MATA AIR KETELADANAN Oleh : Nono Dharsono_ PANCASILA DALAM PERBUATAN MATA AIR KETELADANAN “PANCASILA DALAM PERBUATAN” Oleh : Nono Darsono_
PENGANTAR Kisah keteladanan para “Pahlawan Bangsa”, Pelajaran Moral pada Pancasila diajarkan lewat butir-butir hafalan dan Bangsa kita mengalami kemiskinan wahana untuk mencetak nilai-nilai luhur bangsa yang diidamkan menjadi karakter bangsa. Singkat kata karakter adalah lukisan sang jiwa ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya. Sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). Dengan demikian setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur : keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama : Ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan- tuntunan normatif preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua: Ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga: Ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan dalam realitas konkret. Pancasila sebagai tuntunan normatif kehidupan bangsa dan negara, dengan merumuskan kandungan ide (nilai) pokok setiap sila. Maka dari itu Pancasila semasa Orde Baru sesungguhnya telah melakukan hal ini, dengan nmenyebutnya sebagai “butir-butir” Pancasila. Tiap sila Pancasila memilki (4) empat butir nilai Intrinstik sila tersebut, sedangkan (1) satu butir bersifat ekstrinstik yakni mngandaikan keterkaitan butir-butir dalam sila tersebut dengan butir-butir nilai di sila-sila lainnya dan empat butir (ide pokok) setiap sila berhasil mengandung semangat pokok dari sila tersebut. Urutan Butir-butir setiap sila disusun secara sequintial : bahwa suatu butir (pokok pikiran) dengan sendirinya secara logis akan diikuti oleh butir lain sebagai konsekuensinya.
Mata Air Keteladanan dalam Pengamalan Ketuhanan Pada akhir dekade1950-an melibatkan dua tokoh Yakni Prawoto Mangkusasmito (Tokoh partai Masyumi dan Muhamadiyah) dengan I. J Kasimo (Ketua Partai Katolik) dengan kerelaan gotong royong dan dengan corak keagamaan dan politik yang berbeda itu secara gamblang menggambarkan semangat ketuhunan yang berperikemanusiaan. Semangat ketuhanan yang penuh kasih sayang, lapang dan toleran, berlomba-lomba dalam kebaikan. Bahkan dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 berkata : “Bukan saja Bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih. Dan yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, serta Orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber- Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ”egoisme agama” Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”. Ketuhanan tanpa “egoisme agama” itu oleh Bung Karno sebagai “Ktuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang menghormat satu sama lain” Dalam keyakinan ketuhanan sejati, keberadaan manusia di pandang sebagai kristalisasi cinta kasih Tuhan. Ada banyak nama (sifat) Tuhan, namun seluruh sifat Tuhan itu bisa diperas menjadi Rahman-Rahim (Pengasih-Penyang). Sebagai perwujudan kasih sayang Tuhan, manusia harus mengembangkan hubungan cinta kasih dengan Tuhan serta hubungan cinta kasih dengan sesama manusia (hablum minallah dan hablum minannas), bahkan dengan makhluk lainnya. Dengan hubungan muamalah (urusan kemasyarakatan)yang berlangsung dalam bangsa majemuk, pergaulan hidup yang dilandasi ketulusan cinta tidak jarang membuat jalinan kontak hati diantara orang-orang yang tidak seagama. Perbedaan keyakinan tidak menghalangi hubungan kemanusiaan, bahkan menjadi landasan untuk saling mengenal dan saling belajar dalam rangka berlomba-lomba berbuat kebajikan
Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ditekankan bukan tuhannya apa_karena itu urusan keyakinan agama masing-masing, melainkan “ketuhanannya”, yakni sikap “menuhan” berproses meniru, mendekati dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan. Apapun agama dan Tuhannya, jika warga negara sanggup meniru dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan sesuai tuntutan agamanya masing-masing insya Allah semuanya akan memiliki titik “keesaan”, yakni persatuan dalam kebajikan.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengehendaki agar bangsa Indonesia berketuhanan dengan menjiwai sifat kasih sayang-Nya dan menjadikan-Nya sebagai sumber moralitas dalam kehidupan dan kemasyarakatan. Kesungguhan mencintai Tuhan bisa memancarkan kasih sayang kepada sesama makhluk melalui sikap keagamaan yang lapang dan toleran : bersedia membuka ruang pergaulan dalam rangka bergotong-royong menghadirkan rahmat-kebajikan bagi semua, dengan memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta berbuat amal kesalehan dengan sikap hidup yang amanah, jujur, dan bersih. I.Berketuhanan Sejak zaman batu hingga pengaruh kebudayaan perunggu, masyarakat pra-sejarah Nusantara telah mengembangkan sistem kepercayaan tersendiri, yang secara umum bisa dikategorikan bercorak animisme dan dinamisme. Animisme (dari bahasa Latin Anima atau “roh” ) adalah Kepercayaan bahwa setiap benda di bumi ini (seperti petir, pohon, kawasan tertentu, pokok atau batu besar) mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar roh di balik benda tersebut tidak mengganggu manusia, dan sebaliknya malah membantu mereka dari roh jahat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selain percaya adanya jiwa dan roh yang mendiami benda atau tempat tertentu, animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Kepercayaan animisme ini biasanya bertaut dengan dinamisme, yakni keprcayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidupnya. Sejak zaman batu hingga pengaruh kebudayaan perunggu,
Ketika Manusia mulai bisa bertani timbul sistem penyembahan kepada zat yang menguasai pertanian seperti Dewi Laksmi, Dewi Sri, Saripohaci dan lain-lain. Penyembahan kepada dewi-dewi ini pada perkembangannya membentuk sistem keagamaan politeistik, Sistem keagamaan politeistik masyarakat pra-sejarah Nusantara tidaklah serta merta musnah, diberbagai daerah unsur-unsur kepercayaan dan keagamaan yang di wariskan dari zaman pra- sejarah ini masih bertahan dan mengalami proses sinkretik dengan agama-agama sejarah seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk olah masyarakat Sunda di Kanekes, Banten : Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Kuningan Jawa Barat : agama Bubun di jawa barat, Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur : agama Parmalim agama asli Batak : agama Kahiringan di Klaimantan : Kepercayaan Tonaas Walias di Minahasa, Sulawesi Utara ; Tolottang di Sulawesi Selatan ; Naurus di pulau Seram di Provinsi Maluku dan lain-lain. Golongan Islam berpandangan bahwa ‘Negara” tidak bisa dipisahkan dari ‘agama’. Sedangkan golongan kebangsaan berpandangan bahwa negara hendaknya ‘netral’ terhadap agama. Sebagai besar pembicara pada masa persidangan pertama BPUPKI (29 Mei -1 Juni) memandang Ketuhanan sebagai fundamental yang penting bagi Negara Indonesia merdeka. Ada pandangan bahwa Islam sebagai dasar negara, seperti yang tercermin dalam pidato Ki Bagus Hadikoesoemo, pada argumennya ‘Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakan keadilan, berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama; Islam tidak bertentangan bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita ; Islam merupakan ajaran lengkap yang menyuruh masyarakat didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam dan selama periode kolonial, kaum imperialis senantiasa berusaha melenyapkan agama Islam dan hukum Islam’
Contoh jalan seorang pencarian Tuhan (Keagamaan) Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) lahir di Maninjau (Sumatera Barat) 17 Februari 1908 anak dari seorang ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) sebagai orang yang menjuluki HAMKA sebagai “Kiai Cinta” dalam ceramahnya Ditaman Ismail Marzuki Pada tanggal 11 Maret 1970 mengakui :“Dasar dari kepengarangan saya adalah cinta”. Cinta altruistik, yang memberi tenaga dan harapan bagi hidup. Seperti hal nya pesan Hayati kepada Zainuddin d alam salah satu karyanya, ‘Tenggelamnya kapal van der wijck”. Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulakan tangis sali sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan. Cinta adalah kepribadiannya. Gerakan reformisme Islam pendukung utama adalah para ulama angkatan baru yang belum melek pengetahuan modern sehingga sikapnya terhadap pengaruh Barat cenderung reaktif. Yang paling radikal dari kecenderungan ini adalah Wahabiyyah. Yang lebih menekankan ijtihad dan aktualisasi Islam dikenal dengan gerakan “modernisme Islam” Pendukung Utamanya adalah ulama angkatan baru, yang lebih melek pengetahuan modern, sehingga lebih bersedia melakukan “opropriasi” (penyesuaian) terhadap pengaruh Barat. Sepanjang abad ke 19, reformasi Islam merupakan wacana dan ideologi yang dominan di Haramain (Mekkah dan Madinah). perkembangan ini membawa tantangan berat bagi kehidupan adat; juga bagi perkembangan tarekat yang menjamur di Sumatera Barat sejak abad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan. Serangan pertama terhadap adat-tarekat datang bersama kepulangan tiga orang ulama Minangkabau pada 1802, Terpengaruh paham Wahabiyyah, kehadiran mereka membawa gelombang pertikaian kewargaan, yang berujung pada Perang Paderi dengan intervensi kolonial.
Serangan kedua datang bersama kepulangan ayah HAMKA, Haji Rasul dari Mekkah (1901 dan 1906) yang mengibaratkan bendera ‘kaum muda’, berhadapan dengan ‘kaum tua’ yang salah satu suhunya justru ayahnya sendiri, Syaikh Amarullah, figur terpenting Terekat Naqsabandiyah. Bentrokan pedih antara dunia kakek dan dunia ayah ini mendorong HAMKA untuk melampauinya. Keberjarakan dengan ayah, disertai etos perantauan Minangkabau, mendorong HAMKA mengembara mencari jati dirinya. Berbekal kemampuan baca-tulis (huruf Arab dan Latin) dari pendidikan dasar di Diniyah School,dan Sumatera Thawalib (hingga kelas 7, tanpa ijazasah), pada 1924 ia pun merantau ke jawa; lantas ke Mekkah Sumatera Timur,Sulawesi Selatan, Medan hingga akhirnya menetap di jakarta.
Keterlibatan dalam aneka jaringan pengetahuan ini mengendurkan kekakuannya, perluasan pengetahuan melebarkan kelapangan jiwanya. Etos puritan dalam keluwesan pergaulan dan kelapangan jiwa mengantarkannya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap toleran dan estetik. Dalam paham kebangsaan, semula HAMKA mengikuti pandangan Persatuan Islam (Persis), memandang nasionalisme sebagai ‘ashabiyah” yang bersifat jahiliyah dan tak bisa ditolelir. Menyimak tanpa prasangka agama, HAMKA pun melihat kemungkinan lain. Manurutnya antara kebangsaan dan Islam tidak perlu terdapat pertentangan, malah bisa sesuai. Pandangan HAMKA ini pun menuai kritik pedas dari Persis, Soal boleh tidak nya wanita (Siti Rasyidah) berpidato didepan publik yang ada kaum prianya, Semula Haji Rasul mengharamkannya, sedangkan Mas Mansur membolehkannya, di pandanganya sebagai makruh namun HAMKA dalam kasus ini berpihak pada pendapat Mas Mansur ketimbang ayahnya. Ketika bung karno wafat, disela-sela “mood” publik yang mencelanya, muncul keberatan dari kalangan umat untuk menshalati jenazahnya. HAMKA berani melawan arus dengan beragumen bahwa tidak ada hak untuk mengatakan Bung Karno munafik. Terlebih ia sering kali mengungkap keyakinan keislamannya didepan umum, yang tidak mustahil keluar dari kedalaman sanubarinya. Keluasan dan keragaman jaringan bukan hanya membawa kelenturan, tetapi juga mengondisikan HAMKA menjadi ulama besar. Sosiologi pengetahuan mencatat bahwa seorang intelektual besar lebih kerap muncul dari jaringan besar, baik jaringan keatas, ke samping, dan ke bawah.
HAMKA merupakan perwujudan dan ekspresi islam yang luas, lentur, dan estetik. Islam yang produktif membawa kemaslahatan bagi banyak orang. Pantaslah keteladananya menjadi monumen di hati kita. Kisah Haji Agoes Salim, lahir dikota Gadang, Sumatera Barat, pda tanggal 8 Oktober 1884, masih ketururnan Bangsawan Minangkabau. Meskipun ayahnya, Mohammad Salim menjadi pegawai pemerintah Belanda sebagai boofd djaksa (jaksa pribumi), dan masih mempertahankan komitmen yang kuat pada ajaran Islam, dan bahkan ia merupakan salah satu kontributor utama majalah Islam. Dengan latar lingkungan keluarga dan masyarakat setempat yang taat agama, tak heran bahwa keputusan ayahnya mengirim Agoes Salim untuk melanjutkan study ke sekolah menengah Hoogere Burger School (HBS). sehingga warga setempat dan pandangan bagi banyak orang Indonesia saat itu, sekolah Belanda HBS dianggap bukanlah sekolah bagi muslim yang taat (Panitia Buku Peringatan. 1996;40) Dirinya tinggal di jakarta di rumah sebuah keluarga Belanda pada masa rezim pemerintahan liberal dengan sistem pendidikian liberalnya yang mengabaikan pendidikan agama, dan Salim mengakui : Meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga muslim yang taat, dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa kanak- kanak namun (setelah masuk sekolah Belanda) saya mulai merasa kehilangan Iman, Salim dengan terus terang mengakui bahwa pendidikan yang ia perioleh di sekolah menengah (HBS) telah menjauhkannya dari agama. Pada tahun1903 Salim lulus sebagai siswa terbaik dari tiga HBS yang ada di jawa, dan yang bersangkutan ingin melanjutkan studi sekolah kedokteran di negeri Belanda, namun ayahnya tak mampu membiayainya. Begitu mengetahui bahwa Salim yang cerdas memiliki masalah keuangan dalam menggapai cita-citany R. A Kartini (dikanal sebagai ibu negara kemadjioen) namun tak diperbolehkan oleh ayahnya. Menulis surat kepada Mrs. Abendanon untuk memintanya mengalihkan pemberian beasiswanya kepada Salim. Salim sendiri telah berusaha mendapatkan “gelijkgesteld” (status hukum yang sama dengan orang Belanda), untuk memudahkannya belajar ke negeri Belanda. Namun semua upayanya gagal. Dan pada akhirnya ia pun tak bersedia untuk bekerja sebagai pegawai sipil bagi pemerintah kolonial. Ketika pada tahun 1906 Salim di tawarin untuk menjadi staf di bagian penerjemah. Dengan pikiran bahwa bekerja atas nama Pemerintah Belanda dan bukan pemeriantah kolonial. Dan bertemu dengan pamannya, Achmad Khatib, seorang ulama besar Nusantara di Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Pertemuan itu dilukiskan oleh Agoes Salim sebagai titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya.
Sebagai tokoh Islam Salim melancarkan kritik terhadap nasionalisme oleh Eropa yang dianggapnya telah meminggirkan Tuhan, Seraya mengajukan gagasan nasionalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Ketuhanan, Salim adalah ketuhanan yang lebar, Sebagai tokoh Islam ia tetap menjalin hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh lintas gaman, lintas etnis, dan lintas organisasi. Lingkungan yang pergaulan dan bacaan yang luas memberinya suasana kejiwaan yang kebih menghargai perbedaan. Kelak dalam posisinya sebagai anggota BPUPK, Salim merupakan salah satu tokoh ‘golongan Islam” yang tidak sepenuhnya menghendaki penyatuan agama dan negara (Negara Islam). Berbeda dari Agoes Salim, meskipun sama-sama berasal dari Sumatera Barat, Mohammad Hatta meniti jalan Tuhan dengan cara terus melangkah di jalan-Nya walau jalanan berkelok. la lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902, dengan nama asli Mohammad Ibn 'Atta'. Nama ini tampaknya terinspirasi oleh nama Mohammad 'Atta-i 'l-Lah Al-Sakandari, pengarang buku Al- Hikam, sebuah buku sufistik (spiritual) yang sangat terkenal di lingkungan pesantren dan surau (Madjid, 2002). Ia berasal dari keluarga yang kuat agamanya dan terbilang kaya. Kakeknya, Syaikh Abdurrahman (dikenal sebagai Syaikh Batuampar) merupakan pendiri utama Surau Batuampar (Payakumbuh) yang terkenal sebagai pusat pengajaran Tarekat Naqsyabandiyyah. Ayahnya, Hadji Muhammad Djamil merupakan ulama muda yang terkenal di daerahnya, meski meninggal cepat pada usia 30 tahun, ketika Bung Hatta masih berusia 8 bulan. Hatta kemudian jatuh ke pengasuhan pamannya, kakak tertua ayahnya, bernama Hadji Arsjad, yang menggantikan posisi sebagai Syaikh Batuampar dengan sebutan "Tuanku nan Muda".
Hatta kecil kerap mendengar nasihat kakeknya tentang jalan spiritual: Datukku selalu memperingatkan bahwa jalan ke tarekat baru dapar daempuh oleh mereka yang sudah cukup pengetahuan Agaimana Ajaran tarekat adalah pengundi didikan agama. Jalan ke situ bertangga-rangga, tidak dapat dilalui dengan meloncar Joncar Untuk masuk ke dalam tarekat, orang harus insaf benar, bahwa dalam agama tidak ada paksaan-la ikrahafiddin-jalan ke Tuhan ialah meyakinkan orang lain dan dimulai dengan me yakinkan diri sendiri. Hatta hendak dipersiapkan untuk menjadi ulama, dengan rencana mengirimnya untuk sekolah agama di Mekkah dan kemudian diteruskan ke Al-Azhar, Kairo. Tetapi rupanya, suratan takdir membawanya menempuh jalan yang berbeda. Ketika Hatta duduk di kelas 3 Sekolah Rakyat Inyik Djambek, Paman Arsjad berniat pergi ke Mekkah dan akan membawa Hatta sesuai rencana. Ibunya merasa Hatta masih terlalu kecil, sedangkan pengajian Al Quran saja belum tamat. Maka, jalan menuju Mekkah pun untuk sementara terhenti. Paman Arsjad, yang semula kecewa, akhirnya sebagai orang Tardekat bisa menerima juga. "Ikhtiar dijalani," katanya, "takdir menyudahi." Sementara Hatta menjalani Sekolah Rakyat, Syaikh Djambek terus menggembleng pelajaran agama untuk mempersiapkan jurusan selanjutnya, ke Mekkah dan Mesir, yang tertunda. dan kemudian melanjutkan studinya ke sekolah menengah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Beruntunglah, pada pertengahan 1918, datang keputusan pemerintah yang memberi kesempatan kepada murid-murid MULO untuk mendapatkan pelajaran agama satu jam seminggu. Di sini lah ia berkesempatan mendapatkan pengajaran agama Islam dari seorang tokoh pembaru di Sumatera Barat, Hadji Abdullah Ahmad. "Maka bersambunglah kembali pendidikanku yang teratur dalam hal agama, menurut cara baru, setelah terputus 5 tahun lamanya.
Pelajaran-pelajaran secara insidentil sering kuikuti di rumah H. Abdullah Ahmad sejak setahun terakhir" (Hatta, 1982: 40). Dari MULO, Hatta melanjutkan studi ke sekolah menengah ekonomi atas, Prins Hendrik Handels School, di Jakarta, dan pada 1921 berangkat ke negeri Belanda untuk kuliah di sekolah tinggi eko nomi Handels-Hoogeschool di Rotterdam. Dengan dasar kerohanian yang kuat, dalam menempuh jalan berliku dari kota kecil di Sumatera Barat, menuju kota besar Jakarta, hingga menembus jantung kosmo politanisme Eropa, Hatta tidak pernah mengalami "gegar budaya" (culture shock) yang membuatnya harus memudarkan keyakinan. Meski berpegang teguh pada pendirian keagamaannya, Hatta tetap mengembangkan pergaulan yang luas dan luwes. Selama ber kuliah di Belanda dan menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia, ia menjalin hubungan erat dengan aktivis-aktivis berlatar Sumatera (seperti Nazir Pamuntjak), Jawa (seperti Subardjo dan Gunawan Mangoenkoesoemo), Sunda (seperti Iwa Koesoema Soemantri), Indonesia Timur (seperti A.A. Maramis dan Arnold Monotutu), dan Tionghoa (seperti Dr. Liem); bahkan ia tak segan menjalin ko munikasi dengan aktivis- aktivis komunis seperti Tan Malaka dan Semaun. Rentang pergaulannya lantas dikembangkan ke gelanggang internasional dalam liga-liga antipenjajahan. Ia, misalnya, menjalin hubungan baik dengan tokoh India, Jawaharlal Nehru. Pada 1930, Hatta bersama Nehru, serta dua orang aktivis lainnya dari Eropa, dikeluarkan dari keanggotaan Liga menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional yang berhaluan Komunis, karena dituduh berhaluan reformis (Hatta, 1982: ).
Dengan dasar sufisme yang menekankan dimensi batin dan akhlak agama ketimbang dimensi lahiriah dan formalisme keagamaan, ditambah dengan bacaan dan pergaulan yang luas, Hatta menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Ia memberi tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai "gincu", begitu jelas terlihat namun kehadirannya tak bisa dirasakan orang lain. Cara beragamanya ingin meniru "garam" dalam larutan. Tidak terlihat, namun kehadirannya bisa dirasakan oleh setiap orang. Setelah menyelesaikan studi di Universitas Udayana pada 1964, Ibu Gedong aktif sebagai dosen bahasa Inggris dan memberikan perhatian besar pada dunia pendidikan. Ia melihat kegagalan dunia pendidikan dalam membentuk insan berwatak, dan oleh karena itu ia gigih berjuang agar pendidikan karakter diberikan sedini mungkin dalam kurikulum sekolah. Dalam kaitan ini, ia terinspirasi pendapat Gandhi bahwa "Pendidikan adalah untuk menggali segala sesuatu yang baik dalam diri manusia." la menunjukkan kesejatiannya soal watak, dengan tidak mudah terbius iming-iming penghargaan. Beberapa kali ia menolak pemberian gelar dari luar negeri seperti dari Universitas PBB di Tokyo dan Oxford di Inggris.
Cara mendekati Tuhan dengan mencoba masuk dari berbagai jalan tetapi berujung menemukan jalurnya yang pas menuju Tuhan diperlihatkan oleh Soekarno. Ia berangkat dari latar belakang kom pleksitas keyakinan. Menurut pengakuannya sendiri, "Kakekku me nanamkan pada diriku kebudayaan Jawa dan mistik. Dari Bapak datang teosofi dan Islamisme. Dari Ibu, hinduisme dan Buddhisme" (Adams, 2011: 90). Pengenalannya lebih lanjut dengan Islam ia te mukan saat tinggal di rumah Tjokroaminoto, sewaktu sekolah di HBS Surabaya. Bung Karno menuturkan: Aku juga seorang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan, sifat yang melekat padaku sejak lahir. Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur karena Bapak tidak men dalaminya. Aku menemukan sendiri agama Islam pada usia 15 tahun, ketika aku mengikuti keluarga Pak Tjokro masuk satu organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah. Gedung pertemuannya terletak di seberang rumah kami di Gang Penelch. Sekali sebulan, dari pukul delapan sampai tengah malam, seratus orang berdesak- desakan mendengarkan pelajaran agama dan ini disusul dengan tanya-jawab (Adams, 2011: 134).
Dalam pencarian berikutnya, Soekarno sering meng unjungi kampung-kampung dan gang- gang kumuh untuk mencari Tuhan seperti yang dilukiskan oleh Tolstoy, bahwa tuhan berada di tempat-tempat yang penuh debu. Tentang hal ini, Bung Karno punya ungkapan yang menyentuh, "Orang tidak dapat mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin." Meski begitu, dahaganya akan Tuhan belum juga terpuaskan. Soekarno pun menjadi lelah, tak kunjung menemukan yang dicari. Ia lupa kata-kata Goethe, "Siapa yang masih berdaya, tandanya ia masih kesasar." Dalam kepasrahannya, sekonyong-konyong "DIA" hadir. Tuhan datang sendiri, saat terlintas di kepalanya: "Siapakah yang mengatur itu perjodohan antara ayahnya dari Jawa dan ibunya dari Bali? Kalau ayahnya tidak dikirim sebagai guru ke Bali, niscaya tidak terjadi perjodohan itu. Siapa yang mengirim ayahnya ke sana? Pemerintahan Kolonial Belanda. Benar. Yang mengirim ayahnya Pemerintahan Kolonial Belanda, tapi apakah pemerintah mempunyai maksud supaya ayahnya bertemu dengan sang Ibu? Tidak, sama sekali tidak. Nah, di sini lantas ketemu, bahwa adalah DIA yang mengatur Sekalipun pencarian spiritualnya masih jauh dari kata akhir, setidaknya sekarang Bung Karno merasa lebih tenang karena sudah menemukan keyakinan akan adanya DIA yang menjadikan segalanya (Im Yang Tjoc, 2008: 35-43).
Proses Soekarno menemukan keyakinan ketuhanan dan keagamaannya itu menemukan momen pematangannya saat ia dipenjara dan diasingkan. Pada 1930, sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), ia dijebloskan ke Penjara Banceuy (Bandung) karena tuduhan subversif (rencana pem berontakan bersenjata). Dari Penjara Banceuy, Soekarno di pindahkan ke Penjara Sukamiskin dengan masa hukuman 4 tahun. Berkat bacaan keagamaan dan renungan spiritual yang mendalam selama di penjara, barulah menurutnya "Aku menemukan Islam dengan sungguh-sungguh dan benar. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut Islam yang sebenarnya" (Adams, 2011: 135). Dalam perkembangan selanjutnya, Bung Karno tumbuh sebagai pemimpin politik dengan penghayatan spiritual yang dalam. Hal ini tercemin dari uraiannya tentang Pancasila dan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Salah satu alasan mengapa dasar negara Indonesia terdiri dari lima sila, menurutnya, selain kelima unsur itu memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, juga karena angka lima memiliki nilai simbolik dalam masyarakat Indonesia. Ia antara lain menyebutkan bahwa "rukun Islam" pun lima jumlahnya. Tentang hari Proklamasi, meskipun para pemuda terus mendesaknya untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tetap tak mau mengabulkan permintaan mereka. Alasan utamanya karena Kemerdekaan Indonesia bukanlah untuk satu-dua hari, tetapi diharapkan bisa terus bertahan. Oleh karena itu, ia ingin memilih "hari yang baik". Selengkapnya, ia terangkan:
Selain jalan-jalan ketuhanan seperti itu, ada pula sebagian orang yang, karena berbagai alasan merasa tidak kerasan di jalan Tuhan, lantas mencoba keluar darinya. Tentang hal ini, meskipun Pancasila kurang berkenan, tetapi tidak bisa menindak karena urusan keyakinan memang tak bisa dipaksakan. Pancasila masih bisa me noleransinya sejauh pilihan keluar itu masih dalam bentuk "ateisme" (tidak bertuhan), bukan "anti-teisme" (anti- Tuhan). Ekspresi anti teisme dengan melancarkan serangan dan penghinaan terhadap agama dan Tuhan tidak dibenarkan dalam negara Pancasila. Dalam kenyataannya, usaha untuk keluar dari jalan Tuhan tidak pernah sepenuhnya berhasil. Orang boleh tidak percaya pada Tuhan, namun boleh jadi masih takut sama "genderuwo". Tentang hal ini, Prof. Driyarkara memberikan penjelasan yang menarik: Orang dapat memungkirinya. Akan tetapi, dengan pemungkiran itu, orang tidak dapat meniadakan kenyataan bahwa manusia dimana-mana merupakan kehausan terhadap religi dan tetap berusaha mati-matian untuk mempertahankannya. Di samping itu, harus diakui juga bahwa di mana Religi dimungkiri dalam bentuk-bentuk tertentu, di situ timbullah bentuk-bentuk lain yang menjadi penggantinya. Manusia tetaplah terdorong ke arah sesuatu yang mutlak atau dipandang sebagai yang mutlak. la terdorong untuk menyerahkan dan mencurahkan dirinya dengan cara yang total. Jika itu tidak terlaksana dalam penyerahan kepada Tuhan, maka dorongan tersebut kerap kali disalurkan ke pada suatu ideologi, kepada cita-cita kesejahteraan bersama yang "mahasempurna" (Driyarkara, 2006: 854).
TERIMA KASIH...