur dalam Undang- Undang ini
DISKRESI DALAM UU NOMOR 30 TAHUN 2014 Pasal 1 Angka 5 Wewenang Angka 6 Kewenangan Angka 7 Keputusan Administrasi Pemerintahan Angka 8 Tindakan Administrasi Pemerintahan Angka 9 Diskresi Angka 17 Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
DISKRESI Pasal 22 s.d Pasal 32 UU No. 30 Tahun 2014 Pasal 22 ayat (2) : Tujuan Diskresi Pasal 23 : Lingkup Diskresi Pasal 24 – 25 : Persyaratan Diskresi Pasal 26 – 29 : Prosedur Penggunaan Diskresi Pasal 30 – 32 : Akibat Hukum Diskresi
BATASAN DISKRESI Diskresi bisa menjadi sebuah sarana untuk mengisi kekosongan aturan dalam sebuah mekanisme tertentu, namun di sisi lain diskresi juga bisa menjadi biang malapetaka jika digunakan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang karena kewenangan dalam sebuah jabatan bagaikan kemudi yang bisa diarahkan kemanapun sesuai yang diinginkan oleh si pengemudi, sehingga untuk menjaga penyelenggaraan kewenangan itu secara benar diperlukan adanya kearifan dan kejujuran dari si pemegang kewenangan. diskresi dibagi menjadi dua antara lain diskresi terikat dan diskresi bebas. Diskresi terikat pada dasarnya timbul karena undang-undang sendiri telah memberikan kebebasan kepada si pejabat untuk memilih kebijakan yang akan diambil dari beberapa alternatif yang disediakan oleh undang- undang. Dalam diskresi terikat seorang pejabat tidak dapat mengambil keputusan di luar dari apa yang telah disediakan oleh aturan, ia hanya bisa memilihnya diantara beberapa kemungkinan yang telah tersedia.
SYARAT DISKRESI Diskresi memiliki tiga syarat antara lain : demi kepentingan umum, masih dalam lingkup kewenangannya dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Diskresi muncul karena terdapat tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai yang antara lain untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan menegakkan hukum berorientasi pada kebijakan hukum keadilan dan kemanfaatan hukum.
KONSEKUENSI HUKUM Pengertian kebijakan baik dari perspektif hukum adminisitrasi Negara, hukum perdata maupun hukum pidana adalah merupakan pengertian yang berada di wilayah abu-abu (grey area). Keputusan pejabat Negara baik dalam rangka beleid (vrijbestuur) maupun diskresi (kebijaksanaan-discretionary power) maupun kerangka privaat rechtelijke hingga saat ini masih menjadi ajang kajian akademis, baik menyangkut alasan penolakan maupun justifikasi pemidanaan. Perspektif hukum administrasi Negara memang yang menjadi parameter, membatasi gerak bebas kewenangan aparatur Negara (discretionary power) adalah penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan sewenang-wenang (abus de droit) dan dalam area hukum pidana kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur Negara disebut sebagai melawan hukum (wederchtelijkheid) dan menyalahgunakan kewenangan
TINDAK PIDANA Suatu perbuatan telah dinyatakan menjadi suatu tindak pidana, maka konsekuensi logis tentunya oleh undang-undang dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa perbuatan itu sebelumnya ditetapkan sebagai tindak pidana itu sebelumnya ditetapkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang. Von Feuerbach yang menyatakan: Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege) Pengunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine) Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang- undang membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali).
PEMIDANAAN Pertanyaannya sekarang apa yang sebenarnya dapat membuat suatu kebijakan dipidana? Jika dapat dipidana, yang dapat dipidana apakah perbuatan kebijakannya atau orang yang membuat kebijakan tersebut? Syarat pemidanaan haruslah memenuhi criteria adanya: Actus Reus berupa: kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederrechtelijkheid) Mens Rea berupa: perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Syarat pemidanaan itu haruslah memenuhi syarat ada asas actus reus dan mens rea sehingga dalam pemidanaan yang harus digunakan adalah unsur melawan hukum formal, artinya ada atau tidak dalam perbuatan tersebut hal-hal yang bertentangan dengan hukum positif tertulis
KEWENANGAN Unsur menyalagunakan kewenangan dalam UU PTPK memiliki pengertian yang berbeda dengan penyalahgunaan wewenang yang menjadi kompetensi PTUN, sebagaimana diatur dalam UU AP. UU AP telah membedakan secara jelas tentang pengertian wewenang dan kewenangan. Pengertian wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat pemerintahan atau penyelenggara Negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 1 angka 5 UU AP) sedangkan pengertian kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau pejabat pemerintah atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik (Pasal 1 angka 6 UU AP). Bahwa wewenang sebagai hak pejabat pemerintahan memiliki impikasi dan merupakan dominan hukum admnistrasi dan tata usaha Negara. Apabila wewenang itu tidak dijalankan sebagaimana mestinya, impikasi yuridisnya penggunaan wewenang itu dapat dibatalkan atau dianggap menjadi tidak sah (Pasal 30, 31 dan Pasal 32 UU AP) Menyalahgunakan kewenangan pada dasarnya merupakan perbuatan melawan hukum pidana (wederrechtelijke) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU PTPK.
PARAMETER TP Untuk mementukan apakah keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan merupakan domain tindak pidana korupsi tentunya harus mencermati substansi perbuatannya sebagai landasan untuk mengungkapkan kebenaran materiil dalam perkara pidana. Oleh Karena itu, perlu adanya parameter dan tolok ukur terhadap pertanggungjawaban pidana dari kebijakan diskresioner pejabat pemerintahan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU ADP) merupakan undang-undang yang bersifat regulative (pengaturan) termasuk larangan (pelanggaran) yang bersifat administrative. Sedangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang bersifat represif yaitu Undang-Undang Pidana Umum, Lex Specialis Derogate Lege Generali. UU ADP 2014 dan UU Tipikor 2001/1999 merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem reformasi birokrasi. Bedanya, UU ADP 2014 lebih menitiberatkan pada pembangunan sistem administrasi pemerintahan yang baik dan benar sedangkan UU Tipikor 2001/1999 lebih menitikberatkan pada sistem penindakan represif. ketiga undang-undang dihubungkan satu sama lain, terdapat sinergitas dan alur pikir yang sistematislogis dan simetris telah terjadi unifikasi hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di kalangan penyelenggaraan Negara (PN).
K P K DASAR HUKUM UMUM PENYELIDIKAN PENYIDIKAN PENUNTUTAN Pasal 38 – Pasal 42 Hukum Acara UMUM Pasal 43 – Pasal 44 Penyelidik KPK Bukti Permulaan yg Cukup PENYELIDIKAN K P K Pasal 45 – Pasal 50 Penyidik KPK Ditetapkan sbg Tersangka PENYIDIKAN Pasal 51 – Pasal 52 Penuntut KPK Penuntut JPU PENUNTUTAN
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN & PEMERIKSAAN Pasal 25 Perkara tipikor harus didahulukan Pasal 26 Hukum Acara yg berlaku dalam UU ini UU TIPIKOR Pasal 28 Tersangka wajib memberi keterangan seluruh harta bendanya Pasal 26 A Alat Bukti lain
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN & PEMERIKSAAN Pasal 29 (1) Meminta keterangan kepada Bank tentang keuangan “T” Pasal 29 (2) Diajukan kepada Gubernur BI UU TIPIKOR Pasal 29 (3) GBI wajib 3 hari kerja memenuhi permintaan Pasal 29 (4) Memblokir rekening simpanan milik “T” yg diduga hasil korupsi Pasal 29 (5) Mencabut pemblokiran
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN & PEMERIKSAAN Pasal 30 Membuka, memeriksa dan menyita surat Pasal 31 Dilarang menyebut Nama atau Alamat UU TIPIKOR Pasal 32 Tidak terdapat cukup bukti, telah ada kerugian negara, gugatan perdata Pasal 33 Tersangka mati, telah ada kerugian negara, gugatan perdata Pasal 34 Terdakwa mati, telah ada kerugian negara, gugatan perdata
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN & PEMERIKSAAN Pasal 35 Wajib memberi keterangan sebagai Saksi Pasal 36 Wajib karena harkat martabat jabatan UU TIPIKOR Pasal 37 A Terdakwa memberi keterangan seluruh harta bendanya Pasal 37 Terdakwa mempunyai hak membuktikan tidak korupsi Pasal 38 Perkara In Absentia Pasal 38 A, B, C Pembuktian di Pengadilan
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Undang-Undang No. 31 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 Buku : Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cet. Kedua, Malang, Bayumedia Publishing, 205. Andi Hamzah, Pemberantasan KorupsiMelalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Cet. Ke-6, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2014.
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI), Hasil Eksaminasi Catatan Hukum Atas Putusan Perkara Nomor 7/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST Dan Putusan Perkara Nomor 01/PID/TPK/2016/PT. DKI Azhari, Negara Huhum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya, III Press, Jakarta, 1995 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia) Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994 Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam perkara-Perkara Pidana, Bandung: CV. Alfabeta, 2013 Enrico Simajuntak, Peradilan Administrasi don Problematika Peraturan kebijakan, Majalah Hukum Varia Peradilan, Edisi Tahun XXVI No. 305 April 2011 Indrayanto Seno Aji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Diadit Media, 2009. Krishna Djaya Darumurti, Diskresi – Kajian Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2016. Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Bandung, Alumni, 2015. Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya, Jakarta, Referensi, 2013.
DAFTAR PUSTAKA PAF. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Sinar Baru, 1983. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Cet. Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Satjipto Rahardjo. llmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Charles H. Koch Jr., "Judicial Review of Administrative Discretion," The George Washington Law Review, Vol. 54, 1986 Danilo Zolo, "The Rule of Law: A Critical Reappraisal," dalam Pietro Costa & Danilo Zolo, eds., The Rule of Law: History Theory and Criticism, Springer, Dordrecht, 2007 George P. Fletcher, "Some Unwise Reflections About Discretion," Law and Contemporary Problems, Vol. 47, 1984 I.G. Brouwer & A.E. Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aequi Libri, Nijmegen, 1998 J.H. Grey, "Discretion in Administrative Law," Osgoode Hall Law Journal, Vol. 17, 1979 Kenneth Culp Davis, Administrative Law: Cases -Text - Problems, West Publishing Co., St. Paul-Minnesota, 1977 Lawrence M. Friedman, American Law, New York-London: W.W Norton & Company, 1984 Maria O'Sullivan, "Failure to Exercise Discretion or Perform Duties," dalam Matthew Groves & H.P. Lee, eds., Australian Administrative Law: Fundamentals, Principles and Doctrines, Cambridge University Press, Cambridge, 2007 Matthew Mortimer, Is Positive Authorisation in Law Necessary for Lawful Public Body Action?, dissertation, Bachelor of Laws (honours), University of Otago, 2012